Sore itu, aku dan Dio hendak pulang ke rumah, namun ketika sampai dipertengahan jalan. Aku ingin membelokkan tujuan kami ke sebuah taman, letak dimana lahan tanah kosong yang masih dipenuhi rerumputan. Aset tanah tersebut akan dibuat proyek pembangunan perumahan elit, namun entah kapan hal itu akan terwujud.
Tepat diujung utara sana pada jarak lima ratus meter terdapat pasar tradisional yang selama ini kuhindari semenjak nenekku dan tante Anik terpapar Covid-19. Aku dan Dio berada di sini hanya untuk menyaksikan langit senja yang ungu dan jingga, cantik sekali, bahkan nyaris persis seperti saat aku menatapnya diatas balkon rumah nenek.
Pada tepi rerumputan itu terdapat kursi umum yang merekat erat di dalam beton trotoar. Lama tak digunakan kursi besi tersebut telah mengkarat dan begitu lembab. Lalu pada sisi tengahnya diberi penanda menjaga jarak berupa stiker yang telah pudar. Kami-pun mematuhinya dengan amat polos. Saat kugenggam bingkisan tersebut, kubuka dengan perlahan dan hati-hati. Bau aroma roti bakar di dalamnya begitu harum, aku tersenyum sambil menatapnya.
"Boleh aku mencicipinya?" Tanyaku, Dio menggeleng.
"Lancang sekali, aku berikan itu untuk ibu dan Jojo, bukan untukmu." Jawabnya kesal, aku langsung tertawa terbahak.
"Cuma satu doang, jangan pelit-pelit." Ujarku, dan langsung kulahap kue tersebut. Aroma harum dari vanila serta rasa renyah dan manis menyatu dalam mulutku, mungkin ini ialah kue yang paling enak yang pernah kucicipi selama ini.
"Hhmmm, enak banget..." Ucapku sambil mengunyah makanan tersebut. "Kamu belajar dari mana sih kok bisa masak semua kue-kue ini?" Imbuhku, seketika aku langsung teringat.
"Ohh maaf, pasti dari mendiang ibumu yah?" Kataku pelan, Dio mengangguk. "Bukan maksudku membahas masa lalu itu lho, tapi sungguh, beliau sangat berbakat sekali." Timpaku, dan dia tersenyum manis di tengah angin sore menerpa kami berdua.
"Tidak masalah, akan kusisakan yang ini buat mereka, lagipula kamu tidak keberatan bukan?"
"Tentu aku keberatan, bukan maksudku untuk menghibur seseorang yang lagi putus cinta ya! Aku berusaha untuk netral akan hal itu." Sahutnya, aku menatap Dio seketika.
"Kamu ini bicara apa sih? Lagipula siapa yang minta dihibur? aku sama sekali tidak butuh hiburan dari siapapun, masalah seperti ini tidak akan bisa melukaiku, sudahlah." Kataku kesal, dan pria itu lalu tertawa.
"Oke, maafkan aku, kamu benar-benar emosi sekali ya?" Katanya yang hendak ingin mendekatiku.
"Ngapain dekat-dekat? Gak liat ada stiker social distancing?" Tegurku.
"Apaan? Aku Cuma mau nyobain kue punyaku, sini! Jangan dihabisin sendiri." Ujar Dio, entah kenapa sore ini dia begitu menjengkelkan. Padahal niatku disini hanya untuk menatap langit senja itu saja, sebab menurutku sayang bila dilewatkan hanya untuk cepat-cepat pulang ke rumah, entahlah.
"Katanya buat ibu dan Jojo?"
"Entar juga masih ada, tenang saja, aku lapar soalnya." Balas Dio.
"Hmm, dasar, tidak sesuai dengan komitmen." Singgungku.
