"Lalu apa yang kamu tahu mengenai pak Hamid? Maksudku tentang kasusnya." Kataku, tanganku mulai gemetaran menunggu jawaban Tony. Kulihat pria itu tiba-tiba mengernyit menatapku hingga diriku menepisnya.
"Memangnya kenapa?" Kurasa dia mulai curiga. Apakah ini ialah waktu yang tepat untuk mengungkapkan masalahku pada perusahaan itu? Entahlah, kenapa aku bisa mengetahui perkembangan masalah ini saat semuanya sudah membaik? Aku benar-benar tak terima bila suatu saat nanti diriku ikut terjerumus dalam masalah itu.
"Sebenarnya alasanku keluar dari sana karena tertekan oleh pak Hamid." Ungkapku tak berani menatap wajah Tony. "Pak Hamid memaksaku membawa APD yang dia selundupkan di kantor untuk dibawa ke rumahnya." Tony mengernyit tajam seakan hendak membawa pembicaraan ini kearah yang serius.
"Apa? Kenapa kamu mau?" Tanya-nya.
"Bagaimana aku bisa tahu kalau itu barang selundupan? Dia tidak berkata sedikitpun padaku kalau barang-barang itu ialah barang ilegal. Dia hanya menyuruhku untuk memindahkan semuanya ke rumah pribadinya, itu saja." Ucapku tegas pada Tony, aku berhenti menyuapi pria itu sebab ketakutan. Akhirnya kuletakkan piring tersebut di meja kabinet samping ranjang, lalu memegangi kepalaku yang mulai terasa pusing. Tony langsung mengelus-elus pundakku.
"Sudahlah, semoga saja tidak terjadi apa-apa dengan dirimu, yang terpenting kamu sudah keluar kan? Bagiku itu adalah langkah yang tepat." Katanya.
"Tidak juga, bisa saja aku terseret dalam kasus ini. Kamu tahu? Saat di hari yang sama, aku melihat Amir beserta istrinya masuk ke dalam kantor melewati pintu belakang menggunakan kunci cadangan yang telah kuberikan padanya. Dan dia kupergoki sedang mencuri kardus-kardus bekas untuk dijual agar bisa membeli susu anaknya. Amir, rekan kerja yang selama ini sering membantuku rupanya dalam keadaan susah. Dan parahnya lagi, pak Hamid mengetahui semuanya saat diriku sampai di rumah pribadinya. Dia mengancamku kalau aku melapor perihal penyelundupan tersebut, maka Amir juga ikut kena. Entahlah, posisiku saat itu benar-benar rumit dan terjebak." Terangku panjang lebar, kemudian Tony mendekatiku dan mencoba untuk memelukku. Elus-elus dari tangannya mampu menenangkan diriku tenggelam dalam tubuhnya. Tapi itu sama sekali sudah tak berguna.
Kurasa banyak hal yang belum kuketahui di luar sana, mengenai apa saja yang akan terjadi pada diriku kedepan. Pak Hamid, Amir, bahkan posisi Tony yang saat ini masih berselisih dengan papanya. Sejenak aku mengingat tentang ungkapan papa Anthony yang membahas masa depan pendidikan di Skotlandia. Yahh, tiba-tiba aku mengingat perkataan itu.
Aku berdiri pada cela tembok pemisah dalam waktu yang cukup lama. Mendengarkan siksaan dan pembicaraan mereka yang begitu mengerikan. Pecahan gelas, teriakan, pukulan serta tamparan telah menggelegar di telingaku. Semuanya menyisahkan bentuk ketakutan, bahkan berada di dekat Tony pun sebenarnya aku merasa takut. Akhirnya aku memilih untuk melepaskan pelukan Tony dariku, dan aku mulai berdiri menatapnya.
"Aku sama sekali tidak takut dengan semua ini, aku bisa mengungkapkan yang sebenarnya bila diriku disangkut pautkan. Lagi pula aku sudah menolak kompensasinya." Tony mengernyit.
