Chapter 64 - Bab 64

Pesta ini sudah berakhir, gemerlap di dalam ruangan itu membuat kepalaku pusing berputar-putar. Tak ada yang bisa kukontrol dengan baik. Kalaupun mereka membenci kedatanganku, silahkan saja, aku tak mau menghadiri pesta yang mengubah segalanya jadi lebih buruk. Pintu masuk rumah Luna langsung kubuka, dan aku keluar dari rumah itu dengan balutan gaun pesta konyol ini. Kudengar langkah kaki berlari menghampiriku, sungguh aku tak ingin berdebat dengan Dio.

"Amel, tunggu,___." Katanya, menggapai lengan tanganku dengan erat. Nafasnya terengah-engah sampai aku tak tega menatap ekspresinya.

"Kamu mau pergi kemana? Ada apa denganmu?" Tanya pria itu, spontan jantungku langsung berdegup kencang.

"Sepertinya aku tak bisa berada di sini lama-lama. Aku mau pulang saja," Kataku.

"Tapi kenapa? Bukannya kita baru saja datang? Coba katakan yang sebenarnya, ada apa denganmu?" Tanya Dio yang membuatku tak bisa berkata apa-apa. Aku kebingungan untuk mengungkapkan isi hatiku, sungguh aku tak menginginkan moment ini terjadi, dimana aku merasa seperti seorang pecundang. Aku telah membuat mereka kecewa, dan aku telah merusak pesta ini.

"Sebenarya dari awal aku sudah tidak suka dengan pesta, aku terpaksa karena Luna memaksaku, dan aku sungguh malu dengan pakaian ini, aku sangat gak pede." Ujarku terus terang.

"Astaga, gak ada yang salah sama dirimu, penampilanmu bagus kok, ayolah Mel, jangan seperti ini aku mohon." Kata Dio, aku tidak ingin berdebat, kulihat pria itu sangat menginginkanku untuk hadir di pesta itu, namun aku sama sekali tidak punya pilihan.

"Maaf Dio, aku sepertinya tidak bisa." Balasku.

"Dengar Mel, untuk malam ini saja, tidak ada siapa-siapa di dalam sana. Hanya ada aku, Luna, Keyra, dan Bagas, itu saja. Kita adalah teman oke? Bukannya selama ini kamu juga pernah merasakan memiliki teman baik? Anggaplah kami seperti itu, aku janji kamu tidak akan kenapa-napa. Lagian di dalam sana hanya ada pudding, pizza, sandwich, itu semua sederhana Mel, kita tidak seramai yang kamu pikirkan." Ungkap Dio meyakinkanku.

"Kembalilah ke dalam, acara ini tidak akan lengkap jika kamu pergi begitu saja." Imbuhnya, dan memang sejak dulu aku begitu sulit mencari alasan-alasan yang logis. Otakku tidak pandai dalam mencari alasan, bahkan sejak aku bekerja di kantor bersama Tony dulu.

"Baiklah, tapi jangan paksa aku untuk berdansa." Kataku, perlahan Dio langsung menggeleng dengan senyum lebarnya. Nyaris aku sudah tak mempercayainya, berjalan kembali menuju ke rumah itu nampak begitu asing. Nuansa di dalamnya juga begitu berbeda, seakan pesta tersebut berhenti sejenak, hilang dari kebisingan dan huru hara. Kini mereka menyoroti-ku, kedatangan yang tak biasa dan mengundang keherenan. Apa yang barusan kuperbuat? Sang perusak pesta telah datang kembali, bahkan aku tak sanggup menatap wajah Luna. Perempuan itu seperti tak keberatan sama sekali, terlihat dari senyum tipisnya, dan langsung berjalan mendekatiku.

"Aku minta maaf apabila kamu tak menyukai pesta ini, sejujurnya niatku ingin mengundangmu hanya untuk membuatmu senang, dan sekaligus sebagai bentuk terima kasihku atas sepatu itu." Ujar Luna, di tengah semua orang yang ada di dalam sini menunggu akan responku.

