Bodoh, apa yang baru saja kukatakan pada Dio? Mengenai ciuman yang sama sekali tak ada maksud apapun untuk kulakukan. Kami bertiga tertawa seperti orang gila di tengah musik klasik era 60'an itu bergeming. Sebagian dari mereka masih asyik menari dengan ling-lung, seperti halnya diriku yang tak bisa mengontrol kesadaranku. Namun saat melihat wajah Dio, kesadaran itu pun tiba, perlahan namun pasti tak ada yang bisa dicegah.
"Kalu begitu jangan terlalu banyak minum." Ujar Dio sambil merampas gelas syrup-ku, dan dia menuntunku untuk menjauh dari Jasson. "Aku sangat cemas kalau dirimu mabuk sampai rumah." Imbuhnya, Luna menggeleng.
"Kadar alkoholnya tidak sampai membuat orang mabuk, tenang saja." Lalu Luna menggapai tanganku hingga diriku mampu berdiri dengan seimbang.
"Aku hanya merasa pusing, tak ada yang perlu dikhawatirkan." Kataku, Dio masih tetap menuntunku.
"Sudah cukup waktu berdansanya Jasson, kali ini kamu bisa meninggalkan Amel sendiri di sini, biar aku yang tangani dia." Kata Dio, Jasson mengernyit merasa enggan untuk menuruti kemauan Dio.
"Memangnya kenapa? kita sudah sepakat untuk becinta hanya semalam ini saja, lagi pula dia baik-baik saja." Ujar Jasson.
"Baik aku mengerti, tapi lihat kondisinya saat ini yang sangat tidak terkontrol, aku ingin dansa ini selesai." Ules Dio, sungguh kepalaku terasa begitu pusing, melihat Jasson yang seketika menjauh dariku, dan kini aku berada pada genggaman tangan Dio. Begitu erat menggiring ke suatu tempat yang jauh dari kebisingan, entah apa yang akan dia lakukan. Di sebuah ruangan yang nampak redup, aku melihat kamar yang begitu cantik dan indah, dengan hiasan dekorasi vintage berukuran minimalis. Luna mengikuti kami dari belakang, sambil membawakan segelas air putih.
"Kamar siapa ini?" Tanyaku sambil duduk di sebuah kursi kayu. Dio terlihat letih telah menuntunku hingga sampai keruangan ini.
"Kamar-ku, di rumah ini hanya ada satu kamar saja, kamu aman di sini, pasti Jasson telah membuatmu sakit kepala bukan?" Tanya Luna sambil memberiku segelas air putih.
"Terima kasih, tapi sejujurnya Jasson tidak membuatku terganggu, aku senang bersamanya malam ini, dan ciuman yang tadi itu sangat luar biasa." Kataku, Luna tertawa kencang.
"Oke, hanya saja jangan terlalu banyak minum minuman itu, yang dapat membuatmu tak sadarkan diri." Kata Dio, lantas aku mengernyit.
"Tidak sadar? Sampai sekarang aku sadar kok, itu adalah realita yang kudapatkan di malam ini. Berdansa dengan pria tampan dan tinggi lalu berciuman, bukankah itu hal yang bagus? Bukankah hal seperti itulah yang dirasakan di tengah acara pesta?" Tanyaku, Dio terdiam sambil memegangi dahinya.
"Sudah, tidak usah berdebat, seharusnya aku tadi tidak mencampurnya dengan vodka." Kata Luna, "aku akan ke atap balkon untuk mencari udara segar, ada yang mau ikut?" Tanya-nya, kami terdiam dan tak punya keinginan atas ajakan itu. Kemudian Luna pergi begitu saja dengan meninggalkan kami berdua. Sejujurnya aku ingin menjemputnya.
"Kalau kamu masih tetap merasa pusing, lebih baik kuantar kamu pulang saja, aku khawatir bila ibumu cemas dengan kondisimu yang tidak stabil." Ujar Dio, spontan aku mendesah dengan kesal. Bagaimana bisa dia berbicara seperti itu ditengah ajakan darinya yang memintaiku untuk kembali lagi di pesta? Dan di saat diriku telah menikamati suasana ini.
