Memangnya apa yang barusan Dio katakan? Aku memilih untuk diam dan tak memikirkan hal yang tidak-tidak. Mengikuti Pesta itu cukup membuatku merasa seperti orang asing. Bahkan aku sulit untuk mengenali diriku sendiri, nyaris seperti tak punya tenaga, rasanya aku ingin cepat-cepat sampai ke rumah dan berlesehan diatas ranjang kamarku.
"Satu hal yang mungkin membuatku nyaman adalah teman, selalu itu dan tak kan pernah berubah." Balasku ditengah hembus angin malam menerpa kami berdua.
"Lalu, apakah ucapanku tadi berlebihan?" Tanya Dio, dan aku menatapnya.
"Tidak, aku hanya tidak ingin ada yang salah paham diantara kita." Jawabku, kami berhenti melangkah, seperti tak sanggup untuk melanjutkannya. "Aku hanya terpikir oleh pesta tadi. Mengenai Jasson dan diriku, mengapa kamu menghalangiku untuk berdansa dengannya?" Wajah Dio berubah larut dalam kecemasan. Aku bisa melihat di setiap sudut matanya yang menyimpan niatan untuk diungkapkan. Apakah pertanyaanku ini membuat pria itu kebingungan? Namun dialah yang mengajakku pergi ke tempat itu, dan dialah yang rupanya menghalangi kebahagianku.
"Aku sama sekali tidak mencoba untuk mengahalangimu, aku hanya tidak ingin kamu bersamanya untuk minum terlalu banyak." Kata Dio, aku mendesah.
"Minum? Aku masih sadar pada moment itu, jangan gunakan alasan tersebut untuk menilaiku buruk." Entah kenapa perkataan kami berdua justru malah berujung pada perdebatan kecil, namun sungguh menusuk hatiku. "Aku sungguh bingung dengan niatanmu. Kurasa aku tak perlu memakai gaun seperti ini di pesta itu." Imbuhku, Dio tertawa sedang.
"Oke baiklah, kamu berhak berbicara seperti itu, tapi kamu akan tahu sendiri kalau Jasson bukanlah pria yang baik." Katanya, aku menatapnya.
"Bagaimana bisa?" Tepisku.
"Aku sudah kenal dia sejak lama, pembuat minuman becampur vodka itu pasti juga keinginannya. Luna berusaha untuk kuarahkan supaya tidak bergaul dengan Jasson. Aku yakin sekali kalau kamu bersamanya, dia akan membawa pengaruh buruk padamu." Ungkap Dio, diriku menghembuskan nafas panjang seolah tak mempercayai perkataan Dio. Kami berdua mulai melangkah, sedikit kupercepat supaya lekas sampai ke rumah. Namun Dio tetap mengejarku.
"Mel, jangan terlalu cepat, lututku masih sakit setelah loncat dari pagar." Katanya.
"Sudahlah, ibuku akan marah besar kalau sampai diriku tak kunjung pulang sampai selarut ini." Kataku sambil terengah-engah. Pria itu berlari kencang dan langsung memblokade jalanku, aku pun berhenti seketika.
"Dio, jangan bodoh, aku sudah capek dan ingin beristirahat sekarang." Dio merentangkan kedua tangannya.
"Tunggu dulu," hembus nafas pria itu begitu kencang hingga aku bisa merasakan suara detak jantungnya yang berdebar-debar. Aku menatapnya lekat-lekat, dan tak mengerti tentang semua ini.
"Apa maumu?" Tanyaku, dan melihat mata itu sejenak ada sesuatu yang mampu mendorong tubuhku untuk jatuk ke dalam jurang yang dalam. Seperti menaiki roller coaster, itulah rasanya.
"Aku mencintaimu." Kedua alisku terangkat, dan nuansa adrenalin kembali menyambar seluruh isi perutku. Aku pernah mengalami hal serupa semenjak Tony masih mengenalku, dan kini aku mulai sadar bahwa hal tersebut sangatlah naif.
"Woah, kenapa harus begini?" Kejutku dengan amat gugup. "Dengar Dio, kamu sudah punya Luna, dan Luna mencintaimu, dia menginkanmu, bukannya kamu juga memiliki perasaan serupa dengannya?" Ujarku dengan nada cukup tegas.
