Aku menghampirinya meskipun hatiku diselimuti oleh banyak keraguan. Dio masih tetap menangis di kursi pelanggan itu. Nampak situasi ini bukanlah hal yang main-main, sebab selama ini aku tak pernah melihat Dio sampai sebegitu rapuh. Saat telah berada di sampingnya, bunyi tangis berhenti, sudut mata pria itu menatapku dengan cepat, mengubah keinginan untuk mengusap setiap tetes air mata yang membasahi wajahnya. Senyuman lebar sama sekali tak menunjukkan bentuk manipulasi yang sempurna, aku tahu wajah itu, wajah yang penuh dengan beban masalah.
"Kenapa?" Tanya Dio mendangak menatapku, seharusnya dirikulah yang bertanya seperti itu.
"Tidak, aku hanya ingin menemuimu saja." Kataku sambil garuk-garuk kepala. "Kenapa kamu menangis?" Imbuhku, Dio langsung panik dan mengusap kembali air mata yang masih membekas di pipinya.
"Ohh aku tidak menangis, hanya kelilipan debu saja." Katanya, aku mengernyit.
"Aku melihatmu sedang menerima telepon dari seseorang, dan kemudian kamu menangis dengan suara yang cukup jelas." Ujarku, lalu aku berbalik arah dan kembali masuk ke dalam toko untuk membantu Keyra dan Bagas. Aku tidak ingin mengikut campuri urusan Dio, biarlah dia melakukan apa saja yang menurutnya nyaman untuk diluapkan. Selama ini aku sudah tenggelam dalam keterpurukan, menaungi gelombang drama yang seakan tak pernah surut. Langkahku pada hari ini hanyalah membantu Dio untuk bekerja, bukan untuk mencampuri urusan pribadinya.
Keyra melihatiku dengan penuh wajah masam, kurasa aku telah acuh perihal loyang-loyang panas itu. Pesanan akan dikirim beberapa jam lagi, dan tentunya aku harus konsisten untuk membantunya. Ruang dapur semakin terasa panas oleh panggangan-panggangan kue. Tanganku memerah dan lebam, semuanya seperti kembali pada pekerjaanku dulu bersama Tony.
"Sudah cukup, setelah kuhitung lebih dari seratus kardus sudah terisi." Ujar Keyra, aku langsung berhenti membungkus. "Bagas, cepat kirim sekarang, apakah van-nya sudah siap?" Tanya Keyra, Bagas mengangguk.
"Kita harus mengangkat semuanya di van, tapi aku butuh nampan." Kataku, Keyra berlari mengambil nampan dan aku mulai menata kue-kue itu dengan rapi di dalam box pemesanan.
"Tinggal tersisa satu, yaitu kue ulang tahun pesanan teman Luna, bagaimana? Apakah Dio sudah membuatkannya?" Tanya Bagas, diriku terdiam dan menengok di luar jendela. Rupanya Dio masih berada di sana, duduk sambil merenung. Sungguh ada apa dengan pria itu?
"Coba tanyakan padanya apakah kue pesanan Luna sudah beres?" Ujar Keyra padaku, lantas aku tergagap dan tak bisa menjawab pertanyaan itu.
"Aku sudah mencoba untuk bertanya, tapi kelihatannya Dio sedang ada masalah." Kataku tidak yakin.
"Coba tanyakan lagi, Luna baru saja telah mentransfer uangnya, katakan bahwa ini urgent." Desak Keyra, sesungguhnya aku tak berani bila menanyakan hal ini pada Dio di luar sana. Seperti ada sebuah pemicu bagiku untuk harus bersikap netral, namun untuk saat ini seperti tak ada pilihan lain. Mau tak mau aku harus menanyakan perihal kue ulang tahun tersebut.
Maka aku keluar untuk yang kesekian kalinya, berjalan dengan penuh percaya diri menanyakan perihal kue kontroversial itu. Dio terdiam dalam lamunan saat aku masih berada dalam hadapannya, saat itu juga kugertak pria itu dengan geramanku.
