Kami berlari mematahkan setiap ranting pohon yang kuinjak di sepanjang jalan kami melangkah. Awan senja akan segera berubah menjadi gelap. Kulihat lampu jalan raya telah menyala terang saat Dio melesat dengan kecepatan tinggi menggunakan motornya. Hatiku penuh kecemasan, entah mengapa ketenangan yang kami himpun di hari ini terasa amat singkat, enyah begitu saja seperti kami tak berhak mendapatkan kedamaian.
"Dio! Jangan terlalu cepat-cepat, bahaya." Himbau diriku, namun Dio enggan mendengarkanku. Dengan erat kedua tanganku menggenggam punggung pria itu. Mencengkram kemejanya sekuat yang kubisa. Gundukan aspal yang tidak merata membuat guncangan-guncangan hebat yang memaksaku untuk berpegangan erat pada pria itu. Aku tidak bisa menjelaskan semua ini, semuanya kupasrahkan padanya.
Awan senja itu telah sirna tak lagi menunjukkan cahaya matahari terbenam. Semuanya gelap seperti ruangan kosong yang tertutup. Namun aku dapat melihat cahaya kelabu putih, cahaya bulan yang seakan seperti sebuah harapan. Tapi silir berganti waktu bulan tersebut mulai tertutup oleh awan merah pekat. Awan merah pekat yang begitu luas membentang di sepenjuru langit. Dan akhirnya kami diguyur oleh rintik hujan yang membuat laju Dio menjadi terhenti.
"Kita tak bisa meneruskan perjalanannya." Katanya, "Apakah masih jauh?" Tanya Dio, aku langsung membuka kedua mataku, dan menepuk pundaknya.
"Tidak, sebentar lagi kita sudah sampai, jalan terus saja." Kataku, hujan gerimis berlangsung semakin deras. Wilayah perempatan yang akan kami lalui terhenti oleh lampu merah yang cukup panjang. Perumahan di sepanjang jalan Indragiri memiliki akses yang sangat mudah. Setelah lampu merah itu usai, diriku menunjukkan pada Dio arah menuju blok rumah Tony. Tak makan waktu lama, kami sampai tepat di depan rumah tersebut dalam keadaan yang nyaris basah.
Sepeda motor Dio menepi pada sebuah halte di depan gereja katolik di blok perumahan tersebut. Diriku langsung turun dan menatap kondisi pria itu. Dio melepas helm cargloss-nya sambil terengah-engah. Aku bisa melihat rahangnya yang terkatup-katup kedinginan, sungguh aku tidak tega meninggalkannya.
"Apa kamu masih di sini? atau lanjut pulang?" Tanyaku, Dio diam saja sambil berpikir. "Entah sampai berapa lama diriku akan masuk ke dalam sana, aku tidak bisa memastikannya." Imbuhku.
"Apa aku boleh ikut masuk bersamamu juga?" Ujar Dio.
"Tak usah, biar aku saja yang masuk, lagi pula ini urusanku, biar aku sendiri saja yang menyelesaikannya." Kataku.
"Tapi aku perlu menemanimu, kamu tak boleh ke sana sendirian Mel." Ujar Dio, lantas aku mengernyit.
"Memangnya kenapa? Ini tidak sebahaya yang kamu pikirkan, lagian aku bisa jaga diriku sendiri kok. Kamu pulang saja Dio, aku yakin kamu pasti capek sekali." Dio seperti sulit untuk meninggalkanku pergi sendirian di tempat ini. Hujan semakin lebat, angin berhembus tiada henti membuatku tak yakin bisa menembus masuk ke rumah Tony. Lalu Dio menggenggam tanganku, wajahnya nampak cemas sekali.
"Kamu yakin bisa ke sana sendiri?" Aku mengangguk, menahan udara dingin yang menerpaku.
"Iya, kamu pulang saja, nanti kalau sudah selesai semua akan aku kabari." Ucapku berusaha membuatnya tenang. Dio sedikit tersenyum kecil kearahku, lalu melepaskan genggaman tangannya.
