Dio memberhentikan langkahnya, perlahan membalikkan tubuh lalu menatapku. Senyum dari pria itu mampu membuatku berani untuk mendekatinya. Pelan namun pasti, diriku berjalan tepat berada di hadapannya dengan jarak yang cukup dekat. Kulihat kemeja yang dia kenakan terdapat bercak noda sambal dan kecap. Aku mengernyit.
"Oke, berarti besok kamu ingin kujemput apa berangkat sendiri?" Tanya-nya dengan nada yang begitu kalem. Aku terdiam dan merundukkan kepala. Berpikir sejernih mungkin untuk sanggup berangkat ke toko kue itu pagi-pagi. Namun berkendara dengan Shine nampaknya ide yang bagus, meskipun aku tak bisa menjamin akan datang ke toko kuenya tepat waktu.
"Emm, terserah." Kataku bimbang, lantas Dio mengangkat alis kirinya untuk sekedar mengkonfirmasi ucapanku.
"Terserah bagaimana?" Tanya Dio, senyumnya cukup lebar kala dia bertanya balik padaku.
"Kalau kamu jemput juga gak pa pa, tapi aku takut bila itu bakal merepotkanmu." Kataku, entah mengapa aku menjadi gugup dan malu dihadapannya. Padahal aku sudah berusaha untuk berpikir jernih.
"Oke, kalau begitu aku jemput pukul enam pagi yahh? Tapi dengan syarat kamu sudah siap semuanya." Balas Dio
"Yahh tentu saja." Kataku.
"Kalau begitu aku pulang dulu, dan terima kasih atas makan malamnya." Katanya, Dio berbalik arah untuk menaiki sepeda motor Kawasaki itu. Melihat kemeja Dio yang nampak kucel oleh noda dan keringat membuatku kasihan padanya.
"Maaf sudah membuat kemejamu kotor semua, seharusnya tadi kamu tak perlu ikut mengangkat piring-piring kotor." Kataku, Dio memasang maskernya dan kemudian di susul dengan helm cargloss hitam sambil tertawa sedang.
"Aku sudah terbiasa melakukan hal itu, jangan terlalu dipikirkan." Katanya, kemudian Dio seketika memegang pipiku, respon hati ini tak bisa tenang, sekejap saja aku langsung berdegup tak karuan.
"Pipimu nampak merah sehabis menangis tadi." Kata Dio kalem, aku hanya bisa melihat mata bulat itu yang tak pernah terlihat sedekat ini. "Tak perlu menangis lagi, kalau perlu seseorang untuk bicara perkara itu, aku siap mendengarkan kapanpun kamu butuh." Imbuhnya, aku mengangguk sambil tersenyum tipis. Kemudian helai tangannya melepas pipiku dengan lembut, diiringi oleh udara malam yang senantiasa meniup kami. Rasanya seperti moment setelah pesta dahulu, hanya ada aku dan Dio berada dalam malam pekat yang sunyi, nyaris melumpuhkan perhatian yang selama ini tak pernah terjamah oleh pikiranku. Bagaimana bisa Dio mengingatkan hal itu? Seakan-akan dia mampu melakukan banyak hal pada diriku. Asalkan aku menerima keputusannya, maka aku dapat menghancurkan orang lain, orang lain yang sejujurnya masih kucintai.
Kuharap Luna juga merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan, dan tidak menggunakan cintanya hanya karena kebaikan Dio saja, namun melainkan kejujuran dari dalam hatinya. Sepeda motor Kawasaki itu menyala dengan lembut, lalu tangan Dio melambai dan berjalan pergi meninggalkanku. Malam ini pasti akan menjadi malam yang panjang. Saat-saat yang menguras tenaga untuk melupakan semua kejadian ini. Terutama akan bentuk ucapan-ucapan Tony yang sampai sekarang membuat hatiku remuk dan hancur.
Diriku kembali ke rumah dengan wajah yang lusuh, ibu menyambutku di depan sana, wajahnya mengernyit heran menatapku. Untuk saat ini bisa dikatakan bahwa tak ada yang pantas untuk dilihat dari wajahku, bahkan Dio sendiri telah menilai bahwa wajah ini penuh dengan kesedihan.