"Ehem, maaf, aku mau menanyakan tentang blackforest pesanan Luna, apakah sudah jadi?" Tanyaku.
"Ohh, astaga, tentu, tinggal dipacking saja." Ujar Dio sambil berdiri dari kursi kayu tersebut. "Baiklah, akan kuselesaikan sekarang juga." Imbuhnya, lalu pergi ke dalam toko sambil meninggakan senyum tipis kearahku. Aneh, aku sangat merasa heran dan bertanya-tanya, apa yang sedang terjadi?
"Apa kamu akan berangkat sendirian? Tak perlu teman?" Ujar Dio pada Bagas.
"Kalau kamu mau menemaniku itu jauh lebih bagus." Katanya, Dio menggeleng sambil tertawa sedang.
"Tentu saja tidak, barang kali dengan Keyra?" Tanya Dio.
"Terserah, aku bisa kok." Ules Keyra, Bagas terdiam untuk berpikir bila Keyra ikut dengannya mengantar Kue. Namun kurasa dengan Keyra saja itu tidak cukup, mengingat pesanan di hari ini sangatlah banyak dan bertumpuk-tumpuk.
"Bagaimana dengan aku juga?" Tanyaku, "Kurasa kalian akan memerlukan satu personil. Lagi pula kursi penumpang van masih muat bila dengan tiga orang." Imbuhku menimbun jawaban Keyra yang masih ditengah jalan.
"Jangan." Balas Dio, kami bertiga langsung menatapnya. "Maksudku, aku juga perlu personil untuk beres-beres toko." Imbuh Dio, Bagas mengangguk.
"Baik, kalau begitu aku dan Keyra pamit untuk berangkat sekarang." Diriku hanya bisa menurut apa yang Dio perintahkan, kulihat mereka berdua begitu semangat dan bergembira akan berangat mengirim pesanan bersama. Andaikan aku juga turut ikut, pastinya aku akan dipertemukan oleh teman Luna yang sedang berulang tahun tersebut. Hatiku bertanya-tanya mengenai percakapan Dio lewat ponsel tadi, mengapa pria itu menangis terseduh-seduh? Andai aku bisa tahu, tapi siapa aku? Aku tak berhak tahu segala macam tentang urusan orang lain.
"Kini hanya tersisa kau dan aku." Kata Dio saat Bagas dan Keyra telah meninggalkan toko. Aku hanya bisa tersenyum, mengambil kain serbet yang telah kucampur dengan larutan pembersih stainless. Tanganku mengelap bagian kompor, washtafel, serta meja dapur. Dio melakukan hal serupa.
"Setelah ini selesai, bisa kamu cuci piring-piringnya?" Tanya Dio, aku mengangguk. Sikapku kubuat setenang mungkin, sehingga suasana di sini terasa begitu senyap. Biasanya kami sering berbicara dan bercanda saat kami melakukan pekerjaan bersama. Tapi untuk saat ini, setidaknya saat setelah dia menerima telepon tadi, sikapnya begitu kaku dan aneh.
Dua jam lebih kami menghabiskan waktu membereskan seisi toko. Bagas dan Keyra kulihat sudah sampai di samping garasi. Mereka memarkirkan van di dalam sana, dan nampaknya misi mereka berhasil. Kulihat sudah tepat pada pukul lima sore, aku langasung menemui Dio yang sedang membungkus plastik sampah.
"Sudah sore, aku mau pamit pulang." Kataku, nafas Dio terengah-engah saat mengangkat karung plastik itu.
"Ohh, tentu, tapi apakah kamu akan pulang sendirian?" Tanya-nya, aku mengangguk.
"Yahh, aku bisa pulang sendiri kok, emm,__kulihat Keyra dan Bagas juga sudah sampai. Dan tugas kita sudah selesai." Kataku, wajah Dio nampak bingung seperti memikirkan sesuatu.
"Apakah tidak menunggu sebentar? Agar bisa kuantar pulang?" Lantas aku terdiam, lagi-lagi berpikir.
"Tak usah, itu akan membuatmu semakin capek, apalagi pekerjaan hari ini sangat padat, dan besok juga kita akan melakukan hal yang sama." Ulesku.