"Tapi Mel, ngomong-ngomong ada apa sih kamu mengajakku ke sini? Tak biasanya langsung hendak pulang ke rumah." Tanya Dio, aku menggeleng, dan merasa berat untuk mengatakan yang sebenarnya, mengenai masalahku dengan Tony yang seakan tak bisa lepas dari ingatanku. Pada dasarnya aku hanya ingin sendiri, menyatukan diriku pada alam. Menghilangkan semua kejenuhan yang menyudutkanku di suatu ruang yang sempit.
"Aku butuh cahaya senja itu, maksudku, menyaksikan pemandangan ini. kamu tahu sendiri kan? Bagaimana rasanya kamu saat pertama kali putus dengan Luna?" Ujarku, Dio terdiam sambil menatapku lekat-lekat.
"Yahh, memang tak mudah, maafkan aku sudah membuatmu kesal barusan."
"Tak usah minta maaf, aku yakin apapun yang kamu ucapkan selalu tak pernah serius." Ujarku.
"Hah? Tak pernah serius dalam hal apa?" Sahut Dio kaget.
"Benarkan? Maksudku kamu selalu kebanyakan bergurau, terus berbicara hal-hal yang tidak-tidak." Kataku nyeleneh.
"Ngaco, kapan aku bergurau padamu? Jangan mengada-ngada yah!" Ulesnya, aku-pun tersenyu saat itu juga.
"Dulu! Pas sepulang dari pesta Luna? Jangan bilang kalau itu bukan gurauan, sambil mabuk-mabukan lagi." Kemudian Dio mendekatiku lebih dekat, hingga aku bergerak mundur menjauhinya dari kursi umum ini.
"Tapi Mel, kalau kamu membahas malam itu, sungguh, aku sama sekali tidak mabuk, aku dalam keadaan sadar dan apa yang aku katakan padamu itu benar." Ucap pria itu sembari menatap wajahku serius, lalu ia langsung menepisku begitu saja.
"Asalkan kamu bisa paham, lagipula semua itu kembali padamu, memang terdengar amat mengejutkan yahh?" Imbuh Dio, aku hanya membalasnya dengan tertawa sedang, entah harus berkata apa untuk membawa situasi ini kembali seperti semula. Bodohnya aku kenapa membahas perkara masa lampau.
"Aku tidak suka kamu menertawaiku seperti itu." Katanya, dan aku terdiam.
"Maaf," Ujarku sambil merunduk, lalu dengan perlahan, tangan pria itu menggenggam telapak tanganku, kamipun larut dalam larangan social distancing tersebut, bahkan sepintas diriku sama sekali tak memikirkannya. Yang kutahu saat ini hanyalah hembus angin sore yang menyegarkan, dan genggaman tangan pria itu mampu membuat hatiku tenang.
"Aku mencintaimu Mel." Ucap Dio, terdengar begitu kalem dan lembut. Aku bahkan merasa kaku dan tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan untuk menatap wajahnya sekalipun diriku merasa canggung. "Sampai kapanpun akan selalu tetap seperti itu, masalah Luna, sungguh kami berdua sebenarnya tak pernah saling mencintai, aku hanya ingin menyelamatkan hidupnya, begitupula perasaanya terhadapku." Ungkap Dio.
"Yahh, aku mengerti kok, tapi aku juga sepertinya perlu waktu untuk menjawabnya yah?" Kataku, yang perlahan memberanikan diri untuk menatap wajahnya.
"Jujur, aku tak mengerti harus berkata apa, terkadang aku merasa seperti orang keji yang telah mengkhianati orang lain."
"Orang lain siapa? Tony? bukannya kamu sudah putus dengannya?"
"Yahh, karena ayahnya, karena orang tuanya yang bermasalah, sebenarnya hubungan kita baik-baik saja Dio, namun dengan adanya bentuk salah paham diantara kami dulu yang sempat membuat kami putus komunikasi beberapa bulan." Kataku.
"Ohhh, seperti itu rupanya___" Ules pria itu, menepis sambil merunduk.
"Yahh, ayahnya menginginkan Tony agar mempunyai masa depan yang baik, bahkan orang tuanya meniatkan diri untuk menyekolahkan Tony ke luar negeri." Ungkapku.
