Mataku terbelalak melihat kehadiran Tony berdiri di hadapan kami. Seakan seperti sambaran petir yang menggelegar mengagetkan siapapun yang mendengarnya. Hatiku nyaris sama seperti itu. Apalagi melihat tatapan Tony yang menyeringai dan menakutkan. Nyaris diriku sama sekali tak mengenalinya.
"Ternyata benar apa yang selama ini aku duga." Ujar Tony sambil geleng-geleng kepala. Kulihat Dio mengernyit dan kebingungan untuk merespon hal ini. Aku berusaha untuk menenangkan hatiku. "Kamu benar-benar tega Mel, kurasa hubungan kita dari awal memang tak pernah serius." Imbuhnya. Kulihat kedua bola mata Tony nampak memerah, seluruh tubuhnya kejang dan seperti hendak meluapkan kemarahannya.
"Tunggu, ini sebenarnya yang tidak serius dari kamu atau dari aku?" Tanyaku, Dio seketika berdiri dan mencoba menenangkan situasi.
"Oh tunggu sebentar, nampaknya ada kesalah pahaman dari sini." Ulesnya, aku langsung mengelak.
"Diam Dio," Kataku sambil menggenggam tangannya. "Sekarang jawab pertanyaanku, sebenarnya yang tidak serius diantara kita itu siapa?" Tanyaku, Tony langsung terdiam.
"Kamu ini bicara apa? Selama ini aku sudah tulus kepadamu, aku sampai rela memikirkanmu supaya aku tidak menuruti apa kata papaku untuk pindah dari kota ini. Semua bentuk pertimbanganku hanya pada dirimu. Dan sekarang? Apakah janjimu kepadaku kala itu hanya omong kosong?" Ujar Tony, aku tak bisa menjawabnya. Aku sungguh tak mengetahui keadaannya, aku seperti buta akan hal itu.
"Memangnya selama ini kamu kemana saja? Kenapa kamu menghapus nomor kontakmu?" Tanyaku.
"Ponselku remuk dibanting sama papaku, dalam dua minggu kedepan dia akan mengajakku pindah ke Kota Jogja, mamaku juga terkena covid, aku bingung harus bagaimana, dan melihatmu sekarang seperti ini! Kamu benar-benar suskses membuat hidupku hancur Mel." Ujar Tony, dia melirik tanganku yang menggenggam tangan Dio, dan setelah itu Tony pergi begitu saja dengan penuh kekecewaannya. Hatiku spontan remuk seketika. Kulepas tangan Dio dengan cepat, dan aku berniat untuk mengejar Tony, namun Dio seketika menghentikanku.
"Tunggu Mel," Katanya, aku megap-megap kebingungan. "Biarkan dia pergi, lagi pula percuma saja kamu mengejarnya." Imbuhnya, aku menggeleng.
"Lepaskan Dio, ini bukan sekedar salah paham, aku perlu untuk menemuinya." Ujarku, dan kutarik tanganku saat itu juga, berlari dengan cepat untuk mengejar Tony.
"Toon,___ Tungguu,___" Aku berteriak, pria itu seketika berhenti membelakangiku.
"Aku minta maaf, aku mengaku salah, tapi jujur kenapa kamu menghilang dariku sekian lama? Kenapa kamu tak mengabariku apa-apa?" Tanyaku.
"Aku sudah katakan padamu tadi, mau kulangi lagi dua kali?" Katanya, saat itu juga aku meneteskan air mata.
"Kamu egois, mana bisa kamu memberikan kesimpulan secepat itu atas bentuk kesalahanku, dimana kamu yang hilang kontak begitu saja tanpa kejelasan." Kataku.
"Tanpa kejelasan? Kurasa dari awal sejak kami pertama kali berhubungan sudah saling mengerti. Status mama dan papaku dalam tahap perceraian, mereka berdua seakan menghasutku untuk memilih salah satu dari mereka." Ujar Tony, pikiranku merambah kemana-mana. Aku menjadi sadar pada diriku sendiri, siapa yang bersalah diantara kami. "Apa kamu lupa? Hmm sudahlah, percuma saja aku menghabiskan waktu dengan perempuan yang tak bisa dimengerti sepertimu." Timpanya, lalu pergi. Sungguh berat sekali menerima kenyataan ini, kenapa kedatangan Tony begitu mendadak? Dan kenapa kenyataan pahit selalu datang secara beruntun? Lagi-lagi ini semua salahku, sepertinya tak ada hal lain di dunia ini yang bukan salahku.
