Chapter 82 - Bab 82

Ibuku merundukkan kepala untuk merespon ucapan duka Tony terhadap Almarhumah nenekku, dia baru saja membuat ekspresi ibuku kembali murung. Seperti masih teringat oleh masa lalu yang penuh dengan keramaian di dalam rumah ini. Tony menatap kearah kanan dan kiri sambil mengernyit.

"Sebenarnya ibu juga masih berduka kok Ton, sepertinya kamu sudah lama tidak main ke sini yah?" Tanya ibuku, Tony mengangguk, lalu tersenyum.

"Pasca nenek sudah tidak ada, ibu sudah tidak menempati rumah kontrakan lagi, jadi ibu pindah di rumah ini agar bisa berkumpul dengan Amel dan Jojo, setidaknya seperti itu pesan dan keinginan terakhir nenek sebelum berpulang." Aku terus mengamati wajah Tony, berharap untuk tidak terjadi kesalahan, sebab akibat lamanya pria itu tak pernah berkomunikasi membuat semua ini menjadi penuh pertanyaan dan klarifikasi.

"Ngomong-ngomong bagaimana ceritanya sampai ponselmu rusak? Ibu dengar dari Amel kemarin saat ibu telpon dia bilang kalau kamu tak pernah ngobrol karena ponselmu rusak." Ucap ibu, entah kenapa Tony seketika tergugup dan matanya seperti mencari-cari alasan yang tepat.

"Ohh, ponsel saya sudah lama bu, jadi mungkin itulah alasan supaya minta ganti yang baru, jadi selama masa karantina ini cukup banyak tugas yang harus saya selesaikan, selain itu di luar sana sangat mengkhawatirkan, jadi saya memutuskan untuk masih belum beli sampai sekarang." Ujar Tony, ibuku mengangguk seolah mempercayai pria itu, padahal aku bisa melihat disetiap senyum tersebut menyimpan sebuah kecurigaan. Entahlah.

"Kamu benar, diluar masih mengkhawatirkan, lebih baik jangan beli hp dulu, berada di keramaian takutnya akan mudah tertular virus." Ujar ibu. "Tapi bagi ibu itu terasa agak kurang dan aneh apabila kalian berdua berpacaran namun tak saling terhubung." Cetusnya.

"Sebenarnya kita terhubung kok bu." Sahutku seakan memperbaiki suasana pembicaraan diatara kami. "Kami masih terhubung, namun tidak setiap hari." Ibu masih terprovokasi oleh sikap Tony yang selama ini menghilang dari kenyataan. Serta selama pria itu tak berada padaku, aku telah lama bekerja di toko kue milik Dio, aku mengira bahwa langkah ibu untuk menemukan pasangan yang pas untukku terhenti karena moment ini.

"Oh-ya? Ibu pikir selama itu kamu tidak berkomunikasi dengan Tony, ternyata dugaan ibu salah." Ulesnya sambil tertawa sedang.

"Jojo, Kamu kalau di rumah suka main game terus yah?" Tanya Tony yang membuat Jojo beralih sejenak dari dunia game-nya.

"Ohh, enggak juga kok kak, akibat kelas online makin banyak tugas pr malah." Eluh Jojo, "Dulu kak Tony pernah bilang kalau kita bakal jalan-jalan ke mall, gimana kalau malam ini kita pergi ke Delta, atau ke Royal, atau ke Tunjungan plaza?" Imbuh Jojo semangat.

"Jojo sayang, kamu gak takut kena korona? Diluar masih bahaya sayang." Tepisku.

"Kan bisa pakai masker kak."

"Jojo, maafkan kak Tony yah, bukannya kak Tony gak mau ngajak Jojo, tapi apa yang dikatakan kak Amel benar sayang. Kita mainan dirumah saja yah?" Tanya Tony kalem.

"Mainan Monopoly pasti seru." Sahutku, Jojo langsung cemberut.

