Detak jantung Tony berdenyut menggebu-gebu memikat aura sendu di dalam tubuhku. Pelukannya sungguh erat berbalut oleh tangisan yang tak kenal henti. Aku berpasrah pada semua keadaan ini, keadaan yang membuat kami untuk enyah dari kebersamaan. Bintang-bintang di atas sana sebagai saksi pertunjukan romansa yang penuh dengan lika-liku, lantas apanya yang menarik dari kami berdua? Bahkan kehidupan kami pun sungguh berbeda. Bukan karena aku egois atau apa pun itu, tapi Tony ialah pria yang sempurna, memiliki banyak mimpi-mimpi masa depan yang telah bersinar jelas dihadapannya.
"Mau sampai kapan lagi berhenti untuk memikirkanku?" Kataku.
"Tidak, aku tidak mau lagi, pokoknya aku hanya ingin bersamamu, tolong jangan bicara seperti itu lagi yah?" Ujar Tony. Malam ini semakin terbenam oleh air mata, aku menjadi merasa bersalah telah memojokkannya untuk sanggup memilih antara dua keputusan. Mungkin tidaklah mudah baginya, apalagi meninggalkan tempat ini, keluarga, atau bahkan diriku. Lagi-lagi aku terbenam, jantungku seperti menyatu pada jantungnya. Berdenyut mengikuti ritme alunan jalan panjang ini, di tengah malam yang sunyi dan dingin oleh angin yang berderu.
"Maafkan aku Ton, aku tidak bermaksud melukaimu, aku hanya ingin sebuah kepastian mengenai masa lalu yang lama masih belum kita bahas." Kataku, dia menatap wajahku, kemudian tanpa ragu mengecup keningku dengan lembut, hingga aku bisa merasakan sinar cahaya bulan yang semakin terang, menunjukkan ungkapan hati dan perasaannya yang terpukau oleh kejujuran yang nyata.
"Mau berapa kali aku katakan huh?" Ungkap Tony, lirih oleh tangis yang masih belum surut. "Aku mencintaimu, sampai kapanpun akan tetap sama seperti itu." Hembus nafasnya menghangat di wajahku, membuatku tersenyum, lega bisa merasakan suatu kelonggaran yang tak dibebani oleh kepura-puraan. Semua sudah cukup, aku tidak akan mengungkit ucapan ayahnya lagi, atau bahkan masa lalu yang mungkin baginya tak ingin ia lalui.
"Aku juga mencintaimu, sudah berhentilah menangis lihatlah dan rasakanlah angin malam ini." Ujarku, mencari titik cela tubuhku untuk bergerak.
"Diamlah, biarkan aku memelukmu di malam ini supaya tubuhmu tak kedinginan. Nikmatilah cahaya bulan terang itu, serta bintang-bintang yang bertaburan menembus langit. Bukannya kamu menyukainya?" Ujar Tony.
"Yahh, aku menyukainya, bahkan udara ini seperti menyatukanku denganmu." Lalu aku menatap wajah pria itu, dia tersenyum tepat di dekat wajahku, hingga aku bisa melihat berbagai macam luka sayatan miliknya. Darah, kulit, dan daging yang membelah di setiap keping goresan itu, menyisahkan ingatan pahit yang barusan kualami. Kutepis pandangan itu berkali-kali, dan yang ada di mataku hanyalah senyumannya, senyum yang tak akan bisa disamai oleh senyum pria lainnya, bahkan Dio sekalipun. Senyuman dari sosok kekasih pertamaku, kekasih pujaan hatiku yang selalu kukenang di tiap-tiap malam yang penuh kesunyian. Kini harapanku selama ini tentangnya seakan terwujud kembali, tak percaya bisa sedekat ini berada pada senyuman itu, begitu dekat, bahkan aku bisa merasakan hembus nafasnya yang begitu hangat dan tak beraturan, sesuai dengan datak jantung yang berdegup kencang.