"Lalu kenapa? Lalu kenapa kamu masih menggantungkannya?" Tanya Dio kesal. "Dan bodohnya aku malah menantikan setiap kabar dari peristiwamu dengannya." Imbuh Dio, kemudian pria itu melepaskan genggaman tangannya padaku, kemudian dia berdiri dari kursi umum ini.
"Tapi Dio, jangan begitu, kamu tahu sendiri kan kalau kamu adalah satu-satunya orang yang selalu ada disaat aku mendapatkan masalah. Sesusah apapun diriku saat ini, bahkan dalam kondisi terpurukpun, siapa lagi yang ada untukku kalau bukan dirimu? Tolong jangan marah padaku Dio." Ucapku, kemudian pria itu membalikkan tubuhnya, menatapku seketika.
"Tapi kamu tidak mencintaiku Mel, kamu hanya membutuhkanku, itu saja bukan?" Tanya Dio yang hendak pergi menjauh.
"Tunggu, siapa bilang begitu? Kamu temanku, dan sampai kapan pun kita akan selalu ada dan saling melengkapi." Kataku, berdiri menghadapnya. Kemudian Dio nampak gelisah dan bimbang, raut wajahnya berangsur-angsur menjadi murung serta kebingungan.
"Mel, aku mencoba untuk bersikap netral pada setiap situasi antara kamu dan aku. Selama ini, kamu paham?" Ungkapnya, menghirup nafas panjang. "Aku juga tidak mau menyalahkanmu, atau bahkan membuatmu merasa bersalah, tapi jujur, aku benar-benar ingin memilikimu. Demi apa coba diriku terus bersamamu dan menemanimu disaat kamu ada masalah. Memang kamu tidak memintaku atau bahkan membutuhkanku." Ungkap Dio, hingga pria itu tak berani menatapku.
"Mungkin kamu hanya mengira bahwa aku sama sekali tidak kamu butuhkan, memang akunya saja yang selalu mendesak padamu." Tandasnya.
"Kata siapa? Tentu aku membutuhkanmu, dan tentu aku juga ingin bersamamu, sampai kapan pun, oke? Kita tidak akan pernah kemana-mana, hanya kamu dan aku, di sini dan seterusnya." Kataku, berusaha menekan ocehan Dio yang begitu goyah. "Tak ada pria lain lagi, dia? Yang disana itu? Tidak! Sekarang hanya kita berdua, kamu mengerti?" Kemudian aku mendekat padanya, mengalihkan segala rasa ketakutan dan kesendiriannya. Seperti saat Eny dan Andy melindungiku dari banyak masalah. Maka aku ingin melakukannya serupa sepeti apa yang mereka lakukan padaku.
Kupeluk Dio saat itu juga, lalu air mataku menggenang, menatap langit ungu yang indah itu, sembari merasakan tiupan angin serta bau tanah dan rerumputan yang begitu segar. Kurasa sebentar lagi akan turun hujan. Diujung sana terdapat langit mendung yang berwarna abu-abu pekat. Seraya mendekati kami berdua, dan hendak mengguyur kami.
"Kamu menangis?" Tanya Dio, aku tersenyum.
"Tidak," Jawabku semringah. "Hanya merasa bersyukur karena masih ada kamu di sini." Imbuhku, aku bisa melihat kedua pipi Dio yang nampak memerah seketika.
"Coba saja kalau aku menikmati indahnya rerumputan ini beserta dengan langit senja yang indah itu sendirian, rasanya pasti ada yang kurang." Ungkapku, mungkin apa yang telah kukatakan sedikit berhasil untuk mengobati kegelisahannya, bahkan aku bisa melihat bentuk semangat itu.
"Oke, tunggu sebentar," Dio seketika beralih ke semak-semak. "Karena kita ada di rerumputan, aku mencoba untuk mecari sebuah hal yang mungkin dapat membuatmu tidak gelisah lagi." Kata Dio, lantas aku mengernyit.
