Chapter 84 - Bab 84

"Ada apa dengan dirimu? Mengapa wajahmu terlihat kusut sekali?" Kata Dio mendekatiku, nampaknya aku tidak bisa menutupi semua kesedihanku yang sulit untuk berakhir. Entah harus bagaimana cara agar menutupinya? Padahal semuanya sudah kuusahakan semampuku. Kali ini rutinitas kami akan berjalan normal seperti biasa. Berkendara dipagi hari menuju ke toko milik Dio, kemudian membuat banyak olahan kue disana.

Seharusnya aku mensyukuri apa saja yang telah Tuhan berikan padaku. Meskipun kejadian kemarin ialah hal yang tak kan bisa kulupakan. Setidaknya aku bisa menerima pelajaran dari situ, bahwa hubungan diantara aku dan Tony masih terlalu rumit, bahkan tak sepantasnya kami hidup bersama seperti orang dewasa.

Jalan karir Tony masih panjang, bahkan usia kami pun juga masih sangat muda. Mengenai bentuk perkataan papa Anthony kepada anaknya pasti bukan hal yang main-main, disamping semua itu juga akan tertuju pada masa depan Tony kelak, masa depan yang terarah dengan pekerjaan yang bagus.

Aku rela bila Tony sudah tak berpihak lagi kepadaku, biarkan masa lalu kami pudar dan takkan pernah terulang. Sebab semuanya seperti mustakhil bila akan membaik seperti semula. Dengan keadaan keluarga Tony, bahkan dengan keluargaku sendiri. Rasanya itu sudah tak mungkin lagi, tak akan mungkin terjadi lagi. Entah apa yang kupikirkan di pagi ini? Aku meneteskan air mata tepat dibelakang tubuh Dio.

Kurasa pria itu berkendara dengan laju yang cukup kencang, seakan memacu-ku agar berpegangan pada kedua pinggangnya. Kulakukan hal tersebut ketika motor Dio melintasi jalan lurus yang amat sepi dan lengang. Angin langsung menghembus seluruh rambutku hingga kucengkram jaket pria itu dengan begitu erat. Kunikmati hembusan udara di pagi hari ini dengan mata terpejam, dan kemudian bersandar pada punggungnya.

"Semuanya akan baik-baik saja, dan semuanya akan berakhir sesuai dengan apa yang diharapkan." Ungkapku dari dalam lubuk hatiku.

Kemudian saat kami telah sampai di depan toko kue Dio, kami melihat toko tersebut masih terlalu sepi. Kami berangkat lebih awal dari yang sebelumnya. Pria itu memarkirkan sepeda motor Kawasaki tepat di samping van di dalam gudang. Setelah itu membuka pintu masuk Toko, dan instingku berkata untuk langsung membersihkan ruang pelanggan supaya jam operasional kami sudah nampak tertata rapi dan bersih.

"Amel," Tiba-tiba panggil Dio, aku menoleh kearahnya, "Letakkan sapu itu, kemari, duduklah disini." Dan aku mengernyit heran, tapi kuturuti kemauan pria itu. Aku duduk tepat dihadapannya, seakan tak bisa menyembunyikan wajah kusutku.

"Ada apa denganmu? Coba cerita kepadaku bila kamu punya masalah." Kata Dio, aku langsung menggeleng

"Tidak, semuanya baik-baik saja kok." Kataku.

"Jangan bohong, aku bisa menebak wajah seperti itu, tak biasanya kamu selalu merengut, barang kali aku bisa membantumu, maksudku membantumu menjelaskan semuanya mengenai kesalah pahaman antara kamu dan aku." Ungkap Dio, aku seketika menggeleng untuk menelaknya.

"Tidak Dio, kesalah pahaman antara kita sudah berakhir, tak ada masalah sama sekali mengenai itu, lagipula kamu juga tidak salah apa-apa, tak usah terlalu cemas." Balasku dengan senyum tipis. Nampaknya Dio masih belum terlalu puas dengan jawabanku.