"Oh tak masalah, ini hanya butuh beberapa saja untuk kubereskan, setelah itu sudah selesai semua." Balas Dio.
"Tapi Dio, rumah nenekku jauh."
"Menurutku tidak jauh kok, akan aku antar kamu pulang." Kata Dio, melewatiku untuk membuang sampah.
"Tapi,___ apakah kamu tidak capek?"
"Sama sekali tidak, tunggu di kursi depan saja, ini tinggal sedikit." Ulesnya, aku menghirup nafas dalam-dalam untuk menetralkan pikiranku. Entah mengapa rasanya begitu sulit untuk menolak setiap ajakan Dio. Kulihat Bagas dan Keyra juga sedang berkemas untuk pulang. Tatapan Keyra mengernyit ke wajahku, yang benar saja.
"Amel? kenapa belum pulang?" Tanya wanita itu, aku hanya bisa tersenyum kendor.
"Iyah sebentar lagi aku pulang." Jawaban yang aneh, pantas saja Keyra pergi sambil meninggalkan wajah heran.
"Oke, aku duluan yahh." Ujarnya. Kini di dalam toko terasa begitu hening, aku tak bisa berdiam sendiri hanya untuk menunggu tugas Dio sampai selesai. Pria itu terlihat buru-buru sekali, seperti enggan untuk membiarkanku menunggu terlalu lama. Seandainya aku ikut membantu, tapi buat apa? Lagi pula ini sudah sore, dimana waktu pekerjaan sudah selesai. Aku langsung berniat untuk berdiri menghampiri Dio.
"Sepertinya aku tidak bisa," kataku, memecah kesunyian. "Kurasa aku ingin pulang sendiri saja." Dio langsung memberhentikan pekerjaannya saat dia sedang meletakkan berbagai macam alat dapur di dalam almari.
"Ini sudah selasai, yahh semuanya sudah selesai." Timpanya, dengan helai senyum aneh yang sulit untuk kuterima. Almari itu tertutup dengan bunyi yang cukup kencang, dia berlari memasang jaket dan mengambil helm di lokernya. Sudah cukup, aku harus bertanya pada Dio apa yang sedang terjadi.
"Ayo, kita berangkat." Ucapnya sambil memberikan masker 3 ply padaku.
"Aku bawa sendiri, lagi pula ada apa denganmu?"
"Ada apa bagaimana?" Aku terdiam, kurasa aku tak perlu membahas kecemasanku. Biarkan masalah itu larut dalam dirinya, yang ada pasti dia semakin kebingungan untuk menjawab pertanyaanku. Aku menorekan senyum tipis sambil keluar dari toko ini bersamanya. Motor Kawasaki itu masih bertengger di garasi samping toko. Dio mengunci setiap ruang yang ada di sana. Aku bisa melihat gerak gerik Dio yang nampak berbeda, namun aku tak ingin mempermasalahkan hal itu.
Jalanan lengang, kemacetan sama sekali tak pernah terjadi selama masa pandemic ini. Kami berkendara pada kecepatan enam puluh kilometer per jam. Melesat pada setiap ruas jalanan yang penuh dengan hembusan angin dan rintik dedaunan kering. Berada pada tubuh Dio jiwaku terasa cukup nyaman, aku bisa mengesampingkan berbagai macam masalah yang menumpuk dalam diriku. Andaikan aku bisa memeluk tubuh Dio, itu tak akan mungkin terjadi, namun kepalaku mencoba untuk bersandar pada pundaknya, sebari memejamkan mata di sana, dan waktu berangsur-angsur membawaku pada bayangan seseorang, menjerumuskan benakku dalam masalah itu, masalah yang masih belum ada titik terangnya, menyangkut Tony.
Seperti biasa, perjalanan kami terasa begitu cepat, kedua mataku terbuka dan langsung melihat perkampungan rumah nenekku. Kulihat cahaya matahari senja mulai menampakkan dirinya di atas langit-langit rumah nenek, membuat teras yang penuh dengan bunga pagoda itu kian bertambah cantik.
