Rabu, 01 Juli 2020.
Cahaya matahari bersinar menghangatkan rumput halaman yang kupijaki. Saat ini sudah menduduki awal bulan yang bertanda bahwa diriku sudah tak lagi memberi uang pada ibuku untuk membayar tagihan kontrakannya. Diriku tersenyum lebar saat mengetahui pak Irwan sedang berkemas untuk pergi mengambil barang-barang yang masih berada di rumah kontrakan ibuku. Pak Irwan sudah memutuskan untuk berhenti menyewanya mulai bulan kemarin, dan saat inilah waktu untuk ayah dan ibuku berkemas menyusungi barang-barang mereka.
"Jojo tetap di rumah saja yah." Kataku, semenjak anak itu kembali tinggal di rumah nenek. Aktivitasnya semakin padat dengan permainan game online. Entah seperti apa generasi muda mendatang kalau penerusnya kebanyakan kecanduan hal semacam itu. Namun kalau urusan yang menyangkut ibu, ada semacam pemicu baginya untuk tetap ikut kemanapun ibu berada.
"Tidak sayang, kamu dirumah saja yah, kita akan membawa banyak barang-barang berat, dan badanmu tidak akan muat untuk naik di mobil." Kata Ibu, namun Jojo tetap meringik bersikeras untuk ikut.
"Pokoknya aku mau ikut, aku juga mau naik mobil." Kata Jojo sambil menangis.
"Kamu jangan macam-macam ya Jo, kalau dibilang tidak boleh ya tidak boleh." Kataku membentaknya.
"Kenapa sih kakak selalu suka berbohong? Katanya, "Kakak pernah berkata akan mengajakku jalan-jalan pakai mobil sama kak Tony, tapi nyatanya mana? Aku cuma ingin jalan-jalan naik mobil sama ibu malah gak dibolehin." Ujarnya, sejenak aku terdiam dan berpikir.
"Tapi Jo, mobilnya akan dibuat mengangkut barang, bukan untuk jalan-jalan." Kataku.
"Gak pa pa kak, pokoknya aku mau naik mobil." Katanya denga ucapan memohon, hingga aku tak bisa menjawab lagi sebab Jojo selalu mengungkit-ungkit soal Tony. Pria itu memang benar bisa memberi kesan yang menyenangkan, tapi itu semua tidak untuk saat ini. Dia menghilang dan menghapus nomor kontaknya, ditambah lagi tak ada kabar dan seakan menghilang begitu saja, entahlah.
"Jojo, pliss, jangan buat kakak tambah kesal, oke? Nanti kamu akan kakak ajak jalan-jalan sendiri, tentunya pasti bakal lebih asyik, percaya dehh." Bujukku, namun seketika Jojo menarik bajuku dengan amat kencang sambil berteriak.
"Ndak mau, aku maunya jalan-jalan sama ibu naik mobil sekarang.___" Jojo membentak, kemudian ibu menghampiriku.
"Oke baik, jangan nangis kalau mau ikut ibu." Diriku langsung mengernyit dan geleng-geleng kepala. Entah kenapa semakin lama semenjak kembali bersekongkol dengan Nino, kenakalan Jojo semakin menjadi-jadi, seakan tak bisa dibendung oleh bujukan apapun. Atas dasar persetujuan ibu, tangis Jojo berangsur-angsur mulai surut, persis seperti suara mesin genset yang dimatikan.
"Memangnya ada apa dengan hubunganmu sama Tony? Kurasa ibu sudah lama tak mendengar celotehanmu bersama pria itu lagi." Ujar ibu sambil menyiapkan kardus-kardus kosong untuk di masukkan ke dalam mobil. Rasanya aku dipaksa untuk berpikir keras.
"Hmm, sebenarnya kita masih berhubungan,____ tapi entahlah." Ujarku dengan nada gantung.
"Entahlah gimana?" Tanya ibu meringis.
