Semua orang pasti memiliki masa lalu, entah masa lalu yang indah ataupun kelam. Mereka berhak memendam moment itu atau justru mengingatnya kembali. Sejarah yang menuntun kehidupan seseorang untuk mengarah ke jalan yang lebih baik, tak akan bisa terlupakan meskipun niatan membabi buta untuk membakarnya. Semua orang akan tetap hidup dengan masa lalu, berdiri hingga ke puncak keberhasilan tanpa menghapus cerita sejarah masing-masing.
Berjalan dan terus berjalan, berlari dan terus mengejar sampai ke titik ujung pencapaian. Sesekali kamu akan berhenti di suatu titik dimana kamu membutuhkan tempat untuk merenung. Terdiam sesaat sembari mengingat masa lalu, meskipun kamu tak menginginkannya, namun masa lalu selalu memberi nuansa klise yang sulit untuk dijelaskan. Saat-saat dirimu tak ingin kembali namun segan untuk merasakannya kembali. Seperti setetes senyum yang berarti untuk masa depan, dibalik balutan warna hitam putih yang lusuh.
Ketika semua mulai tersadar, dirimu berdiri pada jalan rintanganmu, lalu memilih untuk melangkah dan melanjutkan hidupmu. Berpikir masa bodoh mengingat masa lalu, tapi itulah nyatanya, kehidupan akan terus berjalan sampai takdir menentukan batas akhirnya. Kali ini aku mengapresiasi atas keberanian Luna mengungkapkan masa lalu itu, dan aku memahami betapa berartinya sebuah nilai kehormatan bagi setiap perempuan untuk diterapkan. Tak ada satu orang pun yang berhak untuk menyentuh bagian mana dan atas dasar kepentingan apa mereka lakukan. Aku akan selalu menjaga nilai itu meskipun status memperjelas hubungan seseorang untuk melakukan hal yang diluar batas ketentuan.
"Ini sudah saatnya bagimu untuk berpikir menilai lelaki yang bisa menghargai pasangannya, tak luput dengan segala macam kekurangan yang ada, atau bahkan pilihan." Ujar Luna. "Biarkan bila seseorang itu mencintaimu, atau membencimu, asalkan jangan biarkan mereka bisa melecehkanmu." Salah satu hal yang masih kupikirkan di saat aku menyadari letak kesalahanku ialah mengingat hubunganku bersama Tony di pinggir sungai. Aku seperti pecundang murahan, andaikan aku bisa memutar waktu dan memulainya dari awal. Tak akan ada moment di semak-semak atau bahkan kunjungan ke rumah dinas khayalan itu.
"Semua akan baik-baik saja, lewatilah sambil tersenyum." Kataku, dan Luna melakukannya serupa. "Dengar, sebenci-bencinya orang tua, tak akan pernah menelantarkan anaknya dalam kesalahan. Temui saja mereka, aku yakin mereka akan memaafkanmu dan segan untuk memulai semuanya dari awal." Imbuhku.
"Tak semudah itu Mel, sekarang mereka ada di Bali, bahkan teman-temanku juga banyak yang tinggal di sana. Ini bukan soal anak dan orang tua, namun juga reputasiku terhadap lingkungan masyarakat dan sanksi sosial yang akan kudapatkan." Luna meringik dan meneteskan air mata kembali.
"Sungguh bajingan orang yang sudah melakukan hal semacam itu padamu Lun." Ujarku, tanganku mengelus-elus lengannya. "Tapi sekarang sudah ada Dio yang telah menyelamatkan hidupmu, jadi janganlah kamu sia-siakan dia," Luna mengangguk, menggenggam tanganku erat. Pemandangan yang terlihat diatas balkon rumah Luna begitu indah, kami bisa melihat gedung-gedung tinggi di kota ini. Gemerlap cahaya bintang terus menyapa kehadiranku, membius hatiku yang kesepian menjadi penuh rasa cinta.
