Malam yang semakin dingin membuatku ragu untuk berdiam dan menepi di dalam ruangan yang penuh naungan tragedi. Tangisan Tony sama persis seperti kerapuhanku yang kulantunkan kala berita nenekku telah tiada. Tak mengapa aku memeluknya, setelah itu hati akan kembali menjadi lapang. Tarik nafas dalam-dalam, tahan lima detik, lalu hembuskan. Kusuruh dia melakukannya sekali lagi. Tarik nafas dalam-dalam, tahan lima detik, lalu hembuskan. Aku tersenyum menatapnya, demi berusaha membuatnya tenang kembali.
"Kenapa kamu tidak kabari aku?" Tanya Tony sambil terisak-isak.
"Sudah kubilang dari awal kalau nomormu tidak aktif, mana bisa aku menelponmu?" Ungkapku, pandangannya beralih pada ponsel usang yang bertengger di samping lampu tidur, dia mengambilnya dan langsung ia banting hingga pecah berkeping-keping. Dalam hatiku berkata, "Hentikan." Tapi aku paham perasaan itu, sampai kubiarkan malam ini larut dalam kebencian dan keterpurukan. Tony memegangi kepala sambil tertunduk, aku bahkan tak menyangka bisa sampai seperti itu.
"Aku ingin kamu melupakan semuanya, aku sendiri sudah ikhlas akan kepergian nenekku. Mungkin itu adalah jalan yang terbaik, sebab dari awal nenek memang mempunyai penyakit bawaan. Kuharap mamamu bisa cepat sembuh Ton." Kataku, tangisan pria itu berangsur-angsur redah, kepalanya mengangguk sambil tetap tertunduk. Kurasa Tony tak tega melihat wajahku, padahal dari awal aku berusaha untuk tidak sedih dan tidak menangis.
"Tidur lah, lagian ini sudah malam, biar piringnya kubawa kebelakang." Kataku sambil beranjak berdiri dari ranjang dan membereskan sisa makanan Tony yang tidak habis ia makan. Aku mengusap pipiku menggunakan kera lenganku. Kemudian sesampai di dapur, air mata ini sudah tak kuat lagi untuk dibendung. Aku menangis sambil membungkam mulutku erat-erat agar tak menimbulkan suara. Cukup sudah, aku telah mengikhlaskan kepergian nenekku, biarkan situasi ini terjadi tanpa kehadirannya, yang pasti nenekku juga bakal memarahiku apabila aku terus menangisinya.
Aku berjalan menyisiri tangga, menemukan beberapa ruang yang begitu sunyi dan hampa. Hembus angin menerpa dibalik pintu yang terbuka diluar sana. Ini ialah awal pertama kaliku melihat rumah Tony dari lantai atas. Kutelusuri tiap lorong yang ada, dan aku menemui banyak pigura-pigura yang memajang foto mama Firly bersama Tony. Kulihat senyum mereka begitu manis dan penuh kebahagiaan, membuatku sangat menyetujui keinginan Tony yang ingin tetap tinggal bersama mamanya.
Aku sendiri jarang berfoto bersama ibuku, bahkan semenjak ayah kandungku meninggal membuat semuanya nyaris seperti tanpa ekspresi, semuanya terasa hambar dan tak berwarna. Aku tidak bisa menemukan mana sisi terbaik dan mana sisi terburuk dalam kehidupan kala itu, yang kurasakan hanya kesunyian yang mendalam, persis seperti ruangan ini.
Langkah kakiku seakan tanpa henti berjalan kedepan, melewati beberapa ruangan yang kusinyalir mungkin itulah kamar mama Firly yang ditujukan untukku tidur malam ini. Aku melewati ruangan itu begitu saja, menuju pada hembus angin malam yang mengundangku untuk ingin menatap langit. Sungguh, inilah balkon rumah yang kuimpikan, dimana pada balkon tersebut terdapat taman kecil yang cantik. Kursi-kursi kayu tersusun di sepanjang tepi, dengan pagar putih yang membatasinya.