"Baiklah kalu begitu, aku akan pulang setelah hujan redah." Ide yang bagus, kurasa inilah saatnya aku untuk pergi meninggalkan Dio. Sungguh pria yang malang dan baik, andaikan aku punya sesuatu untuk kuberikan padanya agar dia tak kedinginan. Tapi apa? Aku hanya perempuan yang selalu menambah beban hidupnya, itulah yang kubisa.
Dengan penuh keyakinan, aku berlari menerjang hujan yang sangat lebat, berlari dengan penuh ketakutan serta rasa cemas. Rumah Tony berada paling depan di area blok pemukiman tersebut. Pagar besi yang menjulang tinggi nampak terbuka di depan sana. Aku megap-megap menahan rasa dingin seperti tak sanggup lagi untuk mulai melangkah.
Pada pos security yang ada di samping kanan pagar juga nampak kosong. Aku masuk begitu saja tanpa mencari orang lain untuk kumintai izin. Kurasa ada seseorang yang baru saja datang di rumah ini. Hatiku gemetaran saat mengetahui mobil Land rover putih terparkir di teras depan rumah Tony. Aku tahu itu bukan mobil Tony, seingatku mobilnya dulu ialah pajero sport yang sering dibuat untuk mengantar jemput diriku berangkat bekerja. Itu pasti milik papanya, tentu saja, siapa lagi kalau bukan beliau?
Aku menepi pada kaca kanopi teras, mengendap-ngendap di balik pilar besi agar tak ketahuan oleh seseorang. Kulihat pintu masuk itu juga nampak terbuka, jantungku langsung berdegup untuk menyelinap masuk ke dalam rumah itu. Aku harus berani, aku harus sanggup memastikan semuanya baik-baik saja.
Perlahan-lahan langkahku mulai optimis, namun saat aku melihat tong sampah stainless yang bertengger di samping pintu menunjukkan bongkahan botol-botol minuman keras, seketika keberanianku menjadi pudar.
Ingatan masa lalu tentang ucapan mama Merlyn kepadaku nampaknya nyata di depan mataku. Aku langsung menepis pandangan itu, kekhawatiran pada Tony sama sekali tak bisa dikendalikan. Akhirnya aku masuk dalam rumah itu, bersembunyi di samping almari etalase. Ruang tamu nampak sepi dan gelap tanpa penerangan lampu sama sekali. Rumah Tony juga nampak berantakan. Bantal-bantal sofa jatuh di segala tempat, gelas-gelas kaca sisa minum-minuman itu masih bertengger semrawut di atas meja.
Aku berjalan menuju lorong yang menghubungkan ruang keluarga. Dari sana samar-samar aku mendengar suara jeritan. Jeritan yang disertai isak tangis, lalu perdebatan, menggema nyaring di telingaku. Jantung langsung berdegup sesuai kepanikan yang sangat hebat. Ada apa dengan semua ini? Suara siapa itu? Tony, yahh, itu suara Tony.
Tony menjerit lalu terhenti oleh sebuah pukulan, bunyi pukulan yang cukup keras hingga terdengar sampai lorong ruang tamu. Diriku bersembunyi di balik dinding yang terdapat sedikit cela penghalang ruangan. Betapa kagetnya aku saat melihat di ruang keluarga itu.
Sebuah tali terjereng ke atas terikat pada pipa paralon listrik. Disana aku melihat Tony sedang di tali dengan tak berdaya. Kedua tangannya merentang dan wajahnya tertunduk seperti penuh dengan luka. Suara langkah kaki tiba-tiba terdengar dari ruangan lain, nampaknya ada seseorang yang memasuki area taman indoor rumah Tony. Seseorang itu berjalan dengan langkah kaki yang sangat cepat. Dan orang itu tiba sambil membawa seutas sabuk yang cukup panjang.