Dalam hatiku berkata kembali, tolonglah kembali, berikan aku kesempatan untuk menceritakan semuanya. Tapi percuma, dari dulu aku sudah menganggapnya bahwa Tony sudah menghilang, Tony sudah melupakanku, bahkan sudah punya yang lain. Entahlah, kenapa semua pemikiran itu salah? Dan kenapa aku tidak sadar bahwa selama ini Tony memiliki ruang lingkup keluarga yang bermasalah. Aku bertanya-tanya kepada diriku sendiri, sampai aku mendapatkan sebuah kesimpulan bahwa diriku ini amatlah kejam. Aku sama sekali tak layak mendapatkan cinta, apalagi cinta dari pria yang pertama kali kumiliki. Ohh Tuhan, aku bahkan seperti mensia-siakannya.
Angin di siang hari seketika berhembus meniup tulang-tulangku yang mulai retak. Diriku seakan sudah tak kuat lagi untuk berdiri, hingga Dio senantiasa hadir tepat di sampingku.
"Ayo kuantar kamu pulang sekarang," Katanya, Dio menatapku ditengah pipiku basah oleh air mata. "Mungkin semua ini perlu waktu untuk memulai dari awal, bukannya akhir-akhir ini kita juga sama-sama mengalami hal yang rumit?" Imbuh Dio, dan aku mengangguk. Entah mengapa ketika diriku berada di samping Dio. Ada beberapa pemicu yang membuat hatiku kembali tenang. Sebab aku tahu dari awal bahwa Dio ialah orang baik. Dia mempunyai alasan yang kuat untuk melakukan hal itu, terutama kepadaku. Bahkan kebaikan Dio lebih dari sekedar teman, dia sudah kuanggap seperti kakakku sendiri, dan sampai kapanpun aku akan selalu membutuhkannya, sebab dia ialah kakakku.
Dio menuntunku untuk sampai ke toko rotinya, dan aku duduk pada kursi pelanggan sambil menerima sekotak tisu dari Dio. Kulihat tiap kali Keyra melirikku. Andai saja dia tidak begitu sibuk, mungkin dia sudah menanyaiku banyak hal.
"Terima kasih." Kataku, tersenyum kearah Dio.
"Aku tahu perasaanmu," Katanya. Saat aku melihat wajahku pada kaca yang terpasang di meja pelanggan itu. Nampak kedua pipi serta hidungku memerah. "Berhentilah untuk menyalahkan dirimu sendiri, ini semua bukan salahmu." Imbuh Dio.
"Bagaimana bisa ini bukan salahku? Aku sudah berpikir yang tidak-tidak padanya, entah wanita macam apa aku ini." Ujarku, Keyra nampak melotot dari kejauhan.
"Bagaimana kalau aku antar kamu pulang saja? Atau ke rumah nenekmu. Barang kali aku bisa membantu untuk beres-beres barang di sana." Ujar Dio, diriku langsung menggenggam tangannya untuk yang kesekian kalinya.
"Iyahh, datanglah," Ujarku. "Kurasa kamu memang perlu untuk datang ke sana," Aku tertawa sedang.
"Di rumahmu yang baru, aku ingin tahu apa saja yang ada di dalam sana." Senyumnya lantas mengobatiku, lalu Dio menggandeng tanganku untuk mengantarkanku pulang. Ibuku tersenyum saat melihat kedatangaku bersama Dio. Spontan pria itu langsung membantu ibuku mengangkati barang-barang untuk dimasukkan ke dalam mobil. Kulihat Jojo mendempis di pojokan teras. Aku yakin sekali bahwa Tony pasti hadir di rumah ini juga. Tak ada sebingkai kata apapun yang terucap dari mulut mereka. Tanpa aku menanyakannya aku sudah tahu sendiri.
