Chapter 83 - Bab 83

Seluruh badanku mulai lemas, bahkan kubuat untuk menopang tubuhku sendiri rasanya begitu sulit. Ibuku membantuku untuk masuk kedalam rumah. Tante Anik berlari mengambilkan segelas air minum untuk diriku. Aku duduk diatas kursi sofa ruang tamu, kepalaku berkunang-kunang terasa pusing dan berat dibagian belakang. Entah ini efek dari kepanikan serta ketakutan yang tercampur menyatu dalam diriku. Tarik nafas dalam-dalam, tahan lima detik, lalu lepaskan, kucoba hal itu berkali-kali hingga diriku bisa kembali bernafas dengan lega.

"Amel, ini minumlah dulu, sudah berikan dia ruang yang longgar." Ujar tante Anik, ibuku melepaskan pelukannya pada diriku, dan aku mulai meminum segelas air itu hingga habis, namun tetap saja, semua itu tak bisa merubah perasaanku.

"Sayang, kamu yang sabar yah, memangnya selama ini Tony punya masalah apa? Dan yang datang sambil marah-marah itu siapa Mel?" Tanya ibu, yang melihat kondisiku kian syok dan membuat dia juga ikut panik dan bingung bukan main.

"Mungkin Amel perlu watu untuk menjelaskan semua ini, diamkanlah dulu." Kata ayah tiriku.

"Mana bisa, tentu kita harus tahu apa yang sedang terjadi di luar sana tadi." Ules ibu, aku menangis tertatih-tatih yang tak bisa kukendalikan atau bahkan kuhentikan. Namun sepertinya mereka benar, bahwa mereka juga berhak tahu mengenai apa yang selama ini terjadi kepada hubungan kami berdua. Mari kuperjelas semuanya, agar semua ini berakhir dengan terang dan transparan.

"Maaf kalau aku tidak pernah bercerita mengenai hubunganku dengan Tony pada kalian." Kataku, mereka semua langsung menatapku dengan mata tajam mereka masing-masing. "Keluarga Tony sangat bermasalah, mungkin ibu hanya tahu sendikit tentang hal itu, mengenai perceraian yang dulu pernah kuungkapkan." Imbuhku.

"Apa itu? Katakan saja." Ucap tante Anik. Aku menghirup nafas dalam-dalam

"Jadi kedua orang tua Tony sudah lama bercerai, mereka berselisih untuk memperebutkan Tony, meskipun pria itu sudah memilih untuk tetap tinggal bersama ibunya, tapi ayahnya masih berpegang teguh untuh terus merebut Tony dari ibunya. Memikirkan segala macam tentang masa depannya, dan tak luput juga dengan hubungan Tony dengan wanita teman masa kecilnya yang kini sedang tinggal di Skotlandia." Ungkapku.

"Wanita lain? Jadi selama ini Tony sudah punya pacar?" Tanya ibuku.

"Tidak, bukan begitu bu, wanita itu hanyalah teman masa kecil Tony, dia hanya menganggap hubungan itu hanya sebatas teman saja, entahlah aku juga tidak tahu apakah itu benar atau tidak. Tapi aku tahu perasaan Tony padaku itu benar, dan kami pun juga merasakan hal yang sama, yaitu saling mengerti dan saling mencintai. Tapi semuanya malah berubah seperti ini." Kataku sambil menangis.

"Yaudah, kalau begitu terima saja kenyataan yang ada. Ayah Tony terlihat marah sekali dan tak menyukaimu." Kata tante Anik, dan dadaku kembali terasa sesak.

"Iya tante, tapi sejauh ini semua itu tidak berlaku bagi ibunya, mama Firly orang yang sangat baik padaku, dia bahkan sudah menganggap diriku seperti anaknya sendiri." Kataku, dan ibuku sampai mengernyit lemas.