Barulah aku bisa melihat papa Anthony, menyeringai begitu mengerikan kearah Tony. Sekujur tubuhku langsung gemetaran, panik ketakutan bukan main. Layaknya sebuah patung yang tak bisa bergerak. Ada suatu pemicu yang menekanku untuk ingin menghubungi mama Firly. Mengatakan keadaan yang sebenarnya bahwa Tony dihajar habis-habisan oleh ayah kandungnya. Tapi keinginan itu begitu sulit untuk kulakukan, bahkan menggerakkan tangan saja rasanya begitu berat, amat berat dan amat takut. Andai Dio ikut bersamaku, mungkin aku bisa berlindung padanya. Namun di sini, aku sendirian, aku tak punya siapa-siapa di sini.
Pikiranku langsung merambah ke mana-mana, sebab setidaknya untuk saat ini aku hanya bisa diam. Berhenti untuk panik supaya tak menimbulkan suara. Geraman Tony semakin menyiksa hatiku, papa Anthony malayangkan sabuk panjang itu kearah Tony secara brutal, hingga aku menutup telingaku, dan samar-samar aku hanya mendengar suara pagar rumah di luar sana terseret oleh seseorang. Beriringan dengan raungan, amarah, dan siksaan. Aku terkunci di dalam rumah ini, padahal aku sudah tak kuat lagi, aku benar-benar ingin keluar dan mengadu pada seseorang, atau mungkin saja pada polisi. Tapi bagaimana?
"Katakan sekali lagi, kamu memilih tinggal sama papa atau sama mama-mu yang terkena korona itu?" Tanya papa Anthony dengan begitu keras.
"Aku tak mau ikut dengan papa, dari dulu aku benci sama papa." Jawab Tony keras, dan langsung sambaran pecut dari sabuk kulit itu menampar wajahnya.
"Katakan lagi, atau kalau tidak kamu akan aku hajar malam ini juga." Ujar ayahnya, Tony terdiam menahan rasa sakit. Kemudian sambaran pecut terhempas kesekian kalinya hingga mengenai dada pria itu. Entah apa yang harus kuperbuat, rasanya aku ingin mengangkat ponselku dan berbuat sesuatu, tapi entah mengapa rasanya berat sekali.
"Papa yakin kalau kamu ikut bersama mamamu, tak lama lagi hidupmu akan menderita. Lihatlah mamamu yang sedang sekarat terkena virus menular itu, memangnya apa yang bisa kamu harapkan darinya?" Tanya papa Anthony. Aku langsung meneteskan air mata.
"Atau, kamu tidak mau pindah dari kota ini karena keberatan dengan kekasih bodohmu itu? Siapa namanya dulu? Coba sebutkan pada papa." Hatiku spontan remuk dan hancur.
"KATAKAN." Kemudian satu tamparan keras menghantam pipi Tony. Wajahnya langsung tertunduk, tetes liur bercampur darah seketika menetes di sana. Kedua tanganku membungkam mulut menahan tangis supaya tak menimbulkan suara. Sungguh biadap dan keterlaluan.
"Jadi, karena perempuan itu juga kamu begitu berat mengambil keputusan untuk ikut dengan papa?" Tony hanya tertunduk tak berdaya. Mata orang itu mengernyit tajam, lalu dengan cepat menjambak rambut Tony dari belakang, menariknya seperti sedang menarik pintu dengan keras. "Memang apa istimewanya dia? Kamu pikir papa sudi merestui hubunganmu dengan perepuan kampung macam itu? lihatlah dirimu, kamu pintar, kamu kuat, kamu tampan, tinggi, didikan papa sejak kecil, kamu juga bukan pria yang lemah dengan daya tarik perempuan semacam dia. Kamu berbeda, kamu punya segalanya. Kalau kamu ikuti perkataan papa, kamu akan mendapatkan hidup yang terarah, dan bukannya kamu juga mempunyai cita-cita untuk kuliah di Skotlandia bersama Feronica? Papa sudah mati-matian untuk menyatukanmu dengan Feronica, tapi kamu malah seperti ini." Kata papa Anthony melepas cengkramannya dari rambut Tony. Dia berjalan mendekati meja gantung mengambil segelas air berisi minuman di dalam botol kaca itu. Botol yang telah kulihat di tong sampah depan. Entah beliau dalam kondisi mabuk atau bagaimana. Aku benar-benar merasakan bentuk ketidak warasan dari papa Anthony.
