Chapter 75 - Bab 75

Diriku seperti berada di tengah-tengan situasi yang harus mengimbangi perasaan seseorang. Walapun sebenarnya aku ingin bersikap cuek dan tak mau tahu. Nampaknya itu akan sulit untuk kulakukan di saat ini. Akhirnya aku memilih untuk tertawa, berusaha untuk membuat suasana antara kami menjadi ringan. Apalagi melihat kegundahan hati Dio yang semakin menjadi-jadi, aku sama sekali tak merasa malu untuk menertawainya. Tentu saja, pria itu seperti anak kecil yang tak dikasih uang jajan. Aku mengelus-elus pundaknya.

"Bagaimana bisa kamu tertawa disituasi seperti ini?" Katanya, aku mengernyit.

"Kenapa tidak bisa? Lagian itu bukan masalahku, jadi wajar dong kalau aku bisa tertawa." Kataku, Dio mengusap air matanya, aku bisa melihat wajah kesal yang menyeringai tajam.

"Terus kamu lega berada diatas penderitaan orang lain?" Timpanya, "sulit dipercaya, sungguh kejam sekali dirimu." Imbuh Dio, aku langsung berhenti mengelus pundaknya.

"Lantas aku harus bagaimana? Apa aku harus berkata pada Luna untuk tidak memutuskanmu?" Dio terdiam. "Aku sudah kenyang dengan bentuk kisah-kisah romansa seperti itu. Bahkan hubunganku dengan Tony pula masih belum membaik." Dio menatapku dengan serius.

"Berarti kamu masih berhubungan dengannya?" Aku terdiam sambil berpikir.

"Entahlah, aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu, selama ini aku mempunyai pemikiran buruk, terutama pada Tony." Dio nampak kebingungan sambil memegangi kepala.

"Ohh astaga." Endus Dio "Oke, baiklah, ini masalahku, kau benar, aku akan menjadi orang yang kesepian di dunia ini. Ditambah ibumu yang telah pindah dari kontrakan itu, serta dirimu juga, kalian kompak sekali pergi begitu saja." Aku paham apa yang dia maksud.

"Hey, kenapa kamu bicara seperti itu? Siapa bilang kamu bakal sendirian? Jangan berpikir yang tidak-tidak." Kataku, Dio terdiam sambil berusaha menahan tangisnya supaya tidak berlarut-larut

"Apa katamu? Itu semua sudah jelas di depan mataku Mel, Luna memutuskanku, ibumu telah pindah, lantas dengan siapa diriku di dalam rumah sana? Lagi pula aku tidak punya siapa-siapa di kota ini, dan aku juga bukan orang yang terlalu kaya bukan?" Kata Dio.

"Tapi bagiku kamu itu sempurna Dio, kamu ialah pria yang sangat mandiri dari sekian banyak pria yang kutemui, kamu punya segalanya, aku akan selalu menemanimu jika kamu butuh teman, percayalah." Kataku, "Memangnya kenapa Luna memutuskanmu? Ada apa dengan perempuan itu?" Tanyaku, dan Dio menghembuskan nafas panjang, kurasa dia begitu letih sekali hari ini.

"Ohh Tuhan, berat sekali aku mengatakannya, jadi begini, Awalnya dia hanya berterima kasih padaku, mungkin kamu sudah tahu soal masa lalu Luna, iya kan?" Aku mengangguk.

"Dia dipindah tugaskan ke Jakarta minggu depan, dan semenjak jabatannya naik menjadi supervisor marketing, dia sudah menjalin cinta dengan managernya. Aku tahu pria itu awal mula hanya berteman dengan Luna, tapi aku juga tidak bisa menyalahkannya begitu saja, sebab selama ini kami mengalami banyak kesibukan. Jarang ada waktu yang kami luangkan untuk bersama." Dio merunduk, seperti malu menatap wajahku. Bahkan setiap ucapannya terdengar lemas.