"Apa? Baru saja aku merasa nyaman dengan pesta ini, kenapa kamu malah mengajakku pulang?" Kataku.
"Kondisimu mengkhawatirkan Mel, jalan-mu saja nampak seperti orang kurang sadar." Balas Dio, diriku langsung beranjak dari kursi.
"Cukup Dio, aku capek menuruti apa kemauanmu terus. Apa kamu barusan tidak melihat betapa cintanya Jasson kepadaku? Dan betapa aku menikmati moment itu? Bisakah kamu menghargai kebahagiaanku dalam pesta ini?" Kataku.
"Tunggu, kenapa kamu marah padaku? Aku hanya cemas dengan kondisimu, itu saja." Aku mengernyit.
"Cemas? Kalau cemas kenapa mengajakku ke pesta dengan jamuan minuman beralkohol? Dan melarangku pergi untuk meninggalkan hal itu, sungguh berada di tempat ini membuatku merasa semakin aneh." Singgungku dan langsung pergi meninggalkan Dio. Aku tidak tahu harus berkata apa untuk menghadapinya. Seperti sikapku dari awal sejak pertama kali menghadiri acara ini, aku sudah tidak bisa mengontrol emosiku. Terutama dalam hal asmara. Apa yang membuat diriku bisa seegois ini? Apa yang telah barusan kukatakan? Ohh Tuhan, aku melihat dinding wallpaper dengan dua bayangan dan nampak buram, samar-samar seseorang melintasiku dan menghalangi jalanku, namun aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas, kepalaku benar-benar terasa pusing.
"Kamu tak pa pa kan?" Kata seseorang itu, aku tidak ingin kalau seseorang itu ialah Dio atau malah Jasson, sudah cukup dengan malam ini, kurasa dari awal aku memang perlu sendiri. Menikmati kesendirian bukan hal yang menyakitkan, aku sudah terbiasa dengan hal itu, bahkan berbicara dengan diri sendiri itu lebih nyaman, meskipun kebanyakan orang menganggap itu aneh.
"Aku ingin mencari udara segar, bisa tuntun aku di tangga itu?" Pintaku pada seseorang yang sudi untuk menuntunku naik ke tangga. Sesampai di atas, aku baru sadar kalau lelaki itu ialah Dio, sungguh begitu baiknya pria itu, kini aku menyesal telah memarahinya, aku memang wanita egois, kusadari betul sikap itu sejak dulu.
"Terima kasih, maaf soal yang tadi." Kataku, lantas Dio tersenyum tipis. Di depan sana aku bisa melihat Luna sendirian di tepi balkon, bersandar pada pagar pembatas menatap pemandangan kota di malam hari. Diriku bisa melihat awan biru pekat membentang di atas langit, dengan taburan bintang kelap-kelip yang indah. Dari penglihatan mataku menatap hamparan pemandangan kota di balkon rumah Luna, hati seketika menjadi kembali tenang. Diriku menghapirinya dan berdiri tepat di sampingnya.
"Sudah baikan?" Angin malam langsung menghembus tubuhku.
"Sudah, malam ini sungguh malam yang rumit, maaf bila aku sudah merusaknya." Kataku, Luna tersenyum.
"Sebenarnya pesta ini kuselenggarakan hanya untuk dirimu Mel, atas bentuk keberhasilanku menjual beberapa unit mobil di show room. Mana bisa aku menikmatinya sedirian tanpa kehadiran seseorang yang telah meminjamkan sepatu demi diriku. Sungguh aku begitu percaya diri saat memakainya." Ungkapnya, entah kenapa aku justru seketika merasa malu.
"Kurasa ini terlalu berlebihan, lagi pula pacarmu sudah menggantikan sepatuku dengan uang." Kataku.
"Biarkan, aku memang menyukai sesuatu yang berlebihan," Luna menghembuskan nafas panjang.