"Nahh itu tuh mainan kesukaan mereka, jangan lupa ajak Nino juga, tapi awas ya Jo, jangan sampai berantem atau ngambek kalau sampai kalah." Kata Ibu, dan nampaknya pembicaraan mengenai ponsel dan semua rahasia Tony teralihkan begitu saja kepada Jojo. Kurasa anak itu bisa membuat moment keberadaan Tony di sini menjadi bahagia.

"Oke, bagaimana kalau kita main sekarang? Kak Tony juga ikut kok." Ujar pria itu, lalu Jojo semringah, begitu pula denganku.

"Iya dehh terserah, panggil juga paman Farid, Nino, sama tante Anik, mumpung mereka semua ada dirumah." Ucap ibuku, kami bertiga beralih menuju ke ruang tamu. Tony melepas jaketnya dan ia rentangkan kedua kera lengan kemejanya. Aku sangat merindukan kemeja biru yang ia kenakan itu, seperti mengingatkanku dulu ketika kami masih bekerja di perusahaan Finace.

Jojo berlari memanggil Nino beserta keluarganya, dan seketika itu mereka datang sambil terkejut karena Tony berada di dalam rumah ini. Paman Farid memberikan salam hangat pada pria itu, sedangkan tante Anik nampak tersenyum lebar dan juga lega bisa melihat kedatangan Tony kembali. Kulihat Nino juga bersemangat untuk mengikuti permainan Monopoly ini, bahkan poselnya ia letakkan begitu saja diatas meja demi ikut bermain.

Ibuku beralih ke dalam dapur untuk membuatkan jamuan makanan dan minuman agar kami semakin bersemangat. Dadu dilempar pertama kali oleh Jojo, dan dia mendarat di Paris, kemudian bergulir kearahku yang mendapatkan nilai dadu tertinggi dan mendarat di Negara Jepang. Permainan semakin seru ketika kami saling membeli tanah di masaing-masing tempat yang telah kami lewati. Semua itu berjalan beriringan dengan senyum, tawa, teriakan, bahkan tepuk tangan yang begitu ramai di ruang tamu.

Ketika jamuan ibuku sudah matang, barulah mereka memilih untuk beristirahat sejenak, dan seperti lepas dari dugaanku, bahwa Tony lah yang kalah dalam permainan Monopoly kali ini, hingga pria itu nampak garuk-garuk kepala dan menjadi bahan tertawaan kami semua. Entah kenapa aku sangat senang melihat wajahnya kali ini, seperti tak bisa kutepis sama sekali.

"Tony, kamu baik-baik saja kan?" Tanya paman Farid, Tony mengangguk.

"HAHA, kamu pasti terlalu lama karantina di rumah ya Ton?" Ules tante Anik. "Eh, ngomong-ngomong kamu baru putus sama Amel ya?" dan Tony langsung melotot mendengar pembicaraan tante Anik tersebut.

"Tante, siapa yang pututs sih?" Sahutku, Tony tersenyum dan menggenggam telapak tanganku yang berada tepat disampingnya.

"Ohh kirain, lagian kamu kok jarang banget main ke rumah sini, tante sampai kangen lihat kalian berdua bersama." Ungkap tante Anik.

"Iya Ton, paman kira juga begitu, lagian selama gak sama kamu bawaannya Amel galau mulu, dan gak ceria seperti dulu." Aku spontan tertawa mendengar ucapan itu, bahkan Tony menoleh kearahku, memastikan kalau apa yang diucapkan paman Farid tersebut benar.

"Aku minta maaf ya Mel." Katanya.

"Iya, udah kumaafin gitu lho, udah gak usah dibahas, untuk lebih detailnya lagi nih, kita masih tetap bersama kok tante, paman, sampai kapanpun akan tetap bersama, hehe." Ucapku dengan penuh keyakinan, lalu tangan kiri pria itu merangkulku, hingga aku mampu bersandar pada bahunya.

"Syukurlah, kalian itu sweet banget kalau dilihat-lihat, dari dulu dan gak bakal pernah berubah." Kata tante Anik, paman Farid mengangguk sambil tersenyum.

