Diriku mengambil pisau dan langsung memutus tali tampar sekuat tenaga yang kubisa. Kedua tangan Tony jatuh turun kebawah membekaskan luka memar di sepanjang pergelangannya. Diriku mau tak mau harus sanggup untuk bisa menopang tubuh pria itu untuk masuk kedalam kamar. Kami berjalan tertatih-tatih tanpa seorang pun yang menolong, kemudian sesampai di kamar, aku langsung membaringkan Tony diatas ranjang. Kulihat kamarnya juga begitu berantakan.
Banyak barang-barang yang jatuh berserakan, bahkan kasur sprei nampak amburadul tak tertata rapi. Aku tak memperdulikan semua itu, yang terpenting ialah bagaimana cara mengobati luka-luka yang terdapat pada tubuh Tony.
Setelah aku berhasil membaringkan tubuhnya, aku berlari ke dapur untuk mengambil air hangat beserta kain sapu tangan. Namun cangkir termos sama sekali tak ada isinya. Dengan insting tajam kuambil dua liter air keran untuk kumasak diatas kompor. Selagi menunggu air itu matang, kubuka kotak p3k yang kutemukan menggantung di kabinet kecil dalam dapur. Disana aku menemukan beberapa hansaplas, kain perban, serta larutan alkohol 70% antiseptik.
Aku kembali ke kamar Tony sembari membawa bahan-bahan medis tersebut. Dia masih tetap merintih kesakitan, kulihat wajahnya penuh dengan luka sayat, memar, serta darah-darah yang masih membekas utuh disekitar dahi dan pipinya. Kedua telapak tanganku sampai berkeringat, merasa ngeri untuk menyaksikan semua ini. Jemari tanganku gemetaran seakan tak sanggup untuk mengobati luka-luka yang nampak parah itu.
"Bagaimana kalau kita ke rumah sakit saja?" Tanyaku padanya Tony, dia hanya bisa menggeleng seperti kebingungan untuk menjawab ucapanku.
"Ja-jangan, untuk saat ini dirumah sakit sangat berbahaya." Katanya dengan nada suara yang begitu lemas. "Biarkan aku berbaring di sini saja, lagian luka-luka ini tidak terlalu serius." Imbuhnya.
"Tidak terlalu serius bagaimana? Wajahmu penuh dengan luka, bahkan darahmu banyak disekitar pipi dan dahimu." Kataku, Tony tersenyum tipis, matanya terbuka sipit menatapku seperti sedang menahan sakit.
"Kamu juga di sini saja, jangan kemana-mana, temani aku di sini yahh?" Aku terdiam melihat mata sayu itu, lama sekali aku tidak pernah melihat matanya yang penuh dengan ketulusan dan kenangan masa lalu. Sungguh ada apa di benakku malam ini? Dia kini sedang terkapar lemah, setidaknya aku harus berbuat sesuatu untuk menyembuhkan segala macam luka itu. Aku hanya mengangguk dan kembali menuju ke dapur untuk mengecek air panas yang telah kubuat.
Sebuah termos kuisi penuh oleh air yang telah mendidih tersebut. Kemudian kutuangkan sedikit ke dalam mangkuk plastik sambil kucampur dengan air dingin beberapa mili. Air hangat tersebut kubawa ke dalam kamar tidur Tony, sembari kurendam dengan kain sapu tangan. Setelah itu kusuruh pria itu untuk menahan rasa sakit ditengah diriku yang ingin menghilangkan bercak noda darah yang mengering disepanjang dahi dan pipinya. Kedua tanganku sampai gemetaran.
"Jangan bergerak ya? Aku sudah membuatkan air hangat untuk menghilangkan darah-darahmu." Kataku, Tony tersenyum dan mengangguk. Sungguh aku tak tega melihat senyum itu.
"Bagaimana bisa kamu sampai ke rumah ini?" Tanya Tony. Aku fokus pada sudut matanya yang terdapat luka lebam yang cukup parah.