Nuansa dingin tak mengalahkan apapun, bahkan ketika syaraf-syarafku meregang sama sekali tak meluluhkan pandangan kami menatap satu sama lain, hingga kecup bibir Tony mendarat pada bibirku, begitu lembut menyatu dalam hati dan pikiranku. Tembok-tembok kebencian dan keegoisan seketika runtuh oleh tiupan angin yang kami rasakan, mengalahkan sinar bulan yang menyorot keutuhan cinta diantara kami berdua. Lihatlah bintang, lihatlah langit, kami sudah bersatu, kami sudah melalui malam-malam panjang yang penuh dengan paradigma misteri. Sudah tak ada lagi yang perlu diragukan atau bahkan ditutup-tutupi.
Kedua telapak tangan Tony memegang kedua pipiku, membuat kecupan kami semakin lama dan semakin terasa syahdu. Bila kegelapan ini mampu menyusuri setiap ruang kosong di dalam hatiku, itu semua tak akan mampu ia lakukan, karena bagiku kecupannya bagaikan cahaya harapanku, cahaya yang kembali bersinar di setiap ruang kosong yang senyap.
"Aku ingin kita masuk ke dalam, berada di luar sini akan membuatmu mati membeku." Ucapnya, aku mengangguk, senyum itu mampu membuatku menuruti kemauannya, entah seajaib itukah senyuman dari seorang pria setampan dirinya?
Saat kedua tangannya hendak menopang tulang rusukku, diriku terangkat oleh kedua lengan Tony yang keras dan besar. Tawaku seketika terhempas menyaksikan senyum lebar Tony yang indah. Aku digendong pria itu masuk ke dalam, dan kemudian ia baringkan diatas ranjang empuk yang kusinyalir sebagai tempat tidur mama Firly.
Pria itu sekali lagi mengecupku, mengucupku berkali-kali hingga keseluruh wajahku. Aku seperti tak bisa menolaknya, bahkan aku sama sekali tak punya pemikiran untuk mencegahnya, atau hanya sekedar berkata stop, hentikan, pergi, itu terlalu bodoh bagiku. Aku tahu pria itu, dan aku mulai bisa meraskan cintanya, begitu pula sebaliknya. Seperti tak ada keraguan lagi, kami berani untuk membuka lembaran kehidupan cinta ini yang telah lama mengkarat dan terlupakan.
Kami semakin dekat, bahkan lebih dekat dari yang kurasakan sebelumnya. Pria itu mulai melepas bajunya, lalu dia memelukku sekali lagi, kedua lenganku meraih pundak keras yang penuh luka tersebut. Lengket dari tubuhnya seakan menyatukan seluruh gairahku di malam ini. Sungguh tak bisa kutepis dan kukendalikan. Aku langsung membuka baju beserta dalaman, namun tak berani melepas bawahanku. Tangan Tony langsung kutahan saat dia hendak ingin melepasnya, dan dia menurutiku. Kembali pada kecupan, hempasan nafas serta detak jantung yang berguncang beriringan tak bisa terelakkan.
Kepalaku mendarat pada bahunya, merasakan sensasi setiap tekanan yang ia berikan padaku. Kedua mataku hanya bisa terbenam, enggan untuk melihat setiap bentuk yang ia berikan. Lakukan saja apa yang dia mau, aku tahu itu tak akan menyakitiku. Kami hanya bercinta, kami hanya melakukan apa yang seharusnya untuk dilakukan, tanpa adanya bentuk keraguan yang akan merugikanku, atau bahkan membuatku kecewa setelahnya. Tony hanya bermasturbasi diatas selimut kusut sembari mengulas setiap wajahku oleh endus kecupannya, hingga seluruh tubuh ini lenyap dalam balutan keringat pria itu. Malam yang panjang, sungguh malam yang seperti tak bisa berakhir, aku hanya bisa terbenam, erat dalam pelukan Tony.
"Tidurlah, jangan lepas dari pelukanku, biarkan kita menyatu seperti ini." Ujarnya, lalu perlahan kedua mataku mulai terbuka, kami berbaring sambil saling menghadap satu sama lain. Dia tersenyum, menciumku, lalu aku tertawa, dan dia mengecupku lagi. Pada pipi, pada hidung, pada kedua kelopak mataku, seperti wajah bayi yang baru lahir dan mendapatkan ribuan kecupan dari orang tuanya. Tony melakukan itu, dan aku sama sekali tak mempermasalahkannya, entah kenapa aku malah suka diberi ribuan ciuman darinya.