"Ayo cobain martabak dan kue pastel buatan ibu, mumpung masih hangat dan ada sambal petisnya juga lho." Sambut ibuku yang datang ditengah-tengah kami sambil membawa sepiring penuh martabak dan pastel. Bau sedap dari makanan tersebut menggugah kami untuk menyerbu ibuku, mengambil dan mencicipinya meskipun sampai mulut kami kepanasan.

"Saya sudah lama sekali tidak merasakan kebersamaan di rumah ini. Sungguh saya sangat beruntung bisa berada di sini, dan tentunya dengan kalian semua." Ujar Tony.

"Iya Ton, kita juga sangat senang sekali kamu akhirnya kembali main ke rumah ini." Kata ibuku. Kali pertama ini aku begitu tenang dan bahagia, setidaknya aku bisa merasakan kebersamaan ini utuh seperti kala nenekku masih menemani kami. Lalu benakku teringat mengenai resolusi-resolusi itu, aku mengira bahwa hal itu masih ada harapan untuk pulih kembali, tanpa kutunjukkan isi kertas-kertas tersebut, kurasa Tony berhak tau semua itu.

"Aku ingin mengajakmu kedalam kamarku, masih ingat tentang resolusiku dulu?" tanyaku pada Tony, dia langsung mengangguk serta penasaran.

"Yahh, sudah lama kita tak membahasnya, apa saja itu?"

"Mari kutunjukkan padamu." Ucapku, hingga ibu, paman Farid, dan tante Anik mengernyit penasaran tentang pembicaraan kami. Aku berlari sambil menggandeng tangan Tony untuk masuk kedalam kamarku. Kemudian kuambil sejaring kertas dan kutulis sesuatu diatasnya.

"Ton, berbaliklah, jangan melihat tulisanku, setelah selesai nanti akan kukasih tahu, oke." Dan dia mengangguk, lalu berbalik arah.

"Sudah, kembalilah, lihat." Kataku, dia tersenyum begitu lebar saat melihat apa yang kutulis di kertas itu.

"Aku ingin punya pacar yang serius." Setidaknya itulah yang kutulis pada kertas tersebut, dan Tony membelai leherku saat itu juga.

"Tentu saja aku serius, apalagi yang kamu mimpikan di tahun ini?" Dan pria itu mengecup bibirku dengan amat lembut, sungguh aku ingin Tony tetap berada di sini, sampai kapanpun dan sampai batas kerinduan kami benar-benar rapuh. Mataku seketika terbuka dari pejaman kecupan lembutnya, menatap kearah jendela kamar yang memancarkan cahaya sinar matahari senja, sungguh tak terasa, ini terlalu cepat bahkan sama sekali tak dapat mematahkan rasa rinduku selama ini bersamanya.

"Lihatlah jendela itu." Kataku dalam pelukannya, dan dia menatap jendela yang kutunjukkan. "Andaikan kamu masih bisa menjemputku lewat jendela itu, dan memeriku setangkai bunga mawar lagi."

"Kamu rindu dengan kejutan yang kuberikan dulu yah?"

"Tentu saja, aku pernah menangis tepat di depan kita berdiri saat ini. Kala Almarhumah nenekku terindikasi positif oleh virus korona, dan dirimu tak kunjung ada kabarnya. Mengingat masa itu sungguh tragis, tapi kali ini, hanya untuk kali ini saja, kamu ada di sampingku dan memberikanku kenyamanan utuh. Bahkan aku sama sekali tak merasakan atau mengenal apa itu kerapuhan." Ungkapku. Dan sekali lagi Tony memberikan pelukan eratnya yang seakan tak bisa lepas. "Kalau kamu terus menceritakan keadaanmu disaat aku tidak ada, aku menjadi sulit memaafkan diriku sendiri." Kata Tony, lantas aku menatapnya. "Entah aku ini layak dimaafkan atau tidak, andai saja dia bukan papa kandungku, mungkin aku akan menghajarnya habis-habisan. Aku sangat bodoh sekali bisa menjadi selemah ini dihadapan papaku."

"Sudahlah, baik, aku tidak akan menceritakan keadaanku lagi. sudah cukup, kali ini aku sangat bahagia sekali." Kataku.