"Kan tadi sudah kubilang kalau mama-mu yang memberitahuku untuk memastikan keadaanmu, maka dari itu aku kemari untuk menemuimu." Ujarku dengan nada yang tak stabil.
"Kamu sendirian ke sini? Naik apa?" Tanya Tony, aku terdiam dan berpikir. Apakah diriku perlu untuk berkata jujur padanya bahwa Dio-lah yang mengantarkanku untuk sampai di rumahnya? Tapi hubunganku dengan Tony masih belum membaik, aku masih trauma dengan bentuk kesalah pahaman yang kami hadapi. Tapi biarlah, terkadang berkata jujur sangatlah membantu permasalahan agar kita tetap terbuka dan apa adanya. Yang terpenting ialah niatku, yang ingin mengetahui kondisinya.
"Dio, aku kemari diantar oleh Dio." Kataku, Tony mengernyit.
"Memangnya siapa dia?" Aku menghembuskan nafas panjang sembari memejamkan mata sebentar, lalu menatap matanya.
"Temanku, dia sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri, dan selama ini aku sudah bekerja di toko kue miliknya. Dio ialah pria yang baik, aku sangat terbantu dengan kehadirannya." Ungkapku, Tony terdiam, seperti merenungkan sesuatu. "Aku minta maaf atas segala macam bentuk yang kulakukan selama ini, terutama kelakuanku yang dapat menyakitimu." Imbuhku, kemudian Tony memegang pergelanganku.
"Tidak usah minta maaf, kamu tak salah apa-apa kok." Katanya, "Seharusnya aku yang minta maaf padamu karena telah berbicara seperti itu saat aku menemuimu dengannya." Imbuh Tony, aku mengernyit.
"Aku yang egois dan larut dalam masalahku sendiri, tanpa memikirkan terlebih dahulu situasi yang sebenarnya terjadi. Aku sudah keras kepala padamu Mel, aku tidak bermaksud mengataimu seperti itu." Ungkapnya dengan susah payah sambil merintih. Sepertinya Tony tak mempunyai tenaga untuk berbicara lebih, aku menutup mulutnya dengan jari telunjukku, lalu dia pun terdiam.
"Sudah-lah, tak usah membahas peristiwa itu, lukamu menjadi semakin parah kalau kamu buat mikir terus." Ujarku, Tony tertawa sedang. Aku mengusap disepanjang kulit-kulit dahinya. Luka tersebut seperti berasal dari pukulan benda tumpul, cukup parah, hingga membuat kain sapu tangan ini lengket oleh darah dan keringatnya.
"Aku baru saja dilempar botol kaca, bagaimana dengan lukanya?" Tanya Tony.
"Parah sekali, apa kamu merasa sakit saat ku-usap dengan sapu tangan ini?" Tanyaku, dia mengangguk.
"Yahh, tapi air hangatnya mampu menetralisir rasa sakit." Ujar Tony yang membatku berhenti. "Lanjutkan saja tak pa pa, hilangkan bekas-bekas darah di dahiku." Imbuhnya, aku mengusapnya kembali tanpa ragu.
"Amel! Apakah kamu sudah melapor ke mamaku perihal masalah ini?" dan spontan aku beranjak berdiri untuk mengambil ponsel.
"Oh sebentar, akan kutelpon mamamu sekarang.___"
"Jangan Mel, kumohon__" Tepis Tony seketika. "Tolong jangan katakan ke mamaku." Ujarnya.
"Kenapa? Perlakuan seperti ini harus dilaporkan Ton."
"Jangan Mel, sudah duduklah saja, tenanglah di sini, ayo duduklah kembali." Ules Tony, perlahan aku duduk dengan menyisahkan amarah yang amat mendalam di hatiku.