Luna mengajakku untuk kembali memasuki kamar-nya, dia menunjukkan kamera nikkon dlsr miliknya yang kebetulan tak terpakai. Saat benda itu berada di genggamanku. Seketika hatiku bergetar dan penuh sensai yang luar biasa. Dorongan untuk kembali aktif di media sosial semakin menggebu-gebu. Aku tak bisa mempercayai hal ini bisa terjadi.
"Sungguh kamu mau meminjamkan kamera ini padaku?" Tanyaku, Luna mengangguk.
"Yah, pakailah dan rawatlah, sudah sebulan terakhir aku tak memakainya, jadi buat apa terbengkalai di dalam sini?" Katanya.
"Pati, aku akan merawat dan memakai kamera ini, sebenarnya sudah lama aku menantikannya, sekali lagi terima kasih, entah bagaimana aku harus membalas kebaikanmu Lun." Seketika Luna menggenggam pergelanganku.
"Kenapa? Tak usah bicara seperti itu, aku tak pernah berbuat banyak padamu." Dari balik pintu kami mendengar suara langkah kaki mendekati ruangan ini. Instingku berkata untuk menyembunyikan kamera milik Luna, namun waktu begitu singkat sampai Dio masuk dan menatap kami berdua.
"Sudah pukul setengah sepuluh malam, aku lupa tidak memasang alarm, ini waktumu untuk pulang." Sahut Dio dari ambang pintu, seketika aku langsung tersentak kaget, panik bukan main. Kulihat jam dinding di rumah Luna menunjuk tepat berada di pukul setengah sepuluh yang menandakan batas akhir dalam kunjungan ini.
"Apa? Mati aku, kita akan terlambat pulang ke rumah." Ujarku, Dio sampai kebingungan sambil memegangi kedua kepalanya.
"Memangnya ada apa dengan pukul setengah sepuluh? Kenapa buru-buru sekali?" Tanya Luna.
"Gerbang di perkampungan kami akan ditutup pada pukul sepuluh malam, dan tentunya aku tidak akan bisa pulang kalau sampai gerbang itu terkunci rapat-rapat." Jawabku, kedua bola mata Luna melotot terkejut.
"Astaga, aku juga baru sadar kalau kalian tinggal di perkampungan, selama covid memang berlaku sistem seperti itu. Tapi kalian pulang naik apa? Apakah perlu kusuruh Jasson untuk mengantar kalian pulang? Kebetulan dia bawa mobil." Kata Luna, jantungku langsung gemetaran.
"Oh-ya? ide yang bagus." Kataku, Luna begegas untuk keluar dan memanggil Jasson.
"Tunggu! Aku tak ingin merepoti temanmu, lagi pula dia sedang menikmati malam ini, aku bisa memesan Grab, waktu kita berangkat juga naik itu." Ujar Dio.
"Tapi apa tidak kelamaan?" Tangkis Luna.
"Tidak, perjalanan dari sini ke kontrakanku tak sampai setengah jam kok." Diriku mengernyit tak percaya, perjalanan dari sini ke rumah ibuku pasti memakan waktu nyaris satu jam, itu pun kalau jalanan di luar sana lancar.
"Luna, apakah Jasson punya mobil?" Tanyaku, Dio sedang sibuk memesankan Grab lewat ponselnya.
"Tentu, dia pasti tidak akan kerepotan untuk mengantar kalian pulang." Ujar Luna.
"Tak usah sayang, aku bisa pulang sendiri kok," Kata Dio, berjalan mendekati Luna dan langsung mengecup bibir perempuan itu dengan begitu lembut sampai aku meniatkan diri untuk menutup kedua mataku. "Tetap dirumah saja, dan bersenang-senanglah, nanti kalau sudah sampai akan kukabari dirimu, oke?" Imbuh Dio seperti tak punya pilihan lain. Luna hanya bisa mengangguk sambil tersenyum. Sorot tatapan mereka berdua begitu lekat oleh perasaan, nyaris dadaku sesak karena ulah mereka.
"Yasudah, buruan sebelum terlambat." Kami berdua bersiap-siap untuk pulang meninggalkan pesta di rumah Luna. Sungguh kemeriahan itu tak akan pernah kulupakan, apalagi dengan kebaikan Jasson yang sudi menemani malam ini denganku.