"Gelisah? Kupikir kamu-lah yang gelisah saat ini." Balasku.
"Aku? Tidak, aku sama sekali tidak merasa gelisah." Ucap Dio. "Lantas siapa yang mengajak ke rerumputan di sore hari seperti ini kalau tidak kamu sendiri yang sedang gelisah?" Imbuhnya, dan akupun tersadar, serta berusaha untuk bertingkah jujur. Pria itu mendekat usai ia berada di semak-semak. Mengambil sesuatu dari balik rerumputan dan aku pun mengernyit penasaran.
"Ini untukmu, biar gak kusut kayak pagi tadi." Kata Dio sambil memberiku sepotong bunga aster ungu yang telah ia ambil dari semak-semak. Alhasil aku tersenyum begitu lebar atas tingkah laku pria itu. Entah bagaimana cara untuk menelak segala tingkah lakunya yang sudi untuk menemaniku dan terus selalu ada di setiap diriku melangkah.
Mungkin langit senja telah tahu dan mampu menempatkan siapa yang pantas untukku. Tanpa ragu kuterima bunga aster yang tak kumengerti dimana asalnya. Aku menengok kanan dan kiri berusaha menemukan letak bunga-bunga itu bermekaran, dan rupanya terdapat disebelah gundukan batu yang terhimpit oleh rumput-rumput liar. Senyum Dio mengingatkanku pada bingkai mawar-mawar merah yang diberikan Tony untukku, Namun saat ini yang menjadi pertanyaannya adalah, mampukah aku menganggap hubunganku pada Tony ialah sebuah bentuk masa lalu belaka? Dimana masa lalu yang tak akan pernah terulang kembali, dan hilang dari ingatan memoriku.
"Terima kasih." Kataku gugup, tak sanggup untuk tersenyum lebar kembali, bahkan lebih sulit dari yang aku bayangkan.
"Itu sebagai tanda bahwa aku sangat menyayangimu Mel." Ucapnya, aku menyeringai.
"Jangan gombal," Ulesku sambil berjalan melintasinya.
"Bener, aku serius, aku siap menggantikan pacarmu yang baru saja kamu putuskan itu, Amel kamu mau kemana?" Aku acuh padanya, dan memilih tetap berjalan meninggalkan pria itu seoalah tak dengar tentang apa yang ia katakan, padahal sebenarnya aku sangat bingung.
"Aku mau pulang Dio."
"Ohh baik, ayo kalau begitu." Ia berlari menghampiriku, dan langsung menyiapkan mortor untuk siap kunaiki.
"Seharusnya kamu tak perlu seperti ini," Dio memberikanku helm yang jujur saja gesturnya membuatku canggung.
"Kenapa?"
"Tidak papa, maksudku, aku bisa mengambil sendiri helmku." Kemudian angin di sore hari meniup-niup begitu kencang. Menggoyangkan banyak rerumputan liar yang bertebaran di sepanjang area lahan kosong tersebut. Arah menuju ke rumah nenekku akan segera sampai, dan tepat di depan teras rumah, disana ada Ibuku berkerumun lengkap bersama tante Anik, paman Farid, pak Irwan, serta Jojo. Anehnya mereka semua menatap kedatangan kami dengan wajah sedih, bahkan Jojo terlihat seperti sedang mangis tersedu-sedu. Kulihat kedua matanya sampai memerah. Ibuku juga nampak terisak-isak sambil membawa sehelai tisu. Aku menghampiri mereka dengan penuh kecemasan, begitu pula dengan Dio.
"Ada apa?" tanyaku mengernyit. Semua memasang wajah sedih menatapku. Jantungku berdegup kencang saat ibuku memberikanku sehelai amplop putih yang telah disobek. Di dalamnya seperti ada surat yang begitu misterius. Jantungku berdegup sesuai ritme kecemasanku. Entah mengapa mereka menangis karena usai membaca surat ini, dimana surat tersebut tertera untukku yang ditulis oleh mama Firly.
Bersambung...
Berlanjut ke Chapter 86...