"Sejak dari dulu hubunganku dengan Luna juga tak pernah serius. Kita selalu membicarakan hal-hal yang tak penting. Tapi aku tahu kepribadian perempuan semacam itu, yang menyukai dunia bebas dan menginginkan banyak hal. Seperti orang yang ambisius, bahkan sejak Luna tinggal di rumahku, perubahannya sungguh begitu cepat. Sampai aku sadar bahwa aku tidak cocok bila disandingkan dengannya. Luna sangat kompetitif dan sangat sulit diatur." Ungkap Dio.

"Tapi kamu mencintainya kan?" Timpa diriku, dengan cepat pria itu mentapku.

"Jujur, meskipun ini sulit dijelaskan, bahkan sulit untuk diungkapkan, aku sadar dari hatiku yang paling dalam. Bahwa aku tak terlalu mencintai Luna. Aku hanya kasihan padanya, berharap agar aku bisa menyelamatkan hidup Luna yang telah rapuh di masa lalu." Dio tersenyum. "Kamu tahu? Betapa senangnya bisa menyelamatkan hidup seseorang, serta membantu permasalahannya sekaligus. Seperti ada sesuatu yang melegakan, namun masih tersa sepi di pikiranku. Hubungan itu hanya berjalan begitu saja, tak dilandaskan dari keinginanku. Mungkin aku memang terlalu sering berada pada Luna, sehingga presepsi orang lain berkata bahwa kita sedang pacaran. Lebih tepatnya, kita saling melengkapi satu sama lain, tak jauh beda dengan hubungan persahabatan." Kata Dio. Aku teringat saat Luna membicarakan perasaannya padaku. Mengenai hubungannya dengan Dio. Diluar dari batas kesengajaan yang cukup wajar, memang sebagaian banyak orang akan berpendapat bila Dio sudah mempunyai pacar. Di satu sisi yang lain, dia sebenarnya merasa sendiri dan terasingkan, berusaha untuk mencari siapa dia sebenarnya, Yang telah berhasil menyelamatkan hidup seseorang.

"Luna pernah mencoba untuk bunuh diri terjun dari atas jembatan, saat keluarganya menuduh dia hamil." Ungkap Dio, telunjuk jariku langsung membungkam mulutnya.

"Cukup, aku sudah tahu." Kataku, dan sorot mata Dio menatapku begitu lekat. "Jangan diceritakan lagi. Aku paham kok, rupanya kalian mempunyai perasaan yang sama." Imbuhku.

"Maksudmu?"

"Maksudku, perasaan cinta yang terpaksa. Kalian berdua berpacaran karena terpaksa kan?" Tanyaku, kemudian Dio tersenyum tipis.

"Pesta di malam itu sudah cukup membuatku sadar mengenai hubungan kalian berdua. Memang sangat menyebalkan, tapi tak usah dipikir terlalu panjang. Kini aku juga sadar setelah Tony berkata bahwa aku tidak bisa dimengerti. Setidaknya untuk saat ini aku mengerti tentang masalahmu." Kataku.

"Tapi aku tidak tahan dengan kesendirian ini. Apalagi saat Luna sudah di Jakarta." Ules Dio, aku langsung merespon untuk merangkul pria itu dengan tangan kananku, dan membiarkan kepalanya bersandar pada pundakku.

"Ohh tak usah bersedih, kamu masih punya aku, kita akan selalu tetap berada di sini, dan kita ialah keluarga." Aku bisa merasakan matahari senja yang menyinari pekarangan rumah nenekku. Bunga pagoda putih di depan kami nampak menari-nari saat tertiup hembus angin sepoi-sepoi.

"Apa kamu punya rencana untuk memperbaiki hubunganmu dengan Tony?" Tanya Dio. Dan entah mengapa saat pria itu bertanya mengenai Tony, dadaku tertasa sesak, air mata seakan hendak menggenang menyelimuti bola mataku.

"Aku tidak tahu, kurasa semua itu tak akan memperbaiki keadaan, sebab aku sudah sangat keterlaluan padanya." Balasku.

"Apa semua ini gara-gara diriku? Yang selalu berada di sampingmu saat pacarmu itu tidak bersamamu?" Aku langsung menggeleng.