"Kurasa dia sibuk, dan sedikit sekali kita ada waktu luang." Ujarku dengan gugup, dan aku bisa melihat anggukan ibuku yang nampak terlihat percaya.
"Oh,__oke."
Mobil avansa sewaan ayahku mulai menyala, memuat kami berempat di dalamnya. Ibuku duduk di depan bersama pak Irwan, sedangkan Jojo di belakang bersamaku. Melihat wajahnya akhir-akhir ini cukup membuatku jengkel. Aku harus bersikap netral kepadanya supaya anak itu tak kembali mengungkit-ungkit Tony. Setidaknya selama satu bulan terakhir ini aku sudah berada dalam zona nyaman. Hidup bersama keluarga di rumah nenek, dan menjalani bisnis salad buah seperti dulu dengan tante Anik. Tak hanya itu saja, aku juga sudah mulai aktif menggunakan akun youtube pribadiku, dan hampir tiap hari diriku memproduksi satu video untuk ku-uplod. Ini semua sudah berjalan selama satu bulan, kurasa aku perlu ketenangan untuk mengatasi semua ini.
Sesampai di rumah kontrakan, kami mulai mengemasi barang-barang ibuku. Cukup banyak rupanya, disana kami mengambil piring, gelas, panci, selimut, sprei hingga baju dan celana mereka. Kami membawa kardus kosong cukup banyak, hingga kami tak yakin akan muat untuk dibawa menggunakan mobil sewaan tersebut. Ketika diriku melewati halaman belakang rumah, tak sengaja mataku melihat sebuah sepeda pancal milik ibu yang biasa dia gunakan untuk car free day. Seingatku dulu sepeda itu pernah rusak tepat pada pedal dan rantainya, namun Dio berhasil memperbaikinya hingga sepeda itu bisa digunakan kembali. Pak Irwan seketika membawa sepeda pancal itu, dan jantungku berdenyut kencang sesuai ritmenya, sesuai isi hatiku yang mengingat tentang Dio.
"Kurasa aku harus menemuinya, setidaknya untuk berpamit." Ujarku dalam hati.
Nyaris satu bulan keluargaku tak menempati kontrakan ini. Semenjak nenekku meninggal dan baru kali ini kami kembali. Aku juga tak memberi kabar pada Dio sama sekali, bahkan mengenai nenekku, dan status tempat tinggalku saat ini. Dengan cepat aku langsung keluar dan mengetuk pintu rumahnya yang terletak tepat di depan rumahku. Ibuku langsung menyahut ketika aku mengetuk pintu rumah Dio.
"Dia pasti tak ada di rumah." Kata ibuku, aku baru ingat, ini ialah hari kerja, tentu saja dia berada di toko rotinya. " Kamu mau apa?" Tanya ibuku, aku tersediam.
"Hmm, a_aku,___ aku mau menemui Dio bu." Ujarku, dan langsung berlari begitu saja.
"Hati-hati Mel." Timpa ibuku. Aku berlari begitu cepat di tengah pemukiman yang kini sedang sepi oleh penduduk. Pasti mereka juga melakukan hal yang sama sepertiku, yaitu berdiam dirumah dan tak berani untuk keluyuran. Namun kini aku seperti orang yang terlepas, bebas begitu saja seperti tak punya pilihan. Aku seperti berlari mengejar mimpi, di setiap tepi trotoar membekaskan perjalananku dengan pria itu di sepanjang hari kami berangkat ke toko kuenya. Dan satu hal lagi yang masih kuingat kala itu, mengenai isi hati Dio yang telah dia ucapkan dengan amat getirnya. Di malam yang pekat, dingin membius tubuhku, seperti tak ada malam lain lagi di dalam hidupku yang masih berarti. Namun Dio hanyalah teman, dan tetap akan kuanggap seperti itu.
Aku datang tepat di depan tokonya dengan suara sepatu yang terdengar jelas. Hembus nafasku terengah-engah tak karuhan seusai diriku sampai di depan pintu masuk toko Dio's Bakery. Dari sini aku bisa mencium bau vanilla dan coklat, spontan membuatku tersenyum, kemudian tanpa pikir panjang aku langsung memasuki toko itu, seketika Bagas dan Kyra langsung kaget melihatku.
