Teruntuk kekasih tercinta, Amel..
Maafkan mama yang sudah tidak bisa lagi berada di sampingmu, keadaan seperti sudah tidak memungkinkan lagi. Tapi kumohon jangan membenciku atas segala macam kekurangan yang selama ini mama miliki. Kurasa banyak sekali hal yang masih belum kita coba. Bahkan untuk mewujudkan mimpi-mimpimu di tahun ini pun mama masih belum tahu pasti apa saja itu.
Amel, katakan pada mama suatu saat nanti, apa saja yang selama ini kamu rasakan ketika menjalin cinta pada Tony. Dia memang anak yang sedikit tertutup, tapi satu hal yang perlu kamu tahu, bahwa Tony tak pernah merasa sedih ataupun murung ketika kalian berdua bersama.
Sulit sekali mama mengatakannya, bahkan saat menulis surat ini untukmu, mama tidak bisa tidur semalaman, mama menangis tak kunjung henti sebab kenyataan sangat mendesak dan sulit untuk kamu terima. Tony baru saja mengalami kecelakaan dalam perjalanannya menuju ke Kota Jogjakarta, kemarin malam pukul sebelas lewat tujuh malam.
Kini kamu sudah tidak bisa melihatnya lagi, kondisinya kritis saat dibawa ke rumah sakit, dan nyawanya sudah tak bisa tertolong. Pemakamannya akan dilakukan pagi Ini, kuharap kamu tetap pada pendirianmu Mel. Mengejar mimpi dan cita-citamu, meskipun selama ini mungkin Tony tak bisa melakukan banyak hal untukmu.
Mama mohon Doa terbaik, dan jaga dirimu baik-baik Amel sayang. Entah seperti apa keadaan yang akan datang, yang jelas mama sangat berterima kasih padamu karena telah ada dan hadir dalam hidup Tony dan mama.
Salam hangat, mama Firly
Setidaknya seperti itu isi dari surat yang mama Firly tulis untukku. Teramat mengejutkan untuk diekspresikan secara langsung. Entah apa yang membuat diriku seketika ingin menghilang dari tatapan mereka semua, menjauh dari kerumunan. Terlantar dalam keheningan yang mendalam, apakah dapat mampu memulihkan kondisiku saat ini? Tidak bisa, tentu saja aku tak tahu harus bagaimana. Kurasa aku ingin beristirahat saja, menganggap semua hal ini hanyalah sebuah lelucon, menganggap semua ini hanya omong kosong. Memang itulah yang ada di otakku, yang tak mau mengerti lagi akan semua itu tidaklah cukup, bersikap acuh dan tak mau tahu masih belum bisa membuatku tanang dan lega.
Ini terlalu menyakitkan, bahkan kerapuhan ini seakan nyata kurasakan dihadapan mereka semua, hingga aku tak bisa menahan lagi. Aku menangis dan menenggelamkan diriku dalam keterpurukan. Aku merunduk meringkuk diatas lantai teras, hingga Dio mencoba membangunkanku yang tersungkur seperti orang yang sekarat. Ibu dan tante Anik ikut membantuku, tapi aku sama sekali tak ingin wajah kelam ini terlihat oleh mereka, aku tak ingin lagi, aku tak ingin lagi merasakan bentuk kehilangan yang kedua kali, cukup sampai pada nenekku saja, jangan ada lagi yang pergi, tapi semua sudah rencana Tuhan, mana ada yang mampu untuk bisa disematkan?
Aku mencoba menghibur diriku dengan berbagai banyak tepisan. Aku hanya kenal dia beberapa bulan, dan ayahnya tidak menyukaiku. Tony punya mimpi, Tony mempunyai hidup yang berbanding terbalik denganku. Kami tidak cocok, biarkan saja dia menghilang, sudahlah dan berhentilah menangis. Tapi semua itu tidak bisa, tapi semua itu mustakhil untuk berhasil kulakukan. Bayang-bayang ingatanku masih menempel oleh gambar-gambar wajahnya, sungguh tak semudah itu.
Aku berada di dalam kamarku, meringkup di atas ranjang dengan tangis. Menutup semua wajah dengan selimut erat-erat, dan tidak sekarang, kumohon tidak sekarang untuk berusaha menemaniku. Dio, aku ingin sendiri saja, hanya ingin menguras air mata ini sampai habis, dan di saat itulah aku akan membutuhkan pelukan seseorang. Dio tak kunjung pergi, Dio sama sekali tak ingin membiarkanku terisak-isak tak berdaya di atas ranjang ini.