"Lantas, apa yang membuatmu menjadi seperti ini? Apa kamu ada masalah?" Tanya Dio, entah apa yang harus kukatakan padanya, dimana semua yang ia tanyakan padaku ialah benar, aku seakan digundrung oleh banyak pikiran-pikiran yang tak jelas akan kemana arahnya.

"Aku,______" kataku bimbang, Dio seakan menunggu jawabanku. "Aku,___ mungkin aku sudah putus dengan Tony." Ungkapku pada akhirnya. Dio mengangkat kedua alis, terkejut, dan sedikit panik.

"Lho kenapa? Apa yang terjadi?"

"Ceritanya panjang Dio, dan bahkan terlalu rumit untuk dijelaskan, lebih baik jangan mengintrogasiku seperti ini, oke? Aku benar-benar belum siap untuk mengungkapkan semuanya." Kataku, dan tanpa kusadari air mata ini tiba-tiba menggenang, lalu jatuh menetes membasahi kedua pipiku. Dio langsung kebingungan dan hendak berniat untuk menenangkanku, namun seketika itu aku berusaha untuk tersenyum, mengusap air mata ini dengan kedua telapak tanganku, agar gestur pria itu tak terlalu berlebihan padaku. Bahwa semua ini hanyalah masalah romansa sepele yang tak perlu dibesar-besarkan, cukup kuanggap sebagai pengalaman hidup pada jenjang kedewasaan, sungguh konyol.

"Sudahlah, aku baik-baik saja kok, kuanggap hubunganku dengan Tony hanyalah masa lalu belaka. Kami tidak cocok bila disandingkan bersama, sudah kelihatan sekali. Aku yang bukan siapa-siapa bahkan tak punya gelar atau title yang bagus, sedangkan Tony? Dia punya segalanya, dia bahkan mempunyai impian untuk sekolah di luar negeri, tak mungkin aku menjadi penghalang mimpi-mimpinya bukan?" Kataku.

"Tunggu, kenapa dia bisa begitu? Apa dia tidak malu saat melihat dirimu bersamaku? Kalau seakan-akan dia begitu cemburu dan menjadi korban atas kedekatanmu denganku." Kata Dio, dan aku langsung menelaknya.

"Bukan seperti itu, apa yang barusan kukatakan ialah atas dasar keinginan ayahnya, beliaulah yang menginginkanku untuk menjauhi Tony, oleh karena itu aku memilih lebih baik putus dengannya. Aku yakin itu adalah jalan yang terbaik, lagi pula kami berpacaran hanya sebentar, tak begitu lama dan tak begitu penting. Sudahlah, tahun ini memang rumit sekali." Kataku, Dio menghirup nafas panjang sembari tersenyum lebar kearahku, lantas aku mengernyit.

"Tidak terlalu penting? Berarti keputusanmu sudah yakin untuk melepaskan dia?" Tanya-nya, aku terdiam tak tahu harus bagaimana.

"Bagus, aku setuju atas keputusanmu itu, tenang saja, kita berdua sama-sama memiliki kisah romansa yang rumit. Kupikir hanya aku saja yang mengalaminya, ternyata kamu juga." Ungkap Dio sambil tersenyum lebar. Aku menatap wajah pria itu, dan sungguh betapa menjengkelkannya bila diriku dibanding-bandingkan dengannya.

"Lupakan saja, ngomong-ngomong kita buat kue apa hari ini?" Kataku, berdiri dari kursi pelanggan tersebut. Dio mendangak menatapku.

"Cukup banyak, ada macaron, pizza, dan croissant, sama ada beberapa macam kue yang masih belum pernah kamu buat sebelumnya. Dan di hari ini kita akan membuatnya bersama." Ucap Dio, berdiri perlahan dengan melipat kera lengan kemejanya. "Nanti kalau sisanya banyak, bisa kamu bawa pulang semua, buat oleh-oleh ibumu di rumah." Imbuh pria itu, dan aku mengernyit.

"Tidak usah, buat apa? Pasti suruhan dari ibuku ya?" Tanyaku, Dio menggeleng.