"Kompensasi apa?" Tanya-nya
"Dia memberiku uang satu juta setelah aku berhasil mengirim APD ke rumahnya, namun aku menolak sebab tahu kalau itu barang selundupan." Ujarku, "Jadi aku bisa mengatakan bahwa aku melakukan hal tersebut karena diluar sepengetahuanku, dan aku melakukan hal itu berdasarkan loyalitas pekerjaan sebagai pesuruhnya, hanya itu, dan aku yakin kalau diriku masih aman dalam masalah ini. Sedangkan perihal Amir, dia kuberi uang satu juta dari uangmu dulu yang telah kau berikan padaku, sehingga Amir tak jadi mencuri kardus-kardus bekas tersebut. Dia hanya masuk dan langsung kusuruh pulang." Ucapku menerangkan semua kebenaran yang ada.
Semua itu sudah jelas, aku dan Amir tidak akan dikenakan hukuman. Setidaknya aku bisa lebih percaya diri untuk tidak memikirkan hal-hal yang berlebihan, karena faktanya aku sama sekali tak bersalah, dan aku berani untuk melindungi diriku sendiri dalam kasus ini. Sudah cukup dengan kesalahan-kesalahan yang selama ini kuperbuat.
Aku mencoba berdiri dan mengambil ponsel, sudah pukul sembilan malam, bahkan diriku tak sadar kalau Jojo sudah menelponku hingga empat kali. Akibat terlalu memikirkan Tony membuatku lupa pada keluargaku yang ada di rumah.
"Kamu bisa makan sendiri kan? Kayaknya aku harus pulang, ini sudah malam, telpon dari Jojo sampai tak terangkat." Ujarku, Tony seketika menggenggam tanganku.
"Mel?" Panggilnya, merunduk kebingungan. "Kenapa kamu tidak tinggal di sini saja? Mungkin untuk semalam." Aku mengeram acuh padanya.
"Apa? Tinggal disini? Tidak Ton, ibuku pasti akan marah besar kalau aku sampai tidak pulang ke rumah, apalagi menginap di rumahmu." Balasku, aku bisa merasakan goresan-goresan pada telapak tangan Tony yang amat kasar dan lengket.
"Duduklah dulu, kenapa tidak bisa dirundingkan baik-baik? Aku yang akan bicara pada ibumu agar bisa mengizinkanmu untuk menginap di sini." Ucapnya, aku tertawa sedang.
"Tidak Ton, ibuku orangnya tegas, dia pasti bakal marah besar, percaya dehh." Ulesku, padahal sebenarnya aku tak tega bila meninggalkan pria itu sendirian di rumah ini. Tapi mau bagaimana lagi? Keadaannya sudah tak semudah yang kubayangkan, aku bahkan bingung dengan semua situasi ini.
"Setidaknya aku pulang dulu untuk malam ini, dan besok pagi aku bakal menjengukmu, oke?" Kataku, Tony merenung lesu menatapku, dia seperti ketakutan dan kebingungan. Saat diriku mengambil ponsel untuk mengirim pesan pada Jojo, aku dikejutkan oleh panggilan masuk dari nomor telepon persis seperti nomor milik mama Firly saat menghubungiku sore tadi. Sontak aku langsung panik.
"Astaga, mama-mu sedang menelponku." Ujarku ditengah nada dering yang berderu disepenjuru ruangan.
"Angkat saja." Singgung Tony, dan hatiku merasa tak yakin.
"Hallo ma," Ucapku, aku mendengar suara bergemuruh di ponselku, dan samar-samar mulai mendengar suaranya.
"Amel! ada dimana kamu sekarang? Apakah Tony baik-baik saja?" Tanya beliau, aku menatap wajah Tony yang mengisyaratkanku untuk berkata bohong, menutupi semuanya seakan seperti tak ada yang perlu dikhawatirkan.
"Iya ma, saya sekarang ada di rumah bersama Tony, dan syukurlah Tony baik-baik saja." Kataku dengan nada suara yang kubuat setenang mungkin.
"Lalu tadi apakah papanya datang ke rumah? Dia ngapain aja Mel disana?" Diriku lantas kebingungan untuk hendak menjawab pertanyaan beliau. Kulihat Tony menggelengkan kepalanya, sambil berbisik, "Berbohonglah, jangan berkata jujur." Aku tergugup sesaat tak mengerti harus berbicara apa. Sejak dulu aku memang tak pandai dalam berbohong, sulit rasanya untuk menemukan jawaban-jawaban yang tak menimbulkan kecurigaan. Entahlah, aku harus mencoba demi kemauan pria itu.