"Tidak, ini bukan salahmu, seharusnya aku yang minta maaf, aku tak bisa mengendalikan mood-ku, mungkin sekarang sudah membaik, aku sudah tidak canggung lagi." Ungkapku terus terang, membuat beberapa dari mereka tertawa mendengarnya.

"Kamu tak usah canggung Mel, anggap kita semua ini seperti saudaramu, kita semua teman, yang akan selalu ada dan memahami satu sama lain. Diluar sana juga banyak orang yang melanggar aturan, buat apa kita terlalu patuh?" Ujar Luna, aku tersenyum.

"Iya, kamu benar, seharusnya aku tadi tidak berprilaku seperti itu." Balasku, Luna langsung menepis.

"Owhh, sudah lupakan saja, ayo sini, kamu masih belum mencoba pizza buatanku." Kata Luna sembari menggandeng tanganku, kulihat Dio tersenyum atas bentuk keakraban kami berdua. "Teman-teman! kalau ada yang mau mendengarkan musik nyalakan saja, cari lagu yang asyik yahh." Imbuhnya, kemudian mereka menyalakan piringan kaset dalam mesin pemutar lagu, kurasa Luna punya banyak peralatan-peralatan yang mengundang kemeriahan, termasuk mic karaoke di depanku.

"Sebenarnya mereka juga pada malu untuk bernyanyi malam ini, mungkin kamu bisa menunjukkannya kepada mereka?" Tanya Luna dengan nada gurauan.

"Tidak, dari dulu suaraku sangat jelek," Kataku sambil menerima sepotong pizza darinya.

"Tidak perlu bagus-bagus, ini juga sama sekali bukan acara audisi." Katanya, "Bagaimana rasanya?" lantas aku mengangguk.

"Enak kok, seharusnya aku juga perlu belajar membuat ginian bersama lelakimu." Kataku, Luna tersenyum.

"Yah, tentu, kamu harus bisa, pokoknya ambil semua ilmu masak darinya, sekarang coba ceritakan tentang kesukaanmu." Sejenak aku langsung mengangkat kedua alisku.

"Kesukaanku?" Luna mengangguk.

"Aku suka memasak, mungkin suatu hari jika aku sudah ahli dalam membuat kue, aku akan membut konten video tentang hal semacam itu." Kataku.

"Ide yang bagus, aku juga suka membuat konten video, bahkan aku sudah mendekor kamar tidurku seperti ruang studio rekaman." Kata Luna, kedua alisku mengernyit penasaran.

"Video apa yang kamu buat? Pasti make-up." Luna pun tertawa.

"Benar sekali, kelihatan banget ya?" Aku mengangguk.

"Iya, make-up mu cukup menor malam ini, tapi tak masalah, aku suka kok, aku dulu juga punya teman baik dengan tampilan seperti mu." Kataku.

"Oh-ya? Siapa itu?" Aku terdiam sambil berpikir.

"Namanya Andy, tapi beberapa bulan terakhir ini kami sudah tak saling bertemu, sebab tempat kerjanya pindah di luar kota." Ujarku.

"Itu pasti sangat menyedihkan, maksudku, ditinggal jauh oleh teman dekat pasti merasa begitu kehilangan." Apa yang dikatakan Luna itu benar.

"Rumahmu besar sekali, sejak awal aku bertanya-tanya apakah di dalam sini tak ada keluargamu?" Tanyaku.

"Tidak, ini memang rumahku sendiri, warisan dari kakek-ku, rumah ini kosong semenjak beliau meninggal, lalu ayah dan ibuku tinggal di Bali, aku tak mau tinggal bersama mereka, karena sebuah masalah." Kata Luna.

"Masalah apa itu?"

"Ahh, nanti aku ceritakan lain waktu, oke." Tepisnya. "Apa kamu mau bernyanyi denganku?" Tanya Luna, aku langsung tergugup.

