Ada serangkaian hal yang membuatku cemas apabila pergi pada larut malam bersama seorang pria yang baru kukenal. Maksudku, itu terlalu berlebihan, kami baru berteman beberapa hari dan mencoba untuk saling memahami satu sama lain. Sepatu yang telah kuberikan padanya juga tak terlalu bagus, aku membelinya tahun lalu dengan harga yang murah. Kurasa Luna pasti akan jarang memakainya, apalagi selera gaya hidup wanita itu begitu tinggi.
"Tak usah kamu ganti juga tak masalah, lagian aku tidak suka heels." Kataku, demi menangkis tawaran Dio.
"Kamu bisa memilih selain heels, lagi pula aku berhutang padamu dan hutang harus dibayar, bukan begitu?" Jawabnya yang sekaligus membuatku bingung.
"Tapi itu hanya sepatu biasa, aku juga membelinya dengan diskon yang besar, tenang saja." Ulesku, lalu Dio menghela nafas panjang.
"Yasudah kalau memang kamu tak mau." Katanya, dia merogoh saku celana dan mengeluarkan sebuah dompet. Seketika itu aku langsung menghentikannya.
"Tunggu, kamu ngapain?" Dio menyodorkan sejumlah uang padaku, yang pasti itu sebagai pengganti dari sepatu yang telah kuberikan padanya.
"Ambilah, ini hak-mu." Katanya, diriku sampai malu dan berat untuk mengambil uang itu, sejujurnya dari dulu aku sudah ikhlas, membahas masalah sepatu membuat semuanya jadi canggung. Akhirnya mau tak mau aku mengambil uang tersebut.
"Aku lupa dengan harganya, kayaknya ini terlalu banyak." Kataku, Dio tersenyum.
"Ambil saja." Jawab-nya, lalu pergi meninggalkanku. Perasaan ini seketika kembali lega, apa jadinya bila Luna mengetahui hal secam ini? Aku hanya tak ingin menjadi pemicu buruknya hubungan mereka. Lagi pula aku bisa bahagia saat melihat mereka berdua larut dalam dunianya sediri, sedangkan aku akan fokus pada pekerjaan agar dapat memenuhi kebutuhan bulanan yang selama ini telah menjadi tanggungan. Sepatu sudah tak ada artinya lagi, bahkan barang-barang rongsok yang telah menjadi koleksi itu sudah tak pernah kupakai. Entah bagaimana nanti akan mempertanggung jawabkannya, yang jelas itu ialah pemborosan.
Dio tahu yang terbaik, dia hanya enggan membiarkanku kesepian, berdiam di dalam rumah merenungi nasib pilu. Setidaknya aku tak bergantung penuh pada seseorang, aku juga harus memiliki prinsip sendiri. Mengerjakan apa yang kubisa dan kusukai, tanpa harus takut untuk mengambil keputusan.
Lalu pada malam-malam yang hening, aku berpikir tentang masa depanku kelak, merasa penasaran dengan apa yang akan terjadi pada esok hari. Bukan salahku apabila ingin mengunjungi rumah nenek. Aku seakan rindu dengan rumah itu, terutama pada kamar tidur yang berisi selembar kertas mimpi-mimpi palsu itu, namun entah kenapa bila aku mempunyai rencana untuk pergi, ada suatu ancaman tersendiri yang mampu untuk menakut-nakutiku, tak lain yang dapat menimbulkan polemik. Sesampai di sana sudah tak ada artinya lagi, cacian dan hinaan akan selalu bergeming menyertai di setiap perjalananku. Lalu aku akan bertengger pada saat-saat yang rumit, dan membutuhkan sandaran dari seseorang yang tulus.
"Apa yang kamu pikirkan malam-malam begini?" Kata ibu, aku duduk di depan jendela menatap kearah rumah Dio. Ibuku mendekat tepat di sampingku.
"Kenapa kamu memandangi rumahnya?" Tanya ibu untuk yang sekian kalinya. Hal itu membuatku resah, keheningan dan kesunyian di malam ini memang kuperlukan. Baru saja ibuku sudah mengacaukan semua itu.