"Yang sabar, ikhlaskan kepergiannya." Seseorang berusaha menenangkanku dari balik tubuhku, sedangkan aku tidak ingin melihat wajahnya ada disini.
"Biarkan aku sendiri, pergi sana, aku tidak mau berbicara sama kalian." Bentak diriku, lalu mereka pun diam tanpa suara sama sekali. Tetapi aku masih bisa mendengar gurauan mereka seperti apa di balik pintu kamarku. Usai surat itu ada di telapak tanganku, sungguh aku tidak ingin membukanya lagi, bahkan meniatkan diri untuk membacanya sekalipun mungkin aku sudah tidak bisa.
Pada esok harinya, aku sudah tidak lagi mendengar suara panggilan dari Dio. Kurasa pria itu sudah benar-benar pergi dan menganggap keadaanku masih belum pulih, atau bahkan dia yang sudah tidak membutuhkanku untuk bekerja di toko kuenya lagi? Baiklah, aku tidak ingin berdiam di dalam kamar seharian tanpa kejelasan yang pasti. Seseorang mungkin ada yang ingin mengetuk pintu kamar ini dan masih menganggap bahwa aku belum siap untuk datang menemui mereka.
Air mataku saat ini sudah mengering, dua hari semenjak berita meninggalnya Tony itu kuterima. Aku melewati cela dunia baruku, dan membuat hidup agar tetap kembali berjalan. Buat apa berdiam di dalam kamar menatap jendela pintu seakan berharap akan kedatangannya? Sekali lagi, pria itu ialah masa lalu, dan benar-benar masa lalu yang tak seharusnya terus kuingat-ingat, lagipula dia sudah tak ada lagi. Aku harus mampu melangkah untuk perubahan yang pasti, dimana semua letak kepastian itu ada pada diriku sendiri.
"Amel? buka pintunya sayang, mau sampai berapa lama kamu terus dikamar melulu, ayo datanglah pada kita semua, makan malam sudah siap. Ibu tidak mau lagi mengantarimu makanan ke dalam kamar. Dan berhentilah bersikap seperti bayi." Tegas ibuku saat beberapa kali mengetuk pintu kamarku. Seketika teguran itu langsung mengubah pikiranku, diriku bergegas untuk bersiap-siap menghampiri mereka. Seperti kali pertama diriku mendatangi sebuah kerumunan baru, dimana harus memasang wajah malu dan grogi meskipun mereka semua ialah keluargaku sendiri.
"Ohh betapa malangnya dirimu, wajahmu terlihat semakin kusut. Apakah karena meninggalnya pacarmu bisa membuatmu tak betah hidup lagi di dunia ini? Benar begitu?" Ungkap tante Anik yang bernada seperti menghakimiku.
"Sudah sayang stop jangan membawa keributan di meja makan." Tepis paman Farid.
"Mau bagaimana lagi? Seharusnya dia sadar bahwa lelaki diluar sana itu masih banyak. Umur kamu juga masih terlalu mudah untuk pacaran. Ini tidak seperti saat kamu kehilangan nenekmu, ini justru jauh lebih parah." Ungkapnya.
"Sudah tante," Tepisku, dan mereka semua pun terdiam.
"Oke sekarang makanlah," Ujar ibu.
"Kenapa sih kalian itu benci banget sama Tony? memangnya apa salah pria itu? Dan di luar hubungan kami, dia adalah orang yang baik, orang yang selalu setia dan menolongku berkali-kali. Apa kalian pernah mengalami kisah percintaan pertama kalian? Coba pikirkan apabila orang yang pertama kali jadi kekasih kalian sudah gak ada?" Kataku terus terang.
"Aku juga berhak merasakan dan mengalami kisah cinta pada masa-masa muda, apa kalian tidak pernah seperti itu? Omong koson, Tony pria yang baik, dia tidak pernah menyakitiku sedikitpun." Timpaku.
"Cukup sudah, kamu ini bicara apa sih?" Balas ibuku, Jojo sampai tak nafsu makan setelah kami berdebat di meja makan.
"Oke, maaf bila ibu tidak terlalu berpikir serius perihal hubunganmu dengan Tony, bukan berarti ibu tidak menghormati kisah romansamu. Bukan, tapi ibu lebih punya pandangan yang pas buat kamu ketika kamu dekat dengan Dio, kurang apa coba pria itu?" Ules ibuku, tante Anik langsung semringah.