Kakiku melangkah pada rerumputan itu, dan aku bisa melihat taburan bintang di malam pekat tepat pada pukul sebelas malam. Seperti tak ada kebisingan sama sekali, hanya suara angin dan suara hatiku yang ingin untuk memeluk seseorang. Dingin, sunyi, dan penuh kerapuhan, tapi akankah itu akan terjadi di malam ini bersama Tony? Aku sendiri bahkan tak bisa tidur, mungkin aku lebih nyaman tidur di sofa itu dengan seseorang yang sudi untuk memelukku.
Pergilah bayangan-bayang yang gelap, menjauh dari pikiranku, ini waktuku untuk menyatu dengan langit, merasakan hembus angin kebebasan yang hanya ada di dalam benakku. Kurasa balkon rumah ini jauh lebih tinggi dari balkon rumah Luna, atau bahkan balkon rumah Almarhum nenekku. Diriku bahkan seperti melayang di udara dan terhempas oleh angin malam layaknya kertas yang bertebaran. Andaikan semuanya semudah itu, andaikan tahun ini tak ada wabah, andaikan nenekku masih ada, atau ayah kandungku masih hidup. Entahlah, aku menjadi semakin egois bila disuguhi moment seperti ini.
"Apa yang kamu lakukan diatas sini? Masuklah, nanti kamu kedinginan." Kata seseorang memecahkan suara hembus angin di belakangku.
"Kemarilah, lihat pemandangannya, bagus banget tahu gak si?" Ujarku, tak mengerti harus berkata apa. Senyumku membuat pria itu mendekatiku dengan penuh keyakinan, dan dia berada di sampingku memegang pagar besi pembatas, lalu menatap langit malam yang penuh dengan rahasia kelam. Aku sebenarnya ingin membahas perihal ucapan papa Anthony, setidaknya pada malam ini ialah waktu yang panjang untuk berurusan dengan pria ini. Tony, pria yang kukenal semenjak kami bekerja di perusahaan finace terkemuka, hendak kuungkit perihal perasaannya kepadaku, berkata yang sejujurnya tentang apa yang sebenarnya terjadi, tentang apa yang selama ini dia tutup-tutupi, dan aku ingin semuanya terungkap di malam ini.
"Mengapa kamu tidak pernah mengasih tahu diriku perihal rencanamu yang menumpuh pendidikan di Skotlandia?" Tanyaku, lantas Tony menoleh menatapku.
"Itu bukan rencanaku, tapi rencana papaku, sudah lama aku menolaknya dan enggan membahas masalah itu lagi." Balasnya.
"Lalu, siapakah seseorang yang bernama Feronica? Seseorang yang telah disebut oleh papamu tadi?" Tanyaku, hembus angin seketika menerpa kami berdua, sensasi dingin yang penuh dengan ketakutan langsung menghujaniku.
"Berarti kamu juga mendengarnya ya?" Tanya Tony.
"Aku berada di rumahmu tak lama saat sebelum papamu meluncurkan sabuk kearah tubuhmu." Tony langsung merunduk kearahku, dan dia menggenggam tanganku erat-erat.
"Dengarkan aku Mel, Feronica adalah teman masa kecilku dulu, dan orang tuanya sangat akrab dengan papaku hingga hubungan mereka selayaknya seperti saudara sendiri. Kamu juga pasti pernah mempunyai teman masa kecil bukan? Aku tidak bermaksud untuk menyembunyikan sesuatu darimu, tapi sungguh, bagiku Feronica ialah teman, kami berdua memang sudah akrab dari dulu." Ungkap Tony, aku menganggukkan kepala mencoba memahami apa yang telah Tony akui, ibarat diriku mempunyai Eny dan Andy, dua sahabat perempuan yang telah kukenal cukup lama. Aku juga akrab pada mereka, dan tak terkecuali menyukai mereka pula.
