Berada di dalam mobil bersama keluargaku masih belum cukup membuatku nyaman. Ini bisa dikatakan waktu pertama kali kami bisa berpergian bersama seperti ini. Ibuku duduk di kursi depan bersama ayah tiriku, sedangkan jojo bersamaku di kursi belakang. Tak ada percakapan sama sekali selama perjalanan kami dimulai. Melihat suasana kota di pagi hari mengingatkanku pada pekerjaan. Rutinitasku yang selalu kulakukan untuk mencari uang. Kini semua itu seperti sudah tak penting lagi, aku sangat cemas dengan kondisi nenekku.
Layar ponsel seketika kunyalakan untuk mencoba memasang earphone dan memutar lagu milik Ed-Sheeran. Namun tak jadi, semua lagu-lagunya mengingatkanku pada Tony. Kini aku hanya bersandar pada kaca jendela mobil dan menatap langit pagi yang cerah. Setiap menit dan detik kehidupanku terasa begitu sesak, pikiranku sudah merambah kemana-mana. Mulai dari nenek, Dio, bahkan Tony, semua itu tak bisa lepas dari otakku, rasanya aku ingin pergi saja. Pergi ketempat yang jauh dan sendirian. Terkadang sendiri selalu membuatku nyaman, sendiri dapat mengungkapkan isi hati dan imajinasiku.
Aku menginginkan saat-saat seperti itu, berjalan bebas tanpa tujuan, berjalan bebas tanpa seseorang yang menghalangi. Sendiri dan selalu bahagia, namun sejujurnya aku tak berani menjamin jika sendiri akan berakhir bahagia. Ada saat-saat diujung waktu akan merasa kesepian dan tak berarti. Hidup memang rumit, namun kita bebas untuk memilih yang mana yang terbaik untuk diri kita masing-masing.
"Tadi ibu melihat Dio saat kita hendak berpergian." Tiba-tiba kata ibuku, memecahkan keheningan. "Kenapa kalian tidak saling bertegur sapa? Atau setidaknya minta izin ke anak itu untuk tidak masuk di toko kuenya hari ini?" Imbuhnya. Perkataan itu sama sekali tidak kugubris. Terkadang ada saat-saat diriku malas berbicara dengan ibuku. Sebab apa yang dia katakan begitu menjengkelkan dan sama sekali tak mementingkan perasaanku.
"Sayang sudahlah, kita sedang dalam keadaan cemas, tak usah membahas soal pekerjaan." Ujar pak Irwan.
"Baiklah," desah ibuku.
Kulihat mereka berdua akhir-akhir ini semakin terlihat mesrah. Sejujurnya aku tidak suka melihat kebersamaan ini yang mengingatkanku pada Almarhum ayahku. Meskipun kenangan itu hanya nampak tilas saja, tapi suasana yang tecipta begitu berbeda. Hati tak akan bisa berbohong pada setiap kenyataan yang ada. Entahlah, lagi pula sejauh ini tak pernah ada perselisihan diantara kami, walaupun hatiku masih berat menerima pak Irwan sebagai ayahku sendiri.
"Kamu masih belum cerita banyak tentang pesta kemarin, bagaimana kalau kamu ceritakan saat ini? Ibu sangat penasaran sekali." Aku diam saja.
"Ha? Pesta apaan?" Sahut pak Irwan.
"Yah, anak kita menghadiri acara pesta di ru,_rumah temannya, dan ayah tahu? Amel nampak cantik ketika memakai gaun masa mudaku dulu." Tawa ibuku memecah kesunyian di dalam mobil. "Seingat ibu, gaun itu hanya pernah ibu pakai sekali saja, waktu berkencan dengan ayahmu dulu." Imbuhnya, aku menghembuskan nafas panjang.
"Oh, kenapa ayah sampai tidak tahu?" Tanya pak Irwan.
"Kamu sudah tertidur setelah pulang berkerja. Jadi untuk saat ini, coba ceritakan apa saja yang ada di pesta itu." Kata ibu.
"Aku minum miras."
"Apa?" Ibuku kaget bukan main, "Amel! Serius?" Aku mengangguk.