"Kamu bicara apa sih? Tentu ini sama sekali bukan salahmu, jangan pernah merasa bersalah perihal rusaknya hubunganku dengan Tony. Sejak masa karantina di tempatku dulu bekerja, kita sudah hilang kontak dalam jangka waktu yang lama. Bahkan nomor telponnya juga sudah tidak aktif. Jadi yasudah, kuanggap hubunganku dengannya sudah berakhir. Sesimpel itu aku memberi keputusan pada Tony. Jadi entahlah, tapi jujur ini semua bukan salahmu Dio, kamu itu tak punya salah apa-apa." Kataku panjang lebar, Dio sampai tertawa sedang.

"Baiklah, aku jadi lega mendengarnya." Katanya. Suara burung-burung pipit berkicau merdu beriringan dengan hembus angin ringan. Sungguh hatiku begitu nyaman berada di samping Dio. Hangat dan membuat pemandangan halaman ini semakin indah.

"Amel? Apa aku boleh bertanya sesuatu?" Aku menoleh sedikit ke wajahnya.

"Yah."

"Apa barang kesukaanmu?" Tanya Dio, lantas aku tersenyum.

"Memangnya kenapa? Tak usah ditanyakan lagi, pacarmu sudah memberikan barang yang kuinginkan selama ini." Kataku.

"Oh-ya?"

"Kamu lupa? Kamera nikkon dslr milik Luna saat pesta di malam itu." Enyahku.

"Iya aku baru ingat, maaf." Timpa Dio.

"Aku sudah memakainya selama ini, dan nyaris tiap minggu aku bisa meng-upload berbagai macam vlog-ku di youtube. Kamera itu sangat menghiburku, aku berhak berterima kasih pada pacarmu, dia sangat baik sekali." Kataku.

"Benar, Luna memang baik, tapi dia sudah bukan pacarku lagi, lebih tepatnya mantan pacarku dulu." Aku tertawa membalas ucapan Dio.

"Aku tak keberatan jika membelikan kamera baru untukmu, bukannya Luna hanya meminjamimu saja?" Tanya Dio, aku mengangguk sambil berpikir.

"Tapi harganya mahal, apa kamu punya uang?" Tanyaku.

"Kan nanti bisa dipotong dari gaji bulananmu! Tak masalah bila kupotong sebulan seratus ribu untuk mencicilnya." Ujar Dio, dan aku tersenyum setuju dengan penawaran itu.

"Oke, aku mau." Jawabku sambil tersenyum menatap ke wajahnya. Pria itu nampak begitu nyaman bersandar di pundakku. Hingga aku turut merasakan hal yang serupa, begitu tenang, dan begitu asri. Namun seketika bunyi ponsel berdering di dalam saku celanaku. Seakan memecah kenyamanan diantara kami. Dio langsung beralih menegakkan badannya, kemudian aku merogoh kantung celanaku untuk mengambil ponsel dengan cepat. Kulihat nomor telepon seluler itu nampak asing, membuat perasaanku menjadi heran.

"Sebentar, aku angkat telepon dulu yah." Kataku pada Dio.

"Hallo? Dengan siapa ini?" Tanyaku, suara gemerisik berserta isak tangis samar-samar berbunyi di ponselku, jantungku seketika ikut berdebar.

"Amel? Ini benar kamu kan?" Tanya seseorang, bunyinya seperti suara perempuan dengan nada cukup panik.

"Iya benar, ini siapa?" Tanyaku.

"Ahh syukurlah, ini mama sayang, mama Firly, mamanya Tony, masih ingat kan?" Lantas aku langsung berdiri dari ayunan, membuat Dio menatapku panik.

"Astaga, iya ma ada apa?"

"Mel! mama benar-benar bingung harus minta tolong kepada siapa. Sekarang papa Anthony ada di rumah mama, dia berniat untuk menjemput Tony untuk dibawa di Jogja. Sejak dulu Tony bersih keras untuk tidak mau ikut dengan papa-nya. Sekarang mama khawatir kalau papanya melakukan hal-hal yang kasar pada Tony." Ungkap mama Firly sambil nangis-nangis. Aku tergugup sejenak, tak tahu lagi dan bingung untuk berkata apa.