"Terima kasih sudah mengantarkanku," kataku saat usai menuruni motor Dio.
"Tidak masalah, aku hanya tidak ingin membuatmu pulang malam-malam." Balasnya.
"Yasudah, aku masuk dulu." Kataku, selisih beberapa detik kemudian aku langsung berbalik arah untuk pulang. Entah mengapa ketika aku meninggalkannya ada sebuah perasaan yang mengganjal. Apakah aku sudah membuat keputusan yang salah? Apakah aku terlewat cuek padanya? Tapi aku harus bagaimana lagi? Sekarang aku baru ingat, bahwa ketika Bagas dan Keyra telah datang. Seharusnya aku bertanya perihal teman Luna yang memesan kue ulang tahun tersebut. Memangnya kenapa Luna memesan kue ulang tahun? Seakan dia memiliki ikatan khusus dengan orang lain. Tapi entahlah, kenapa aku malah berpikir seperti itu? Bukan maksud aku ingin ikut campur atau segala macam, ini benar-benar bukan urusanku, dan seharusnya aku tak berhak mengungkit-ungkit perihal itu. Dio hanyalah teman, Dio hanyalah saudara, cuma itu dan akan selalau seperti itu.
Dari kejauhan aku medengar suara langkah kaki yang begitu cepat mendekatiku dari arah belakang. Angin di sore hari langsung berhembus menerjang rambut-rambutku. Seseorang seketika menergap tangan kananku dengan keras lalu menariknya hingga aku berbalih arah.
"Tunggu Mel," lagi, ada apa? Kenapa semuanya terasa rumit dimataku saat menatap wajah Dio.
"Jangan masuk ke dalam rumah dulu," Kata Dio, pria itu bahkan tak berani menatap wajahku. "Aku ingin bicara padamu, kumohon." Imbuhnya, sejenak ada perasaan lega, meskipun hanya sedikit, sebab aku bisa mengetahui segalanya tentang apa yang sedang terjadi dengannya.
"Oke, kita bicara di ayunan itu saja." Ujarku, lalu Dio tersenyum tipis. Kami beruda berjalan beriringan, detak jantungku berdegup sesuai ritmenya. Kami duduk pada dua ayunan yang saling bersebelahan, kemudian aku menatap wajah pria itu. Semuanya terasa tenang, bunyi ranting-ranting pepohonan bergeming menyatukan hatiku pada alam.
"Kisahku sudah berakhir Mel," Katanya, aku langsung mengernyit. "Tentang hubunganku dengan Luna." Imbuhnya.
"Tunggu, memangnya kenapa?"
"Sebenarnya aku sudah menduga sejak awal, kami memang sudah lama berhubungan dan saling mencintai, tapi aku sama sekali tak pernah merasakan kedua hal itu ada." Ujarnya, aku benar-benar sulit mencerna keadaan yang telah Dio lontarkan, bahkan aku tak bisa menilai semua bentuk kejadian ini.
"Maksudmu? Kamu sudah putus dengan Luna?" Tanyaku.
"Yahh, tadi kamu bertanya padaku, kenapa aku menangis. Itu semua karena hal itu."
"Tapi kamu mencintainya kan?"
"Itu sulit dijelaskan, kamu belum tahu masa lalunya dulu yang kelam, saat dia pernah dilecehkan dengan pacar lamanya.
"Aku tahu, sudah jangan diceritakan."
"Apa? Tahu dari mana?" Tanya Dio kaget.
"Luna sendiri yang mengatakannya padaku saat di acara pesta. Dia bilang kalau dia mencintaimu karena kamu orangnya baik, serta satu-satunya pria yang telah menyelamatkan hidupnya. Kamu itu sangat berarti baginya, kenapa berita ini tiba-tiba muncul begitu cepat?" Ungkap diriku.
"Entahlah, aku merasa seperti tak berguna, aku merasa bahwa telah mengecewakan Luna, sungguh rasanya aku ingin mati saja,___" Dio kembali menangis, hingga aku tak tahu lagi.
Bersambung...
Berlanjut ke Chapter 75...