"Astaga Amel, kenapa kamu mendekati pria yang memiliki keluarga yang bermasalah sih? Dari awal sebenarnya ibu sudah tidak yakin mengenai hubunganmu dengan Tony itu. Menurut ibu pria itu terlalu berlebihan dan tak cocok bila disandingkan denganmu. Dia seperti orang yang tajir, bahkan mobil yang ia kendarai itu menunjukkan bahwa pria itu memiliki daya pikat yang kuat, yang mampu mengundang banyak perempuan lain untuk suka padanya. Tak menutup kemungkinan juga bukan hanya kamu saja, mungkin diluar sana, diluar batas sepengetahuanmu, kalau Tony juga memiliki wanita simpanan lainnya. Toh dia juga sudah meninggalkanmu bahkan putus kontak selama berbulan-bulan, iya kan?" Gertak ibuku panjang lebar.

"Sudah bu cukup, Tony tidak seperti itu."

"Tidak seperti itu apanya! Buktinya sudah ada kan? Sekarang ibu Tanya padamu, kenapa malam itu kamu bela-belain pergi ke sana, menjenguk atau segala macam sampai kamu rela menginap di dalam rumah pria itu, siapa yang menyuruhmu?" Tanya ibuku dengan tegas, aku menggeleng.

"Sudah jangan dibuat makin tegang, kasihan Amel." Ules tante Anik.

"Bukan begitu, dari ucapan orang tua Tony tadi sudah sangat keterlaluan, kamu pikir aku tidak mendengarnya? Dia sebut anakku sebagai perempuan yang tidak berguna, lantas mengapa menyuruh Amel datang kerumah itu untuk menjenguk Tony kalau memang anakku tidak berguna?" Kata ibuku marah.

"Ini perlu diluruskan, semuanya tidak menyangkut pada kejadian itu, itu ialah murni insting dari keinginanku, dan ajakan dari mama Firly untuk memastikan keadaan Tony. Dari dulu aku sudah bilang kalau ayahnya sangat keras kepala dan ingin mengatur hidup Tony." Kataku.

"Iyah tapi pada semua kejadian itu, kamu seakan jadi korban nak, kamu seakan jadi alat mereka demi menuntaskan masalah mereka sendiri-sendiri, begitu pula dengan Tony, kamu hanya dijadikan alat saja." Kata ibuku, aku semakin menangis dan semakin terpuruk, sungguh ini ialah moment-moment introgasi yang cukup menyiksa dan mengiris hati perasaanku.

"Sekarang ibu tanya, kalau ibu Tony menyuruhmu untuk memastikan keadaan Tony dirumahnya, apakah dia tidak bisa melakukannya sendiri? Memangnya dia ngapain saja dirumah?" Tanya ibuku dengan mata melotot menatapku, aku diam saja dan sungguh tak bisa menjawab pertanyaan itu.

"Jawab Mel, apa yang ibu Tony lakukan disana? Apa bentuk effort-nya pada anaknya sendiri kalau memang dia sayang pada anaknya?" Gertak ibu hingga kedua telingaku berdengung.

"Ibunya tak ada, ibunya pergi tak ada di rumah." Cetusku begitu saja.

"Apa? Pergi?"

"Yah, ibunya tak ada dirumah, jadi aku disuruh untuk memastikan keadaannya di rumah itu sendirian, dan di rumah itu rupanya sudah ada ayahnya yang menghajarnya habis-habisan." Kataku tegang.

"Lalu ibunya kemana?" Sungguh aku sangat terpojok sekali.

"Ibunya dirumah sakit." Gemetar menyeletuk hingga ujung rahangku.

"Apa? Rumah sakit?" Kaget ibuku, bahkan semuanya ikut panik dengan mata melotot kearahku.

"Jadi ibunya Tony sakit?" Tanya tante Anik kesal.

"Iya, ibunya sakit, dan___dan ia terkena covid." Sontak tepat pada saat itu juga tamparan ibuku melesat tajam menyantap pipi kananku sampai aku jatuh tersungkur dari kursi sofa. Tante Anik panik bukan main disertai ibuku yang begitu marah besar dan ingin menghujaniku pukulan hingga berkali-kali. Paman Farid dan pak Irwan bereaksi untuk menghentikan tindakan ibuku yang semakin naik pitam.

Sesampai aku tersungkur diatas lantai, ibu langsung menendang punggungku berkali-kali hingga pan Irwan menarik kedua lengan ibu dengan amat keras sampai dia menjerit sekencang-kencangnya.