Justru ada rasa malu yang seketika timbul dalam diriku, seolah-olah mereka tak mau bicara denganku. Masalah retaknya hubunganku dengan Tony memang tak pernah kuceritakan pada mereka. Aku berpura-pura bahwa hubunganku dengan pria itu masih baik-baik saja, dan kini melihat kenyataan yang sudah terbongkar semua, sungguh diriku diselimuti oleh rasa bersalah.
Saat hari sudah menjelang sore, kami sudah sampai di rumah nenek. Paman Farid menyarankan supaya tak mengambil barang dari sana dalam jumlah banyak, sebab itu dapat menimbulkan banyaknya tikus di rumah nenek. Tapi yang terjadi kami malah membawa barang cukup banyak. Dio turut membantu menurunkan barang dengan pak Irwan dan paman Farid, sedangkan aku dan ibuku menyiapkan makan malam untuk kami bersama. Dio memang sudah amat akrab dengan ayah tiriku, begitu pula dengan paman Farid. Pria itu memang mudah sekali untuk bergaul, apalagi kepada kerabat-kerabat terdekatnya. Semua itu mengingatkanku pada Tony, dimana Tony dulu juga mengalami moment yang serupa.
Saat aku sedang mengiris wortel, tubuhku seketika lemas dan seperti kehilangan banyak tenaga, entahlah, sejauh ini banyak sekali yang kupikirkan, sampai kepalaku mulai terasa berkunang-kunang.
"Kamu tak pa pa kan Mel?" tiba-tiba Tanya ibuku, aku memegangi kepalaku dan seketika berakting seolah dalam keadaan baik-baik saja.
"Ohh, aku tak kenapa-napa kok." Kataku, hingga diriku sadar bahwa irisan wortel tersebut begitu amat acak-acakan.
"Ada apa? Cerita saja sama ibu." Katanya, dan aku mulai menghirup nafas panjang.
"Aku memikirkan Tony bu." Kataku, ibuku mendesah.
"Sudah kuduga, memangnya apa yang terjadi selama ini dengannya? Ibu sama sekali tak mengerti." Entah kenapa nada bicara ibu begitu kalem dan enak didengar. Biasanya apabila aku berdiskusi kepada ibu perihal Tony, dia sama sekali tak begitu antusias.
"Jadi begini, hubunganku dengan Tony sejak beberapa bulan terakhir ini sangat tidak baik. Terutama dia sudah lama hilang kontak denganku, ditambah tak ada informasi yang jelas mengenai dirinya. Sejak awal itu pikiranku sudah merambah pada hal-hal yang negatif, aku sampai berpikir kalau dia sudah mempunyai perempuan lain. Namun nyatanya dia datang dan menjelaskan semuanya, bahwa dia selama ini ternyata mengalami situasi buruk dengan keluarganya." Ungkapku panjang lebar.
"Hmm, memang apa saja yang sudah kamu lakukan selama kamu sudah tidak bersama Tony? Apa kamu melukainya?" Tanya ibuku, respon jantungku begitu tidak stabil, aku gemetaran seperti merasakan sebuah perdebatan.
"Tidak, sama sekali tidak, yang kulakukan hanya mencari sosok pendamping untuk menemani kesendirianku. Ibu tahu sendiri kan kalau aku dengan Dio sama sekali tak pernah menjalin hubungan yang macam-macam. Kita hanya berteman, dan hubungan kita hanya sebatas saudara." Kataku, dan ibuku mengernyit.
"Tapi Mel, ibu kurang setuju perihal itu, sebab kenapa kamu nampak cemburu dengan Dio ketika dia sedang berdua dengan kekasihnya kala itu?" Dan seketika aku mengingat tentang malam perayaan Luna yang diselenggarakan di dalam rumah Dio. Ketika itu hubungan mereka nampak jelas dari dalam rumah kontrakan ibuku dulu. Kami berdua menatap kemesraan mereka, dan benar saja, saat itu ada rasa cemburu di dalam hatiku.
