Udara di malam hari terasa begitu dingin, kami berdiri di luar teras rumah ibu dengan seorang pria yang sedang mengkhawatirkanku. Kedua alisku mengernyit menatap kearah Dio, merasa heran dengan apa yang diucapkannya.
"Itu sangat sulit, aku nyaris tidak bisa tersenyum sama sekali, lagi pula ada apa dengan dirimu? Bagaimana dengan Luna? Pacarmu pasti merasa kecewa." Kataku dengan senyum yang kupaksakan, lantas Dio menggeleng.
"Tenang saja, lagi pula kami barusan ketemu sore tadi, dan dia suka dengan sepatumu." Ujar Dio. Sebenarnya melihat pria itu di malam ini cukup membuat perasaanku terobati, apalagi dengan helai senyumannya. Meskipun Luna telah memiliki Dio seutuhnya, aku akan tetap segan untuk mendukung hubungan mereka berdua, walau itu cukup membuat ku merasa iri.
"Oh-ya? Syukurlah kalau begitu, aku yakin sekali Luna pasti cocok mengenakan sepatu itu." Balasku, Dio merunduk sambil garuk-garuk kepala.
"Yahh, dia nampak cantik saat memakainya, lain waktu boleh aku ganti yah sepatumu?" Aku tertawa sedang, kekuatan barang imitasi amatlah luar biasa, selalu menarik siapa saja yang membeli dan memakainya.
"Terserah, lagi pula aku punya banyak di rumah, kalau kamu ingin menggantinya, tak pa pa lah ganti yang ori, hehe." Sahutku tertawa dengan mudahnya di depan pria itu.
"Iya, nanti bakal aku ganti yang bagus deh." Ujar Dio, seakan ingin menghiburku. "Gitu kan cantik kalau tersenyum, dari pada tadi pas di rumah nenekmu cemberut mulu." Imbuhnya, aku bisa merasakan detak jantungku yang seketika berdebar secara tiba-tiba, malu dan grogi langsung menyertaiku. Tak cukup hanya Tony yang pernah berkata seperti itu padaku. Aku sama sekali tak pernah menyadarinya, selama ini aku hanya menganggap diriku sendiri sebagai perempuan yang aneh, jauh dari kesempurnaan.
"Aku yakin nenek dan tante-mu pasti akan sembuh, yang penting tetap beri mereka support, sebab mereka sangat butuh dukungan dari-mu Mel." Langkah Dio sejenak beralih lebih dekat denganku, seperti tak ada cela lain untuk menghindarinya, atau sekedar untuk mengalihkan posisiku sedikit lebih jauh, namun aku tak bisa melakukannya. Entah mengapa ketidak nyamanan itu terjadi berulang-ulang, hanya karena enggan untuk menatap matanya, takut nantinya akan jadi salah tingkah.
"Memang, dukungan pada mereka sangat penting, apalagi mengenai anggapan usia rentan dapat mempengaruhi kondisi pasien. Nenekku tak selemah itu, mereka berdua memiliki keinginan yang kuat, serta semangat untuk bisa sembuh kembali." Kataku, di saat moment senyap merajai hatiku, berkeping-keping ingatan mengenai penularan yang mereka alami. Ada keterlibatan denganku yang memberikan usulan pertama kali untuk menjalin aktivitas di luar ruangan. Semua masalah seakan berawal dari situ, yang tanpa mereka sadari itu semua ialah rencanaku.
"Aku tak habis pikir kamu sekarang sudah tidak bekerja lagi, memangnya ada apa?" Tanya Dio, kami berdua duduk pada gundukan bebatuan yang telah menancap di teras ibuku, menatap tepat kearah rumah Dio yang dalam keadaan menyala terang dengan background langit hitam pekat. Aku bisa melihat awan dan bulan purnama di atas langit. Tak bisa menjawab pertanyaan Dio yang mengingatkanku pada Tony, Akhirnya aku meneteskan air mata.
"Aku dipecat," Jawabku, melihat kearah depan, kearah rumah Dio. "Karena aku tidak ingin membantu pimpinanku untuk menyelundupkan peralatan APD, dimana pada saat itu barang tersebut amatlah langkah." Lantas aku memberanikan diri untuk menatap Dio, pria itu mengernyit heran.