"Aku tidak ingin membuat mamaku semakin bertambah cemas karena situasi ini. Kamu tahu? Mamaku sekarang berjuang di dalam ruang karantina melawan covid. Dia harus tetap semangat untuk bisa sembuh, dan aku juga tidak ingin hubungan mama dan papaku semakin memanas karena mengetahui kondisiku yang seperti ini. Sudah biarkan aku terluka, lagian aku masih bisa bertahan disini, dan tentunya bersamamu. Biarkan saja yah? Aku ikhlas menerima semua pukulan dan tamparan, semua ini sudah biasa, aku kuat kok." Katanya, aku menggeleng tak terima. Mengapa dia secemas itu? Seharusnya Tony tak perlu memohon dan merasa takut, dia berhak untuk melawan dan melaporkan bentuk kekerasan yang dia terima. Apalagi hingga diluar batas kemanusiaan yang telah membuatnya terluka, diriku menjadi geram pada Tony.
"Tapi mamamu memintaiku untuk melihat kondisimu, tentu saja aku harus berkata apa adanya." Balasku.
"Katakan bahwa aku baik-baik saja. Bilang pada mama kalau aku tidak terluka dan papa tidak jadi datang di rumah ini. Hanya kamu dan aku sekarang yang tinggal berdua di rumah ini. Bilang seperti itu saja ya Mel? Kumohon." Ucap Tony memegang tanganku erat, hingga aku tak berani membantahnya sebab wajah lebam itu membuatku tak tega.
"Kamu benar-benar aneh, baiklah kalau itu maumu." Kataku, Tony langsung melepaskan genggaman tangannya padaku.
"Terima kasih Mel." Aku mengangguk dengan helai senyum yang kupaksakan. Seharusnya aku bisa memahami apa yang telah menjadi keputusan Tony. Orang dengan sifat angkuh dan kompetitif seperti ayahnya sangat berbahaya apabila dilawan. Sedangkan mama Firly masih dalam keadaan susah. Tony pasti tidak bisa menjamin keadaan mamanya apabila mamanya mengetahui kalau dia sedang dihajar habis-habisan oleh ayahnya. Entahlah, yang ada di benakku situasi ini akan berbuntut panjang, dan yang kutakuti akan mengarah ke jalur hukum. Tony pasti tak menginginkan hal itu terjadi.
"Aku senang kamu bisa ada disini Mel." Ucapnya, air mataku seketika berlinang mendengar ucapan itu. "Sujujurnya aku merindukanmu, rindu sekali." Imbuhnya, hingga aku tak berani menatap mata sayu yang lebam itu, dan aku memilih untuk menengok sebuah mangkuk plastik yang berisi air hangat di sampingku, hingga aku menemukan sebuah ponsel yang hangus terbakar terkapar di samping lampu tidur. Itu adalah handphone milik Tony, kenapa bisa hangus terbakar? Pantas saja dia tak pernah menghubungiku, dan pantas saja nomornya tidak aktif. Air mataku seketika menetes jatuh melewati pipi kananku.
"Kenapa kamu menangis?" Tanya Tony, rupanya pria itu fokus menatapi wajahku.
"Ohh, aku cuma kelilipan, kurasa kamarmu ini banyak debunya." Bujukku mengalihkan situasi, kemudian helai tangan Tony terangkat dan dia mengusap bekas air mata yang menetes di pipiku. Kasar dan lengket, itulah yang kurasakan dari kulit telapak tangan Tony.
"Setelah ini tanganmu, bagian wajah dan leher sudah bersih." Kataku, pria itu tersenyum dan menurut apa yang menjadi perintahku. Tangan kanannya mulai turun, kupegang setiap jemari dan lengan-lengannya, lalu aku melihat kulit terkelupas di sela-sela jari itu, hingga jantungku kembali berdenyut kencang.
"Memangnya kamu yakin tidak melaporkan semua bentuk kekerasan ini?" Tanyaku sekali lagi, dan Tony mengangguk.