"Yahh, memang seperti itulah yang terjadi. Lalu aku mabuk dan pulang sampai larut malam. Pagar yang ada di gapura sudah ditutup, jadi aku dan Dio loncat dari pagar itu." Ungkapku.
"Astaga, tapi bagaimana dengan gaun ibu? Apa mereka semua tidak ada yang berkomentar?" Aku mengernyitkan dahi saat ibuku melirikku lewat kaca spion depan.
"Biasa saja, kebanyakan dari mereka juga memakai gaun yang bagus-bagus." Singgungkku, dan ibuku menepisku.
"Oke, maaf bila hal itu membuatmu kecewa sayang." Sejujurnya aku merasa bersalah telah berkata seperti itu kepada ibuku. Dari dulu aku memang egois, padahal kenyataannya tak seburuk itu. Aku sangat menyukai pestanya, apalagi mengenakan gaun milik ibu, berkat itu sungguh mereka banyak yang memujiku. Rasanya aku ingin menangis saja.
"Kak Amel! Kapan kak Tony bisa datang ke rumah lagi? Katanya dulu kita bakal diajak jalan-jalan." Ujar Jojo di sampingku, lantas aku menengok kearah Jojo, sembari berdiam dan berpikir. Kenapa anak itu menanyakan topik yang selama ini kubuang? Aku sudah lupa dengan pria itu, aku sudah tidak kenal lagi dengan pria yang bernama Tony.
"Virus korona kan masih belum hilang, entar kalau sudah hilang nanti kakak bakal ajak kamu jalan-jalan sendiri." Jawabku dengan nada yang cukup berat.
"Tapi sama kak Tony juga kan?" Aku berpikir.
"Kak Tony sepertinya sibuk, dan tidak akan pernah ada waktu untuk berlibur." Kataku, aku bisa melihat lirikan ibuku dari kaca spion itu. Jojo nampak murung dan terdiam. Setidaknya itu adalah jawaban yang harus kukatakan pada Jojo, yang pada kenyataannya kita sudah terpisah lama. Tak ada kabar sama sekali darinya, bahkan nomor telpon pria itu sudah tidak aktif. Mungkin dari situ aku sudah merasa bahwa semua hubungan kami hanyalah permainan, dimana permainan untuk memenuhi kepuasan hatinya terhadap diriku. Lalu ketika dia sudah puas dan mulai bosan, hilang sudah dengan amat cepat seperti saat yang kurasakan ini.
Aku sudah akrab dengan berbagai macam jenis kehilangan dalam hidupku, namun aku tak bisa berbikir banyak tentang keadaan nenekku saat ini. Aku masih belum siap menerima kenyataan di kemudian hari yang membuat diriku kehilangannya. Ketika kami semua telah sampai di rumah tersebut, bayang-bayang pada rumah nenek yang lekat dengan sambutan hangat kini telah sirna tak terlihat.
Kulihat rumah Sandro tertutup rapat, seperti tak ada aktivitas sama sekali di lingkungan rumah nenekku. Bahkan keadaan taman dan halaman sekitar rumah itu nampak sangat tak tertawat. Nyaris satu bulan diriku menginap di rumah ibuku dan keadaan halaman itu sudah dipenuhi oleh rumput-rumput liar yang begitu panjang. Kami mengharapkan keadaan mereka baik-baik saja. Nino dan pamanku, mereka dalam keadaan kurus tak terawat. Ibuku memeluk mereka berdua dengan begitu erat, sedangkan pak Irwam memberikan semangkuk makanan dan buah-buahan kepada mereka. Diriku nyaris meneteskan air mata saat Jojo dan Nino terlihat amat akrab. Dulu mereka sering bertengkar dan berselisih dalam banyak hal. Situasi sudah tak sama lagi seperti dulu, keramaian ini hanya sebuah bentuk perayaan dari keterpurukan, waktu singkat yang mampu meredam kesedihan.
Nenekku nyatanya sudah tak sadarkan diri, berbaring di ruang UGD tanpa adanya kejelasan yang konkrit. Mereka tak bisa berkunjung untuk menemui nenekku. Ruang perawatan yang ada di dalam rumah sakit khusus untuk pasien covid hanya bisa dimasuki oleh anggota medis yang bertugas. Biaya swab yang dapat meredam peraturan kapan lalu tak bisa membuat nenekku menetap di tenda isolasi. Tenda hanya diperuntukkan untuk pasien covid yang telah dalam tahap pemulihan.
