Aku terpaksa memberikan helai senyuman lebar kearah layar televisi yang memperlihatkan mama Firly di depan sana. Beliau merasa lega bisa melihat semua keadaan Tony yang telah berangsur membaik, bahkan luka pada wajahnya tak begitu terlihat dari kejauhan. Tiap kali aku berpikir tentang itu, apabila mama Firly melihat luka lebam Tony, dan menjadi curiga untuk bertanya banyak hal.
"Aku juga sangat bersyukur bisa melihat mama kembali," Jawabku membalas sambutannya. "Mama sendiri bagaimana keadaannya? Amel juga sangat cemas memikirkan kondisi mama." Imbuhku, Mama Firly menepis ucapanku dengan senyuman.
"Ohh kenapa kamu memikirkan mama? Tidak usah khawatir, mama di sini baik-baik saja kok, bahkan kondisi mama berangsur-angsur membaik. Kamu juga jangan lupa menjaga kesehatanmu ya Mel?" Ungkap beliau.
"Iya, ibuku juga selalu mengingatkanku pada hal yang sama, hingga teguran itu sampai berada di luar batas ingatanku." Tony meringis mendengarnya, dan kulirik pria itu yang nampak bersinar pagi ini, hal yang membuatku lega lantaran tak akan menimbulkan kecurigaan di mata ibunya.
"Beruntung mama menyuruh Amel datang kemari, mama tahu? Amel memasak banyak sekali di rumah kita, andaikan mama ada disini pasti mama akan ketagihan dengan masakan Amel." Ucap Tony.
"Oh astaga, yahh, seharusnya mama juga ada di sana, pasti kemarin malam kamu sangat repot sekali yah Mel? Maafkan mama yah?" lantas diriku menggeleng.
"Tak usah ma, aku sama sekali tidak merasa repot kok, lagian rumah ini juga sepi dan tak ada siapa-siapa, jadi dari pada tak ada makanan sama sekali maka dengan inisiatifku sendiri membuatkan makanan untuk Tony." Kataku.
"Baguslah, terima kasih ya Mel, kamu benar-benar bisa diandalkan." Balas mama Firly.
"Oh-iya ma, mama sudah makan belum? Sudah minum obat?" Tanya Tony.
"Sudah sayang, mama bangun bukul lima pagi, dan langsung cuci-cuci lalu sarapan dan minum obat. Hari ini kamu kelihatan rapi dan tampan sekali, biasanya pagi-pagi seperti ini masih berantakan." Ules mama Firly, akupun tertawa sedang.
"Ini semua karena Amel ma, Amel sendiri yang memaksa Tony untuk bangun dan mandi, lalu langsung sarapan. Pokoknya hebat banget Amel kalau ada di sini terus ma." Kata Tony menyindirku dengan senyum lebar. Aku sampai malu mendengar semua itu.
"HAHA, seperti itulah sifat perempuan, mana ada perempuan yang mau melihat laki-laki malas sampai bangun siang hari? Betul kan Mel?" Singgung mama Firly padaku.
"Hehe, betul ma."
"Memangnya kamu selama karantina ini bangun tidur jam berapa Ton?" Tanyaku.
"Siang dia Mel, kadang jam sepuluh, kadang sampai lepas jam satu siang." Jawab mama Firly, aku membalas jawaban itu dengan tertawa lepas.
"Astaga Tony, yaudalah gak pa pa, beruntung kan di rumah ini ada aku! Jadi udah seger deh kamu pagi-pagi begini." Tony menahan malu sambil garuk-garuk kepala.
"Tapi Mel, apa kamu berencana menginap di rumah mama hanya semalam saja?" Tanya mama Firly, dan aku mengangguk dengan penuh keyakinan.
"Iya ma, aku punya pekerjaan di toko kue, jadi itu tidak bisa ditinggal." Jawabku, dan mama Firly mengangguk mencoba memahami atas keputusanku.