"Hentikan, biarkan aku menghajar anak itu, dasar anak bodoh, dasar anak tidak bisa diatur. Masih belum cukup dengan nenekmu? Masih belum cukup juga dengan tantemu yang pernah terpapar? Apa kamu tidak peduli dengan semua itu? Atau kamu hanya peduli dengan lelaki itu saja? Iya Mel?" Ucap ibuku berteriak sambil menangis terisak-isak. Aku dibantu paman Farid untuk berdiri dan bersandar disamping lemari etalase. Sungguh kepala dan perutku begitu terasa sakit, bahkan aku nyaris tak mampu mendengar apa saja bentuk celotehan ibuku kepadaku. Yang pasti ia sungguh marah, yang pasti ia ingin menghajarku, atau bahkan mengusirku dari rumah ini.

"Maaf, tolong maafkan aku bu." Imbuhku sambil tertatih-tatih. Kulihat wajahnya memerah, penuh dengan kerapuhan yang tertutup oleh helai rambutnya yang berantakan. Suasana menjadi kacau, bahkan aku bisa melihat Jojo terdiam mendempis dipojok tembok ruangan ini. Seakan tak mau melihatku lagi, dan seakan tak mau merasakan moment pilu ini.

"Sungguh sulit ibu percaya Mel." Kata ibuku, duduk sambil memegangi kedua kepalanya. "Bisa-bisanya kamu pergi dan menginap di rumah orang yang sedang terkena covid." Imbuhnya. Aku menggeleng menepisnya, berusaha mengelak pandangan buruk tersebut.

"Tidak bu, sudahlah, lagi pula ibunya sudah lama tidak tinggal di rumah itu semenjak wabah covid ini merebak, rumah itu hanya ditinggali oleh Tony saja, dan tentunya masih aman bila dipikir secara logika." Terang diriku dengan nada yang amat lemas. Kemudian ibuku menatapku.

"Memang apa pekerjaan ibunya? Kenapa selama pandemik covid dia tidak ada dirumah?" Tanya ibu, seperti tak mempunyai pemikiran baik terhadap keluarga Tony. Bayang-bayang mengenai nenek langsung menguasai otakku, dan aku tidak bisa menepis semua itu.

"Pekerjaannya sebagai petugas medis. Memang ini semua salahku, terserah ibu mau apakan aku, yang jelas aku sudah mengatakannya dengan jujur." Saat itu aku bisa melihat wajah kecewa mereka, seperti muak dan marah. Keterkejutan ini nyaris tak menyisahkan simpati sedikirpun pada diriku. Ibuku seketika berdiri dari sofa, dan berjalan pergi meninggalkanku menuju kedalam kamarnya. Begitu pula tante Anik, dia berangsur-angsur pergi menemui ibuku dan entah akan hendak berbicara seperti apa. Namun saat paman Farid hendak mendekatiku, aku tidak berani jamin kalau dia berada pada pihakku. Wajahnya memperlihatkan raut penuh kekesalan, dan dia berkata.

"Lebih baik putuskan saja lelaki itu, paman yakin hidupmu tidak akan bahagia bila bersamanya, apalagi melihat kondisi kedua orang tuanya yang penuh masalah." Ungkap beliau, lalu berjalan pergi begitu saja. Hingga di ruang tamu ini hanya tersisa aku dan Jojo, duduk terpaku sambil bersandar tak tahu harus bagaimana. Kini aku hanya bisa pasrah, meskipun aku sama sekali tak keberatan dengan usulan paman Farid. Kalau diperhatikan semua ini memang wajar, dan entah mengapa aku malah kecewa sebab tidak sadar dari dulu. Andaikan aku masih bisa melihat kebenaran, melihat situasi, melihat fakta yang sebenarnya ada dan terungkap. Seharusnya aku bisa memilih dengan pemikiran dewasa yang objektif. Tapi aku tidak bisa, aku seakan mudah terbuai oleh cinta, yang larut begitu saja tanpa adanya penghalang apapun.