Bentuk upaya pamanku dalam mengetahui kondisi nenek hanyalah melalui sambungan telepon yang telah difasilitasi oleh pihak rumah sakit. Namun untuk tante Anik, kini sudah dalam tahap pemulihan. Obat penambah daya imun membuat kondisinya kian membaik. Sedangkan nenek memiliki riwayat liver yang tak bisa dihindari. Hasil diaknosis dokter menunjuk pada hepatitis c yang telah mengarah pada liver kronis. Dokter mengatakan besar kemungkinan nenekku akan mengalami komplikasi dengan bertambahnya virus yang kini menyerang paru-parunya. Semua itu seperti sudah tak ada harapan lagi, kami semua seperti tak bisa berbuat apa-apa dalam hal ini. Seperti menunggu bom waktu yang tiba-tiba akan meledak, dan entah seperti apa yang akan terjadi selanjutnya.
Kami memutuskan untuk tinggal di rumah nenek hingga beberapa hari kedepan, dengan begitu paman Farid dan Nino tak akan kebingungan dalam membuat makanan sehari-hari, sebab ibuku yang akan mengurus semua itu. Tugasku sendiri di sini tak lain yaitu membersihkan seluruh rumah, memotong rumput yang ada di depan halaman, beserta merapikan setiap kamar yang kini telah lama kosong. Dengan begitu kuharap tak memperlihatkan kesan suram pada setiap orang yang ingin melihat rumah ini.
Setidaknya aku dapat mengembalikan nuansa masa lalu itu, saat kami masih berkumpul bersama seperti dulu. Menjalani sarapan bersama di meja makan, lalu bermain monopoly di ruang tamu. Aku ingin moment-moment itu terulang lagi, namun sekejap aku teringat oleh Tony. Sebuah bingkai bunga mawar yang terletak persis di almari kamarku. Bunga pemberian dari Tony dulu di saat dia datang menemuiku di luar jendelaku.
Bunga mawar yang kini sudah layu, kering, dan tak berbentuk. Begitupula dengan vas kacanya yang kulihat sudah berdebu. Ternyata keindahan bunga itu sama persis seperti suasana hatiku dulu, dan kini seperti apa yang kulihat, hatiku sama rapuhnya seperti mawar itu. Untuk menutupi semuanya, aku membeli cat tembok di toko bangunan terdekat di kampungku. Pak Irwan mengantarkanku untuk pergi ke sana, dan kami mengecat seluruh kamar dengan warna putih cerah. Seperti warna kesukaannya saat memetik bunga pagoda di desa kami dahulu yang indah. Andaikan pada zaman itu sudah ada smartphone, pasti kenangan kami akan tersimpan abadi di rumah ini. Namun tak masalah, asalkan aku masih ingat semuanya, memory itu tak akan bisa terlupakan di dalam otakku.
Mengenang sejarah itu, sepertinya aku perlu membeli beberapa pot yang berisi bunga pagoda untuk kutanam di depan rumah nenek, lalu setelah itu memasang ayunan di samping rumah yang kebetulan terdapat pohon jambu merah besar. Semuanya seakan-akan kulakukan demi nenekku, demi mengingat masa lalu kami yang tak akan pernah terlupakan. Dan entah kenapa lama-lama aku menjadi salut pada ayah tiriku sendiri, sebab kami seperti satu tim yang kompak memperbaiki seisi rumah nenekku menjadi kembali cerah seperti dulu.
Kami mengganti lampu di ruang tamu dengan lampu yang lebih terang, mengecat seisi ruangan tanpa ada cela yang tersisa, mencuci sprei kasur milik nenekku dan menggantinya dengan yang baru. Kami hampir melakukan semuanya, mengembalikan ruang keluarga kami yang nampak cerah kembali. Dan pada saat itu kami menyadari keberadaan tetangga kami yang mulai nampak perhatiannya. Sandro menengok lewat jendela rumahnya, menunjukkan gambar lukisan yang baru saja kuingat,
"Bagaimana menurutmu?" Tanya Sandro saat menunjukkan lukisannya padaku. Saat itu aku berada di halaman depan rumah, menyusun pot-pot bunga untuk kuisi tanaman-tanaman hias. Aku meringis sambil berdecak kagum, Sandro melukis bunga mawar putih yang begitu indah, kedua mataku sampai berkaca-kaca.