"Apa yang barusan kamu katakan tadi padanya?" Tanya ibu sambil merangkul pundakku, jujur saja dia pasti cemas seharian hanya memikirkan kondisiku.
"Aku setuju untuk bekerja kembali di toko kue Dio." Jawabku, ibu tersenyum lebar.
"Bagus, itulah yang harus kamu lakukan, sekarang cepat tidur-lah, lupakan segalanya tentang Tony atau apalah itu, pikirkan lain kali saja. Yang terpenting sekarang ialah keadaanmu, kapan lagi kamu mendapatkan seseorang sebaik Dio?" Katanya, lalu aku medesah.
"Tapi Tony juga baik," dan ibu menggiringku untuk masuk ke dalam kamar.
"Halah,__ iya ibu juga tahu, sekarang masuk ke dalam dan tidurlah." Ucapnya, pintu kamar langsung di tutup olehnya.
Meskipun dalam hidupku sudah berangsur-angsur membaik, dengan adanya rumah beserta keluarga yang sudah berkumpul, seharusnya semua itu dapat mengobati segala macam bentuk lukaku. Tapi entah kenapa hal itu seakan menjadi topik yang berbeda. Semua ini seakan diatur hanya untuk diriku, dan itu rasanya sama sekali tak adil. Aku bisa merasakan dimana ada sosok pria yang lebih dari satu, dimana mereka sama-sama menyukaiku. Betapa bingungnya dirimu saat dihadapkan pada suatu pilihan, dan harus menjaga keberadaan mereka supaya tak tersakiti. Aku bukan tipikal orang yang pandai dalam hal mengayomi, aku juga bahkan lebih buruk dari itu.
Aku justru tipikal orang yang mudah membenci, mudah melupakan, serta mudah untuk melawan. Dan dalam situasi seperti ini, aku bingung harus berbuat apa. Diam dan tak memperdulikan itu sama saja aku telah melukai Tony.
Sejujurnya aku ingin menghunginya malam ini, tapi bagaimana bisa? Kontak ponselnya sudah kuhapus dari smartphone berbulan-bulan lalu. Bahkan kami sudah tak saling berkomunikasi pasca diberlakukannya karantina di perusahaan tempat bekerja kami dulu. Ini sungguh membingungkan, kenapa Tony tiba-tiba datang begitu saja dan memergoki diriku berduaan dengan Dio? Padahal dia tidak tahu kenyataan yang sebenarnya bahwa kami berdua hanyalah teman, itu saja.
Aku menenggelamkan tubuhku diatas ranjang, lalu berusaha sekuat mungkin untuk menutup mataku barangkali itu bisa membantuku untuk tidur nyenyak, namun tetap saja tidak bisa. Lalu apa? Apakah aku perlu menangis dahulu baru aku bisa tidur? Sudah kuduga dari awal kalau ini akan menjadi malam yang panjang, malam yang ingin sekali untuk kulalui dengan cepat.
Ini hanya masalah waktu, semua situasi pasti memerlukan waktu untuk berjalan dan bercerita. Seperti kehidupan di dunia dimana waktu akan berputar membalikkan keadaan. Itu semua tergatung dari hati dan niat, asalkan semuanya berada di jalan yang benar, waktu akan mengubah keadaan menjadi lebih baik. Bukannya selama ini aku berpasrah kepada waktu? Yah setidaknya aku perlu melakukannya setiap saat aku melangkah.
Jarum dinding menunjuk pada pukul sebelas malam, angan-anganku berkat. Apa yang Tony lakukan saat ini? Adakah niatan dibenakknya untuk menghubungiku? Aku yakin dia pasti tidak menghapus nomor kontakku, atau memang dia juga melakukan hal yang sama? Kalaupun itu terjadi memang suatu hal yang wajar, apa yang telah dia lihat di depan matanya sangat tidak adil untuk dia terima. Lagi-lagi aku merasa bersalah kembali.
