Chapter 63 - Bab 63

Ibuku menggeledah isi lemarinya yang begitu berantakan dan tak terurus, bukan untuk dirapikan supaya nampak lebih rapi, namun hanya untuk mencari gaun pesta yang pernah ibu kenakan waktu dia masih remaja. Aku sangat penasaran dengan bentuk gaun itu, ibu sangat mempercayai bahwa gaun miliknya masih ada dan tersimpan di tumpukan lemari bajunya. Kuharap dia tak mengecewakanku, karena masa remaja ibuku berada di zaman kejayaan musik pop, jazz, rock n roll sekitar tahun 80'an. Dimana setahuku baju-baju pada zaman itu nampak begitu jadul dan cupu, bukannya aku tak suka, hanya tidak yakin kalau barang itu masih bagus hingga saat ini.

"Coba bayangkan bila ibu terakhir kali memakainya saat masih duduk di bangku SMA, dan setelah itu terbengkalai begitu saja sampai detik ini, aku yakin kainnya sudah rapuh." Ujarku, lalu ibuku mendesah.

"Kamu masih belum melihat betapa cantiknya dirimu saat mengenakan gaun milikku, barang itu seperti artefak berharga, warisan masa lalu dari kakekmu, jadi diam saja." Balasnya, dan aku mengangkat kedua alisku seolah takjub dengan hal itu.

"Baiklah, ibu sudah membuatku menunggu terlalu lama, habis ini Dio akan menjemputku dan aku masih belum siap apapun." Kataku.

"Yasudah, pakai bajumu sendiri saja." Bentaknya dengan kesal. "Ibu yakin kamu bakal kecewa kalau gaun itu sudah berhasil kutemukan." Imbuhnya, aku membuka resleting tasku untuk mengambil sweater, tak ada baju yang keren, semua baju-bajuku ada di rumah nenek.

"Pasti model-nya seperti kostum bidadari yang eksentrik, atau mungkin seperti kostum ulang tahun." Ulesku, ibuku langsung mengelak.

"Enak saja, meskipun masa remajaku tak berada di zaman modern, tapi setidaknya baju di masa muda ibu lebih berkwalitas dan jauh lebih bagus dari pada milikmu." Katanya percaya diri. "Dulu kakekmu kalau membelikan pakaian pada ibu tak pernah yang harganya murah, dia orang yang darmawan pada masanya, bekerja di kantor perpajakan yang membuat ibumu disukai banyak pria." Imbuhnya, aku pun langsung tersenyum lebar.

"Wow, aku mengaku kalah." Kataku, "kebanyakan realita jaman dulu memang jauh lebih indah ketimbang jaman sekarang, tapi waktu tetap berjalan, kadang dibawah dan kadang diatas, entah itu masih berlaku atau tidak." Imbuhku, sambil memasang sweater milikku.

"Tentu saja berlaku, ibu akan tetap mencari gaun sialan itu, kamu tahu? Modelnya sama sekali tidak begitu jadul ataupun norak, itu lebih condong mengarah ke klasik, semacam gaun yang dipakai oleh orang eropa untuk berpesta." Kata ibu, dia tetap menggeledah isi lemarinya.

"Baik, aku sangat terkesan sekali, tapi untuk kali ini sepertinya tidak, itu akan memakan banyak waktu, habis ini Dio akan datang, dan aku harus siap segalanya." Ujarku.

"Naahhh,___ ini dia. HAHAA." Kejut ibu yang lantas membuatku menoleh kebelakang.

"Bagaimana?" Katanya, ibuku menorehkan gaun yang dia cari selama ini, dan tampilannya sungguh diluar ekspektasiku. Balutan dari kain satin menyala terang menyapu di setiap pasang mata yang melihatnya, warna merah velvet membuat jantung berdegup kencang. Aku langsung mendekati ibu, kulihat senyum lebarnya begitu tulus.

"Ini baru yang namanya klasik." Kataku terkagum-kagum.