"Oke deh, gak pa pa, tante benar-benar berterima kasih banget sama kamu sudah mau menjenguk Tony dan memastikan keadaan Tony." Ucap mama Firly.
"Tony gak kenapa-napa kok Ma, memangnya ada apa sih?"
"Tidak Ton, mama hanya khawatir saja sama kamu, mama khawatir kalau sampai papa kamu datang ke rumah dan mengancammu hal yang tidak-tidak. Mama tahu betul watak papa-mu itu." Dan diriku mulai mengernyit sambil berharap agar semua kejadian semalam tak akan terbahas di pagi ini. Dimana pada kenyataannya papa Anthony benar-benar datang dan menghajar pria itu habis-habisan.
"Tidak kok tante, kemarin malam tidak ada siapa-siapa, hanya Amel dan Tony saja yang tinggal di rumah ini. Malah kita berdua masak-masak sambil nonton film horror di kamar sampai ketiduran." Bujukku yang terucap begitu saja.
"Syukurlah kalau begitu, mama bisa tidur nyenyak semalaman dan tak memikirkan kondisi Tony, karena mama sangat percaya sekali sama kamu Mel." Ucap beliau.
"Mama yang sehat yah disana, jangan kebanyakan mikir yang enggak-enggak, Tony di sini baik-baik saja kok, justru Tony yang mikirin mama tiap hari. Kalau mama sembuh kan nanti bisa pulang lagi ke rumah, lalu bisa makan bareng lagi sama Amel disini, iya kan Mel?" Aku langsung mengangguk.
"Iya, benar apa yang telah dikatakan Tony ma. Hal yang terpenting supaya sembuh dari virus corona ialah tetap semangat dan yakin, makan makanan yang banyak dan istirahat yang cukup. Amel yakin mama pasti bisa melakukan semua hal itu." Imbuhku. Kemudian mama Firly percaya, dan dari layar televisi wajahnya terlihat semringah. Meskipun aku tak sempat memberikan ucapan-ucapan semangat pada Almarhum nenekku, setidaknya aku bisa mempunyai kesempatan untuk memberikan hal itu pada mama Firly. Aku yakin keadaan mereka berdua sangatlah berbeda. Nenekku dipengaruhi oleh faktor usia serta penyakit liver bawaannya dari dulu, namun entah seperti apa bila dengan mama Firly. Aku hanya bisa berdoa dan berharap supaya mama Firly tak bernasib sama seperti nenekku.
"Mama akan usahakan untuk melakukan saran-saranmu, dan mama yakin kalau mama bisa sembuh sehingga bisa bertemu dengan kalian berdua lagi." ungkapnya.
"Amin." Timpa Tony.
"Oke, mama mau bergegas dulu untuk mencari sinar matahari pagi di luar. Itulah jadwal rutinitas mama pagi-pagi di lokasi karantina ini." Ucap beliau menutup berbincangan kami.
"Iya ma, lekas sembuh ya ma!." Cetus Tony.
"Tentu saja." Tutup mama Firly, percakapan zoom pun berakhir, aku langsung menghirup nafas lega dan menatap Tony dengan balutan wajah bahagia, sebab inilah waktuku untuk pulang. Namun Tony menggeleng.
"Kamu mau kuantar pulang sekarang?" Tanya pria itu.
"Tentu saja." Lalu ia bergeser dari sofa, berada lebih dekat dengan rentangan tangan kiri menggapai leherku, kemudian ia mengecup bibirku. Sungguh, betapa inginnya aku untuk tetap tinggal di rumah ini, namun itu hal yang tak mungkin. Aku harus pulang, itulah janji pada ibuku.
"Jangan khawatir, aku akan sering-sering menjengukmu di sini." Kataku.
"Tak usah, biar aku yang akan menjengukmu di rumah nenekmu, sudah lama aku tak pernah main-main dan bertemu dengan adikmu, Jojo." Ucapnya, aku langsung teringat.