Kalau begitu jangan hapus nomor kontakku, hubungi saja aku saat ini, aku akan katakan yang sebenarnya dan yang sejujur-jujurnya. Lalu kesalah pahaman akan berakhir kalaupun dia mempercayai apa saja yang telah kukatakan. Mengkhayal yang baik-baik saja kalau begitu. Dia mendatangiku malam-malam, menengok jendela mungkin? Atau mengetuk pintu depan? Astaga itu pasti lebih menakutkan apabila terjadi tepat di tengah malam.
Gila, Tony tak seperti itu, dia bahkan tipikal laki-laki yang tak suka begadang hingga tengah malam, setidaknya dia persis seperti Dio. Hidup dengan aturan yang benar dan berhati baik, dan kedua orang seperti mereka hadir dalam kehidupanku, dan pada ujungnya nanti akan dihadapkan oleh sebuah pilihan.
Aku tidak suka dengan pilihan, apalagi memilih diantara mereka berdua. Sudah lupakan saja kalau begitu. Melupakan? Melupakan Dio saja aku tidak bisa apalagi melupakan Tony. Dua-duanya sungguh membuatku tak bisa tidur. Andai aku bisa berteriak kencang, yang ada seluruh kampung bisa memukuliku.
Coba untuk menarik nafas dalam-dalam, tahan lima detik lalu lepaskan. Kucoba lagi hal itu. Tarik nafas dalam-dalam, tahan lima detik lalu lepaskan. Kuulangi lagi hingga dua kali, sampai mataku sama-sama merasakan kantuk, sungguh inilah yang kutunggu-tunggu. Benar, tepat sekali, yang kubutuhkan hanyalah ketenangan, jauh dari pikiran-pikiran tentang mereka. Dan entah kenapa aku justru ingin malam ini larut dengan begitu panjang, biarkan saja.
"Amel! Amel! Amel,______" Pintu kamarku terketuk oleh seseorang. Keras dan mampu membangunkan tidurku. Samar-samar cahaya terang masuk dari dalam jendela, membuat kelopak mataku berair.
"Sudah siang Mel, Dio sudah di depan menunggumu." Kata ibu sambil mendobrak-dobrak pintu. Diriku langsung terjungkal kaget dan naik dengan amat panik.
"Mati aku, sudah jam tujuh pagi." Mataku terbelalak dan langsung berlari menuju ke kamar mandi.
"Suruh tunggu dulu, aku tidak akan lama." Teriak diriku sambil membawa handuk dan pakaian yang kuambil secara ngawur di dalam lemariku. Aku bisa mendengar tawa Dio di luar sana. Tawa yang dapat memacu semangatku untuk memulai hari ini. Meskipun ibuku marah-marah karena mengetahui putrinya sedang bangun kesiangan. Aku sama sekali tak kaget dengan amarahnya, karena di setiap ucapan ibuku selalu bernada gurauan. Jadi aku menghiraukannya sambil bernyanyi-nyanyi di kamar mandi.
Setelah semuanya usai, aku menemui Dio dengan mengenakan setelan t-shirt dengan celana jogger pants yang dulu pernah kubeli bersama Eny dan Andy di pasar malam. Beruntung keluargaku sudah berkemas di rumah ini. Sehingga aku bisa memilih pakaian-pakaian KW yang kwalitasnya masih bagus-bagus. Mereka berdua nampak mengernyit saat menatapku dari bawah ujung kaki hingga kepalaku.
"Dandananmu sangat tomboy sekali, apa tidak ada baju lain?" Tanya ibu, aku menggeleng.
"Ibu, kita sedang berangkat bekerja, bukan berangkat nge-date." Ulesku.
"Tidak masalah, bagiku itu bagus kok, ayo kita berangkat." Kata Dio sambil mengulurkan tangan kearahku. Lirikan ibu begitu sinis, kemudian Dio berpamit pada ibu sambil menorehkan salim, sungguh begitu sopannya. Setelah kuingat-ingat ini ialah kali kedua diriku dibonceng oleh Dio menggunakan sepeda motor Kawasaki besar dan gagah itu. Jantungku lagi-lagi berdegup tak karuhan, apalagi saat menaikinya sambil berpegangan pada kedua sisi punggung pria itu. Aku suka bau aroma parfum yang dia kenakan, meskipun tak terlalu harum, setidaknya itu mampu membuatku nyaman.
