Chapter 69 - Bab 69

Ranting berhembus tertiup oleh angin kencang, membuat dedaunan kering jatuh berserakan di sepanjang jalan yang kulalui. Seperti hendak menyusuri suatu tempat yang indah, menginjakkan kaki pada lembutnya rerumputan ladang, dan sejuknya air embun yang mampu menetralisir hawa negatif. Di dunia ini tak ada sesuatu yang indah kecuali dengan kebersamaan. Dengan begitu kita bisa saling berkumpul dan bercerita banyak hal tentang kehidupan. Rumah merupakan tempat tinggal yang amat penting untuk dimiliki bagi setiap individu, tanpa rumah, tak ada yang namanya kebersamaan, namun kali ini kami hidup dalam rumah yang telah sunyi bagaikan bunga pagoda yang selesai bermekar, lalu kembali meringkup menghindari serbuan kupu-kupu, kemudian layu dan jatuh ke tanah. Entah mengapa semuanya terasa begitu singkat, aku mulai merasakan bentuk kehilangan yang sesungguhnya, kehilangan yang bisa dikatakan amat begitu berat untuk kuterima.

Pada saat proses pemakaman nenekku, mobil ambulans menyertai di sepanjang perjalanan kami menuju ke area pemakaman. Tentunya tidak di sembarang tempat nenekku bisa disemayamkan, kami seperti meletakkannya di tempat yang jauh dan terasingkan. Hatiku berusaha untuk melihat kenyataan yang ada, menolak segala macam bentuk keegoisan yang dari awal sudah menggebu-gebu hatiku. Sudah saatnya aku sadar bahwa seperti inilah dampak dan rasanya menjadi korban dalam wabah yang sedang membabi buta ini, sungguh nampak nyata dan menyakitkan.

Para petugas mulai turun dari mobil untuk menurunkan peti jenazah, dan kami hanya bisa menyaksikan proses pemakaman nenekku dari kejauhan. Kami hanya bisa berdoa dan memaksakan diri untuk ikhlas akan kepergiannya. Semua ini seperti ilusi, diriku bahkan mencubit pergelanganku barangkali ini hanya sebuah mimpi. Memang akhir-akhir ini daya imajinasiku begitu tinggi, selepas peristiwa yang begitu banyak dan bervariasi dalam rentan waktu yang cukup singkat. Hampir keseluruhannya ialah peristiwa pilu. Andaikan aku diberikan kesempatan untuk bertemu dengan nenekku selagi dia masih hidup. Aku ingin meminta maaf padanya karena masih belum bisa menjadi cucu yang baik untuknya, yang bisa kulakukan hanyalah hal-hal kecil yang tak berarti.

"Entah kenapa aku begitu merasa bersalah dengan diriku sendiri." Kataku, beridiri di samping ibuku menatap pemakaman dari kejauhan.

"Lupakan saja, semua orang juga punya kesalahan." Kata ibu, aku merundukkan kepala dan tak bisa berhenti menangis.

"Nenekmu sudah tenang sekarang, tak ada yang perlu dicemaskan." Kata pak Irwan sambil mengelus-elus pundakku.

"Mungkin kita tidak akan mengontrak lagi di sana, bagaimana kalau kita tinggal di rumah nenek bersama?" Ujarku. Paman Farid langsung menatap kami.

"Tak masalah, lebih baik seperti itu, anggap saja kita masih berkeluarga, rumah nenekmu terlalu besar untuk paman dan Nino. Jika ibumu dan ayahmu tinggal di sana, tentunya paman tidak akan kesepian, bukan begitu?" Diriku tersenyum atas bentuk pernyataan pamanku. Sudah sekian lama ibuku tak mendiami rumah nenek semenjak ayah kandungku meninggal. Meskipun begitu mereka masih menerimanya begitu saja, dan menyambut baik keberadaan ibuku walaupun sudah menikah dengan pria lain.