"Sudah Ton, wajahku jadi lengket semua." Kataku sambil tertawa.
"Iya sebentar lagi selesai." Ucapnya, menggoyang-goyangkan hidungku dengan hidungnya, geli rasanya, namun aku begitu menyukai itu.
"Sudah," ungkapnya, dengan hembus nafas lega, kedua kelopak mata pria itu langsung tertutup. Mungkin seperti itu sikap pria bila sudah merasa lega. Namun biarlah, aku menutup erat mataku dan merasakan dahi kepala kami bersentuhan. Begitu dekat, bahkan hembusan nafasnya menghangatkan seluruh wajahku.
Malam pekat yang indah, sungguh tak bisa kuungkapkan betapa indahnya waktu ini. Aku hanya berharap tak ada satu orang pun yang mengetahui kelakuan kami berdua, cukup kami saja, kami yang berbuat untuk melepaskan benci dan menyatukan kembali rasa cinta yang selama ini telah terkubur, itu saja, dan akan selalu seperti itu.
Pada keesokan paginya, aku tak bisa melewatkan kebiasaanku untuk bangun pada dini hari yang masih petang. Aku melepaskan pelukan Tony yang masih melingkar di tubuhku. Pria itu masih tertidur lelap, kuberi dia selimut agar tak kedinginan, dan aku berinisiatif untuk membereskan segala macam ketidak karuhan dalam rumah ini.
Kubersihkan lorong-lorong rumahnya, dan kulap meja tamu depan yang penuh oleh bercak minuman-minuman keras ayahnya. Kusapu disetiap sudut dan bagian ruangan yang kotor oleh bungkus-bungkus makanan. Rumah ini terlalu berantakan, bantal-bantal sofa yang berjatuhan kupungut dan kuletakkan di tempat asalnya. Kemudian kukebas selimut dan karpet karpet di bawahnya supaya tak berdebu.
Setelah semua itu bersih, aku kembali melangkah masuk ke dalam kamar Tony yang tadinya begitu super berantakan. Baju-baju kotor yang begitu bau dari kolong ranjangnya langsung kukeluarkan dan kucuci di dalam mesin cuci belakang. Setelah itu keganti kain sprei-nya dengan kain sprei yang baru, tak luput beserta sprei bantal dan sprei guling.
Semuanya kulakukan dengan tulus dan niat dari dalam hatiku untuk membantunya, agar semua di dalam rumah ini benar-benar beres dan rapi, seperti tak terjadi apa-apa. Lenyap sudah masa lalu itu, berbagai keping pecahan gelas minuman beralkohol, serta serpihan-serpihan kertas dari celotehan tak berbobot kulenyapkan dari dalam rumah ini. Sampai semuanya nampak bersih kembali seperti semula, seperti diriku melihat rumah ini pada pertama kalinya bersama mama Firly. Ia senantiasa menyambutku dengan senyuman tulus, dan kami mulai merasakan cinta yang sesungguhnya.
Rumah ialah pion terpenting sebagai wujud representasi pemiliknya seperti apa, dan Tony adalah pria yang baik, tak seharusnya memiliki rumah yang berantakan. Waktu terus bergulir, sinar matahari mulai nampak pada larutan fajar. Aku menuju keatas balkon untuk menjemur pakaian Tony yang telah kucuci. Lalu yang terakhir ialah waktu untuk memasak.
Tirai kamar kubuka lebar, membiarkan cahaya matahari pagi masuk kedalam ruangan. Perlahan-lahan mata pria itu terbuka, dan menatapku yang sudah dalam keadaan cantik telah merapikan diri. Dia tersenyum, dan langsung kukecup keningnya saat itu juga.
"Ayo bangunlah, sudah siang." Kataku, Tony mengangguk sambil menggenggan pergelanganku.
"Di sini dulu saja, aku masih mengantuk." Katanya.
