Bagaimana aku bisa mempunyai perasaan ini? Saat kami makan bersama ada banyak sekali pemicu yang tak bisa membuat mataku lepas untuk menatap Dio. Nampaknya pria itu betah berlama-lama di rumah nenekku, bahkan sikap dan gesturnya seakan menunjukkan bahwa dia sudah menjadi salah satu dari anggota kami. Jujur aku begitu bingung dan sulit menerima kenyataan ini. Entah ini memang murni dari hatiku sendiri yang mudah untuk mencintai. Namun cinta itu kompleks, aku tak bisa menerima cinta dari satu sudut pandang saja. Dimana Dio yang memiliki wajah rupawan serta postur tubuh yang ideal, semuanya tak cukup bila dilihat dari sisi itu saja.
Selama ini diriku mengamatinya begitu detail, letak-letak kesalahan diantara kami yang tak akan bisa diubah begitu saja, bahkan begitu sulit. Meskipun Dio ialah pria yang baik dan selalu peduli dengan keluargaku, aku tak bisa memilih pilihannya begitu saja. Aku seperti menaruhkan nasib seseorang yang sedang dalam keadaan tak berdaya. Tentunya apabila aku melewatkan hal itu, sama saja akulah yang akan disalahkan, serta akulah yang akan menanggung semuanya.
Perdebatanku dengan Tony sudah cukup melukai hatiku. Pria sebaik dirinya pasti berat untuk berkata seperti itu, atau kalau tidak karena diriku yang terlalu kurangajar. Yahh, aku memang patut untuk disalahkan, apabila Tony marah dan kecewa itu memang hal yang normal.
"Tunggu sebentar, kita perlu pendapat Amel perihal rambut kuncritnya, apakah kamu sendiri yang memintanya?" Ujar Dio yang seketika memecahkan lamunanku. Diriku terpaksa tersenyum menatapnya.
"Bukan, itu nenekku sendiri yang minta, memangnya kenapa?" Tanyaku.
"Kamu tidak dengar? Dio menilaimu seperti tokoh kartun, nampaknya sih lucu." Ujar pak Irwan, aku masih menahan senyumku meskipun itu berat.
"Memang, banyak teman-temanku di sekolah juga menyukai gaya rambutku, meskipun agak gatal bila di siang hari." Dio tertawa sedang. Aku bisa melihat mata pria itu seperti menyimpan rasa heran, sebab di setiap gerik dan nada bicaraku terdengar sumbang.
"Amel." Tiba-tiba panggil Dio yang membuat kami semua menoleh kepadanya. "Kembalilah ke toko rotiku, rasanya aku sangat kerepotan bila tak ada dirimu." Imbuhnya, aku langsung merundukkan kepala. Sebuah tawaran yang sungguh berat, apalagi diriku baru saja berkonflik dengan Tony. Apakah semua ini adil baginya? Aku tahu dan paham bahwa Tony tidak akan pernah melupakannku, atau bahkan mengacuhkanku begitu saja. Itu semua hanya pilihan dan anggapan bodoh dariku yang tak bisa berbikir kompleks. Di satu sisi lain aku hidup berdampingan dengan pria yang begitu baik dan begitu sering menolong keluargaku. Apabila diriku berkata jujur mengenai keadaan saat ini, aku sangat membutuhkan tawaran itu. Dengan bekerja di toko Dio aku bisa mendapatkan penghasilan yang terjamin. Tapi entahlah, kenapa Dio memberiku tawaran di saat-saat seperti ini?
"Amel? Kok kamu diam saja? Itu Dio lagi nanyain kamu lho." Senggol ibuku yang duduk tepat di sampingku, aku tak bisa menjawab tawaran itu, bahkan sulit untuk kuucapkan dari mulutku. Berada di hadapan keluargaku, rasanya aku terlihat seperti penjahat. Bagaimana bisa diriku melukai pria yang selama ini telah mencintaiku? Pria yang berambisi untuk mewujudkan segala macam impianku, serta dengan tulus telah memberiku ciuman pertama dalam hidupku. Aku masih ingat betul kenangan-kenangan manis itu. Hingga sampai saat ini aku tak pernah menemukan letak-letak kebohongannya, serta bentuk anggapanku selama ini padanya. Aku merasa seperti perempuan kejam, seperti tak pernah membalas kebaikannya.