"Oh tidak ma, ketika saya disini tak ada siapa-siapa, dan dari tadi juga tidak ada seseorang yang datang." Ucapku, mama Firly berhembus lega mendengar jawabanku.
"Baiklah kalau begitu, terima kasih sudah menolong mama yah?" Aku terpaksa tersenyum dalam balutan ketidaknyamanan. "Tapi ini kan sudah malam, mungkin kamu bisa menginap di rumah mama untuk menemani Tony." Imbuhnya.
"Tidak ma, saya harus pulang malam ini juga." Kataku.
"Kamu berangkat kesana naik apa Mel? Apakah sendirian? Kenapa tidak menginap untuk semalam saja? Barulah besok pagi diantar pulang oleh Tony, lagian di lantai atas juga ada satu kamar kosong, kamu bisa tidur di sana sayang." Diriku menjadi bimbang dan lagi-lagi tak tahu harus berkata apa. Selain itu keluargaku yang ada di rumah pasti akan mencemaskanku.
Selama ini aku tak pernah tidur di rumah seorang pria, hal itu akan membuat perdebatan dan pemicu-pemicu negatif. Entah siapa yang akan menjamin semua ini meskipun dari dalam hatiku berkata bahwa menginap di rumah Tony ialah hal yang kuinginkan. Aku segan menemani pria itu, tidur di sampingnya dan menikmati balutan pelukannya, lagi pula Tony sedang terluka parah dan masih belum bisa melakukan apapun. Untuk berjalan saja dia tidak sanggup, dan di dalam rumah ini sepi tak ada satu orang pun kecuali diriku.
"Baik ma, akan aku pikirkan dulu yahh." Kataku, lalu mama Firly terdiam, dan beberapa saat kemudian beliau bersuara.
"Yahh, pikirkanlah Mel, mama hanya memberikanmu saran saja, sekali lagi mama ucapkan terima kasih." Aku tersenyum.
"Sama-sama." Tutupku, Tony terlihat senang, aku berpikir hanya untuk malam ini saja, menemani pria yang kesepian itu.
"Mamaku benar, pulanglah besok pagi, biar aku yang akan mengantarkanmu ke rumah nenekmu." Ujar Tony. Aku mulai teringat soal nenek, mungkin Tony masih belum mengetahui kalau nenekku sudah meninggal. Masa-masa karantina yang kami lewati selama ini menciptakan banyak perubahan yang masif, dan aku ingin mengatakannya, duduk di samping pria itu.
Tony memelukku untuk kesekian kalinya, dan diriku melepas kedua sepatu dan ikut berbaring diatas ranjang yang berantakan. Kemudian saat itulah aku merasa bahwa sebaiknya aku pulang saja, yah, pulang di rumah dan menemui keluargaku.
"Apa kamu yakin dengan semua ini? Membiarkanku berada di rumahmu semalaman? Aku ingin menelpon Jojo terlebih dahulu." Kataku bimbang, "Tapi aku tak tahu harus berkata apa." Aku beralih dan kutelpon Jojo saat itu juga.
"Jojo! Mana ibumu? Aku perlu bicara dengan ibu." Kataku, anak itu berlari hingga langkah kakinya terdengar jelas, lalu suara beralih pada ibuku.
"Amel! kamu kemana saja? Kata Dio kamu berada di rumah Tony, ada memangnya?" Tanya ibu, upaya Dio tersebut ialah langkah yang tepat.
"Jadi, aku kemari setelah mendapat kabar dari mama-nya untuk memastikan keadaan Tony." Kataku.
"Memangnya kenapa dengan Tony? Apa dia sakit? Kamu jangan coba-coba untuk menjenguk orang sakit, musim wabah seperti ini sangat berbahaya." Bentak ibuku, dan aku bisa mencium bau perdebatan antara aku dan ibu.