"Hey, kamu mau kemana?" Tanya pria itu saat kami melintasinya, Jasson seketika menggenggam kedua tanganku.
"Pulang, maaf bukan maksudku untuk terburu-buru, tapi ini urgent, sebab gerbang kampungku ditutup kalau sudah melebihi pukul sepuluh malam." Kataku, Jasson mendesah dengan kesal.
"Astaga, padahal kita masih baru bersenang-senang." Ulesnya.
"Jasson, lepaskan tangan Amel sekarang juga, kamu membuatnya telat untuk sampai kesana." Kedua tangan Jasson langsung melepaskanku, tersenyum begitu indah dan mendoakan-ku supaya selamat sampai tujuan.
"Oke, aku harap kita bisa bertemu lagi lain waktu Mel." Dio menggertakku untuk segera cepat. Aku membalas perkataan Jasson dengan senyuman, dan kutinggalkan pria itu begitu saja.
Selama perjalanan kami menuju ke rumah, perasaanku masih terbayang-bayang dengan pesta itu, moment yang membuat suasana hatiku mampu untuk terhibur. Setidaknya aku bisa tersenyum, sedih, emosi, semua itu tercampur menjadi satu di dalam hatiku, serta buah tangan yang kubawa dari acara itu, kamera nikkon dslr. Aku sungguh beruntung malam ini, apalagi dengan pemandangan kota lewat pukul setengah sepuluh yang sudah nampak sepi dan lengang, mobil bisa melaju dengan cepat hingga sampai ke rumah.
"Kenapa kamu senyum terus, ada apa?" tiba-tiba Tanya Dio.
"Ohh, tidak pa pa," Kejutku dari dalam lamunan, "aku hanya merasa beruntung berada di pesta itu, terima kasih atas ajakannya." Imbuhku, Dio mengernyit.
"Barusan, apa yang Luna berikan padamu?" Aku langsung menatap Dio.
"Kamera, dia meminjamiku, sungguh kekasihmu begitu baik sekali." Kataku, Dio tersenyum tipis.
"Boleh aku melihatnya?" Aku mengangguk.
"Tentu," Kuberikan kamera itu padanya, dan Dio menyalakan benda itu sambil mencoba-coba vitur dan resolusi gambar yang tertera pada layar kamera. "Kamu tidak bisa memotret apapun, sebab memori-nya kosong." Imbuhku.
"Yah aku mengerti, ini cocok sekali untuk mempromosikan produkmu, dan konten-kontenmu." Katanya sambil memberikan kamera itu kembali padaku. Kurasa Dio juga mengerti apa yang aku inginkan, tentu saja, aku sudah bicara banyak hal kepada lelaki itu, tetapi entahlah, lupakan saja.
Sebenarnya aku ingin mengapresiasi atas bentuk simpatinya kepada Luna, membahas soal perkara masa lalu di sepanjang perjalanan kami. Dalam pikiranku terlintas perihal setumpuk pujian-pujian yang ingin kuutarakan padanya. Tapi hatiku terganjal oleh raut wajah Dio yang nampak gelisah, aku takut apabila dia memikirkan hal yang sama seperti apa yang kupikirkan, sehingga aku tak ingin menambahinya beban. Lebih baik aku diam, hanya untuk kali ini saja.
Waktu setengah jam tak terasa cepat berlalu, mobil Grab yang kami tumpangi merapat di pinggir jalan sekitar sepuluh meter dari lokasi gapura perkampungan rumah kami. Tiap kali Dio kulihat begitu fokus pada layar ponselnya, seperti diriku dulu ketika masih memiliki cinta, tak pernah lepas dari ikatan ponsel dan komunikasi terhadapnya, hal itu spontan membuatku merasa iri. Sungguh bodoh sekali, tapi itulah yang kurasakan.
"Sudah kuduga, pagarnya ditutup, ohh sial." Ujarku mendesah dengan kesal. Kami sampai di lokasi setidaknya tepat pada pukul setengah sebelas malam. Dan keadaan di lokasi sudah gelap gulita, hening tak ada seseorang pun yang lalu lalang. Kurasa mereka semua sudah tertidur di dalam rumah mereka masing-masing. Efek dari masa lockdown memang membuat sebagian banyak orang menghabiskan waktunya untuk lama beristirahat, hal itu nyata seperti yang kurasakan.