Rencana Tuhan memang tak pernah salah, meskipun hatiku begitu berat menerima kenyataan ini. Aku sama sekali tak menduga bahwa kami semua akan kembali berkumpul bersama di rumah itu, rumah yang menjadi saksi bisu masa kecil yang indah. Jojo seketika memelukku dan menangis di sampingku, tangisan-nya nyaris serupa seperti kepergian ayah kandungku. Semuanya nampak tak jauh beda, dan semuanya nampak begitu nyata.

Pada hari yang rumit itu, aku menghabiskan waktu lebih banyak di dalam kamar untuk meredakan berbagai macam kesedihan. Tiap saat aku mengingat apa yang menjadi hobby-ku sebenarnya. Apakah hanya membuat konten video saja? Atau berbelanja di mall menghabiskan banyak uang? Entahlah, kurasa kamera pemberian dari Luna sama sekali tak ada manfaatnya bagiku. Andaikan aku tersenyum di depan kamera saat ini, wajahku pasti terlihat seperti orang gila. Lagi pula aku benci dengan kepura-puraan, mungkin akan butuh waktu lama supaya semua situasi ini kembali seperti semula.

Selisih dua minggu semenjak kematian nenekku, kami mendapatkan kabar mengenai kondisi tante Anik yang sudah dinyatakan sembuh oleh pihak rumah sakit. Sehingga kami mendapatkan surat keterangan sehat beserta hasil swab terbaru yang menunjukkan kondisi tante Anik yang sudah negatif. Kabar gembira itu lantas diwarnai aksi sujud syukur yang dilakukan oleh paman Farid. Kami menjemputnya ketika waktu sudah menjelang sore. Di sana terdapat banyak tenaga medis yang mengantarkan kepergian tanteku. Namun itu tentu saja masih belum stabil seutuhnya. Kami selaku keluarga yang tinggal satu rumah diminta untuk menjalani isolasi mandiri selama dua minggu. Kondisi kesehatan tante Anik tentu saja akan tetap selalu dikontrol oleh pihak rumah sakit.

Rumah nenek kini seketika mulai kembali bersinar, bayang-bayang kegembiraan dan tawa menyelimuti seisi ruangan. Tetangga-tetangga kami mulai segan untuk bertegur sapa dan turut menyampaikan duka citanya atas meninggalnya nenekku. Berbagai macam santunan berupa uang dan beras mulai turun dari tangan-tangan mereka. Aku masih tak bisa lepas dari ingatanku dulu ketika nenekku menerima barang-barang tersebut atas sepeninggalan ayahku. Kini aku merasakan hal itu untuk yang kedua kalinya, dan berharap agar semua keluargaku diberikan umur yang panjang.

Selepas empat puluh hari wafatnya nenekku berselang, aku meniatkan diri untuk masuk kedalam kamar tidurnya. Di sana nampak kosong tak ada satupun diantara kami yang ingin menempatinya. Namun setiap hari diriku selalu membersihkan kamar itu, menyapu dan mengepel setiap lantainya, serta membersihkan meja dan sprei dari debu. Aku duduk diatas ranjang, sambil menatap lukisan bunga mawar merah mahakarya dari Sandro. Kurasa lukisan itu kurang tepat, sebab bunga kesukaan nenekku bukanlah bunga mawar, namun melainkan bunga pagoda putih.

"Sedang apa kamu di sini?" Tiba-tiba Tanya seseorang yang datang di dalam kamar. Rupanya tante Anik.

"Aku hanya ingin beristirahat sebentar." Jawabku.

"Kamu pasti masih berduka, tante juga begitu." Katanya, diriku menghembuskan nafas panjang. "Nenekmu termasuk wanita yang kuat, bayangkan saja dengan kondisi dan usia yang seperti itu, dia mampu bertahan melawan virus sampai nyaris satu bulan lebih. Namun akibat komplikasi, semuanya berubah seketika." Imbuhnya.

"Itu sudah takdir, lagi pula aku sudah menerima kenyataan ini dengan ikhlas." Jawabku, lalu memutuskan untuk menatap wajah tante Anik. "Ngomong-ngomong bagaimana rasanya? Maksudku ketika tubuh tertular oleh virus korona." Tanyaku, tante Anik tersenyuM tipis.