"Bagiamana? Kamu suka? Atau kamu mau meremehkan ibu lagi?" Katanya, dan dengan cepat aku langsung menepis pertanyaan itu. Kupegang di setiap balutan kain yang terjahit pada gaun milik ibuku, lalu menatapnya.

"Ganti sweater rongsokmu sekarang juga, buat lelaki itu takjub melihatmu malam ini." Ujar ibu, aku langsung tertawa begitu bahagia. Saat beberapa menit berlalu, pintu masuk terketuk oleh seseorang. Aku melihat cermin dan begitu percaya diri bahwa ini ialah setelan yang pas untuk kupakai malam ini. Kulihat kera dari kain lace sedikit membuat leherku terlihat jenjang, ditambah rok tulle dari serat nylon yang membungkus kakiku nampak cukup mewah. Apakah ini terlalu berlebihan? Aku sampai malu menyadari diriku sendiri yang tampil terlalu glamour, padahal aku sama sekali menganggapnya tidak.

Ibuku membuka pintu, sambutan hangat dari Dio lantas tak mampu menahan diriku dari rasa canggung.

"Akhirnya jagoan ibu yang ditunggu-tunggu datang juga." Aku bisa mendengar tawa Dio di sana.

"Ohh senang sekali bisa datang kemari, sebelumnya saya minta maaf telah mengundang Amel untuk berpergian, tapi ibu jangan kuwatir, dia akan aman bersamaku." Kata-nya, dan Ibuku langsung menyuruh lelaki itu untuk masuk.

"Tidak masalah, asalkan tidak lama-lama dan tidak pulang sampai larut malam, gerbang gapura akan ditutup pada jam sepuluh." Ujar ibuku, Dio tertawa sedang.

"Tidak akan terjadi, saya jamin," Jawab Dio. "Ngomong-ngomong dimana anaknya sekarang?"

"Duduk lah sebentar, sebenarnya ibu mau memberimu kejutan malam ini." Lalu tirai kamar ibuku terbuka olehnya, isyarat mata yang berkedip-kedip itu mendorongku untuk sanggup keluar menemui Dio. Aku sampai sulit bernafas, dan tak sanggup menahan rasa gugup yang tak bisa terkontrol. Kakiku melangkah pelan menuju ke ruang tamu, hingga tak berani menatap mata pria itu selagi dia berdiri takjub menyaksikan semua penampilan ini.

"Astaga," Katanya dengan senyum dan mata yang begitu impresif, ini baru pertama kalinya aku berdandan semacam ratu kerajaan, tidak untuk menghadiri acara remi atau apapun itu, namun hanya pesta yang tak tahu akan seperti apa jadinya. Sejujurnya aku tak pernah menghadiri acara semacam itu, bisa dikatakan ini adalah pesta pertamaku, dimana aku akan berperang pada sifat introvert yang sulit disembunyikan. Entah itu akan nampak atau tidak, yang jelas sekarang aku melihat wajah pria bermata bulat itu. betapa lucunya dia memakai setelan kemeja dengan dasi kupu-kupu dibalut dengan blazer warna hitam.

"Kita benar-benar terlihat seperti orang eropa klasik bukan?" Tanyaku, Dio tak bisa berhenti untuk bengong menatapiku, walau itu cukup meresahkan.

"Hey,____" Tegur ibu, lantas Dio terkaget dan kembali sadar pada dunianya

"Maaf bu, sungguh kamu cantik malam ini Mel, kamu dapat busana itu dari mana?" Tanya Dio.

"Ini punya ibuku, dia memberikannya padaku." Dio bertepuk tangan dan langsung mengulurkan tangannya padaku.

"Oke bagus, mobil-nya sudah siap di depan gapura," Aku mulai menerima uluran tangan itu, ibuku sampai tersenyum tiada henti, terkesan seperti mengejekku.

Malam yang cerah penuh dengan bintang, gemerlap lampu jalanan menghiasi setiap ruang yang kami lalui. Aku menatap pada jendela mobil, memilih untuk menyaksikan gedung-gedung tinggi yang menunjukkan iklan pada papan billboard LED. Itu semua kulakukan hanya untuk menghindari tatapan pria yang sedang duduk di sampingku, yang sebenarnya malam ini dia juga begitu tampan.