"Tapi Mel,____"
"Tidak ada kata tapi, kita hanya sebatas teman, dan kamu sudah berkata sendiri bahwa aku sudah kamu anggap seperti adikmu atau bahkan saudaramu, apa kamu lupa akan hal itu?" Dio langsung mengembuskan nafas panjang, merunduk sambil berpikir. Angin malam masih menghembus kami berdua, seakan hendak membuat kami mati membeku.
"Sebenarnya tidak begitu,______"
"Lantas sebenarnya bagaimana?" Tanyaku dengan mata melotot berkaca-kaca pada pria itu. Dio seketika kebingungan dan berusaha untuk menenangkanku. "Atau semua ini hanya ajakan dari ibuku? Ibuku yang selama ini ingin menjodohkanku denganmu?" Dio tersentak kaget.
"A-apa? Kamu ini bicara apa?" Tanya Dio, kurasa dia tak tahu apa-apa perihal itu. "Aku sama sekali tak mengerti soal sandiwara itu, aku hanya ingin berkata jujur. Dan selama ini hubunganku dengan Luna juga tak pernah berjalan serius, sama sekali tak pernah." Imbuh Dio, dan aku mulai paham pada detik ini juga. Alasan mengapa Luna mencintai Dio secara terpaksa. Sebab dialah yang telah menyelamatkan nyawanya, merubah hidupnya, dan selalu memberikan ruang padanya untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Maka dari itu Luna mencintainya atas dasar semua itu, bukan atas dasar dari keinginan hatinya.
"Dio, jujur aku tidak bisa berkata apa-apa, kamu berhasil membuatku bingung malam ini. Dan kamu tahu? Aku sudah banyak mempunyai masalah dalam hidupku, dan ajakanmu dalam pesta itu ialah sebuah bentuk upaya barang kali aku bisa kembali ceria dan melupakan semuanya, namun nyatanya itu tak bisa. Kamu justru memberiku beban lagi." Kataku, dan aku langsung berjalan melewatinya. Tak memperdulikan seperti apa perasaannya saat ini. Aku sungguh bingung, bagaimana kalau Luna mengetahui semua ini? Bagaimana kalu dia kembali kesepian dan mengalami masa-masa buruknya kembali? Kenapa Dio tak memikirkan sampai sejauh itu? Kenapa Dio begitu egois? Dan kenapa aku juga sangat kejam padanya? Entahlah.
Aku berlari di tengah malam melewati gang perkampungan rumah ibuku. Sesampai di sana aku langsung menutup pintu rapat-rapat dan tak berani mengingat bentuk ucapannya. Sudah cukup, aku hanya ingin pulang dan beristirahat. Namun seketika Ibuku datang, berdiri diambang pintu kamarnya, menatapku dengan penuh kegelisahan, hingga aku bertanya-tanya, siapakah yang sedang gelisah diantara kami berdua?
"Bagaimana pestanya?" Tanya ibuku. Aku mengernyit melihat dalam kegelapan rumah ini. Kurasa ibuku juga mengalami hal yang serupa denganku.
"Baik, pestanya sangat keren, aku menyukainya." Kataku kalem, meskipun dari dalam hatiku masih amat berat untuk mengungkapkan yang sebenarnya.
"Apakah ibu baru saja menangis?" Suara lirihnya terdengar hingga mengisi ruang tamu rumah ini. Hatiku yang masih belum pulih seutuhnya terpaksa untuk bertarung lagi.
"Ibu baru saja mendapat kabar dari pamanmu." Kata ibu, sejujurnya aku tidak ingin mendengar kabar itu. Dugaanku akan selalu tepat, yang mana dapat membuatku sadar pada kenyataan yang ada. Kenyataan pahit yang sering untuk kuterima, menuntut untuk hadir dan mengambil segalanya dariku. Aku tak mau mengalami kehilangan lagi, aku sudah tak ingin semuanya menjadi kacau.