Saat hari mulai semakin malam, aku tidur sendiri di ruang kamar tidurku. Kali ini Jojo tidak ingin tidur di sampingku. Sungguh pilihan yang kejam dan menyakitkan. Diatas sini aku hanya bisa berbaring menatap langit-langit ruang kamar tidurku, dan merasakan kesunyian dan keheningan kembali dengan penuh siksaan. Tiap kali aku masih bisa mendengar suara isak tangis ibu yang samar-samar berbunyi menembus dinding-dinding kayu rumah ini, hingga semua kenyataan yang sudah terjalin membuat air mataku menetes kembali.

Aku tidak ingin menikmati malam-malam panjang yang memilukan, andai aku bisa tidur dan melupakan segalanya, membuang isi pikiranku yang masih tetap bergelantungan oleh serpihan hubungan dengan pria itu. Sial, kenapa aku begitu mencintainya? Kenapa aku begitu serapuh ini? dan kenapa aku terus memikirkannya, sampai tak ada waktu sedikitpun untuk lupa atau benci terhadapnya.

Mungkin hatiku perlu belajar bagaimana cara untuk membenci seseorang, hingga diriku tak ingin memaafkan orang tersebut atau bahkan menemuinya sekalipun. Cukup dengan semua omong kosong yang ia ucapkan padaku, barang kali itu masih ada di otakku, aku tak akan pernah mengingatnya lagi, sampai kapanpun tak akan pernah.

Akhirnya aku meniatkan diri untuk mengunci pintu jendela itu rapat-rapat. Berharap tak akan membukanya lagi meskipun ada sesuatu yang mendorongku untuk melakukan itu. Setidaknya dimulai dari malam ini, dimana malam ini sebagai saksi bahwa harapan-harapanku tak akan pernah terjadi, harapan yang kugantungkan padanya, dan pada setiap cela kesunyian dan keterasingan menutup tak terlihat, sebagaimana memang diriku ialah tipikal orang yang sangat ambisius.

Lupakan saja masa lalu, lupakan berbagai macam ucapan-ucapan sejuknya, lupakan nyanyian syair merdu yang menjelma ditiap malam-malam sunyi yang dingin nan pekat oleh kegelapan. Berikan hati sedikit cahaya agar mampu menerangi setiap pilihan dan jalan yang kulalui, tanpa harus bergantung pada keberadaannya.

Aku sudah banyak melakukan kesalahan pada keluargaku, bahkan aku masih belum sempat meminta maaf pada nenekku. Seharusnya aku berpikir hingga sejauh itu, tapi entah kenapa pikiran itu seperti akan muncul bila diriku menerima sebuah teguran dan tamparan keras seperti ini. Sungguh memilukan, tapi beginilah aku, aku yang sulit diatur dan terlalu ambisius.

Baiklah, kalau begitu lenyaplah untuk kali ini, aku yang salah, aku yang bodoh, puaskan saja hati sampai disini. Terbenamlah dalam keterpurukan untuk malam ini, hanya untuk malam ini, dan esok paginya mulai dengan hari yang baru. Isi dengan banyak kenangan-kenangan baru bersama orang yang tepat. Penuhi wajah dengan senyuman dan pemikiran jernih, dan jangan sampai ada sepetik ingatan satupun yang dapat membawa pada masa lalu. Tarik nafas dalam-dalam, tahan lima detik, lalu hempaskan. Kuulangi hal tersebut sebanyak tiga kali, kemudian aku memejamkan mata ditengah suara lirih yang samar-samar terdengar di telingaku. Sadar bahwa itu semua hanya untuk malam ini, dan esok harinya sudah kembali seperti yang kuinginkan.

Dio, tepat pria itu datang bertengger di depan rumah nenekku. Senyum lebarnya menghiasi penuh wajah tampannya. Sungguh begitu menawan, begitu manis, dan begitu sulit untuk ditepis. Sertidaknya itulah yang kulihat dipagi hari yang asing ini. Kusambut pria itu dengan senyum lebar, dan dia membawa motor Kawasaki besar itu, yang siap untuk membawaku pergi.

Bersambung...

Berlanjut ke Chapter 84...