"Welcome, akhirnya Amel datang jugaa,__ ohh gaun-mu, pasti harganya mahal, iya kan?" Sambut Luna saat kami telah sampai di rumahnya, di dalam sana aku melihat Keyra dan Bagas sedang asyik berbincang, serta satu pria dan satu wanita sedang bersandar di sofa menonton televisi.

"Tidak, ini pemberian dari orang tua." Kataku.

"Baiklah, aku suka sekali dengan penampilanmu Mel. Ayo silahkan masuk, akan kuambilkan pudding manis buat-mu." Kata Luna, dan langsung memeluk Dio yang tepat berada di sampingku, tak luput mereka juga berciuman, nyaris aku menonton adegan itu, tapi kupilih untuk merundukkan kepalaku sampai moment mereka benar-benar usai. Kulihat rumah Luna nampak cukup besar, interior barang-barangnya pun nampak elegan dan modern. Meja-meja kayu menghiasi sepanjang sisi ruang tamunya, dan diatasnya tersusun figora-figora cantik yang berisikan foto-foto Luna, tak luput juga dengan Dio. Di pojok dekat etalase terdapat piano, aku mendekati benda itu, dan sengaja untuk menyentuh tiap keyboard yang ada. Nyalahan TV LED 40 inch menyiarkan list lagu-lagu milik Ed Sheeran. Lalu tak lama lantunan lagu perfect langsung menggema di telingaku.

"Ini dia puddingnya, kalau mau sandwich, ada di sana, tinggal ambil saja, aku juga membuat pizza bila kamu mau." Kata Luna di sampingku.

"Ohh baik, nanti akan kuincipi masakanmu semuanya." Ujarku sambil mengangguk, saat ini bisa dikatakan bahwa diriku benar-benar tidak memiliki banyak topik untuk dibahas. Berada di dalam keramaian cukup membuatku aneh, mungkin bisa saja ini ialah efek karantinaku selama ini di rumah, namun entah sulit untuk dijelaskan.

"Ngomong-ngomong kamu suka dengan musik ini?" Tanya Luna, dan aku sampai penasaran, bagaimana dia tahu kalau dia sedang memutar lagu dari penyanyi favoritku.

"Suka, kebetulan aku penggemar Ed Sheraan." Balasku sambil mencicipi pudding buatannya. "Hmm,___ pundingnya enak, manisnya pas." Imbuhku, dia tersenyum.

"Ambil lagi kalau suka, kurasa dengan gaun secantik itu kurang pas kalau tidak dibuat berdansa malam ini, ngomong-ngomong kamu bisa dansa?" Tanya Luna, cukup mengejutkan dan sulit untuk kujawab.

"Apa? Dansa? Hm kurasa tidak, aku tidak bisa." Luna langsung mendesah.

"Ohh ayolah, berdansa tidaklah sulit seperti yang kamu bayangkan." Katanya, berjalan menuju kearah Dio, mereka berdua akan melakukannya bersama.

"Aku beri contoh yah Mel," Kata Dio sambil menikmati di setiap lirik lagu perfect yang bergeming di sepenjuru ruangan. "Kamu tidak akan menyia-nyiakan malam ini kan? Lihatlah, kamu tampil sempurna sekali, jangan buat diriku menangis melihat-mu sendirian seperti itu." Imbuh Dio, Luna langsung berteriak memanggil "Jasson." Dalam hatiku berkata, siapa lelaki itu? lelaki yang bertengger di kursi sofa, berbincang dengan seorang wanita.

"Yahh? Ada apa memanggilku?" Tanya pria itu yang seketika menghampiri kami.