"Apa itu?" Tanyaku pada akhirnya. Tas kamera Luna kupegang erat-erat demi meyakinkanku bahwa ibu hanya cemas padaku, atau ini hanyalah efek dari halusinasiku karena kebanyakan minum.
"Perihal nenekmu yang kondisinya semakin memburuk. Kini beliau dialihkan di ruang UGD, ternyata selama ini penyakit bawaan nenekmu tidak hanya liver, namun juga paru-paru, sama seperti Almarhum ayahmu dulu." Aku melepas tas kamera itu dengan tanpa daya. Sejenak tubuhku melemas dan kucuran air mata di sudut kanan kiri mataku mulai menetes. Tak ada yang bisa kukatakan lagi, tak ada yang bisa diharapkan lagi, samar-samar aku merasa seperti bunga pagoda yang layu. Berbagai macam kupu-kupu menjauhiku, dan waktunya aku untuk rontok jatuh ke tanah, lalu tertimbun oleh waktu dan hilang begitu saja.
Waktu terus berjalan tanpa henti, banyak yang telah kupikirkan sejauh ini. Sejauh mata memandang kehidupanku yang dulu sangat berbeda sebilan puluh derajat. Dimana saat-saat itu aku sama sekali tak memiliki beban hidup. Kami berlari-lari menyusuri taman yang hijau dan dikelilingi oleh bunga-bunga cantik. Aku ingat saat itu ada sebuah taman bermain yang indah di dekat sekolah taman kanak-kanak.
Di pedesaan yang jauh dari perkotaan, tinggal bersama ibu, ayah, kakek, dan nenek. Kami di sana bermain bersama untuk menghiburku. Hanya untuk membiarkan ayunan di sekolah itu tetap berayun dengan kencang. Aku masih mengingat jerit tawa itu, dan tentunya diiringi tawa mereka. Ayahku mendorong ayunan dengan amat kencang, lalu nenekku memarahinya karena takut bila diriku akan terjatuh.
Ayahku menghentikan ayunan itu, lalu diriku menangis untuk ingin menaiki benda itu lagi. Mereka sangat mengkhawatirkanku, bahkan tak ingin membuatku larut dalam tangisan. Akhirnya saat itu nenek mengajakku bersepeda. Dia menuntunku dari belakang menggunakan sepeda roda khusus anak balita. Di sana dia mengajakku di suatu tempat, tempat yang jauh dari perkotaan, tempat yang dipenuhi oleh bunga-bunga pagoda putih. Nenekku memetik sebuah bunga yang sedang bermekaran di sana, lalu memasangkannya di telinga kananku, dan aku mulai tersenyum kembali.
Di rumah itu masih nampak besar, rumah kami dulu di desa anta branta. Aku mengenalnya sebagai desa yang jauh dari perkotaan. Sebab di sana tersedia banyak sekali tumbuhan dan tanaman-tanaman liar. Berkat sekolah taman kanak-kanak itu, akhirnya ayahku membuatkan ayunan sendiri di depan rumah. Aku masih ingat tentang ayunan itu yang nampak begitu sederhana. Menggunakan karet ban serta potongan kayu palet sebagai tempat duduknya. Lalu karet ban itu dia gantung diatas pohon mangga yang besar.
Tiap sore kami selalu bermain di sana, namun lagi-lagi nenekku melarang ayahku untuk mendorong ayunan itu. Akhirnya nenekku-lah yang mengambil alih, dan rasanya begitu berbeda sekali. Ayunan itu terhempas tenang dan damai, hingga aku bisa melihat senja yang begitu indah, dengan kupu-kupu yang melintasi kepalaku, sebab bunga pagoda itu terpasang di telinga kananku. Aku tersenyum melihat senyum nenek yang indah, dan aku bisa menyadari bahwa dulu dia terlihat begitu cantik. Pantas saja kakekku mencintainya, namun entah kenapa beliau jutru memilih pergi terlebih dahulu.