"Apakah kamu bisa jelaskan mengenai hal itu?" Tanya ibu.
"Entahlah.____ " Ulesku sambil merundukkan kepala, dan ibu seketika merangkulku dan mengelus-elus pundakku. Rasanya aku ingin menangis saat ini. Namun bagaimana bisa? Sayuran yang kami buat masih belum selesai, lagi pula aku tak ingin terlihat berlebihan dihadapan ibuku.
"Kita bicarakan nanti saja kalau begitu, sekarang jangan buat mereka menunggu lama."
"Tapi bu, aku selalu memikirkan satu hal yang nyaris membuatku gila, sulit bagiku untuk menyembunyikan hal ini darimu." Kataku, ibuku meletakkan pisaunya, dan dia menatapku dengan tatapan yang tak biasa.
"Kamu mikirin apa sayang? Katakan saja." Katanya, dan wajahku mulai memerah. Ini jauh lebih menegangkan dari pada menaiki wahana permainan.
"Dio mencintaiku." Kataku, ibu langsung melotot. "Dia mengatakannya sendiri di acara pesta dulu."
"Astaga, benarkah?" Timpanya dengan nada yang tak percaya. Aku bisa melihat raut wajah ibuku yang begitu kebingungan dan terkejut.
"Yahh, setidaknya begitu, tapi aku menolaknya karena kita hanyalah teman, ditambah lagi Luna ialah perempuan yang baik, yang sudah sekian lama menjalin hubungan dengan Dio. Jadi mana mungkin aku merusak hal itu? Aku bukan tipikal orang yang seperti itu bu." Kataku, ibuku menorehkan senyumnya padaku.
"Ibu mengerti, berarti perselisihanmu dengan Tony itu hanyalah salah paham, tidak masalah jika kamu mengungkapkan yang sebenarnya pada Tony." Diriku mendesah.
"Tony sudah terlanjur kecewa, bahkan dia sudah tak mau membuang waktunya demi perempuan yang tidak bisa dimengerti sepertiku. Aku masih ingat kata-katanya." Ibuku kembali mengirisi wortel setelah aktivitas itu berhenti karena mendengarkan keluhanku, dan kami mulai memasak kuah sup setidaknya sekitar tiga puluh menit agar sup buatan kami matang.
Malam itu, di rumah nenek terasa begitu ramai. Kulihat Dio bercengkrama sekaligus bercanda bersama paman dan ayah tiriku. Mereka membicarakan soal dekorasi rumah ini yang nyaris seperti zaman dulu. Memang dari awal niatan kami ingin mengembalikan moment masa lalu itu. Mulai dari dinding yang kami cat dengan warna putih, serta lemari etalase yang ibu penuhi dengan piring-piring serta gelas-gelas klasik peninggalan dari Almarhum kakekku. Bahkan aku juga menanam bunga pagoda di teras rumah, serta tak ketinggalan memasang ayunan kecil yang diikat pada batang pohon jambu air.
Aku tak pernah menilai bahwa semua itu akan menimbulkan hal buruk, justru melakukan semua itu membuat rumah nenekku kembali hidup seperti baru. Simbol yang menandakan bahwa kami telah berkumpul bersama di sini, dan tak akan pernah melupakan sejarah indah yang telah terukir dalam suka dan duka. Kami di sini, tertawa lepas tanpa adanya hambatan apapun, bahkan tanpa perasaan yang kami tutup-tutupi.
Dari situ aku bisa melihat wajah Dio yang begitu menawan, wajah yang seakan tak pernah bisa bosan untuk dipandang. Dia sempat mengejek foto masa kecilku yang telah kupasang pada pigura besar di dinding samping meja makan. Itu ialah fotoku ketika nenek sedang mengayunkan ayunan di depan teras rumah. Masa kecil yang tak kan terlupakan, Dio menilaiku seperti tokoh kartun Sailor Moon. Memang sejak kecil nenekku suka mengikat rambutku menjadi dua, alasannya supaya rambutku tetap terjaga. Bagiku itu tidak masalah, aku suka pendapat Dio.
Bersambung...
Berlanjut ke Chapter 72...