Namun pada Tony, aku tidak berani jamin apabila Feronica tidak mempunyai perasaan apa-apa pada pria itu. Akankah teman masa kecilnya juga pernah mempunyai rasa cinta pada Tony? Itu adalah pertanyaan konyol yang pasti dapat melukai perasaannya. Yang kutahu kami hanya berpacaran cuma beberapa bulan saja, bahkan setelah itu kami berpisah cukup lama akibat karantina wabah korona ini. Bahkan aku tak mengerti seluk beluk masa lalu Tony, yang kutahu dia adalah pria yang baik, penolong, perhatian, persis seperti apa yang Dio berikan padaku. Sungguh sial, lagi-lagi aku teringat Dio.
"Oke, tak masalah, tapi apabila keputusan ayahmu itu baik untuk masadepanmu, tak perlu kamu meragukanku. Atau bahkan mempertimbangkan semua itu hanya padaku. Astaga apakah aku terlalu GR? Sungguh Ton, kapan lagi kamu mendapatkan kesempatan untuk sekolah di eropa? Itu pasti bagus untuk masa depanmu." Ungkapku, membuat Tony mencengkram pergelanganku dengan erat.
"Kamu ini bicara apa? Jangan seperti itu, aku lebih memilih tinggal di sini bersama mamaku. Kalau aku di sana bagaimana dengan mamaku? Lagi pula kenapa kamu memperdulikan omongan papa tadi? Tak usah kamu memikirkan wanita itu, dia hanya teman masa kecil, itu saja." Kata Tony, aku bisa melihat matanya yang penuh kebingungan.
"Tapi apakah kamu yakin kalau Feronica juga menganggapmu sebagai teman?" Tanyaku, Tony terdiam melepaskan pergelanganku, lalu beralih menepis wajahku.
"Dia sekarang ada di Skotlandia, mana mungkin dia bisa mempunyai perasaan padaku? Yang ada dia pasti sudah mempunyai pria lain di luar sana." Ingatanku terus berkata bahwa ungkapan papa Anthony cukup memberiku sebuah kepastian, dan aku bisa sadar dari sini, bahwa kehidupan kami berdua sangatlah berbeda. Aku hanyalah perempuan biasa yang tak punya apa-apa, bahkan aku bukan berasal dari anak orang kaya atau orang yang mempunyai gelar pendidikan tinggi. Tapi Tony mempunyai kesempatan itu, lagi pula apabila dia bisa terbuka kepada mama-nya, pasti mama Firly juga memberikan support untuknya. Apakah itu hanyalah prilaku egois dariku? Aku hanya tidak ingin merasa seperti pembeban kehidupan Tony, itu saja.
"Kamu yakin?" Tanyaku.
"Yahh aku yakin." Jawab Tony.
"Tapi papa mu membenciku, dia tidak menginginkan kita bersama Ton."
"Kenapa kamu dengarkan ucapannya? Kamu kan sudah tahu kalau papa dan mama-ku sudah bercerai, dan aku lebih memilih tinggal dengan mamaku di sini, jadi tak usah ungkit-ungkit papaku." Kata Tony, aku sungguh bingung dengan semua ini, dengan semua yang terjadi dipenghujung malam yang penuh misteri ini. Aku tidak tahu lagi harus berkata apa pada pria itu, bahkan langit yang indah dengan taburan bintang di sana tak cukup membuat kami merasa tenang.
"Maafkan aku, tapi setidaknya aku perlu jawaban mengenai hubungan kita." Tony membalikkan tubuhnya, hingga aku tidak berani menatap mata sayu yang terluka itu.
"Bukannya kita sudah saling mencintai?" Tanya Tony, air mataku kembali berlinang menatapnya. Aku hanya perlu penjelasan tentang apa yang telah diucapkan oleh papa Anthony, itu semua seperti bentuk representasi hubunganku dengannya. Kita tak akan pernah bisa bersatu, kehidupan kita berdua berbeda, bahkan aku sendiri tak layak berada di tempat ini. Namun masa pacaran kami selama rentan waktu dua bulan tersebut mampu mempersulit keputusanku, akankah malam ini menjadi malam yang terakhirku bersamanya?