"Apa? Oh tidak, itu pasti akan memalukan." Luna tertawa terbahak sampai Dio menoleh dari kejauhan.

"Kenapa memalukan? Lagi pula suaraku tak sebagus yang kamu pikirkan." Ungkapnya, berjalan menuju di tengah ruang tamu dengan lantunan musik legendaris milik Betharia Sonatha, "hati yang luka." Mereka semua bertepuk tangan kepada Luna.

"Karena di sini tidak ada yang mau menyanyikan sebuah lagu, maka aku saja yang akan bernyanyi di malam ini." Katanya dengan memakai mic yang tertancap pada tripod. Mereka semua bersorak.

"Aku sebenarnya mengajak Amel berduet dengan-ku, tapi agaknya dia malu-malu." Ujarnya.

"Kenapa malu Mel?" Singgung Keyra yang seketika berada di sampingku.

"Malu karena akan ditonton banyak orang." Kataku.

"Gaunmu bagus sekali malam ini?"

"Pemberian dari ibuku, ini sebenarnya sudah lama tak terpakai." Keyra mengernyit.

"Yah, aku tahu itu, sudah kelihatan dari bentuk jahitannya seperti jaman dulu." Katanya, suara Luna mulai bergeming menyanyikan lagu pop terkenal itu, dan bagiku suaranya tak terlalu buruk, justru aku menyukai suaranya. Nampak dari kejauhan aku melihat Jasson sedang tersenyum melihatku. Andai saja dia datang kemari dan mengajakku untuk berdansa lagi, aku bersumpah tidak akan membuatnya kecewa untuk yang kesekian kalinya. Nyatanya semua dugaan itu benar, pria tinggi dan tampan itu langsung berjalan menuju kearahku.

"Kenapa tidak berduet dengan Luna?" Tanya Jasson.

"Malu Jess." Singgung Keyra sambil tersenyum.

"Ameel!" Teriak Luna saat itu juga, dengan cepat aku menatapnya. "Aku ingin kamu berdansa dengan Jasson sekarang." Spontan aku dan Jasson saling bertatap muka.

"Bagaimana? Kamu mau?" Tanya Jasson kalem, sorak tepuk tangan mereka langsung bergeming seperti mendorong kami untuk berdansa.

"Luna, kamu lupa kalau ada wabah korona ya?" Tanyaku.

"Omong kosong, korona itu hoax, semua ini hanya ulah iluminati supaya mereka percaya." Katanya sambil membanting mic, dan dia berlari untuk memutar kaset yang lain. Musik berganti pada lagu milik The Supremes yang berjudul you cant't hurry up, mengubah atmosfer yang mengundang kami untuk berdansa.

"Oke." Kataku pada Jasson, hingga semua yang ada di dalam ruangan ini turut ikut berdansa, tak terkecuali Dio dan Luna. Tawa mereka berdua begitu lebar, hingga aku bisa merasakan kenyamanan pesta yang sesungguhnya.

"Tidak kusangka tubuhmu lentur sekali." Kata Jasson.

"Jangan meremehkanku, aku ialah pecandu tik-tok." Balasku. "Maaf soal yang tadi, aku seperti pecundang bukan?" Jasson langsung menggeleng.

"Tidak kok, kupikir tadi kamu tidak ingin menduakan pacarmu, sungguh aku tidak bermaksud untuk merebutmu." Katanya, aku langsung tertawa terbahak, hingga Keyra dan Bagas sampai melotot menatapku.

"Sebenarnya tadi itu aku berbohong, terserah kalau kamu menganggapku aneh atau sinting, aku jomblo Jasson, dan seharusnya aku bebas melakukan apa saja di pesta ini, aku baru sadar." Jasson langsung geleng-geleng kepala.

"Itu benar, kamu memang sinting." Katanya.

"Kamu suka dengan cewek sinting?" Tanyaku.

"Kalau secantik dirimu siapa yang berani menolak?" Ungkapnya, dan aku langsung jantungan.