"Biarkan saja, aku hanya suka dengan desain arsitektur dari rumah itu." Jawabku sambil menyandarkan dagu diatas gundukan sofa. Kulihat rumah itu masih menyala terang, dari sini bisa terlihat lewat jendela ventilasi yang cukup besar, mampu memperlihatkan seluruh isi ruang tamu itu. Cahaya kuning keemasan, serta hiasan almari-almari klasik di dalamnya, membuat hatiku penasaran untuk ingin memasuki rumah itu.
Tapi tunggu, dengan siapa Dio di dalam sana? Samar-samar aku melihat ada dua bayangan yang lalu lalang melintasi di setiap cela yang ada. Hatiku spontan langsung berdenyut kencang selagi aku mendengar sura yang samar-samar berasal dari dalam sana. Luna, yahh pasti perempuan itu ada di dalam rumah Dio malam ini.
"Sepertinya ada sesuatu yang kamu pikirkan yah?" Tanya Ibu, memecahkan segala konsentrasiku yang telah menajam.
"Entahlah, lagi pula ibu kenapa masih di sini? Bukannya ibu tak suka tidur malam-malam?" Kataku.
"Ibu hanya cemas sama kamu yang akhir-akhir ini suka bengong. Cerita dong kalau ada masalah." Lalu diriku menghela nafas panjang, dan menatap wajah ibuku.
"Aku ingin punya rumah sendiri bu." Jawabku datar, bias cahaya dari rumah Dio sampai mampu menyinari wajah ibuku, kami seperti terpaku dalam kegelapan. "Rumah yang besar, seperti rumah di depan sana." Imbuhku.
"Itu bukan rumahnya, dia hanya mengontrak di sana, lagi pula kamu masih mudah, dan masih banyak waktu untuk menabung agar bisa mewujudkan impianmu itu." Ujar ibu.
"Hm, setidaknya ibu memilih kontrakan yang sama seperti itu, agar aku bisa merasakan nyamannya tinggal di rumah besar." Kataku, lalu ibu mengernyit.
"Kamu ini bicara apa? Kalau kamu ingin memilih tinggal di kontrakan yang besar, memangnya kamu kuat membayar tagihannya? Sudahlah, berhentilah untuk mengeluh, ibu bosan mendengarnya." Ules ibu.
"Lagi pula siapa yang mengeluh? Ibu sendiri yang menginginkanku untuk bercerita tentang masalahku." Jawabku, dan kami terdiam sesaat, menikmati heninggnya malam hari, hembus angin, bunyi samar suara mereka yang ada di dalam sana. Terlintas di mataku dengan begitu cepat, mereka berdua mulai terlihat di dalam ruang tamu itu. Sungguh jantungku tak bisa berhenti untuk berdebar. Kulihat mereka saling berdekatan, berdiri sambil ngobrol santai, hingga pada waktu-waktu itu tiba, aku bisa melihat mereka berdua berciuman.
"Astaga, coba lihat di sana." Kejut Ibu, aku hanya diam saja dan tak tahu harus berkata apa. "Mereka begitu romantis sekali, sepertinya sedang merayakan pesta berdua, kukira selama ini lelaki itu tak punya pacar, tapi nyatanya dugaan ibu semua salah, maaf yah Mel." Imbuh ibu.
"Tak perlu minta maaf, lagi pula kami hanya berteman, dan Dio menganggapku seperti saudaranya sendiri, memang terdengar cukup aneh, tapi memang itulah adanya." kataku yang terucap begitu saja, aku bisa melihat senyum Dio dari kejauhan sini.
"Siapa nama perempuan itu?" Tanya ibu.
"Luna, kurasa dia begitu cantik sekali malam ini." Jawabku, ibu mendesah.
"Tidak juga, menurut ibu masih cantik dirimu, hal yang ibu perhatikan dari wanita itu ialah, dia tak memiliki bibir semanis dirimu" Singgungan itu cukup membuatku tersenyum masam.