"Tidak bu, Tony tidak sakit. Lebih tepatnya,____" Aku terdiam, menatap wajah pria itu untuk mencari jawaban yang tepat. Aku sama sekali tak pandai berbohong, aku payah dalam hal itu. "Dia baru saja menerima bentuk kekerasan dari papanya." Ungkapku terus terang.
"Apa? Kekerasan apa maksudmu?" Gertak ibuku.
"Maaf kalau sebelumnya aku tak pernah cerita. Namun kenyataannya Tony memiliki keluarga yang bermasalah. Kedua orang tuanya baru saja bercerai, dan Tony dipaksa memilih tinggal diantara mereka berdua. Papa Tony orangnya sangat egois, Tony bahkan dihajar supaya mau mengikuti segala macam perintah papanya, dan sekarang kondisi Tony sangat memprihatinkan, banyak luka lebam dan sayatan di tubuhnya, maka dari itu aku ingin menginap di rumah ini mungkin untuk malam ini, atau beberapa hari kedepan. Apakah ibu mengizinkanku?" Ungkap diriku, merintih dan seperti tak kuat menahan nada kepedihan.
"Separah apa sih lukanya?" Tanya ibu.
"Pokoknya parah, ibu pasti tidak akan tega bila melihatnya." Ucapku, "Kuharap ibu bisa mengerti, dan bukannya ibu dan Tony sudah saling kenal?" Aku bisa mendengar teriakan Jojo di ponselku. Anak kecil itu bertanya-tanya. "Apakah itu kak Tony? Apakah ibu sedang berbicara dengan kak Tony?" Terdengar begitu jelas bergeming di telingaku. Hingga air mata berlinang untuk yang kesekian kalinya.
"Terserah kamu Mel, ibu tak mau berpikir panjang, ibu sudah capek dan mau istirahat. Kalau kamu perlu seseorang untuk menjemput, biar ibu minta tolong ke Dio supaya bisa mengantarkanmu pulang." Katanya.
"Apa? Dio? Tidak bu, jangan, anak itu sudah banyak membantu, aku tidak mau merepotinya terus-menerus, kasihan." Kataku, nampaknya ibuku merasa muak padaku.
"Yaudah, terserah apa maumu." Ucapnya, dan seketika telpon ditutup dengan begitu kasar. Sudah kuduga bahwa ibuku pasti marah, dan dari sini aku dapat merasakan bentuk kecondongan sifatnya antara Dio dan Tony. Dari awal ibu memang menyukai Dio, lagi pula siapa yang tidak suka dengan pria sepertinya? Pria yang baik, penolong, pintar, dan juga tampan. Entahlah, kali ini aku memandang Tony dengan wajah yang datar, dan Tony juga merasa bersalah karena telah memaksa diriku untuk menginap di rumahnya.
"Ada satu hal yang ingin kukatakan padamu." Tony menatapku lekat-lekat, ada sebuah dorongan yang memaksaku untuk bersikap terus terang, terutama pada peristiwa yang masih belum Tony ketahui selama kami putus kontak dalam jangka waktu yang cukup lama.
"Nenekku sudah meningga dunia sebulan yang lalu," Ungkapku, "dan beliau meninggal karena covid." Tony terdiam membisu tanpa ekspresi apapun.
"Sebenarnya keluargaku masih berduka atas peristiwa tersebut, makanya sifat ibuku tak seperti dulu lagi, dia justru lebih peduli dan sering mengingatkan kami semua untuk menjaga diri masing-masing. Mungkin itulah jiwa dari seorang ibu, sama seperti mama-mu yang panik menghubungiku untuk memastikan keadaanmu." Kataku. Tony terdiam dengan tatapan kosong, wajahnya bergemetar, memerah, lalu kedua tangannya mengepal erat. Rasa sakit yang telah dia terima dari papanya masih belum surut, namun keterpukulan seakan menghujaninya lagi dan lagi. Tony bahkan tak punya sepatah kata apapun untuk mengucapkan rasa dukanya padaku. Dia hanya menahan tangis, tangis yang lirih hingga membuat nafasnya begitu berat, terhimpit oleh pilu yang mendalam. Dengan spontan aku memeluk pria itu, dan dia menangis di pelukanku.
Bersambung...
Berlanjut ke Chapter 79...