"Ameel!" Kejut mereka, aku terdiam terpaku tak kuat untuk mengatakan secuil kata apapun di tengah jantungku yang masih berdetak kencang. Dari dalam sana aku mendengar suara langkah kaki berjalan menuju area kasir, seolah menemui Keyra dan Bagas.
"Ada apa?" Yang benar saja, pria itu ada di sana, dengan mengenakan setelan kemeja putih yang begitu rapi, hingga diriku tak bisa berkata apa-apa lagi.
"Hei." Dio langsung kaget.
"Lho? Mel? Kamu kemana saja?" Tanya Dio yang langsung menghampiriku, dia berusaha untuk menenangkanku, bahkan meniatkan dirinya untuk mengambil segelas air putih untukku.
"Ohh, huhh, aku hanya ingin menemuimu." Kataku yang masih ngos-ngosan. Dio tersenyum simpul sambil mengernyit.
"Ada apa? Selama ini aku mencarimu, kemana saja kamu sekarang?" Kata Dio, aku langsung mengambil segelas air putih pemberian darinya, dan memilih untuk duduk di salah satu kursi pelanggan. Kuteguk semua air itu hingga habis, dan nafasku langsung kembali lega.
"Aku sudah tak tinggal di kontrakan itu lagi," Kataku, Dio langsung panik.
"I_Iya, tapi kenapa?" Tanya-nya megap-megap.
"Jadi sebulan ini aku tinggal di rumah nenekku," Kataku, kurasa aku tak bisa membicarakan permasalahan ini ditengah keberadaan Keyra dan Bagas. Aku perlu ruang khusus untuk berbicara pada Dio. "Aku ingin kita ngobrol di luar." Imbuhku sambil menarik pergelangan tangannya untuk kuajak keluar dari toko roti.
"Kita mau kemana Mel?" Tanya Dio, aku berjalan sambil menarik tangannya ke suatu tempat. Paling tidak aku harus bisa mengungkapkan isi hatiku pada Dio, dan jawaban atas pernyataannya malam itu.
"Dengar," Kataku, membuat kami berhenti di samping jalan trotoar. "Pertama-tama aku ingin berterima kasih padamu karena kamu sudah banyak membantuku, bahkan membantu keluargaku." Imbuhku, lalu Dio mengajakku untuk duduk pada kursi umum dekat lampu penyebrangan jalan. Jantungku tak bisa merespon dengan santai apalagi ketika melihat senyum Dio yang depaksakan.
"Ceritakan padaku ada apa? Kamu terlihat kebingungan sekali." Dio mulai cemas.
"Aku dan ibuku sudah pindah di rumah nenekku, jadi kemungkinan besar aku sudah tidak bisa membantumu untuk membuat kue lagi. Tapi jangan khawatir, aku akan sering-sering main ke sini." Ujarku, Dio seketika mendesah.
"Tunggu, apa kamu tidak mengingat perkataan pamanmu bahwa rumah nenekmu harus steril, hingga menunggu sampai keadaan nenekmu membaik." Kata Dio, mataku langsung berkaca-kaca.
"Dio,_____ nenekku sudah meninggal." Aku tahu pada setiap ekspresi itu dapat menyakitinya. Meskipun Dio bukan salah satu anggota dari keluargaku, tapi ekspresi itu begitu nampak murni mununjukkan rasa kehilangan yang amat begitu mendalam. Kedua matanya langsung memerah, menatapku lekat-lekat seakan tak kuasa untuk berkedip. Namun apabila dia berkedip, maka air mata itu akan menetes membasahi pipinya.
"Sejak kapan? Katakan padaku sejak kapan? Kenapa kamu tak memberitahu diriku?" Tanya Dio dengan nada yang cukup emosi, aku langung gemetaran.