"Ohh terima kasih atas pujian itu, aku sangat mengapresiasinya, tapi alangkah lebih baik tidak usah menebar kebencian bu." Jawabku, ibu mulai tertawa sedang.
"Tapi apa yang ibu katakan memang benar sayang, buat apa ibu menebar kebencian mengenai hal yang tak penting? Sudahlah, lebih baik tidur saja, apa kamu tidak capek seharian sudah bikin kue?" Kata ibu.
"Nanti saja, aku masih butuh waktu untuk sendiri, tidak untuk memikirkan hal yang aneh-aneh, aku janji." Kataku.
"Ohh sayang, kalau kamu berdiam di situ terus dan menyaksikan mereka berduaan, ibu takut nanti kamu akan larut oleh cemburu." Tepis ibuku.
"Tidak akan, aku justru senang melihat mereka berdua bersama, lagi pula sejak kapan aku jatuh cinta sama Dio? Apakah aku pernah berkata seperti itu?" Tanyaku, dan ibuku terdiam, berpikir sambil mengernyit.
"Baiklah, mungkin bentuk komitmen-mu kepada Tony masih bisa dipertahankan, ibu hanya bisa mendukung di setiap apa yang kamu inginkan." Kata ibu, namun aku menggeleng.
"Sejujurnya saat ini aku single."
"Apa?" Kejut ibu.
"Iya, sekarang aku sudah tidak punya pacar lagi, entahlah, kubiarkan hal itu terjadi begitu saja, lagi pula aku lebih suka punya teman dari pada punya pacar. Teman bisa memberikan apa saja yang kubutuhkan, bahkan selalu ada disetiap situasi apapun, dan bagiku itu lebih berharga, lebih berharga dari apapun." Ungkapku dengan penuh senyuman, hingga ibuku menatapku dengan wajah yang tak biasa. Aku bisa melihatnya dengan penuh keyakinan, nampaknya aku tidak membuat kesalahan.
"Oke,__ sebuah pemikiran yang bagus, ibu sudah tidak cemas lagi saat ini." Katanya, lalu pergi meninggalkanku, berjalan menuju kamar tidur, membuat suasana semakin bertambah hening. Tak lama kemudian lampu rumah Dio mulai dimatikan, hingga tak ada lagi moment yang dapat disaksikan kecuali kegelapan dan cahaya bulan yang berkilau.
Dio pasti tidur bersama Luna, berbaring satu ranjang di dalam sana, mengingatkanku pada Tony dulu saat kami bermain di tepian sungai bersama. Aku tersenyum mengingat hal itu, dan aku bergegas berdiri untuk masuk ke dalam kamar bersama Jojo, tidur dengan nyenyak tanpa ada beban yang membelenggu pikiranku. Nampaknya aku sudah berhasil melupakan masa lalu, dimana masa lalu yang dapat kutertawakan.
Andai saja aku bisa melihat pelangi esok hari, mungkin seperti itulah hidupku, penuh dengan warna dan lika-liku. Berpikir soal teman, aku seharusnya tak perlu mencemaskannya. Sejauh ini aku sudah mendapatkan teman pengganti Eny dan Andy, dimana dia juga sama-sama tulus dan bisa mengerti satu sama lain. Aku tak akan sia-siakan itu, tiap kali tersenyum, tiap kali berangan, hingga tak kuasa ingin memulai hari kedepan seperti apa, bersama teman yang berwajah baru, siapa lagi kalau bukan Dio, pria yang sudah kuanggap seperti kakakku sendiri.
Akhirnya, pada pagi hari itu, pintu rumahku terketuk oleh seseorang, jam dimana semuanya sudah siap untuk berangkat memulai hari di dalam toko roti itu. Hatiku tiada henti untuk berdebar dan tak sabar ingin membuka pintu. Senyumannya begitu menggoda, matanya begitu indah, rambutnya panjang pirang bergelombang dengan bando pink yang lucu. Dia tak jauh beda dengan Andy, terutama pada matanya yang lebar dan tajam, eye-shadow yang cukup membuatku canggung.
"Heei,__ Amel, kamu cantik sekali pagi ini." Sambut Luna yang berada tepat di depan pintu rumah ibuku.