"Mama juga tak bisa kemana-mana Mel, kamu tahu? Mama dikarantina sekarang, dan mama cemas dengan kondisi Tony. Kalau kamu masih ingat dengan rumah mama dulu yang berada di jalan Indragiri, bisakah kamu menengok ke sana sebentar untuk memastikan kondisi Tony? Setelah itu kamu bisa kabari mama mengenai kondisi yang ada di sana. Bisa ya Mel? Mama gak tahu lagi harus minta tolong kepada siapa." Ungkap mama Firly. Aku langsung kebingungan dan ikut syok bukan main. Bahkan kepanikan ini nyaris menyamai kepanikanku saat Almarhum nenekku terkena Covid. Entahlah, aku tak yakin dengan semua ini.

"Ba-baaik ma, aku a-akan kerumah Tony sekarang, mama jangan cemas yahh, aku akan ke sana sekarang juga untuk memastikan kondisi Tony." Kataku dengan tergagap-gagap.

"Terima kasih Mel, mama minta tolong ya Mel, mama sangat beruntung sekali masih memilikimu." Katanya.

"Iya ma, sama-sama, nanti a-aku kabari ya ma? Dahh." Tutupku. Dio langsung berdiri dari ayunan itu dan menatapku lekat-lekat saat melihat sekujur tubuhku gemetaran dan nafas yang megap-megap.

"Ada apa? Kenapa dengan Tony?" Tanya Dio, aku langsung menergap kedua lengan pria itu.

"Tony dalam bahaya, aku harus segera kesana." Ungkapku yang langsung menepis Dio untuk beranjak pergi. Namun pria itu seketika menggenggam pergelangan tangan kiriku.

"Tunggu Mel, memangnya Tony kenapa?" Tanya Dio panik.

"Tadi yang telpon ialah mamanya, dan dia bilang kalau hari ini papanya Tony akan menjemput Tony ke rumah untuk dipaksa ikut ke Jogja. Aku tahu betul kalau Tony tak mau ikut dengan papanya, dan dia lebih memilih untuk tinggal dengan mamanya. Namun mama Tony ialah seorang petuas medis dan sekarang beliau dikarantina. Yang kutakuti ialah, Tony akan mendapatkan perlakuan kasar dari papa-nya kalau dia tidak mau nurut. Aku dulu pernah melihat banyak luka lebam di tubuh Tony, dan aku tidak mau hari ini dia mendapatkan hal semacam itu lagi." Kataku pada Dio dengan terus terang.

"Oke, kalau begitu kamu aku antar ke sana ya? Aku tidak mau kamu berangkat ke sana sendirian." Kata Dio, aku menggeleng.

"Tak usah Dio, aku tahu tempatnya kok, lagi pula ini urusanku." Kataku.

"Tidak begitu Mel, aku hanya khawatir kalau kamu disana sendirian, aku takut kalau kamu terjadi apa-apa." Ujarnya dengan cemas. Lantas aku berpikir dan mengingat perihal papa Anthony yang pernah membuat luka-luka lebam pada Tony. Entah bagaimana aku akan menghadapi situasi itu bila nanti aku datang di rumahnya sendirian. Apalagi aku masih mengingat perihal ucapan mama Merlyn selaku ibu tiri Tony dahulu, bahwa papa Anthony mempunyai pengaruh kecanduan pada minum-minuman keras. Aku tidak mau lagi menanggung resiko yang diluar batas kemampuanku. Setidaknya dengan Dio aku bisa nyaman berada di dekatnya. Terlepas bahwa aku akan mengunjungi Tony untuk memastikan keadaan. Sebab aku sadar, dimana hati mereka berdua harus tetap kujaga.

"Oke Dio, antar diriku ke sana." Kataku.

Bersambung...

Berlanjut ke Chapter 76...