"Aku hanya takut akan konsekuensi yang bakal kuterima apabila aku masih segan untuk menuruti apa yang diperintahkan oleh atasanku, itu semua terlewat kejam." Wajah Dio terlihat amat penasaran, miris dan seakan ingin menggali lebih dalam akan kondisiku yang sebenarnya.
"Bisa kamu ceritakan seperti apa bentuk perintahnya?" lantas aku menepis wajah pria itu. Berada di sampingnya kini semakin terasa kompleks. Bila kuceritakan semuanya pada Dio, itu sama saja aku sudah melanggar pesan dari pak Hamid, bahwa jangan sampai ada satu orang pun yang tahu, terlebih pada Tony. Kurasa anggapan pak Hamid hanya tertuju pada Tony, pria yang selalu membantah dan berani untuk melawan segala macam ketidak benaran pada beliau. Akan tepai Dio bukanlah Tony, Dio bukanlah orang yang memprotes bentuk kekejaman pak Hamid, Dio hanya lelaki biasa yang berusaha untuk membuatku tersenyum, meskipun aku sama sekali tak bisa melakukan itu.
"Aku bekerja di sana sebagai petugas kebersihan dan serabutan, terkadang tugasku juga menyediakan stok barang-barang di tempat itu. Kemudian saat pasca lockdown, kami memang diliburkan, namun pada hari pertama masa karantinaku. Pimpinanku menyuruhku untuk masuk ke kantor pada waktu yang sudah larut malam. Dan cuaca saat itu sedang hujan deras. Sesampai di sana aku disuruh memindahkan APD miliknya ke tempat kediamannya, setahuku APD yang beliau punya begitu banyak, lengkap, dan bagus. Lalu aku turuti itu, dan beliau memberiku uang senilai satu juta rupiah. Tapi aku tolak begitu saja karena aku takut apabila hal tersebut akan menyeretku ke jalur hukum. Akhirnya aku memutuskan untuk resign, karena aku tidak ingin bekerja sama dengan pimpinanku dalam hal penyelundupan APD, aku takut Dio, aku tak berani membayangkan apabila kedok bisnisnya itu sampai terungkap, yang pasti aku ingin diriku supaya tetap aman, maka dari itu aku memutuskan untuk tidak bekerja lagi, dan memutuskan untuk usaha." Ungkap diriku panjang lebar kepada pria itu.
Wajah Dio seketika termenung, berusaha untuk memahami keadaanku. Perlahan telapak tangan Dio merambah mendekat, hingga sekujur tubuhku seakan dialiri oleh arus listrik, aku tak berani menatap wajahnya.
"Boleh aku pegang tanganmu?" Tanya Dio, dalam hatiku sungguh penuh gejolak. Aku benci moment ini, aku benci di saat-saat aku membutuhkan perhatiannya namun aku masih mengingat Tony. Pertanyaannya saat ini ialah, apakah pria itu masih ada? Apakah Tony masih mengingatku? Nomor telponnya sudah tidak aktif, dia sama sekali tak pernah menghubungiku lagi, bahkan dia sudah tak pernah ada di saat-saat kondisiku rapuh dan hancur. Kemudian kepalaku merunduk, tak kuasa menahan emosi yang larut memenuhi hatiku.
"Mel?" Tanya Dio, menatapku lekat-lekat. "Kamu tak pa pa kan?" Imbuhnya. Saat mataku menatap bias cahaya bulan, aku kembali teringat pada Tony saat pertama kali dia menciumku di tengah rintik gerimis hujan. Ketika itu leherku dibuai oleh lengannya, dan kecupan keras itu nyaris melukai bibirku, namun aku menyukai itu. Aku menangis, terisak-isak, Dio sedikit panik dan memegangi wajahku untuk beralih menatapnya.
"Kamu kenapa?" Tanya pria itu. "Kenapa kamu malah menangis?" Tanya dia lagi. Lalu kupegang kedua pergelangan tangannya untuk lepas dari wajahku. Perlahan aku berusaha untuk sanggup berbicara, sambil mengusap pipiku.