"Aku tidak mau bercinta lagi, titik." Tegasku. Paman Farid dan pak Irwan mengangguk.
"Bagus, tante sutuju."
"Tapi aku minta jangan mendesakku untuk memilih Dio, dan jangan gunakan kesempatan ini untuk membuatku menjadi bingung untuk memilih. Dio sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri, dia partner kerja yang baik, aku sangat cocok bila bekerja bersamanya." Kataku, sambil menatap mereka semua yang fokus menyoroti disetiap ekspresiku.
"Dan aku ingin menggunakan masa mudaku untuk terus bekerja, tanpa memikirkan yang lain, apalagi perihal resolusi dan impian-impianku ditahun ini. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk mampu mewujudkannya." Imbuhku. Lantas mereka semua tersenyum dan percaya. Mungkin ini ialah jawaban atas semua bentuk kebimbangan yang ada. Meskipun hatiku masih merasa sepi dan kosong, kenangan-kenangan masa lalu bersama Tony seketika hanyut tak tersisa, entahlah.
Pada esok paginya, Dio mengunjungi rumahku, pria itu mengetuk pintu masuk saat diriku hendak memasang sepatu kets imitasiku. Dia masuk dan tersenyum melihatku jongkok dihadapannya.
"Sudah siap untuk bekerja lagi?" Tanyanya, aku tersenyum sambil berdiri.
"Siap, semuanya sudah kembali seperti semula." Kataku, lalu kamipun berangkat ke toko kue Dio's bakery begitu pagi. Aku harus lebih semangat, aku harus lebih percaya diri untuk menghadapi lembaran hidup baruku. Dunia tak kan berbeda bila kujalani hariku-hariku bersama Dio, partner terhebat yang pernah kumiliki selama ini. Kuharap nanti kami mendapatkan banyak pesanan kue, agar Dio merasa senang dan kami bisa bekerja hingga larut malam. Tentunya tanpa merasa bosan dan letih, tak ada kata letih dalam hidupku kali ini, sudah saatnya aku lebih bersikap dewasa.
Jumlah pesanan pada buku nota Dio cukup padat dan banyak, Keyra mendata satu persatu pelanggan yang telah memesan lebih awal, tentunya kue-kue tersebut harus sudah dalam proses dan akan berlanjut pada pesanan berikutnya. Bagas terlihat sedang sibuk mengecek kestabilan mobil van. Mobil itu perlu perawatan rutin selama seminggu sekali. Dio menyuruhku untuk membawa beberapa lusin kue yang hendak siap dikirimkan pagi ini, dan betapa terkejutnya diriku saat itu melihat mama Merlyn bertengger tepat disamping kursi pelanggan, beliau mengamatiku dari jarak kurang dari dua meter.
"Astaga, mama?" Kejutku, beliau lantas tersenyum lebar saat aku mengetahuinya, dan spontan kami langsung berpelukan karena sekilan lama aku tak pernah bertemu dengan sosok Ibu tiri dari Almarhum Tony. Kulihat Dio juga ada disana, mengernyit seakan heran dengan sosok tamu yang berinteraksi denganku, namun Dia seketika hilang dari jendela toko.
"Saya turut berduka cita atas meninggalnya Tony," Kataku yang sungguh tidak stabil dan rasanya begitu amat berat dan menyakitkan.
"Iyah Mel, mama mengerti," kamipun duduk pada kursi pelanggan outdoor. Bagas kuberi aba-aba supaya dia mengatasinya sendiri, aku perlu waktu untuk menjeda diriku dari pekerjaan sebentar.
"Ada apa mama datang kemari? Bagaimana bisa mama tahu aku ada disini?" Tanyaku.
"Dari ibumu, baru saja mama mengunjungi rumahmu, dan ibumu berkata kalau kamu bekerja di toko ini." Ungkapnya, lantas aku terdiam sambil merunduk.
"Amel,___ mama datang kesini untuk minta maaf sama kamu, jujur mama tak tahu lagi harus bagaimana, yang jelas mama seharusnya malu berada dihadapanmu seperti saat ini." Ungkap beliau, nadanya begitu lemas dan penuh penyesalan.
"Tidak ma, mama tidak salah apa-apa kok, kenapa harus malu ma? Justru Amel senang bisa melihat mama kembali." Kataku, dan mama Firly tersenyum.