"Jasson, kenalkan, ini teman baruku, namanya Amel." Ujar Luna, tangan Jasson langsung mengulur padaku, dan kami pun bersalaman. Aku sangat canggung bila berdekatan dengan pria tampan dan tinggi, entah kenapa begitu banyak godaan yang menyerang hatiku bila ada di sebuah kerumunan. Bila diriku melihat seseorang yang dapat menarik perhatian, meskipun sebenarnya aku tak menginginkan hal itu dan justru membuat semuanya terasa aneh.

"Tak kusangka ada perempuan cantik yang mengikuti acara malam ini." Ucap Jasson, aku tersenyum alot mendengar ucapan itu.

"Yahh, kita sudah saling kenal beberapa hari belakangan ini, dan berkat dialah pesta ini diselenggarakan." Kata Luna. "Maukah kamu berdansa degan Jasson? Ayolah, malam ini ialah malam penuh cinta, dan kamu terlihat sempurna sekali seperti lagu ini." Imbuhnya, lalu Jasson seketika bertumpu pada lututnya, memeberikan helai tangan pada diriku.

"Ayo,____ berdansalah denganku." Senyuman itu nyaris membuatku terpanah, selama aku menjalin hubungan persahabatan tak pernah aku menemukan moment secanggung ini. Aku bisa melihat lirikan mata dari Jasson yang begitu tajam seperti lirikan mata Tony, bibir merah yang menggodaku untuk menerima tawaran itu.

"Ngomong-ngomong, Jasson masih menjomblo, aku berharap di pesta ini tak ada yang larut dalam kesendirian." Singgung Luna, dan kami pun berdansa pada saat itu juga, menatap kearah wajah pria yang baru saja kukenal sama sekali tak bisa membuatku merasa nyaman.

"Kamu umur berapa sekarang?" Tanya Jasson.

"Sembilan belas tahun." Jawabku.

"Sama dong, sebelumnya kamu kenal dengan Luna sejak kapan?"

"Ohh, sebenarnya rumah ibuku berhadapan dengan rumah Dio, jadi kami bertetangga, lalu sebulan terakhir ini aku bekerja di toko Kue miliknya, dan sejak itulah aku mengenal Luna." Jawabku dengan nada datar.

"Lalu, kamu sendiri apakah sudah punya pacar?" Tanya Jasson dengan sorot mata yang serius.

"Sebenarnya sudah." Balasku, tak mengerti harus jujur mengungkapkannya seperti apa. Berada dalam pesta membuat perasaanku amat campur aduk. Di satu sisi aku sangat canggung dengan semua ini, dan di sisi lain aku menikmati disetiap moment yang kuhadapi, namun sebenarnya aku butuh sendiri, aku butuh keheningan yang dapat menetralisasi pikiranku.

"Maaf Jasson, aku memang sudah punya pacar." Ulesku, dan aku langsung mencabut pegangan tangannya, dan pergi meninggalkan Jasson begitu saja. Lagu perfect belum juga berakhir, dan aku sudah mengacaukan semuanya. Sungguh saat ini aku ingin sendiri, lagi pula siapa suruh aku mengikuti acar ini? Andaikan aku bisa menolaknya, akibat ulahku tadi, Luna pasti melihat semuanya, dan spontan dia langsung menghampiriku.

"Amel kamu kenapa?" Tanya-nya sambil mengernyit. "Kamu tak pa pa kan?" Imbuhnya.

"Yahh, aku tak pa pa, aku hanya,__ hanya ingin sendiri saja." Ujarku megap-megap.

"Yasudahlah, mau kuambilkan teh? Mungkin apa saja yang bisa membuatmu tenang." Katanya.

"Tidak, tak usah, rasanya aku perlu udara segar." Kataku, Dio langsung berjalan kearahku.

"Kenapa? Kamu tak pa pa kan Mel?" Tanya Dio dengan nada cukup panik, dan astaga, memangnya apa yang telah kulakukan? Kenapa mereka begitu sepanik itu? Ini sungguh moment yang tak kuinginkan.

"Aku baik-baik saja kok, aku hanya ingin sendiri saat ini, sungguh, aku minta maaf." Ucapku, pergi meninggalkan mereka.

Bersambung...

Berlanjut ke Chapter 64...