"Yahh, itu pasti berlaku untuk orang yang gaya hidupnya dinamis, tak luput juga dengan kerja keras. Jika aku jadi dirimu mungkin aku juga melakukan hal yang serupa." Kataku, sejenak aku menenggok ke belakang untuk memastika Dio apakah dia masih disana, nyatanya dia sudah pergi.
"Kamu beruntung mempunyai pria sepeti Dio, dia benar-benar lelaki yang baik." Kataku pada akhirnya, Luna mengangguk.
"Yahh, dia sama sekali tak pernah menyakitiku, padahal sejujurnya aku ini ialah wanita yang menjengkelkan." Jawabnya sambil tertawa. "Banyak sekali yang kuminta darinya, sampai terkadang Dio begitu prihatin dengan sikapku. Tapi dia selalu berusaha untuk menjadi pria yang romantis, pria yang nyaman untuk ditemani. Semua hal itu menyadarkanku betapa malangnya dia mempunyai kekasih sepertiku, tapi inilah aku, dia seorang pria yang mudah untuk menerima apa saja. Itulah mengapa aku terpaksa untuk mencintainya, sebab karena semua kebaikan itu." Ungkap Luna.
"Tapi, kenapa kamu terpaksa?" Dia tertawa.
"Itu dulu, cerita masa lalu yang pilu, kurasa tak perlu untuk kuceritakan." Katanya dengan pandangan yang fokus menatap kearah perkotaan.
"Baiklah, aku mengerti tentang perasaanmu, mari kita kesampingkan topik mengenai pria, lagi pula aku sudah bosan memikirkan hal semacam itu." Kataku. "Lalu, bagaimana dengan video vlog make-up mu? Apalah kamu sudah punya chanel sendiri? Katakanlah, aku akan men-subscribe chanel-mu." Imbuhku, Luna langsung tersenyum menatapku.
"Tentu saja, semuanya berjalan lancar, make-up adalah hobi-ku, jangan lupa di subscribe yahh, nama chanelnya seperti namaku." Jawab Luna, saat itu juga kucari nama chanel itu, dan kudapatkan beberapa dari kontennya, nyaris hampir keseluruhan membuatku tertarik. Aku menonton video review produk-produk kecantikan keluaran terbaru darinya. Luna begitu terlihat cantik, tak heran bila Dio benar-benar mencintainya.
"Kenapa kamu tidak memulai membuat konten? Bukannya itu adalah hobi-mu." Kata Luna.
"Sebenarnya aku ingin melanjutkannya, tapi aku sudah tidak punya kamera, kameraku sudah kugadai tahun lalu, dan aku tak mampu untuk menebusnya." Kataku, Luna mendesah.
"Kalau begitu pinjam saja milikku, aku punya dua di kamar." Katanya, "Tapi sayang memory-nya sudah gak ada, kamu bisa pakai itu kalau kamu mau." Kedua mataku langsung melotot terkejut sekaligus bahagia. Tak ada ungkapan lain yang ingin kulontarkan selain memeluk Luna saat itu juga. Dia begitu baik dan juga begitu mudah untuk dicintai.
"Ohh terima kasih Luna, sungguh, kamu benar-benar telah melengkapi satu dari beberapa resolusiku di tahun ini." Kataku, Luna terkejut.
"Oh-ya? Woww, aku jadi turut senang Mel," Ulesnya sambil tertawa. Entah apa yang bisa kukatakan padanya, yang bisa kulakukan hanya tertawa, seperti apa yang dia lakukan.
"Memangnya kamu sudah buat resolusi apa saja?" Nafasku masih belum stabil atas bentuk kebaikan Luna tersebut, malam ini akan menjadi malam yang menggugah semangatku.
"HAHA, banyak sih, di tahun ini aku ingin punya kamera, ingin berlibur, ingin melunasi hutang, ingin punya rumah."
"Ingin punya pacar? Menikah?" Sahutnya sambil tertawa.
"Yah tentunya, of course dong, of course." Timpaku dengan nafas yang begitu lega. Kami berdua kembali menatap langit, andai aku bisa melihat bintang jatuh diatas sana, pasti apa yang baru saja kusebutkan akan terwujud semuanya.