"Mel, kamu kenapa?" Tanya paman Farid, sungguh aku tak bisa menatap wajah mereka. Dari awal sebenarnya diriku ingin menangis saja, tapi aku umpat karena moment dinner keluarga ini. Kedua mataku melihat makanan yang berupa sup daging, serta beberapa potong ayam goreng. Meskipun makanan itu bukanlah kesukaan Tony, aku ingat saat kita masih bekerja di perkantoran bersama, membawakan bekal untuknya berupa sup, lalu kami makan bersama di dalam pantry dengan penuh tawa dan segala macam rayuannya.
Seketika aku meneteskan air mata, dan aku menangis lirih sambil kutahan-tahan supaya tak menimbulkan suara. Aku masih tak berani menatap mereka semua, dimana mereka semua pasti menunggu respon jawaban dariku.
"Maaf, ma-maafkan aku." Kataku megap-megap, Ibuku dan Dio langsung panik. Aku bisa merasakan peluk dari ibuku, serta Dio yang beranjak dari kursinya dan mengelus-elus pundakku di tengah tangisan ini semakin lirih. Aku tak menyalahkan siapapun, aku sama sekali tak mempermasalahkannya, bahkan mengenai tawaran itu. Aku justru merasa bersyukur sebab di dunia ini banyak orang yang mencintaiku, banyak orang yang peduli pada hidupku, meskipun hanya segelintir saja, namun aku merasa tak pernah membalas kebaikan mereka. Kurasa aku tak bisa berbuat seperti itu. Bahkan aku bisa dikatakan sebagai orang yang tak punya rasa terima kasih. Yahh, memang itulah aku.
Acara makan malam yang berakhir dengan tangis misterius. Apalagi paman Farid dan ayah tiriku nampak mengernyit bertanya-tanya. Ada apa dengan diriku? Mengapa menangis? Kenapa tidak menjawab tawaran Dio? Sudah hentikan pertanyaan-pertanyaan itu. Rasanya aku ingin sendiri dan menangis di dalam kamarku saja. Maka seketika itu aku langsung beranjak dan berlari menuju ke kamarku. Spontan ibu langsung mengejar dan menghampiriku. Pintu kamar langsung dia buka di saat diriku menutup pintu itu rapat-rapat. Aku yakin sekali kalau ibu pasti marah padaku.
"Apa-apaan ini? Kenapa kamu menangis dan langsung pergi begitu saja?" Bentak ibu, diriku tenggelam dalam kasur yang masih dalam keadaan berantakan. Ibu terlihat kebingungan dengan ulahku, tapi aku sangat yakin kalau ibuku pasti tahu bahwa aku menangis karena memikirkan Tony.
"Ohh, sudahlah Mel, berhentilah seperti ini, mau sampai kapan lagi huh?" Tanya ibu, dan perlahan-lahan aku mencoba untuk menenangkan diri, berpikir hal lain untuk menghilangkan topik Tony di otakku. Langkah itu berangsur-angsur berhasil, aku menahan diri agar tak termehek-mehek, namun air mata masih belum bisa berhenti untuk menetes.
"Ibu tahu perasaanmu sayang, tapi pliss jangan kamu tunjukkan seperti ini, kan kasihan Dio, apa kamu tak kasihan sama dia?" Tanya ibu, dia duduk di ranjang kamarku sambil mengelus-elus pahaku.
"Ibu dulu juga pernah mengalami konflik hubungan percintaan sepertimu, dimana ibu berselisih dengan orang yang ibu cintai dimana kekasih ibu sama sekali tidak bersalah. Ibu mengerti, tapi ibu mudah untuk mengontrol diri, menjaga emosi serta berpikir jernih dan logis, tidak seperti ini sayang." Ujar ibuku, aku langsung meliriknya. "Ibu bisa menerima perasaanmu karena mungkin kamu baru pertama kali merasakan masa-masa jatuh cinta. Itu memang rumit, tapi menangis bukanlah pilihan yang tepat, menangis dapat membuat orang-orang terdekatmu menjadi khawatir." Imbuh ibu. Kemudian perlahan-lahan aku bangkit dan duduk di sampingnya dengan amat lemas. Kedua tangan ibuku mengusap air mata yang masih basah di kedua pipiku.