"Bagus, jadi kamu mau bercinta di alam ini?" Tanyaku, Jasson seketika menciumku dengan begitu cepatnya, teriakan mereka memenuhi ruanganan ini, dan semua itu terasa seperti menaiki roller coaster, merangkak naik lalu terhempas jatuh kebawah seakan membuatku tak sadar oleh balutan setiap kecup yang mengocok bibirku.

"Astagaa," Teriak Luna memacu antusias yang penuh keterkejutan. Kulihat bibir Jasson memerah karena lisptik-ku. aku sampai tertawa melihat wajahnya.

"Aku bahkan tak pernah berciuman sepanas itu dengan pacarku." Kata Luna. Dio langsung melotot.

"Haha, kalau begitu lakukan sekarang." Balasku, musik masih terus berputar, dan kami masih menari tak karuan sambil meneguk minuman syrup buatan Luna.

"Oke Dio, cium aku, seperti Jasson mencium Amel." Kata Luna, Dio langsung tersentak kaget.

"Apa? Sekarang?"

"Iya sekarang, kapan lagi." Ujarnya, dan langsung seketika itu mereka berdua berciuman begitu dahsyat, hingga aku melihat bayang-bayang mereka terlihat samar dan seperti tidak nyata. Namun silir berganti waktu, ciuman itu nampak aneh hingga aku enggan untuk melihatnya.

"Hey, bisakah kita memulainya sekarang?" Kata Jasson, aku mengernyit.

"Memulai apa?"

"Katanya kamu ingin bercinta." Aku berpikir sejenak, dan melihat semua yang ada di sini nampak berciuman, lantas aku memandang Jasson, matanya begitu tajam nan menggoda. Aku bisa melihat bibir itu mirip seperti bibir Tony, hingga tanpa basa-basi aku langsung membalas ciumannya. Hingga tubuhku terdorong oleh tanganya, sampai resleting gaunku hendak dibuka oleh Jasson.

"Tunggu, kamu mau apa?" Tanyaku.

"Bagaimana kalu kita di kamar saja? Aku janji akan pakai proteksi." Kata Jasson. Lalu kepalaku mulai terasa pusing, hingga ciuman kami terasa begitu aneh, namun aku masih bisa sadar dengan lantunan musik itu yang masih menyala keras.

"Tidak, kita hanya ciuman saja, oke? Dan hanya untuk semalam, kamu mengerti?" Kataku.

"Ohh ayolah, itu kurang memuaskan." Katanya.

"Jasson, jangan merusak mood-ku."

"Oke baiklah." Ulesnya, dan kami berciuman kembali sampai lagu itu benar-benar selesai. Berada di pesta Luna malam ini sungguh membuat kepalaku pening. Akan tetapi aku bisa menorehkan senyum lebar di wajah pria yang baru kukenal itu. Dia sungguh mempesona, aku suka dengan postur tubuh yang gagah dan tinggi, seperti Tony mantanku. Lagi-lagi aku mengingat pria itu yang kini entah seperti apa kabarnya. Sialan, aku tak ingin mengacaukan alam ini hanya karena mengingatnya.

"Tadi benar-benar luar biasa, kamu bisa menikmati pestanya bukan?" Kata Luna.

"Lun! Minuman apa yang telah kamu buat ini?" Tanyaku.

"Hanya syrup, tapi sedikit kucampur dengan vodka." Jawabnya, "Tenang, kamu tidak akan mabuk berat kok."

"Astaga, aku tidak yakin bisa pulang ke rumah dengan keadaan netral." Kataku, dan Dio langsung menghampiriku.

"Ada apa?" Tanyanya.

"Tidak ada apa-apa, aku hanya suka dengan pestanya, apalagi dengan ciuman Jasson." Kataku, dan aku bisa melihat wajah Dio yang namak gemetar kemerahan.

Bersambung...

Berlanjut ke Chapter 65...