"Ohh, anak itu sangat merindukanmu, dan janjimu kala itu untuk mengajaknya pergi jalan-jalan ke mall akan ditagih langsung oleh anak itu, percaya dehh." Tony langsung tertawa.
"HAHA, tak masalah, kita akan ajak anak kita pergi main-main seperti dulu, mau kemana? Ke pantai? Ke taman? Atau ke wisata puncak di bogor?" Ucap Tony tersenyum begitu dekat di wajahku.
"Memangnya tempat wisata dibuka di musim-musim pandemic seperti ini?" Tanyaku.
"Hmm, entahlah, yang pasti aku akan membahagiakan adikmu." Ungkapnya, dan melepaskan rangkulan tangan dariku. "Ayo, kuantar kamu pulang ke sana, aku sudah tidak sabar bertemu dengan adik kecilmu." Imbuh Tony, aku tersenyum dan menghampiri pria itu. Di pagi yang masih sejuk dan dingin, kami menaiki mobil pajero sport tersebut. Entah sudah berapa lama diriku tak menaiki mobil itu, dan tentunya pagi ini kami akan berkendara bersama, menikmati pagi yang lengang, mengingatkan masa laluku bersamanya.
"Nanti kalau kita sudah sampai, tolong jangan mengungkit perihal mama Firly pada ibuku. Aku tidak ingin membahas perihal keadaan keluargamu." Kataku saat mobil berjalan dan duduk di samping pria itu.
"Tidak, aku tidak akan bilang yang macam-macam ke orang tua mu. Aku akan bantu mencari alasan yang tepat." Balas Tony. Memang selama ini diriku tak pernah mengatakan pada ibuku kalau mama Firly berprofesi sebagai petugas medis. Dan alasanku untuk ingin menginap di sana hanyalah untuk merawat Tony yang sedang dalam keadaan terluka. Kuharap sesampai di sana ibuku tak terlalu banyak bertanya pada kami berdua.
"Bagaimana keadaan Jojo selama ini?" Tanya Tony.
"Baik, namun dia masih berduka semenjak nenek kami meninggal dunia." Balasku, menatap pemandangan lewat jendela mobil.
"Ohh kasihan sekali, aku jadi merasa bersalah karena sudah lama tak mengabarimu dan adikmu." Katanya.
"Tidak, aku masih belum memaafkanmu, apa lagi Jojo, dia pasti akan marah padamu sebab janjimu dulu untuk mengajak dia jalan-jalan tidak kamu turuti." Ucapku, Tony langsung menatapku.
"Astaga, baiklah, sepertinya aku harus cepat-cepat bertemu dengan adikmu untuk menjelaskan semuanya." Kata pria itu.
"Menjelaskan jika aku sangat merindukannya dan ingin mengajaknya ke suatu tempat." Imbuh Tony, aku mengernyit.
"Lebih baik kita tak usah kemana-mana, di rumah nenek saja sambil menikmati makan malam di sana." Ujarku, lalu Tony tersenyum menatapku, mengangguk dengan penuh semangat. Laju perjalanan kami terasa begitu cepat dan singkat, entah karena diriku memang sudah terlarut nyaman bila berda di samping Tony. Seakan tak bisa dipungkiri dan dialihkan, tiapkali mata pria itu mencuri-curi pandangannya untuk menatapiku, bahkan dia mungin tak akan tahu kalau aku juga melakukan hal yang serupa. Bila aku ingin berkata jujur, aku masih ingin berada di dalam mobil ini lebih lama lagi, dengan perjalanan jauh agar aku bisa merasakan nuansa pagi hanya dengan bersamanya, seperti dulu ketika kami berdua hendak berangkat pergi bekerja.
Setelah sampai, aku melihat ibuku sedang berdiri di teras rumah, menatap mobil ini dengan raut wajah yang penuh curiga. Jantungku seketika berdenyut kencang, seperti tak bisa kukendalikan. Sebab sekian lama kami sudah tak pernah bersama lagi, bahkan sudah sekian lama pula Tony tak pernah berkunjung ke rumah tersebut dan sekaligus bertemu dengan keluargaku. Ini terkesan dadakan yang mengundang banyak kontroversi serta pertanyaan.