"Enggak kok, udah biarin, biar buat cemilan mereka yang ada dirumah, apalagi Jojo, dia pasti menyukainya." Balas Dio. Entah mengapa senyumannya seakan tak bisa dijelaskan dengan jelas, seperti ada sesuatu yang datang dengan begitu mendadak, yang mampu mengubah pola pikirku serta emosiku. Semuanya sejenak lebih tenang dan teduh setelah bersama dengannya, mengapa ini bisa terjadi dan tak bisa kupungkiri? Apakah aku salah bila mempunyai perasaan yang barusan telah kualami terhadapnya? Baiklah bila itu memang benar, dan semua hal yang terjadi selalu mengarah padaku bila hal tersebut berada pada jalur yang salah. Dengan mudahnya dan entengnya kesalahan itu mengarah pada diriku.

Hentikan, cukup sudah dengan pemikiran seperti itu. walaupun perempuan selalu sering disalahkan dan tak pernah dianggap benar, setidaknya aku bisa menghargai diriku sendiri bahwa aku dapat memegang peranan penting dalam kehidupan mereka, melengkapi senyum mereka, serta beban hidup mereka.

Kami mengetahui kedatangan Bagas dan Keyra saat tirai jendela seluruh toko kami buka. Dengan semangat Dio menuju ke dapur sambil menyiapkan semua bahan-bahan yang ada. Tiada henti pria itu tersenyum saat melihatiku, seakan tak bisa pudar dari wajahnya. Ingin sebenarnya aku untuk menegur, atau sekedar membalas maksud dari segala macam tatapan dan senyuman tersebut. Namun biarlah, mungkin itu terlalu konyol dan memalukan, aku sampai tak punya akal untuk berkata seperti apa. Kubiarkan waktu-waktu kami larut begitu saja dengan begitu mudah, hingga tak terasa beberapa macam pizza sudah kami buat, beserta macaron yang sudah terpacking rapi.

"Tinggal sedikit lagi, coba kamu ambilkan selusin kardus pizza dalam loker." Kata Dio saat aku usai meniris lelehan coklat dari kompor. Aku berlari membawakan barang tersebut dan kutaruh tepat dihadapannya. Dio mencengkram sebuah serokan pizza yang sudah matang tersebut, dan ia tuang begitu saja diatas kardus yang telah kusediakan.

"Kerja bagus, setelah ini, katakan pada Bagas kalau pesanannya sudah siap untuk dikirim." Kata Dio, aku mengangguk, dan hendak berlari menghampiri Bagas. "Tunggu,__" Sahutnya, lantas aku berhenti sejenak.

"Bilang kalau Keyra mau ikut, biarkan saja dia ikut bersama Bagas, oke?" Ungkapnya, aku mengernyit namun kuturuti saja perintah Dio tersebut. Kemudian sesampai aku di meja kasir, aku memergoki mereka berdua sedang asyik bermain game lewat ponsel mereka masing-masing.

"Ehhmm," gertakku dari belakang, dan spontan Keyra dan Bagas kaget dengan eraman suaraku.

"Ehh Amel, ada apa?" Kata Keyra.

"Pizza sama macaron sudah siap untuk dirkirim sekarang." Kataku, Bagas langsung mengangguk dengan sergap. "Kalian tadi habis ngapain dempet-dempetan segalak?" Imbuhku.

"Hehe, biasa, ml." Ules Bagas nyengir kearahku.

"Oke terserah, oh-iya, kalau Keyra mau ikut sama Bagas kirim juga gak pa pa kok, Dio tadi bilang seperti itu ke aku." Lantas Keyra melotot mendengar ucapkanku.

"Haah? Serius Mel?" Tanya-nya, aku mengangguk.

"Kan pesanannya gak banyak-banyak amat Mel?" Tanya Keyra seakan tak percaya.

"Iya, Dio tadi bilang seperti itu kok, tenang saja." Balasku, seketika Keyra begitu senang sampai loncat-loncat dan memeluk Bagas, sungguh aku baru tahu kalau mereka berdua ternyata sudah pacaran.