"Sudahlah, anggaplah tempat ini seperti tempat sampah, lagi pula mama-mu itu ialah perempuan egois, perempuan yang tak tahu diuntung. Jika kamu merindukannya suatu saat nanti, papa tidak akan melarangmu untuk menemuinya. Tapi untuk kali ini, menurutlah dengan papa, semua papa lakukan hanya untuk masa depanmu, mengerti?" Ujar beliau dengan nada linglung, tawanya terdengar begitu mengerikan.
"Yang sampah itu papa, bukan mama, mamaku tak pernah menghajarku sampai seperti ini." Ujar Tony, dan langsung sisa air dalam gelas yang beliau minum dia lemparkan ke wajah Tony.
"Bilang seperti itu lagi! Dasar anak tak punya otak." Katanya, lalu hendak menampar Tony namun tak jadi. Jantungku seperti hendak mau copot, aku benar-benar tak kuasa melihat semua kejadian ini. Entah apa yang akan mama Firly lakukan bila melihat semua ulah mantan suaminya itu. Aku benar-benar pasrah.
"Berada di tempat ini sungguh membuat papa muak, kenapa kamu persis dengan mamamu? Sama-sama tolol dan tak bisa diatur." Ujar beliau. "papa akan kasih kamu waktu untuk mempertimbangkan semua ini. Ikut bersama papa di Jogja, atau menetap bersama mamamu yang terkena virus itu? Pikirkan itu baik-baik." Imbuhnya, dan membanting gelas diatas meja, berjalan menuju lorong yang seketika membuatku berbalik arah. Meringkup di cela tembok pembatas sambil menahan nafas.
Langkah kaki beliau menjauh dengan disertai pintu masuk yang tertutup keras. Aku langsung bernafas lega, dan beberapa detik kemudian, mobil Land rouver tersebut menyala diiringi dengan bunyi pagar yang terbuka. Kurasa beliau sudah pergi, semudah itu tanpa perasaan apapun setelah menghajar anaknya sendiri dengan brutal. Memang ayah macam apa dia itu?
Samar-samar aku mendengar bunyi isak tangis Tony yang terdengar begitu lirih. Ini ialah waktu yang tepat untuk melapor ke mama Firly, namun masih tetap saja, sekujur tubuhku gemetaran bukan main. Bahkan jantung ini masih berdegup tak karuan saat mendengar suara tangis Tony yang semakin keras. Aku sungguh tak tega, kurasa aku perlu mengecek keadaannya.
Pelan-pelan aku memberanikan diri untuk melangkah, berjalan perlahan menuju ke ruang keluarga yang terdapat Tony di sana. Cahaya lampu mulai menerangiku, dan melihat Tony masih dalam keadaan menggantung tak berdaya sambil menangis terseduh-seduh. Wajahnya merunduk dengan mata terbenam, kulihat di sekeliling ruangan begitu berantakan dan kacau. Bau minuman beralkohol seketika menusuk hidungku, serta udara lembab membuat kakiku nyaris kram. Tony masih menangis di sana tanpa bisa behenti, dan aku hanya bisa menatapnya dari kejauhan tepat di depannya.
"Tony." Panggilku memecah suara tangisannya. Pria itu seketika menatapku, dan aku bisa melihat wajahnya yang penuh dengan luka lebam, hingga air mata ini menetes.
"Astaga! Ba-bagaimana kamu bisa ada di sini?" Kejut Tony dengan suara merintih. Nafasku berhembus tak teratur.
"Mama-mu menelfonku untuk mencari tahu keadaanmu, dan saat aku baru sampai kemari, kamu sudah seperti ini." Kataku, kemudian berinisiatif untuk mendekati Tony, berusaha melepaskan jerat tali tampar yang menggantung kedua tangannya diatas pipa paralon.
"Coba ambil pisau saja, dia menali mati tanganku." Ujarnya.
Bersambung...
Berlanjut ke Chapter 77...