"Awal mulanya tak terasa apa-apa, namun seminggu kemudian badan tante mulai lemas diikuti dengan demam tinggi, lalu sedikit batuk dan juga kehilangan nafsu makan." Jawabnya, aku mengangguk. "Tapi semua itu berbeda dengan nenekmu, sejak awal dia menjalani rapid kala itu, dia sudah mengalami sesak nafas, dan semuanya berjalan begitu cepat." Imbuhnya.

"Oke, tak usah diteruskan." Ulesku, aku mulai meneteskan air mata, dan tante Anik mengelus-elus pundakku.

"Tapi biarkan saja, sekarang nenek-mu sudah tenang di surga, sebelum dia tak sadarkan diri, aku masih ingat perkataan nenekmu yang terucap saat dia masih setengah sadar." Aku langsung menggenggam tangan tanteku.

"Apa itu?" diriku mengernyit.

"Dia ingin supaya ibumu tinggal di rumah ini, dan sekaligus merawat rumah ini." Katanya. "Syukur semua itu sudah terjadi, nenekmu pasti senang melihat kebersamaan ini." Imbuhnya. Aku tersenyum tipis.

"Memang itulah yang diinginkannya dari dulu, nenek memang takut kesepian, takut apabila rumah ini kosong di kemudian hari. Sebab hubungan keluarga kita akan terus berlanjut, dan sampai kapanpun kita akan tetap berada di sini dan saling melengkapi." Kataku, tante Anik menangis pada saat itu juga. Menggenggam tangaku dengan begitu erat, sampai aku takut apabila suara tangisannya sampai ketahuan oleh orang yang ada di luar.

"Tante minta maaf Mel,_____ tante minta maaf bila selama ini tante suka semenah-menah tinggal dirumah ini, terkadang semenah-menah dengan dirimu, begitu pula dengan nenekmu." Ujarnya sambil terseduh-seduh.

' "Sudahlah tante, itu adalah masa lalu, kita sekarang sudah menjadi keluarga utuh. Diriku juga kerap merasa bersalah seperti tante. Tapi aku selalu yakin bahwa nenek akan selalu memaafkan kita, apalagi dengan keluarganya sendiri." Kataku.

"Tapi tetap saja Mel, tante masih mengingat masa-masa itu." Ujarnya, dan kurasa semua tangisan kami saat ini seperti tak ada gunanya, sebab buat apa kita menangisi orang yang sudah meninggal? Diriku memeluk tante Anik dengan amat erat, berusaha untuk memedam segala macam bentuk emosi dan rasa bersalahnya. Aku juga kerap merasakan hal yang serupa, bahkan pikiranku sudah tak sanggup lagi untuk menjalani hidup ini. Tetapi setiap perjalanan sulit selalu ada seseorang yang ingin untuk menolong, mungkin bisa dikatakan aku masih tergolong orang yang beruntung, namun pasti beda cerita dengan orang yang sudah tak punya siapa-siapa, orang yang selalu tinggal sendiri dan tak bergantung pada siapapun, dan dia mampu bertahan di moment-moment terpuruknya, hingga aku takut menjadi orang yang seperti itu.

"Bilang pada ibumu untuk tidur di kamar ini saja, jangan biarkan kamar ini kosong dan tak digunakan sama sekali." Ujar tante Anik, dan diriku mengangguk sambil mengusap air mataku.

Kemudian pada malam itu juga, aku menemui ibuku yang tidur tepat di ruang tamu. Selama ini mereka berdua menggelar tikar dibawah sofa, sebenarnya aku miris melihat kondisi itu, tapi mau bagaimana lagi? Kami tak punya kamar kosong selain kamar milik Almarhum nenekku. Diriku yakin sekarang ialah waktu yang tepat untuk mengatakan yang sebenarnya.

"Ibu, bangunlah, kumohon." Ujarku sambil menggoyang-goyang lengannya. Perlahan-lahan ibuku mulai sadar dan membuka kelopak matanya.

"Ada apa? Kenapa masih belum tidur?" Diriku duduk di sampingnya.

"Ada yang ingin kukatakan padamu, soal keinginan nenek saat sebelum beliau meninggal." Dengan cepat ibuku langsung terbangun sambil mengucek-ucek kedua matanya.