Pagi yang sudah tak lagi sejuk, bisa dikatakan kami berangkat cukup kesiangan. Sinar matahari sudah bersinar panas menghangatkan tubuh kami. Namun jalanan masih terbilang longgar, sehingga Dio dapat melesat sampai ke tokonya hanya dalam hitungan menit saja.
Kulihat di dalam toko Dio's bakery nampak banyak susunan-susunan kardus yang tertumpuk cukup tinggi. Keyra dan Bagas terkejut melihat kedatanganku, kurasa mereka memendam banyak pertanyaan yang akan mereka ucapkan. Tentu saja, sebab akhir-akhir ini hubunganku dengan Dio terlihat cukup berlebihan.
"Astaga kamu kembali Mel?" kejut Keyra, aku tersenyum.
"Yah begitulah, maaf kedatanganku begitu mendadak." Ujarku, Dio menghampiri kami dengan senyum lebar sambil merangkul pundakku.
"Amel kuajak kembali ke sini, sejak dulu toko kita memang butuh satu personil bukan?" Ujar Dio, Keyra mengangguk.
"Iya sihh, gak ada kamu pesanan kita sempat molor Mel, untung kamu mau bekerja lagi di sini." Ules Keyra.
"Oke, hari ini kita ketambahan pesanan dari salah satu teman Luna yang baru saja bertambah usia, dia memesan blackforest." Kata Bagas, lantas Dio terdiam dengan senyum lebar yang berangsur-angsur menyusut.
"Tak masalah, kita akan kerjakan hari ini, kapan pesanannya diambil?" Bagas mendangak, mengingat sesuatu.
"Kata Luna sore ini." Dio mengangguk dan kami semua pun akhirnya berpencar. Aku bisa merasakan keheranan dari sini, mengenai teman Luna yang merayakan ulang tahun. Siapakah itu? Yang kutahu teman terdekat Luna hanya sebatas Jasson. Entahlah, kunggap itu hal yang biasa-biasa saja. Dio dengan cepat langsung menyiapkan bahan-bahannya di atas meja. Kubantu dia untuk menakar tepung serta mengocok telur.
Hari ini cukup repot, pada tumpukan-tumpukan kardus itu harus terisi sekitar seratus kue donat dengan banyak varian rasa. Pesanan tersebut juga akan dikirim sore ini. Karena situasinya sangat padat, Bagas dan Keyra ikut membantu mengangkat loyang-loyang panas yang berisi kue. Baju t-shirt yang kukenakan sampai dipenuhi oleh noda-noda tepung dan coklat. Dio lantas menertawaiku saat wajahku ada yang terkena bercak tersebut.
"Lihatlah di kaca, wajahmu seperti badut." Katanya, aku beralih ke seberang meja menuju washtafel yang menghadap cermin. Sungguh mengerikan, bodohnya diriku sampai tak sadar bila wajah ini penuh dengan noda. Akhirnya aku mengambil sabun muka untuk mencuci wajahku. Kuharap aku bisa istirahat sejenak untuk membersihakn semuanya, namun Keyra dan Bagas memanggiliku untuk segera datang dan membantu mereka.
Sungguh sial, selama aku bekerja di toko Dio tak pernah serepot ini. Betisku sampai keram, hingga tak tahu lagi bagaimana cara mengangkat loyang panas yang cukup berat itu. Lalu tak lama kemudian, Dio menerima panggilan telepon, dia beralih keluar dengan meninggalkan wajah gusar. Lagi-lagi aku heran dan tetap berusaha untuk bekerja melanjutkan pesanan-pesanan ini. Hingga pada suatu titik diriku kehabisan tenaga, aku mencoba untuk mencari udara segar diluar teras toko ini, dan tak mengira bahwa akan mendapati Dio menangis, duduk di meja pelanggan outdoor.
Bersambung...
Berlanjut ke Chapter 74...