"Astaga, aku lupa mengirimimu fotoku." Kataku.
"Ohh kutarik tawaranku yang dulu, sekarang aku kebanjiran pesanan, jadi tak ada waktu untuk melukis wajahmu, asalkan kamu mau membayarku dua kali lipat dari harga normal, sebab gambar wajah kunaikkan mulai minggu kemarin." Katanya dengan penuh semangat, seketika aku cemberut.
"Apa kamu tega melihat temanmu yang sedang rapuh ini?" Tanyaku, Sandro langsung menepis.
"Masa bodoh, tapi bagaimana menurutmu tentang mawar merah ini? Bagus apa jelek? Kalau bagus akan kuberikan padamu, kalau jelek akan kuperbaiki lagi." Katanya.
"Serius?" Tanyaku semringah, Sandro mengangguk.
"Asalkan jaga jarak lima meter dariku, aku akan menaruhnya sendiri di depan rumahmu besok." Katanya, aku langsung teriak antusias selagi dia menutup jendela rumahnya. Kemudian pada keesokan harinya, kulihat seluruh cat dalam rumah ini sudah mengering, ibuku baru saja memasang mesin pengharum ruangan otomatis sehingga tak dipenuhi oleh bau yang menyengat dari cat tersebut. Kami melaksanakan sarapan pagi bersama di tengah suasana yang berangsur pulih, namun tanpa kehadirian nenek dan tante Anik membuat selera makan kami masih tetap senyap. Aku bisa melihat dari lekuk mata keluargaku, mereka seperti menyembunyikan kesedihannya masing-masing, sama sepertiku.
Kulihat di depan rumah saat hari menjelang siang, ada sebuah kotak bingkisan besar berada di tengah teras rumah nenekku. Aku berlari dan mendapatkannya. Sepucuk surat kubuka yang menempel pada bingkisan itu, dan tertulis.
"Semua akan baik-baik saja, jangan lupa semprot menggunakan disinfektan sebelum dibawah ke dalam rumah, dan pajanglah di tempat yang kamu inginkan, Sandro." Tulis surat itu yang spontan membuatku tersenyum lebar. Aku menatap jendela anak itu, dan dia berada di sana dengan senyum lebarnya. Kali ini ada sesuatu yang membuatku semangat, sesuatu yang seperti datang secara tiba-tiba untuk mengobati kecemasanku. Lukisan pemberian Sandro langsung kupajang di kamar nenek. Membuat segalanya nampak semakin indah, andaikan nenek kembali pulang ke rumah dan melihat semua ini, aku yakin dia pasti suka dan betah tinggal di rumahnya sendiri.
Lalu, saat tengah malam yang amat surut, ada kejadian gaduh yang menimpa keluargaku di ruang tamu. Aku terbangun dari ranjang tidurku dengan kondisi yang kurang stabil. Kulihat Jojo meringik memintaiku untuk mengecek keadaan diluar. Dan di sana ibuku menangis, paman Farid berteriak-teriak pada seseorang lewat ponselnya, sedangkan pak Irwan berusaha menenangkan emosi pamanku. Kulihat Nino sudah terbangun dan menangis saat melihat ayahnya marah-marah. Pintu kamarku langsung kututup supaya Jojo tak mendengar keributan itu. Paman Farid berkata.
"Sungguh kejam, orang sakit butuh dukungan dari keluarga, orang sakit juga butuh seseorang untuk mendapinginya hingga sembuh, bagaimana bisa dia bertahan sendirian disana? Apa kalian tidak berpikir sejauh itu?" Ujar paman sambil berteriak selagi diriku mendengar kenyataan bahwa nenekku baru saja sudah meninggal dunia.
Bersambung...
Berlanjut ke Chapter 69...