"Maaf, aku benar-benar tidak sempat, apalagi kejadian itu bertepatan dengan malam terakhir kali kita bertemu." Ujarku, Dio terdiam sembari mengingat sesuatu. Aku bisa melihat air matanya mengalir menetes melewati hidungnya.
"Apa semua itu benar? Tentang ucapanmu di malam itu?" Tanyaku, Dio langsung menggenggam kedua tanganku, hingga aku tak berani untuk mengelaknya.
"Mel,___ aku sungguh bingung, di satu sisi aku mempunyai Luna, tapi kamu perlu tahu, hubunganku dengan Luna tak sesrius yang kamu pikirkan. Kurasa hubungan kami hanya sebuah sandiwara saja, dan nampak begitu dipaksakan. Tapi aku tak mau menyalahkannya atau bahkan menyaitinya. Tapi jujur Mel, semenjak aku mengenalmu, aku merasa bahwa aku mempunya perasaan suka denganmu, entah mengapa." Katanya dan langsung melepakan pergelangan tanganku. Kulihat tangan Dio gemetaran, serta keringatnya nampak bercucuran di dahi kepalanya. Aku sungguh tidak punya jawaban apapun, entah apa yang harus kukatakan.
"Tapi Dio,_____" Dia langsung menatapku. "Aku juga sama sepertimu, maksudku aku juga bingung, jujur aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Kamu mencintaiku, tapi lihatlah kenyataan saat ini." Jawabku.
"Kenyataan apa?" Tanyanya.
"Kamu hidup ditengah seseorang yang masih membutuhkanmu, dan seseorang itu tak punya siapa-siapa lagi selain dirimu, bahkan siapa tahu seseorang itu juga mencintaimu. Sedangkan aku? Aku sudah punya segalanya, aku masih punya keluarga, aku masih punya teman, aku juga punya tempat tinggal." Kataku sambil menatap wajahnya lekat-lekat. "Dan Jika aku memilihmu, maka aku sama saja mengambil sesuatu yang berharga dari orang lain, dimana aku sudah mempunyai segalanya." Dio langsung lemas.
"Mel,____" Ulesnya.
"Maaf Dio, aku bukan orang yang serakah. Kamu pria yang baik, sulit menemukan pria yang sepertimu, mana mungkin Luna tidak mencintaimu? Kalian berdua itu cocok, sudahlah." Kataku, kemudian dengan penuh ketulusan hatiku, kuusap tiap tetes air mata yang membekas di pipinya. Lalu mata Dio terpejam seakan tak mau melihat ulahku.
"Pria kuat tak boleh nangis." Kataku sambil tertawa sedang, perlahan-lahan matanya kembali terbuka, dan aku bisa melihat urai senyum Dio yang begitu menggemaskan.
"Datanglah ke rumah nenek saat ada waktu luang, aku akan membuatkan masakan banyak untukmu," Kataku, Dio mengangguk lesu.
"Aku jadi merasa bersalah telah membuatmu berpikir soal hal ini, seharusnya aku tak perlu membicarakannya." Telunjuk jariku langsung membungkam mulut Dio.
"Husst sudahlah, kamu tidak salah kok, hal itu memang perlu, tapi kamu jangan khawatir. Aku akan tetap menyayangimu sebagai kakakku, dan kamu menyayangiku sebagai adikmu. Bukannya kesepakatan kita dari awal berbunyi seperti itu?" Tanyaku, dan dia tersenyum tipis sambil mengangguk.
"Yahh, kamu benar Mel, kita akan tetap seperti saudara sampai kapanpun." Kata Dio. Angin di siang hari berhembus kearah kami berdua. Lalu kami memutuskan untuk berpelukan. Dari kejauhan samar-samar aku melihat pria sedang berdiri, bertubuh tinggi, berjalan mendekati kami. Ketika pelukan itu usai, aku baru menyadari bahwa pria tersebut ialah Tony.
Bersambung...
Berlanjut ke Chapter 71...