"Entah lah, aku,____" berat sekali, aku tidak bisa bicara apapun, mengatakan yang sebenarnya, bahwa diriku merindukan seseorang, bahwa aku merasa bersalah, bahwa aku yang patut untuk disalahkan, berusaha untuk melupakan seseorang, tapi aku tidak bisa melupakannya. Dio seketika memelukku, pelukan yang membuat perasaanku semakin lirih, tenggelam di dalam tubuhnya.
"Kamu kenapa huh?" Ules Dio kalem, telapak tangannya mengelus-elus kepalaku.
"Entahlah Dio, entahlah,______" Kataku sambil megap-megap, aku tidak peduli meskipun ibuku datang untuk memergoki kami berdua, ataupun seseorang yang mengintip kami berdua. Kurasa di luar sini hanya ada cahaya bulan, serta angin malam yang senyap meretakkan hati.
"Oke kalau begitu, kamu yang tenang yahh, aku paham kok keadaanmu saat ini, udah jangan nangis ah." Kata Dio, lalu aku mengangguk sambil menghembuskan nafas panjang, berusaha menenangkan hatiku dalam pelukannya. Kurasa itu cukup membantu, aku tidak bisa membayangkan apabila Luna berada persis seperti di posisiku. yang jelas Dio tidak akan membiarkannya larut dalam kepedihan.
"Luna pasti begitu beruntung bisa memiliki pacar sepertimu." Kataku saat melepaskan pelukan Dio dariku. "Kujamin dia pasti sering menerima pelukan hangat darimu seperti tadi." Imbuhku, Dio tersenyum tipis.
"Apakah kamu tidak pa pa?"
"Sepertinya aku baik-baik saja." Balasku, tersenyum alot, kami berdua saling menatap satu sama lain, menunggu sampai ada yang merespon diantara kami.
"Ini sudah malam, kurasa cukup sampai di sini saja ya?" Ujarku, memecah keheningan yang mendalam.
"Baiklah," balas Dio. "Tapi ngomong-ngomong kamu masih tetap belajar di toko roti-ku kan?" Tanya-nya, "Aku membuka lowongan baru jika kamu mau." Aku mengangguk, berdiri dari gundukan bantu dengan helai tangan Dio yang menopangku.
"Jika kamu mau, gunakan saja toko-ku untuk memajang daganganmu, sehingga mulai saat ini kamu tak perlu keluar dan berkeliling di pasar." Ketika aku mendengar ucapan itu, aku langsung tersenyum kembali, merasa sangat terbantu oleh keinginan Dio tersebut.
"Terima kasih, aku akan lakukan itu, tapi sebenarnya aku punya rencana untuk menjenguk nenek dan tante Anik, mungkin kalau semuanya sudah siap dan kembali seperti semula, pastinya akan aku memulainya." Kata-ku.
"Boleh kuantar kamu pergi ke sana? Apabila kamu berangkat di waktu senggangku." Ujar Dio, aku berpikir dan sulit untuk menjawab tidak, sebab itulah yang kumau, seseorang yang setia berada di sampingku di masa keterpurukan ini.
"Yah, tentu saja," Balasku yang membuat senyum pria itu semakin menghangatkan tubuhku. Angin yang menerpa diantara kami tak mampu membuat tubuhku membeku kesepian. Cahaya harapan hadir bergitu saja tanpa kucari, dan aku akan masuk ke dalam kamarku untuk memikirkan hari-hari berikutnya. Sulit untuk menepis perasaanku terhadap Dio, kejutan apa yang akan dia berikan padaku? Angan- angan yang tersimpan di dalam otak ini tergambar oleh senyum dan sorot mata bulatnya. Dugaanku ternyata benar, kehangatan dari pelukan itu sulit membuatku untuk tidur nyenyak. Di sini aku berbaring, meringkup pada balutan selimut katun. Berani untuk mengibaratkan apabila Dio benar-benar telah menjadi pacarku, lantas aku tersenyum, sebab kami akan menghabiskan waktu berdua untuk membuat kue, memasak di dapur dan terdapat banyak sekali kecocokan diatantara kami.