"Ayo sayang, kita berangkat bareng yukk." Kata Keyra, Bagas pun mengangguk senang mendengar ucapan Keyra. Saat pesanan-pesanan tersebut mereka angkat ke van, akhirnya di toko ini hanya tersisa Dio dan diriku saja, dimana proses pembuatan croissant masih berjalan.

"Kenapa pengirimannya tidak sekaligus jadi satu saja?" tanyaku ketika menghampiri Dio. "Kasihan kalau mereka sampai bolak-balik kirim." Imbuhku, pria itu tersenyum sambil mengulen adonan.

"Pesanan yang ini sebenarnya buat besok, aku sengaja membuatnya untuk kamu bawa pulang ke rumah." Jawab Dio.

"Astaga, kenapa repot sekali sih? Kamu tahu sendiri kan kalu bahan-bahan kue semua ini harganya tidak murah Dio, sayang banget kalau cuma dimasak buat bingkisan keluargaku." Kataku yang berusaha membujuknya.

"Udah gak usah komentar, lagi pula ini bukan buat kamu kok, ini buat ibu sama adikmu." Katanya, dan sungguh aku merasa tak enak melihatnya capek-capek seperti itu, namun kubiarkan saja dia melakukannya. Selain itu hari ini Dio lebih semangat dari yang biasanya, hingga aku merasa malu pada situasi seperti ini bersamanya.

"Perlu bantuan?" Tanyaku, pria itu mengangguk.

"Buatkan aku kopi saja." Katanya, "Ehh, tapi jangan manis-manis." Imbuh Dio, dan kuturuti apa kemauannya itu.

Ketika senja mulai menghiasi langit dan awan, jam kerja kami semua sudah usai. Bau aroma roti bakar beserta larutan keju dan vanilla masih melekat diantara ruang dan diri kami semua. Pintu toko mulai kami tutup dan dikunci rapat, motor Dio sudah bertengger di depan sana dan siap mengantarkanku pulang. Kurasa kedekatan Keyra dan Bagas semakin terlihat, rupanya mereka sekarang sudah berangkat bekerja bareng.

"Kulihat kalian cocok banget." Kataku saat Keyra menaiki motor Bagas, senyum pria itu begitu lebar saat kupuji kedekatan mereka.

"Haha, kurasa Dio sama kamu juga cocok kok," katanya, spontan aku langsung melotot.

"Apa? Kita berteman Bagas, kamu pikir apa?" Ulesku.

"Hmm iya dehh, maksud aku cocok dalam pertemanan, gitu, hehe." Tindasnya, dan seketika Dio datang menghampiri kami, dan dia berdiri disampingku, menatapku, tersenyum pada kedua mataku.

"Masa sih aku sama Amel cocok?" tanya Dio heran.

"Cocok banget sih, no debat, kalian itu punya kesamaan yang mirip lho, ehmm maksudku, sama-sama pinter masak, usianya seumuran, dan yang paling penting tuh sama-sama lajang, iya kan? Kamu kan baru saja putus sama Luna." Ujar Keyra yang begitu membuatku malu.

"Aduhh udah stop, kalian ngomong apaan si?" Tepisku.

"Iya kalian ini ngomong apaan coba." Timpa Dio.

"Tapi benerkan pendapat kita ya gak?" Sahut Keyra pada Bagas. "Udah tak usah pura-pura dehh, kalau suka ya suka aja, gitu aja ribet, yaudah kita duluan ya daahh." Bunyi motor Bagas berderu, dan mereka pulang berboncengan yang entah kemana tujuan mereka singgah. Kini kami berdua berdiri, memancing kesunyian yang tak tahu harus kulewati seperti apa, yang jelas berada di samping Dio membuatku grogi.

"Ini untukmu." Katanya, memberikan bingkisan kue berisikan croissant. Lantas aku tersenyum dan menerimanya.

Bersambung...

Berlanjut ke Chapter 85...