"Iya, ibu benar, kan aku sudah bilang dari awal kalau aku ingin menangis, sehingga aku sulit untuk menahannya." Kataku lesu, ibuku menorehkan senyum tipis kearahku.
"Yahh ibu paham, dari sini kamu bisa belajar tentang kesalahanmu, yang mungkin sekarang ini kau tangisi." Katanya, aku mengangguk, mengalihkan tanganku untuk menggenggam tangan ibuku.
"Tapi bagaimana dengan Dio? Bagaimana dia di luar sana? Sungguh aku tak berani melihatnya bu." Kataku, ibuku membalas genggaman tanganku balik.
"Tak pa pa Mel, kenapa kamu tidak berani? Temui saja dia, apa kamu tidak kasihan atas bentuk segala kebaikannya selama ini? Jangan bersikap terlalu berlebihan, apalagi memasang tangis seperti itu diwajahmu." Kata ibu, dan dengan cepat aku mengusap air mataku sembari berdiri dari ranjang kamarku. Perlahan ibu menuntun langkahku untuk berjalan keluar kamar, tepatnya menuju ke ruang dapur. Ini sungguh konyol, disana aku menemui mereka dan kulihat ekspresi mereka nampak mengernyit menatapku bercampur antara cemas, heran, dan penasaran. Sekarang seluruh tubuhku meregang, rasanya seperti diintrogasi, sudahlah, aku tak ingin memikirkan hal yang aneh-aneh.
"Maaf soal tadi, aku seharusnya tak seperti itu." Kataku yang langsung manatap Dio secara perlahan, kemudian Dio tersenyum tipis, kurasa pria itu paham mengenai tangisanku.
"Tak masalah, tapi kamu baik-baik saja kan?" Tanya-nya, aku tersenyum balik, mengangguk dengan penuh percaya diri.
"Yahh, aku baik-baik saja, tak usah cemas, lagi pula aku sudah lama tak pernah menangis seperti ini, maksudku, aku berusaha untuk mejadi perempuan yang kuat dan tak cengeng." Kataku, beberapa dari mereka tertawa sedang dengan ucapanku, begitu pula dengan Dio. Melihat dia bisa tertawa cukup membuat rasa bersalahku terobati, setidaknya makan malam di rumah nenekku tak membuat Dio merasa gelisah. Sejujurnya aku senang melihat pria itu berada di sini dan bercengkrama bersama keluargaku, tidak ada yang perlu di permasalahkan. Keluarga kami berjalan normal dan baik-baik saja, seharusnya tak ada situasi yang memancing adanya kegelisahan atau bahkan kecemasan.
Rasa rindu dan bersalah itu bisa kupendam dalam diriku sendiri. Lagi pula ini ialah urusanku, aku akan tetap mempertahankannya agar kembali utuh seperti semula. Bukannya itu yang akan menjadi tujuanku yang sebenarnya? Keluarga adalah ikatan nomor satu di setiap lini kehidupan seorang individu. Aku tak ingin kejadian serupa yang dialami nenekku terulang untuk yang kedua kalinya.
Aku akan memilih untuk mempertahankan mereka, meskipun sesulit apapun itu nanti. Sebab mereka semua menyayangiku, mereka semua menganggapku begitu berarti, maka tak ada dari mereka yang patut kupilih salah satu. Diriku akan memilih mereka semua, dan tak akan ada yang ku lepaskan.
Acara makan malam ini berlangsung cukup lama, selain ulah perbuatanku yang begitu berlebihan juga di tambah canda gurau mereka yang seakan tak bisa dihentikan. Aku dan ibuku membereskan meja makan saat sarapan kami semua diatas meja habis. Dio pula membantuku mengangkati piring-piring kotor yang bobotnya cukup berat. Tiap kali tante Anik melirik aktivitas kami berdua sambil meninggalkan senyum simpul yang misterius. Ketika aku melintasinya, tanteku berbisik.