Yang pasti aku tidak akan bingung apabila dirumah kami terdapat hal-hal teknis yang membingungkan. Sebab Dio bisa mengatasi segalanya, meskipun resolusiku yang kuingat sama sekali tak mendukung adanya Dio di situ. Dia hanya lelaki biasa yang sederhana, namun kurasa dia pintar dan bisa diandalkan.
Tony, bagaimana dengan pria itu? serta Luna, bagaimana dengan perempuan itu yang kini telah memiliki Dio. Sungguh apa yang kupikirkan saat ini? Konyol dan aneh, sebab itulah aku. Andaikan Ibu tahu kalau Dio sudah punya pacar, aku tidak ingin drama lagi, cukup sudah drama berakhir pada Tony. Aku masih penasaran dengan kondisi pria itu, yang dulu telah mengaku-ngaku kalau dia mencintaiku, namun hilang begitu saja nyaris sudah sebulan tak ada kabar.
Saat pagi telah bersinar, semua jenis sarapan telah siap di atas meja makan ibuku. Jojo bangun terlarut siang meninggalkan kelas online-nya yang sudah digelar lewat sepuluh menit yang lalu. Kugoyang-goyangkan tubuhnya diatas kasur, demi apa aku mekaukannya? Anak itu tak bisa bangun kalau kulakukan setengah-setengah. Maka aku mengambil seperempat air dari dalam gelas, lalu kucipratkan pada mukanya, langsung kedua mata anak kecil itu terbuka lebar, dan kusambut dengan tawa cekikian.
"Bangun sudah siang," kataku, Jojo mengucek-ucek matanya seakan masih belum sadar. "Ohh begini rupanya, yasudah terserah, lagi pula sekolah sudah tidak penting lagi saat ini, yang penting main tik-tok kan?" Gumamku dan pergi meninggalkannya. Kulihat ibu sedang menyiapkan bekal sarapan untuk ayah tiriku. Beliau berangkat tak lama saat aku sampai di meja dapur.
"Coba katakan yang sejujurnya, ada apa dengan pekerjaanmu sekarang?" Tanya ibuku yang membuatku mengernyit.
"Ibu mendengar semua perkataanku dengan Dio semalam?" Tanyaku balik.
"Ya, ibu mendengar semuanya, kenapa kamu keluar? Terus sekarang rencana kamu apa Mel?" Ujar ibuku.
"Sudah lah bu, dari dulu aku memang gak suka bekerja di tempat itu. Kalau sampai terjadi apa-apa denganku di saat aku ikut serta dalam penyelundupan APD, ibu mau kalau aku masuk penjara?" Tanyaku dengan tegas menatap wajahnya.
"Tapi ibu ingin kamu punya pekerjaan Mel." Ulesnya.
"Ibu tidak usah cemas, lagi pula Dio memberikan aku ruang di toko rotinya." Gumamku sambil mengunyah makanan. Ibuku menghembuskan nafas panjang, dan cemberut kesal.
"Sungguh sulit dipercaya kalau lelaki itu rupanya sudah punya pacar." Kata ibuku, "Sebab selama ini dia tidak pernah cerita sama sekali soal itu, bahkan melihat dia berduaan dengan perempuan juga tak pernah." Imbuhnya.
"Yah, nama-nya Luna." Timbunku.
"Ahh sudah lah, tak usah pakai disebut namanya," Tepis ibu. "Pasti lebih cantikan kamu ketimbang perempuan itu." dan diriku tertawa.
"Kenapa ibu jadi emosi sih? Biarkan semua ini terjadi, aku sudah melupakan masa lalu, baik hubunganku dengan Tony juga." Kataku, merunduk sedih.
"Memang ada apa dengan Tony?" Tanya ibu.
"Entahlah, dia sudah tidak bisa diharapkan lagi."
"Maksudnya?" Tanya ibuku mengernyit.
"Dia seperti sudah menghilang, tak ada kabar sama sekali."
Bersambung...
Berlanjut ke Chapter 60...