"Aku bangga padamu Lun, kurasa kamu sudah punya semuanya tentang apa saja yang telah kuimpikan di tahun ini." Kataku, Luna mengernyit, pelukan darinya begitu membuat tubuhku hangat. "Kurasa hidupmu sudah sempurna." Timpaku.
"Kata siapa? Aku tidak sesempurna yang kamu pikirkan." Katanya saat pelukan kami telah usai. "Bahkan dengan rumah ini, keluargaku, atau bahkan kekasihku." Ungkapnya merintih.
"Memangnya kenapa?" Tanyaku menatap wajahnya lekat-lekat. Wajah Luna nampak begitu bersinar ditengah cahaya bintang yang berkedip-kedip.
"Rumah ini adalah milik Almarhum kakek-ku dan terbengkalai kosong begitu saja semenjak diriku duduk di bangku kelas satu SMA. Aku dulu hanyalah remaja biasa yang tak tahu apa-apa, tak punya teman, bahkan sulit untuk bergaul. Aku juga tak begitu cantik kala itu. Namun aku sempat mempunyai teman pria yang baik padaku, dia selalu ada kapanpun dan dimanapun aku berada. Tiada henti kami saling mengenal, bahkan seiring berjalannya waktu bisa dikatakan hubungan kami lebih dari sekedar teman." Luna mencoba menceritakan masa lalunya, yang menurutku cukup menarik untuk kudengarkan.
"Lalu saat pasca kelulusan, dia mengajakku ke suatu tempat, dimana tempat itu sangat indah sekali, jauh dari perkotaan, dan di sana dia melamarku, memberi sebuah cincin sebagai pertanda bahwa dia akan menikahiku." Ungkap Luna, aku masih setia mendengarkannya.
"Aku masih belum berpikir sampai sejauh itu, bodoh sekali bila aku menerimanya. Kami baru saja lulus SMA, bisa kamu bayangkan pemikiran macam apa yang ada di benak temanku itu? Namun aku tak ingin mengecewakannya, namun aku juga tidak mau menerimanya. Aku menolak cincin itu, dan saat itu kami hanya bercinta, hingga aku tak sadar bahwa apa yang kami lakukan semuanya sengaja direkam menggunakan ponselnya. Betapa jahat dan kejam kala itu. Bila aku membawa pisau atau senjata apapun, mungkin aku sudah membunuhnya." Diriku merasa tegang mendengar cerita Luna.
"Aku tahu dan sadar bahwa dia tak terima atas penolakanku, meskipun diriku melawan dan berteriak, percuma saja, dia sudah tahu semua tentang diriku, sampai sosial mediaku, serta kontak teman-temanku. Rekaman itu akhirnya tersebar, aku bahkan malu melihat diriku sendiri, bahkan ayah dan ibuku seakan tak ingin melihat wajahku lagi. Saat itulah hubunganku dengan mereka mulai memburuk, berbagai rumor mengenai kehamilanku mulai beredar. Tapi sungguh, aku tidak hamil, aku sama sekali tidak memiliki keluhan pada perutku. Bahkan aku cek ke dokter, semua itu tak benar, hasil pemeriksaanku negatif. Tapi mau bagaimana lagi, keluargaku sudah membenciku, aku bahkan tak berani pulang ke rumah orang tuaku." Aku langsung merangkul pundak Luna seketika.
"Semalaman aku berpikir mengenai masalah yang sama, seolah tak bisa melupakannya. Tidak makan dan tidak minum, sampai aku punya niatan untuk mengakhiri hidup karena begitu malu. Loncat dari atas jembatan adalah keinginan yang terlintas dalam benakku, namun gagal karena Dio menyelamatkanku. Semenjak kejadian itu aku mengenal dan bertemu dengannya. Hingga kami masuk di universitas yang sama, dan menjalin hubungan sampai saat ini. Saat itu aku mulai punya banyak teman, punya pekerjaan, hidupku mulai berubah. Dio begitu baik kepadaku, oleh karenanya mau tidak mau aku harus mencintainya, dan aku mau menerima itu." Luna menangis.
Bersambung...
Berlanjut ke Chapter 66...