"Aku baru ingat ketika kamu mengajakku ke restaurant seafood kala diriku menemukan dompetmu tertinggal di toilet kantor." Kataku, aku masih mengingat selembar kertas putih lusuh yang tertulis untuk seseorang. "Aku tak sengaja menggeledah isi dompetmu, dan menemukan sejaring kertas yang berisi tulisan, itu pasti kamu tujukan untuk Florence bukan?" Imbuhku, Tony seketika gemetaran, dan dia mencoba untuk mengambil dompet dari saku belakang celananya. Dia buka dompet kulit tersebut, dan yang benar saja, kertas itu rupanya masih ada di sana. Dia membukanya dan melihat isi tulisan tersebut.
"Kau disana, dan aku disini, entah seberapa jauh dirimu dariku, dan aku tak akan melepaskanmu, janjiku ditahun ini ialah mendapatkanmu. Tony 2020."
Wajah Tony kembali memerah, menatapku dengan tak biasa. Kertas tersebut langsung dia remas-remas hingga hancur dan dia buang diatas balkon. Dari sini aku bisa merasakan bahwa diriku ialah orang asing, orang yang sama sekali tak diharapkan, mungkin apa yang Tony katakan selama ini kepadaku hanyalah bohong.
"Kamu bahkan tidak akan bisa melepaskannya bukan? Dan itulah janjimu di tahun ini, sekaligus resolusimu." Kataku yang memang benar harus kuungkapkan padanya. Dari sini aku bisa melihat cahaya terang yang berada di pertengahan jalan hidupku. Mungkin inilah jawaban dari segala kerumitan dan kegundahan hatiku, dan keinginanku saat ini hanya satu, jangan ada yang ditutup-tutupi lagi.
"Amel!" Tony seketika hendak ingin mendekatiku.
"Stop Tony, jangan lakukan apa-apa." Dia mulai mendekat.
"Jangan mendekat."
"Kenapa?" Dia menghembuskan nafas panjang, seperti merasa kesal. "Biarkan aku memelukmu, sudah berapa kali kalau aku mengatakan padamu kalau aku mencintaimu, sudah jangan ungkit-ungkit masa laluku." Imbuhnya.
"Aku tidak mengungkitnya, aku hanya ingin semuanya terbuka mengenai seluruh riwayat itu. Kita berpacaran hanya dua bulan Ton, dan kita masih belum mengenal lebih jauh, bahkan aku bertemu dengan papa dan mama-mu saja hanya sekali. Jadi jangan anggap bahwa kita sudah lama menjalin hubungan, oke? Dan kurasaa,___" Aku mulai bernafas megap-megap, antara meluapkan emosi dan juga rasa takut. Aku sebenarnya tak sekejam ini. Tapi berada disituasi hubungan dengan Tony membuatku semakin tak tenang.
"Kurasa kamu tak perlu membeci ayahmu seutuhnya, niat papamu baik, dia menginginkan masa depanmu cerah. Jika kamu masih memikirkan kondisi mama-mu, itu tak masalah, aku yakin mamamu pasti akan segera sembuh, sebab penanganan di rumah sakit pasti lebih memprioritaskan untuk pasien dari tenaga medis daripada orang-orang biasa seperti nenekku. Dan kamu juga tak perlu mempertimbangkan aku juga, aku akan selalu mendukung apa yang menjadi impianmu, atau bahkan resolusimu. Jangan sia-siakan kesempatan yang telah diberikan oleh papamu, meskipun dia sering menyakitimu. Tapi aku yakin semua itu juga akan kembali padamu, untuk kebaikanmu juga. Selagi kamu masih punya ayah kandung, jangan jadi anak sepertiku yang dulu semasa ayahku masih hidup tak pernah nurut untuk mengerjakan PR." Ungkapku sampai tergugup-gugup, Tony langsung memasang muka lesu, sampai dia turut meneteskan air mata.
"Ohh astaga, kenapa jadi seperti ini? Jangan begitu padaku, aku sungguh tidak bisa memilih keputusanku lagi." Ungkap Tony. "Aku mencintaimu, mana bisa aku meninggalkanmu Mel?" Imbuhnya, dan langsung mendekatiku, memelukku erat. Hingga angin malam kembali menerpa bertubi-tubi kearah kami berdua.
Bersambung...
Berlanjut ke Chapter 80...