"Astaga, dari mana kamu tahu soal itu? Apa yang dia katakan?" Tanya ibu. Aku menelan ludah dengan susah payah.

"Aku tahu semuanya dari tante Anik." Kataku, ibu langsung menatapku lekat-lekat. "Nenek berkata kalau ibu diperbolehkan untuk tidur di kamarnya, serta tinggal di rumah ini bersama kita semua. Sudah tinggalkan saja kontrakan itu, lagi pula biaya sewa nya cukup mahal, serta tempatnya juga sangat kecil. Kita bisa tinggal bersama di tempat ini, dan merawatnya bersama-sama." Imbuhku, lalu kedua mata ibuku mulai berkaca-kaca.

"Oh ya Tuhan, nenekmu begitu baik sekali, apa benar dia sempat bicara seperti itu?" Tanya ibuku.

"Yahh, dari dulu nenek memang orangnya baik, dia sangat benci dengan nuansa sepi, sehingga kita tidak boleh terpisah lagi. Jadikan rumah ini menjadi rumah kita kembali." Kataku, lalu ibuku mengangguk sembari menghirup nafas lega.

"Baiklah, ibu akan tetap di sini, dan ibu akan selalu merawat rumah ini." Katanya, dan diriku langsung memberikan pelukan pada ibuku. Aku tahu bahwa tidur di ruang tamu pasti membuatnya kedinginan, jadi pada saat itu juga kutuntun langkahnya menuju ke kamar nenek.

"Ayahmu juga harus tidur bersama ibu, ibu juga tidak mau sendirian di ruangan ini." Katanya, aku tertawa sedang.

"Tentu saja," Kataku sembari menuju ke ruang tamu untuk membangunkan ayah tiriku. Kugoyang-goyang lengan tangannya, dan seketika pak Irwan mulai membuka matanya.

"Jangan tidur di sini, ayo kutunjukkan kamar buat ayah." Kataku.

Ketika waktu berjalan begitu cepat, kami nyaris melewati masa-masa karantina mandiri yang ditetapkan oleh pihak rumah sakit. Uji rapid test kami yang terakhir menunjukkan hasil negative. Sungguh begitu senangnya moment itu sampai mebuat ibuku memasakkan masakan yang begitu banyak untuk acara makan malam kami. Tepat di penghujung akhir pada bulan Mei, kami akan merayakan hari raya idul fitri di dalam rumah dengan penuh kesederhanaan.

Tak ada baju baru, tak ada jamuan khusus, kami tidak akan menggelar acara open house atau semacamnya, yang kami lakukan ialah menikmati kebersamaan di dalam rumah bersama keluargaku. Menonton acara televisi, bermain mainan monopoly, memasak makanan khas idul fitri seperti ketupat dan kikil sapi. Itu semua sudah lebih dari cukup bagiku.

Lagi pula sejak dulu kami tidak punya saudara lain di luar kota, sehingga kami tak pernah mudik atau semacamnya. Hal yang perlu kuketahui bahwa pemerintah masih memberlakukan sistem pembatasan sosial berskala besar di luar sana, terlepas dari berlaku atau tidaknya terhadap mereka, diriku sudah sangat trauma dengan virus tersebut, virus yang sudah merenggut salah satu dari keluargaku, dan aku tak akan mengulangi kelalaian serupa.

Dari balik lensa kamera, kami semua kompak berdiri dengan pose narsis, kemudian mereka menuruti apa saja yang kumau.

"SATU, DUA, TIGA, EKSYEENN." Teriak kami semua dengan kompak saat melakukan foto bersama di ruang tamu. Diriku memerlukan waktu dua hari untuk mendekorasi ruang tamu supaya nampak ramai untuk tempat photoshoot. Semua itu kulakukan demi vlog dan feed chanel Instagram-ku. Saat itu keberadaan kamera Luna sangatlah berguna. Semangatku seperti bangkit kembali, dan pada setiap aktivitas yang kami lakukan, aku bisa merasakan nuansa masa kecilku.

Bersambung...

Berlanjut ke Chapter 70...