Saat menjelang malam, aku masih ingat kalau kami tidur di ranjang kayu dengan balutan tirai selambu anti nyamuk. Nenekku selalu menemaniku tidur, dan ketika aku sudah berbaring di sana, telapak tangannya selalu mengelus-elus punggungku, lalu mulailah dia menyanyikan lagu campursari untukku sampai aku benar-benar lelap tertidur. Kurasa lantunan lagu itu memberi kesan indah di masa kecilku bersamnya. Andaikan waktu itu bisa terulang, aku ingin melihat senyum manis nenekku lagi seperti kala itu, seperti dia memasangkan bunga pagoda di belakang telinga kananku.
Ingatan yang sengaja untuk kulihat kembali, tetap tak bisa membuatku terhibur. Ibuku berkata bahwa pihak keluarga tak bisa mengunjungi nenek. Pihak rumah sakit akan berusaha keras untuk menangani hal tersebut. Liver yang dulu di derita ayahku juga begitu parah, sampai membuat lambungnya sama sekali tak berfungsi. Untuk makan saja tak bisa, jadi pihak rumah sakit hanya menyuntikkan cairan berisi makanan ke salah satu organ tubuhnya yang dapat menyalurkan makanan ke pencernaan. Diriku masih mengingat itu ketika aku menjenguk ayahku di rumah sakit.
Apakah nenek juga mengalami hal yang serupa? Aku tak ingin memikirkan hal itu, namun aku juga tak bisa berhenti untuk mencemaskannya. Virus korona, sejak kapan aku sudah menganggap hal itu spele dan palsu. Sudah tak ada lagi yang bisa diharapkan, mungkin di hari-hari berikutnya aku akan mengalami keterpurukan yang tak pernah kuduga.
Ibuku memasangkan selimut padaku agar aku lekas tidur dan kembali bangun di esok hari untuk berkunjung ke rumah nenek. Menengok keadaan paman dan Nino di sana, serta menggali informasi tentang nenek dan tante Anik. Berada di rumah ibuku nyaris membuat diriku melupakan mereka. Padahal selama pandemi korona ini kami tak pernah keluar rumah sebelum rencana tante Anik dan aku berjualan di pasar.
Apabila kala itu mereka terkena rabid tes, seharusnya aku juga ada di sana, seharusnya diriku juga ikut di-tes. Mana mungkin diriku yang sering keluyuran dianggap tak tertular sama sekali? Aku sama sekali tidak yakin, dan aku menganggap semua ini tidak lah adil.
Bunyi burung pipit bersiul-siul di luar jendela rumah ibuku. Kami hendak bersiap-siap untuk pergi ke rumah nenek. Pak Irwan terpaksa mengambil cuti demi mengantarkan kami. Selepas aku meninggalkan kontrakan rumah ibu. Diriku melihat Dio bertengger di depan teras rumahnya, dia terlihat begitu rapi untuk hendak pergi ke toko kue-nya.
Moment malam itu juga masih teringat di otakku dan tak bisa hilang begitu saja. Sorot matanya penuh rasa penasaran. Namun kutepis pria itu dan berjalan begitu saja tanpa salam apapun. Aku tak peduli meskipun wajahku terlihat berantakan, penuh dengan bekas air mata dan kesedihan. Memang inilah diriku, diriku yang tak akan pernah surut akan masalah. Serta pengkhayal kelas atas yang berusaha menggapai mimpi di tahun ini. Namun nyatanya itu semua hanyalah sampah, tak ada yang baik dari diriku, mungkin aku tak berhak untuk mendapatkannya.
"Sudah siap semua?" Tanya ibu, "Tak ada yang tertinggal?" Aku menggeleng saat hendak naik mobil xenia sewaan ayah tiriku.
"Kurasa tidak." Kataku, dan aku bisa melihat dari kejauhan sana. Dio seperti parasit yang mengikutiku dimanapun aku berada. Tapi sebenarnya aku tidak boleh begini. Sejak awal dia juga banyak membantu keluargaku. Perasaan cemas itu pasti wajar, seperti ada yang tidak beres dengan keluargaku. Pergi begitu saja sambil membawa banyak barang dengan wajah murung. Mungkin aku harus mengabarinya, memohon untuk absen dari toko kuenya, dan kurasa dia juga berhak tahu soal hal ini, sebab aku menganggapnya seperti saudaraku sendiri.
Bersambung...
Berlanjut ke Chapter 68...