"Tapi sepertinya aku tidak bisa jauh-jauh denganmu Ton." Imbuhku yang spontan terucap begitu saja.

"Sama Mel, aku juga tidak bisa jauh-jauh darimu." Dan kami berdua tertawa di tengah sinar matahari sore terpancar menembus jendela kamarku. Aku tahu kalau itu ialah warna ungu kesukaan Tony, maka dari itu dia sangat menikmatinya, tenang dan hening, bahkan aku bisa merasakan suara detak jantung pria itu yang bergemuruh memetik hati untuk tetap menyatu bersama tubuhnya.

Kami menatap langit ungu, kedua mataku terkesima oleh sinarnya, berada di samping Tony mampu membuatku yakin akan mimpi dan harapanku yang selama ini telah rapuh. Kemudian dari kejauhan kami mendengar suara deru mobil yang bergemuru mendekati rumah nenek.

Tony seketika melepaskan pelukannya padaku. Jam menunjuk pukul lima sore, mungkin inilah waktu untuk Tony pulang ke rumahnya, meskipun aku sebenarnya tak tega membiarkan pria itu terdiam sendirian di dalam rumah tersebut. Dalam hatiku berkata.

"Tinggalah disini, untuk beberapa saat, kumohon." Tapi kurasa itu tak mungkin bila kuucapkan dihadapannya. Suara deru mobil tersebut membuat Tony gelisah, dia keluar dari kamarku dengan langkah yang cepat. Aku tidak bisa memastikan seseorang yang datang dari luar sana.

Namun melihat mobil Land Rouver putih yang bertengger tepat di depan halaman rumah nenekku membuat seluruh sekujur tubuh gemetaran bahkan nyaris tak terelakkan. Spontan Tony langsung keluar dan kupegang tangannya untuk kucegah supaya dia tak mendekati mobil itu.

"Jangan Ton." Kataku.

"Tidak pa pa, kamu tunggu di sini saja, biar aku yang akan menangani ini. Kamu di sini saja yahh?" Ucapnya kalem. Aku terpaksa melepaskan cengkraman tanganku dan membiarkan pria itu pergi menghampiri mobil tersebut. Entah kenapa bisa-bisanya papa Anthony pergi dan datang di rumah ini, lagi pula dia tahu dari mana alamat rumah nenekku? Orang tersebut langsung turun dari mobil, menghampiri Tony yang seketika itu berada tepat dihadapannya. Sungguh aku tidak ingin mendekati mereka, dan sungguh aku tidak ingin suasana di sore hari ini menjadi ribut tak karuan.

Aku memutuskan untuk keluar dari rumah dan menuju ke teras, pintu masuk kututup rapat untuk sementara, berusaha tak ada satu orang pun yang keluar dan menyaksikan semua ini.

"Kenapa papa kemari?" Tanya Tony.

"Cepat pulang sekarang, papa sudah menyiapkanmu tiket dan passport untuk pergi ke Skotlandia." Ujar papa Anthony.

"Astaga, kenapa papa begitu keras kepala sekali, Tony sudah bilang kalau Tony ingin tinggal bersama mama di kota ini titik." Tegas Tony.

"Diamlah, nurut sama papa atau kalau tidak, papa akan hajar kamu di sini tepat di depan pacar tak bergunamu itu." Seketika itu juga aku langsung terpukul dan hancur.

"Tony tidak mau, Tony berhak memilih mana yang terbaik buat Tony, dan Tony tidak akan meninggalkan mama sendirian di kota ini sampai kapanpun."

"Mama-mu sedang sekarat di rumah sakit, apa lagi yang kamu harapkan darinya?"

"Sudah berapa kali Tony bilang kalau Tony tidak mau." Bentak Tony saat itu juga yang langsung membuat papa Anthony naik pitam hingga menonjok wajah Tony sampai pria itu jatuh tersungkur di tanah. Aku berteriak panik takut bukan main. Tak berhenti sampai di situ, papa Anthony langsung menarik kera kemeja Tony agar pria itu bangit berdiri.