"Ohh astaga, terima kasih, kamu pasti Luna kan?" Balasku seraya menjawab sambutan Luna. Padahal tanpa aku memastikannya aku sudah tahu betul kalau itu dia.
"Yeahh, benar, yaampun aku sungguh berterima kasih padamu soal sepatu itu." Katanya, kulihat Dio tersenyum lebar mendengar Luna berbicara. "Kamu tahu? Sepatumu membuatku beruntung Mel." Imbuhnya, seakan tak punya pilihan lain untuk ikut tersenyum.
"Oh-yah? Waaw, maksudku, beruntung bagaimana?" Tanyaku yang sedikit canggung.
"Penampilanku nampak sempurna sekali saat memakai heels-mu, membuat customer-ku suka dengan gayaku, sehingga aku bisa percaya diri dihadapan mereka dan akhirnya mendapatkan closing sebanyak lima belas unit mobil alphard sekaligus, keren bukan?" Ungkap Luna gembira dan penuh semangat, diriku sampai dibuat kagum olehnya.
"Itu luar biasa, aku sangat senang sekali mendengarnya." Ujarku.
"Iya Mel, Itu semua berkat bantuanmu." Katanya. "Dio sudah bercerita banyak tentang kamu, dan aku sangat tertarik mendengar semua cerita itu." Imbuh Luna, dan sorot mataku langsung mengarah pada Dio.
"Kamu habis cerita apa saja ke Luna?" Tanyaku, pria itu tersenyum malu tak bisa menjawab pertanyaanku.
"HAHA, soal kamu yang pintar memasak, kudengar kamu sangat pintar sekali membuat olahan salad buah." Ujar Luna.
"Yahh, tentu," Jawabku.
"Oke, kalau begitu siapkan foto-fotonya padaku, biar Dio yang akan membantu menyiapkannya, nanti akan kutawarkan pada teman-temanku supaya mereka tertarik dan mau membeli." Ujar Luna.
"Tenang saja, kalau dia lagi bersemangat, apapun bisa teratasi, selama ini bentuk pesanan yang telah kita buat juga berasal dari teman-temannya." Ules Dio.
"Ide yang bagus, terima kasih atas segala dukungannya, aku sangat senang sekali kita bisa saling membantu." Kataku.
"Tentu-lah Mel, dan aku sampai lupa, sebagai bentuk perayaan kita nanti, aku ingin mengajakmu ke suatu tempat." Kata Luna, dan diriku mengernyit.
"Memangnya mau kemana? Lagi pula Dio sudah menggantinya dengan uang." Singgungku.
"Ohh ayolah, kamu harus mau Mel." Pinta Luna.
"Tapi diluar banyak virus, apa kamu tidak takut?" tanyaku.
"Lupakan tentang virus, itu semua bohong, korona sama sekali tidak nyata, apa yang perlu ditakuti?" Kata Luna, Dio pun tertawa mendengar celotehan pacarnya itu.
"Memangnya kamu mau mengajakku kemana?" Tanyaku.
"Di rumah-ku, aku mengadakan pesta di sana, dan jangan lupa undang Keyra dan Bagas, aku juga akan membawa beberapa teman, dan tentunya kamu harus ikut, aku yakin kamu pasti akan menyukainya." Ujar Luna, senyum itu begitu menggoda. Aku tak habis pikir kenapa Luna bisa merasa begitu baik padaku? Padahal aku hanya memberikan sepatu heels imitasi itu saja. Entahlah, kuanggap semua ini seperti bentuk persahabatan, atau awal mula diriku melangkah dan menemukan seseorang yang akan selalu menemani kesendirianku. Saat aku melihat mata Dio, dari situ aku bisa yakin bahwa dia akan membuatku senang, dia akan membawaku larut dalam dunianya, menjajal banyak hal untuk melengkapi masa-masa keterpurukanku, dengan mudahnya aku percaya itu nyata.
"Oke, aku ikut." Kataku.
Bersambung...
Berlanjut ke Chapter 63...