Akankah aku siap dengan semua ini? Namun dari dalam sana aku melihat Jojo berlari menghampiri ibuku, ikut menatap kedatangan kami yang sekaligus disambut oleh senyum dan tawa lebarnya yang mengundang keyakinan diantara kami berdua.
Aku dan Tony pun turun dari mobil, dan Jojo langsung terlihat begitu senang saat mengetahui Tony telah datang di rumah ini. Jojo berlari dan langsung memeluk pria itu, wajah ibuku menjadi tersenyum. Tony langsung memeluk Jojo, mencium keningnya dan langsung digendong seperti seorang ayah yang sedang menggendong anaknya. Aku tertawa sedang melihat kebahagiaan mereka berdua, melepas rasa rindu yang selama ini membelenggu kami. Itulah hal yang kurasakan saat pertama kali bertemu dengannya, senang, hanya itu.
"Maafkan kakak ya Jo, lama sekali kakak tidak bertemu denganmu, kamu gak marah kan sama kakak?" Ujar Tony.
"Tentu saja marah, lagian Kak Tony menghilang begitu saja dan gak ada kabar, memangnya kak Tony kemana saja?" Tanya Jojo yang membuat Tony seketika terdiam. Kemudian ia berjalan sambil menggendong adikku yang begitu manja memeluk pria itu.
"Kak Tony tidak pergi kemana-mana sayang, selama ini ponsel kak Tony rusak, selain itu diluar kan banyak virus dan penyakit, jadi kak Tony tidak bisa pergi kemana-mana." Ujarnya, "Tapi tak masalah, saat ini kakak sempatkan sedikit waktu buat ketemu kamu, soalnya kakak kangen banget sama kamu Jo." Imbuhnya, Jojo tertawa begitu senang mendengar jawaban Tony. Ibuku yang berada di depan teras langsung menyambut kedatangan Tony dengan senyum yang begitu lebar. Kebahagiaan ini tak bisa kutahan untuk menutupi moment yang tak bisa kubayangkan sebelumnya. Renung dalam hatiku menjadi kembali bersinar oleh cahaya pelangi yang indah. Kami melangkah ke dalam rumah masa kecil itu, dan di sana tak ada yang melewatkan kedatangan kami.
Tony menurunkan Jojo di samping ibu, dan pria itu mencium tangan ibuku sembari memberikan pelukan hangat. Aku menghampiri mereka, penuh percaya diri, siap menghadapi berbagai macam pertanyaan serta kesalah pahaman yang selama ini terjadi.
"Lama sekali ibu tidak bertemu denganmu Ton.".
"Iya bu, maafkan Tony, kala itu Tony memang menjalani masa karantina untuk tetap tinggal di rumah, dan ditambah ponsel saya yang sedang rusak."
"Ohh astaga, kamu masih bekerja ya? Ibu sampai lupa" Tanya ibuku.
"Masih bu, saya sekarang sibuk dengan usaha alat-alat sport yang telah saya tekuni sejak dulu." Balas Tony semangat, lantas aku mengernyit.
"Ohh makanya badan kamu makin fit dan tambah kelihatan cakep, ayo masuklah, kedatanganmu sangat ibu tunggu-tunggu lho." Tony pun langsung tertawa mendengar pujian ibu, hingga diriku merasakan hal yang sama.
Saat kami berdua memasuki ruang tamu. Aku, Jojo, dan Tony mulai duduk diatas kursi sofa. Memandang pemandangan rumah yang seperti sudah tak biasa lagi. Dalam hati Tony seakan bertanya-tanya dengan perubahan rumah ini yang telah lama ia tak ketahui.
"Saya turut berduka cita bu, atas meninggalnya nenek."
Bersambung...
Berlanjut ke Chapter 82...