"Lalu kita bagaimana Dio? Sumpah ibuku pasti akan marah besar." Ulesku sambil memegangi kedua kepalaku.
"Ini pasti masih bisa dibuka, coba kuperiksa dulu." Katanya, dalam pagar itu tertulis, "Tutup pukul 22.00, Buka pukul 05.00" Dan aku ingin berteriak untuk mencari pertolongan, tapi siapa yang mau mendengar? Di dalam sana pemukiman masih berjarak kurang lebih lima puluh meter. Selama ini tak pernah ada petugas security yang berpatroli, ini sungguh seperti kutukan. Mungkin bisa jadi hukuman buat kami berdua karena telah berani keluyuran di tengah wabah pandemik ini.
"Bagaimana kalau kita panjat pagar ini saja?" Ujar Dio.
"Ide yang bagus, tapi rok-ku? Aku akan dihajar ibuku habis-habisan kalau sampai gaun ini robek karena tersangkut di pagar sialan itu." Dio tertawa sedang.
"Jangan khawatir, pelan-pelan saja, lagi pula pagar ini hanya setinggi tiga meter." Katanya, mungkin bagi kebanyakan lelaki tiga meter bukanlah panjatan yang tinggi, namun bagiku tiga meter itu sudah begitu tinggi dan aku tak berani membayangkan apa yang akan terjadi nanti, tapi biarlah mau gimana lagi. Saat itu juga aku langsung melepas heelsku, dan mulai memanjat pagar besi yang tebal serta dingin menusuk jemari tanganku. Dio berada tepat di sampingku, kami memanjat bersamaan dengan penuh hati-hati. Jangan sampai aku terjatuh atau terpeleset, sungguh aku tak ingin membayangkan bila hal itu terjadi.
"Aku akan turun duluan, dan menopangmu dari bawah." Katanya, jarak panjatan pagar menuju ke bawah begitu jauh. Kurasa Dio benar, setidaknya aku memilih jalan yang aman, walaupun dalam hatiku berkata "sial, moment pesta yang sial."
"Oke," kataku, Dio langsung meloncat kebawah. Suaranya nyaris seperti pohon yang roboh, itu pasti sakit. Ohh Tuhan, ini seperti hukuman untukku karena sudah keluyuran.
"Oke, sekarang turunlah, akan aku tangkap dari sini." Katanya, lalu tanpa pikir pajang aku memutuskannya untuk melompat. Tangkapan Dio begitu tepat menggenggam tubuhku, ini seperti moment romantis dadakan yang sulit untuk dipercaya.
"Bagaimana? Ada yang sakit?" Tanya-nya, aku menggeleng dan cepat-cepat untuk memisahkan diri darinya. Memasang heelsku kembali sambil mengambil nafas panjang karena telah gemetaran. Kami berdua saling menatap satu sama lain. Kejadian konyol apa yang telah kami lakukan barusan? Memanjat pagar di tengah malam, kami berdua pun akhirnya tertawa terbahak-bahak setelah menyadari semua itu.
"Seperti yang kurasakan dari awal, pesta ini memberiku banyak rasa." Kataku, Dio tersenyum. Kami berjalan di sela-sela gang sempit pemukiman yang menuju kearah rumah kami, tempat diriku biasa menuntun Shine.
"Yah setidaknya begitu, aku senang bila kita berdua menghabiskan waktu bersama, seperti ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang mampu membuatku tanang." Katanya, seketika itu aku langsung menatapnya.
"Tapi bukannya kita hanya teman? Maksudku, ungkapan yang berlebihan akan menimbulkan pertanyaan." Balasku, Dio tertawa. Entah kenapa pria itu membuatku canggung kembali.
"Apakah kamu tidak pernah merasa nyaman dengan temanmu sendiri?" Katanya, aku menggeleng. "Lupakan saja."
Bersambung...
Berlanjut ke Chapter 67...