"Jangan malas, cepat mandi, lalu sarapan pagi di ruang makan, oke?" Kataku, kuberikan setelan baju Tony yang sudah kusiapkan rapi untuknya hari ini. Ia langsung tertawa sedang.
"Kamu benar-benar sudah cocok bila dijadikan istri." Katanya, sungguh aku malu mendengar ucapan itu. "Ayolah Mel? Kenapa kita tidak menikah saja? Kita bisa hidup bahagia di sini." Imbuh Tony.
"Tony, belum waktunya, kenapa kamu begitu mudah sekali berbicara seperti itu?" Tanyaku.
"Mudah karena aku mencintaimu."
"Mencintai harus lihat situasi juga Ton, sudah, aku tidak ingin berdebat di pagi-pagi seperti ini." Kataku, melepaskan cengkraman tangan pria itu dan langsung pergi ke ruang makan.
"Oke, mari kita buat pagi ini secerah suasana hati kita." Katanya, berlari melewatiku menuruni tangga untuk menuju ke kamar mandi. "Tungguh di sana nona cantik, aku akan kembali secepat mungkin." Imbuhnya, aku tersenyum dan duduk di atas kursi ruang makan. Berada di sini kembali mengingatkanku pada mama Firly. Suasana rumah memang sepi bila tanpanya, apalagi jika aku meninggalkan Tony, pasti rumah sebesar ini akan kembali senyap penuh dengan kehampaan.
Waktu semenit telah ia lewatkan, dan Tony datang menjumpaiku di ruang makan. Setelan kemeja biru dengan lengan panjang yang kuberikan padanya begitu cocok ia kenakan di pagi ini. Tony duduk di hadapanku sambil tersenyum lebar yang nampak mempesona.
"Sungguh, kenapa kamu bersihkan semuanya? Sejak kapan kamu melakukannya?" Tanya Tony gembira.
"Aku terbiasa bangun pagi, jadi dari pada kubiarkan semuanya berantakan, lebih baik kubereskan agar semuanya terlihat baik-baik saja." Jawabku, Tony memegang kepalanya seolah teringat akan sesuatu.
"Astaga, aku lupa menelpon mamaku, aku harus bertanya akan kabarnya, itu ialah kegiatan rutin yang selalu kulakukan di pagi hari, lewat video call." Kata Tony.
"Baiklah, kita lakukan setelah makan, aku juga ingin pulang ke rumah, ibuku pasti cemas memikirkanku." Ucapku, Tony mengernyit.
"Jadi pagi ini?" Aku mengangguk.
"Lantas mau berapa hari? Aku juga punya banyak kegiatan di rumah." Balasku.
"Iya aku paham, tapi izinkan aku untuk mengantarkanmu pulang yah?" Tanya Tony, aku tersenyum.
"Baik, tentu." Kataku. Kami mulai makan, dan pagi ini terasa begitu tenang bila berada bersama pria itu. Tepat di ruang keluarga ada sebuah tv LED berukuran 42 inch. Tony menggunakan televisi itu sebagai media komunikasi bersama ibunya. Kami berkumpul di ruang tamu saat setelah makan, lalu duduk pada sofa panjang sambil menyalakan tombol wifi diatas cabinet tv. Pada layar televisi langsung tersambung ke layanan internet. Tony gunakan remote untuk mengatur sambungan zoom ke alamat akun ibunya.
Sampai pada situasi itu, entah kenapa jantungku berdegup kencang saat berada di dalam ruangan ini sambil menatap wajah mama Firly. Beliau terlihat amat berbeda, wajahnya kali ini nampak kurus dan amat pucat. Aku bahkan terheran-heran dengan kondisi beliau. Namun dibalik semua itu ia masih bisa tersenyum lantaran melihat kami berdua bersama di ruang tamu ini. Lensa kamera depan merekam kami berdua dengan begitu intens, bahkan aku bisa melihat setiap lekuk mata mama Firly yang penuh dengan rasa lega.
"Amel, senang mama bisa melihatmu kembali." Ujarnya.
Bersambung...
Berlanjut ke Chapter 81...