"Kelihatannya kalian berdua cocok." Ujarnya sambil tersenyum, aku mengernyit dan bicara dalam hati.
"Diamlah."
Aku dan ibu mencuci piring di dapur, sedangkan Dio kembali ke ruang tamu untuk bercengkrama dengan segerombol pria-pria dewasa di depan sana. Dapur ialah urusan perempuan, sebenarnya tante Anik juga berniat untuk membantu kami, namun mengingat kondisinya yang baru sembuh, ibuku tak mengizinkannya, sehingga tante Anik dapat istrahan di dalam kamarnya. Tiap kali aku dan ibuku mendengar bunyi tawa pria-pria yang ada di depan sana. Aku tak berani jamin bila Dio akan begadang di rumah ini sampai malam, namun setahuku Dio bukan tipikal seperti itu.
Dia punya pekerjaan, dan dia juga pria yang bertanggung jawab. Mana bisa dia bangun pagi-pagi untuk mengurus tokonya apabila dia begadang hingga larut malam. Serta satu hal lagi, Dio bukan orang yang belebihan, dia mampu mengukur batasan-batasan yang perlu ia lakukan, itu semua meliputi kehendak, sikap, dan penampilannya. Segala yang ada pada Dio selalu nampak pas namun juga dinamis.
Seiring berjalannya waktu, kami berdua membereskan sisa-sisa makan malam. Aku mencium bau rokok yang menyengat hingga masuk ke kamarku. Aku yakin Dio tidak merokok, serta aku yakin pula bahwa paman Farid juga tak melakukan hal itu. Dan yang benar saja, saat aku memberanikan diri untuk masuk ke ruang tamu, kepulan asap rokok itu menyala hanya pada ayah tiriku saja. Pak Irwan, sungguh aku akan melarangnya apabila Dio sudah pulang dari rumah ini.
Saat waktu sudah menunjuk pukul delapan malam, kami telah membuatkan dua cangkir kopi masing-masing untuk mereka bertiga. Nampaknya rumah ini sudah kelewat nyaman untuk dibuat nongkrong atau begadang hingga larut malam. Tapi aku bisa mendengar sela-sela pembicaraan mereka bahwa Dio ingin berpamit untuk pulang ke rumahnya.
Saat ini aku berada di ujung keputusanku, duduk diatas ranjang ditemani oleh Jojo sambil beristirahat. Tak ada aktivitas lagi selain mendengar pembicaraan mereka. Bermain ponsel nampaknya mampu mengiris perasaanku kembali, lantaran hal yang berkaitan dengan ponsel selalu mengingatkanku pada Tony. Setidaknya untuk saat ini aku berhenti memikirkannya, dan setidaknya semua itu juga perlu waktu untuk memperjelas kebenaran yang ada.
Tak perlu ada kebencian dan kekecewaan, sebab aku tak ingin kedua hal itu terjadi diantara kami. Aku ingin semua kembali utuh seperti awal, menjalani hidup dengan penuh kebahagiaan. Tentunya bersama mereka hidupku akan bahagia, bersama mereka pula hidupku mejadi lengkap. Sampai sini aku sadar bahwa deret tulisan resolusiku dulu yang telah kubuat hanya sebuah harapan kosong yang tanpa arti.
Semua kesimpulan terukir dengan berbagai peristiwa yang kami alami, layaknya sebuah bentuk pembelajaran yang mampu membuka mata dan hatiku. Diluar sana Dio sedang berpamit, satu alasan yang ingin membuatku tetap mempertahankannya ialah Dio pria yang baik. Maka saat itu juga aku berlari menuju ke ruang tamu, melintasi mereka begitu saja dan melihat pria itu sudah berada di luar teras hendak menaiki motornya.
"Tunggu, besok pagi aku akan bekerja di toko kue-mu."
Bersambung...
Berlanjut ke Chapter 73...