"Katakan sekali lagi ucapan itu, katakan!" Bentak beliau dengan wajah yang penuh amarah. "Bisa-bisanya kamu tega menolak ajakan papa yang selama ini berkorban banyak padamu." Imbunya. Aku menangis tak tahu harus berkata apa, dan memohon seperti apa pada papa Anthony untuk menghentikan kericuhan ini.

"Dan kamu juga lebih memilih perempuan itu ketimbang papa kandungmu sendiri? Yang selama ini selalu memikirkan masa depanmu dan jalan hidupmu." Tegas beliau.

"Sudah hentikan pa, Amel mohon, sudah jangan kasar pada Tony." Rintihku.

"Diam kamu," Bentaknya, lalu menatapku dengan wajah yang mengerikan

"Siapa kamu? Dari awal saya sangat risih bila kamu dekat-dekat dengan anak saya." Ujar papa Anthony. Aku bisa melihat kulit wajahnya yang begitu kering, seperti wajah seseorang yang ketergantungan oleh minum-minuman keras.

"Baik, saya tidak akan dekati anak anda, tapi tolong jangan sakiti Tony lagi, saya mohon."

"Amel sudahlah, kamu menjauh sana jangan kesini." Tepis Tony. Lalu tangan papa Anthony menyeret kera baju anak semata wayangnya itu untuk pergi menjauh, dan melemparnya seketika.

"Pergilah, pulang ke rumah papa dan tinggalkan perempuan itu." Aku bisa melihat wajah Tony yang hendak ingin marah dan menangis. Dia seakan tak sanggup untuk melapiaskan semua ini pada papanya. Di satu sisi entah itu berada di hadapanku, dan di satu sisi lain kulihat semua keluargaku keluar dari rumah dan menyaksikan pertikaian ini tepat di depan teras rumah nenek. Tony seakan tak bisa berbuat apa-apa bahkan untuk mengucapkan sepatah kata pun dia benar-benar tak bisa. Tarikan kera kemejanya tadi cukup membuat Tony tersentak takut kepada papanya.

Dia merunduk sambil menggenggam tangan begitu erat, kemudian masuk ke dapalam mobil diikuti dengan papa Anthony yang pergi meninggalkan rumah ini. Ibuku langsung berlari menuju kepadaku, dan dia memelukku dari belang, sungguh tangisanku pecah pada saat itu juga, bahkan Jojo yang baru saja menikmati waktu kebersamaan bersama Tony menjadi kaku terdiam dengan tatapan kosong melihat semua peristiwa yang telah terjadi tersebut.

Entah kenapa begitu cepat, berakhir dan hancur begitu saja. Mungkin inilah jawaban yang pasti bahwa aku bukanlah sosok perempuan yang cocok atau mampu bila disandingkan dengan Tony. Memang pria itu sudah terlewat sempurna, sehingga aku seperti tak pantas untuk mendapatkannya.

Memang, itu ialah alasan yang benar, lagi pula siapa diriku ini? Seistimewa apakah aku ini? Aku hanya perempuan biasa yang aneh dan jelek, tak pantas mendapatkan sosok pria seperti Tony. Seharusnya aku sudah sadar diri dari awal, dan tak membiarkan hubungan kami terjalin hingga sejauh ini. Lantas, apakah semuanya salah Tony? Atau apakah semua ini salah papanya? Tidak, tentu saja ini semua adalah salahku. Perempuan yang tak berguna dan bodoh.

"Ayo, masuk ke dalam." Kata ibuku mengelus-elus pundakku. Aku menangis seakan tak bisa berhenti. Sungguh, ini terlalu menyakitkan dari tragedi yang sebelum-sebelumnya.

"Kita bicarakan di dalam yah sayang, sudahlah, ibu mencintaimu, sampai kapanpun ibu akan selalu mendengar apapun cerita darimu." Bahkan ungkapan itu terdengar seperti ungkapan nenekku. Seakan seperti dia ikut menyaksikan moment memilukan yang berangsur cepat dan singkat ini. Kemudian diriku memilih untuk melangkah masuk kedalam rumah, tertatih-tatih sebab hatiku begitu sangat amat terluka.

Bersambung...

Berlanjut ke Chapter 83...