Saat pukul tujuh malam, aku telah selesai membersihkan luka-luka di wajah, tangan, serta tubuh bagian dada pria itu. Beberapa luka sayatan yang cukup dalam di bagian dahi kuperban agar tak terkena infeksi. Sedangkan untuk luka yang masih lebam kuberi olesan salep untuk meredakan rasa nyerinya. Kali ini setidaknya kondisi Tony agak sedikit lumayan, meskipun berbagai jenis luka yang dia terima saat ini memerlukan waktu yang cukup lama untuk bisa sembuh.
"Apa kamu sudah makan?" Tanyaku, Tony menggeleng sambil tersenyum. Dalam hatiku berkata "Berhentilah tersenyum, kumohon." Sebab menatap senyumnya membuat perasaanku sedih.
"Oke, akan kubuatkan sesuatu di dapur." Kataku, dan Tony langsung menggenggam tanganku
"Tunggu Mel, di rumah ini hanya ada diriku saja, bi Kulsum sudah pulang kampung sekitar dua bulan lalu. Sedangkan aku tak pernah menyetok persediaan makanan selama mamaku terindikasi covid dan menjalani karantina." Ungkapnya, lantas aku membalas dengan senyuman.
"Aku sudah terbiasa dengan kondisi seperti itu, setidaknya di dalam sana masih ada panci dan kompor. Tidurlah, aku akan membuatkan sesuatu untukmu." Kataku, dan aku pergi meninggalkannya, mengecek isi lemari es di rumah ini, dan aku menemukan kemasan ayam beku di dalam freezer. Yang benar saja, aku sama sekali tak percaya bahwa kulkas sebesar itu kosong tanpa stok makanan apapun. Diriku mengambil potongan ayam beku tersebut untuk kurebus, lalu sembari menunggu rebusan ayam itu matang. Aku menyiapkan bumbu-bumbu dapur untuk membuat sambal. Kurasa di dalam dapur ini tak sepenuhnya kosong, aku masih melihat beberapa bungkus kentang, sayur brokoli dan susu dalam kemasan. Setidaknya cukup untuk kubuat sup, tapi tidak untuk malam ini.
Ketika semuanya sudah matang, Tony masih terbaring di ranjangnya. Dia melihatku masuk sambil membawa sepiring makanan dan segelas air putih. Lagi-lagi dia tersenyum, hingga aku begitu malu menatapnya.
"Aku tidak bisa makan sendiri, tanganku,___"
"Iya aku mengerti, duduklah, biar aku suapin." Balasku sambil membantunya untuk duduk dan mulai memberinya makanan.
"Bagaimana? Apa sambalnya kurang pedas?" Tanyaku, Tony menggeleng.
"Tidak, pas kok, enak sama seperti masakanmu yang dulu." Ucapk Tony, dan aku tersenyum kearahnya, senyum yang benar-benar lepas dan melegakan. Kurasa hubunganku dengan pria itu berangsur-angsur akan segera membaik. Kulihat makannya begitu lahap sekali, sama seperti ketika dulu kami makan bersama di pantry kantor.
"Apa kamu selama ini masih menjalani masa lockdown pada pekerjaanmu?" Tanyaku, Tony mengunyah sambil menggeleng.
"Tidak, aku sudah keluar dari kantor itu, dan kamu tahu? Pak Hamid mempunyai kasus penyelundupan APD, dan dia sekarang sedang menjalani proses persidangan." Kata Tony, sontak jantungku langsung berdegup.
"Apa? Sejak kapan hal itu terjadi?" Tanyaku.
"Kurang lebih tiga minggu yang lalu, dan setelah itu aku mengabarinya untuk berhenti bekerja di sana, dilain sisi diriku juga fokus memantau kesehatan mamaku." Ucapnya, Tony masih belum mengetahui alasanku yang sebenarnya mengenai bentuk pengunduran diriku di perusahaan tersebut. Entah kenapa aku merasa takut apabila pak Hamid akan menyangkutpautkan diriku dalam penyelundupan APD, dimana aku yang membantunya mengirimkan barang-barang medis tersebut dari kantor menuju ke rumah pribadinya.
Bersambung...
Berlanjut ke Chapter 78...