"Yahh, mama juga senang bisa kembali melihatmu disini. Semuanya terjadi begitu mendadak, dan hidup seseorang semua ada di tangan Tuhan bukan? Niat mama menemuimu ingin minta maaf padamu Mel, atas segala ucapan, kebencian, serta keegoisan dari papa Anthony. Maafkan atas segala bentuk ucapannya yang tidak pantas kepadamu. Dia memang sering seperti itu, apalagi pada Tony dan mama Firly, itu semua tak berhenti sampai disitu, bahkan pada mama sendiri pun juga sama." Kata beliau.
"Yahh Amel mengerti, tapi jujur Amel sama sekali tidak merasa sakit hati, ataupun marah pada beliau. Amel selalu mengambil sisi terbaik atas segala bentuk perkataan papa Anthony." Balasku.
"Memang harus seperti itu sayang, mungkin kamu masih ingat tentang ucapan tante, bahwa papa Anthony itu pencandu alkohol, bahkan saat Tony kecelakaan dan dikabarkan meninggal, papa Anthony sudah tidak karuhan, dia sangat stress dan depresi, mungkin karena beliau menyesali atas perbuatannya selama ini pada anaknya. Mama sampai tak tahu lagi harus bagaimana, yang jelas papa Anthony ingin menitipkan pesan padamu, bahwa beliau ingin minta maaf padamu Mel." Ungkap mama Merlyn, dan entah kenapa air mataku tiba-tiba tergenang, dan seakan hendak menetes membasahi pipiku.
"Kamu mau kan memaafkannya?"
"Tentu saja ma, sungguh dari awal Amel telah memaafan apa saja yang papa Anthony ucapkan terhadapku, tapi Amel begitu kasihan atas bentuk penyesalannya terhadap Tony yang selama ini sering ia lukai." Kataku, lalu mama Merlyn pun menangis.
"Iyah, kamu benar sayang,____ Mama juga mikir seperti itu." lalu ia tenggelam dalam tangisannya, terisak-isak dihadapanku, sampai membuat Dio, Keyra, dan Bagas melihati kami berdua dari kejauhan.
"Sungguh Tony yang malang,____ usianya masih begitu mudah, dan Tuhan lebih menyayanginya untuk pulang lebih awal." Timpanya sambil kuelus-elus pundak mama Merlyn.
"Aku juga minta maaf karena tidak bisa datang ke pemakamannya." Ucapku, dan beliau menatapku.
"Tidak Mel, kamu tidak perlu minta maaf, lagi pula kamu bisa berziarah kesana bila kamu mau." Kata mama Merlyn, dan air mataku seketika menetes. Akankah aku sanggup melihat makam pria itu? Entahlah, tapi setidaknya aku harus kesana walaupun sangat menyakitkan untuk dilihat.
"Boleh, Amel mau ikut bila mama hendak pergi berziarah ke makamnya." Kataku yang membuat mama Merlyn tersenyum.
"Yahh, mama mohon doa darimu Mel, dan mama sangat lega sekali bisa ketemu kamu lagi." Ungkapnya, lalu kami berdua berpelukan begitu erat. Isak tangis yang tak kunjung henti ini membuatku kembali dalam genangan kesedihan. Dio tak bisa berkata apa-apa atas kedatangan mama Merlyn. Lalu sore itu, Dio memberiku Izin untuk pulang lebih awal. Pada dasarnya pria itu juga ingin menemaniku untuk pergi ke makam Tony, dan kuperbolehkan dia untuk ikut.
Mama Merlyn mengantarkan kami untuk pergi kesana. Berbekal buku yasin dan keranjang bunga. Kami berjalan menyusuri jalan setapak yang berkelok-kelok. Disana ada sebuah pohon kamboja putih yang berdiri kokoh, dan dibawah itulah letak makam Tony berada. Jantung dan hatiku begitu berdebar-debar, air mataku seketika menetes, dengan yakin aku memejamkan mata, berharap agar doa-doaku mampu ia dengar. Sungguh aku tak kuasa ingin mengatakan sesuatu, mungkin untuk yang terakhir kalinya aku menyadari, bahwa aku akan selalu mencintainya. Dan cinta itu akan selalu kuberikan lewat doa-doaku untuknya, sampai kapanpun dan selamanya abadi dalam kisah hidupku di dunia ini.
Selesai.