Terkadang ada saat-saat dimana aku merasakan suatu kecemburuan ialah hal yang istimewa. Sebab aku bisa dengan mudah membenci orang lain, bahkan melupakannya begitu saja tanpa pertimbangan yang berat. Akan tetapi selalu ada penyesalan disuatu hari apa bila aku membutuhkan kehadiran seseorang itu, kehadiran yang dapat menemani kesendirianku. Entah terhadap orang yang kubenci sekalipun, namun kurasa tak akan ada yang peduli. Masa bodoh memperdulikan kesendirianku. Mereka hanya takut dan khawatir, cemas apabila aku akan putus asa atau bahkan melukai diriku sendiri.
Jujur saja, aku sama sekali tak memerlukan bantuan siapapun saat ini. Yang kuperlukan hanyalah kejujuran dari setiap orang yang ingin mendekatiku. Sudah cukup sampai pada Tony yang telah menelantarkan segalanya. Merobek segala kepercayaan yang telah kuberikan padanya. Duniaku sudah berbeda sejak dulu, aku pun juga tidak sama seperti mereka. Bodoh, egois, keras kepala tertanam mendarah daging di dalam jiwaku. Hingga aku tak mengenal apakah itu cinta, apakah itu kasih sayang, yang kutahu semua itu ialah sampah, drama miskin yang patut untuk kubakar.
"Diam di situ dan jangan mencoba untuk mendekatiku." Kataku pada Dio, selagi dia ingin melangkah satu meter kearahku.
"Aku ingin menjelaskan yang sebenarnya padamu." Ungkapnya, nada itu terdengar getir.
"Lalu apa? Bagaimana dengan Luna kalau selama ini kamu selalu ada denganku?" Tanyaku, merunduk tak berani menatap wajah pria itu.
"Astaga! Ada apa denganmu? Apa kamu marah bila aku menemanimu di masa-masa terpurukmu?" Katanya menghela nafas panjang. "Tak usah berpikir aku punya pacar atau tidak. Kamu tahu? Kita berteman, setahuku arti teman yang sebenarnya ialah selalu ada dan saling melengkapi di masa-masa sulit, sampai kapanpun itu." Imbuh Dio, ucapannya membuatku berkaca-kaca.
"Maaf, seharusnya aku tidak bertanya seperti itu, aku hanya khawatir apabila diriku akan menjadi pemicu pertengkaran dan masalah baru, aku takut kalau aku akan merasa bersalah lagi." Jawabku pada akhirnya, hingga aku tak kuat lagi untuk berjalan, dan memilih berhenti, bersandar pada pilar beton di sampingku.
"Kamu sama sekali tidak bersalah Mel, berhentilah untuk menyalahkan dirimu sendiri." Katanya.
"Tidak bisa, tante-ku sering keluar rumah untuk berjualan, itu karena ide-ku, aku lah yang membuat ide usaha konyol itu untuk kebutuhan kami sehari-hari, serta niatanku untuk mengundurkan diri dari perusahaan itu juga seharusnya tak kulakukan, masa bodoh aku menuruti apa kata Tony." Ujarku, dan Dio seketika mengernyit.
"Tony? memangnya kenapa dengan dia?" Tanya-nya, lantas aku terdiam, akankah aku menceritakan semua apa yang aku pikirkan selama ini kepada Dio? Aku sudah tidak memerlukan belas kasihan darinya lagi, tapi apabila aku tetap menyimpan perasaan ini sendirian sungguh rasanya begitu muak. Dio akhirnya mendekatiku, satu meter seperti langkahnya tadi yang kucegah. Kubiarkan dia melakukannya, serta rasa khawatir yang menyelimuti di setiap langkahnya.
"Apa kamu punya masalah sama dia?" Tanya Dio.
"Entah lah." Jawabku, berat dan gugup. Angin di dalam lorong masuk dari cela jalur keluar tepat di hadapan kami dengan laju yang cukup kencang, membuat pembuluh darahku meregang dan menciptakan ketakutan.
"Kalau begitu ayo kuantar kamu pulang, kelihatannya kamu perlu istirahat." Ujarnya sambil mengajakku untuk kembali melangkah.
Pada sepanjang perjalanan itu, aku sama sekali tak bisa tenang. Memikirkan tentang diriku, keluargaku, bahkan masa depanku nanti. Waktu akan terus berjalan, bahkan aku tak punya rencana apapun untuk menyambung biaya hidupku. Tak ada penghasilan tetap yang kupegang, awal bulan ini akan menjadi nestapa yang pilu untukku. Aku akan siap menerima cacian apa saja yang akan ibu ucapkan. Entahlah, lagi pula ini semua salahku, semua berawal dari tindakan dan keputusanku.
Andai saja aku bisa memutar waktu, mungkin aku tak akan sudi berkenalan dengan Tony, atau bahkan mendengarkan omongan sampahnya yang lalu lalang mengitari pikiranku. Semua akan lebih baik apabila aku sendiri, larut dalam canda tawa teman-temanku, fokus akan pekerjaanku, membuat konten yang penuh kreatifitas sebagai hobi-ku. Entahlah, aku seperti menjalani hidup yang sebenarnya bukan hidupku, aku seperti tersesat dan tak bisa menemukan diriku yang sebenarnya. Semua jalan ini, dan apa yang kulakukan selama ini seperti dorongan yang berasal dari sisi gelapku. Dio tak akan bisa paham, sejenak aku rindu pada Eny dan Andy, bagaimanakah kabar mereka saat ini? Aku yakin sekali apabila aku menceritakan masalahku pada mereka, diriku tak akan pernah direspon, firasatku berkata bahwa pertemanan kami sudah cukup sampai pada perpisahan itu. Mereka sedang berapi-api mengejar karir, berbeda jauh denganku yang tak punya rencana apapun.
Saat laju sepeda motor Dio semakin kencang, aku tak berani untuk melepaskan genggaman tanganku pada balik tubuhnya. Membuat perjalanan kami berangsur cepat, dan tak terasa sudah sampai pada gapura perkampungan kami.
"Masuklah, lalu istirahatlah." Ujar Dio seusai aku menuruni motornya.
"Apakah kamu kembali ke tokomu lagi?" Tanyaku, Dio mengangguk. Sebenarnya aku benci sendirian, jika aku pulang dan bertemu dengan ibuku, menetap di sana tanpa melakukan aktivitas apapun itu sungguh begitu menyakitkan.
"Sekali lagi aku minta maaf soal tadi." Kataku, kulihat Dio tersenyum sedang.
"Tak usah minta maaf, kamu gak salah kok." Ujarnya, sesingkat itu bahkan aku ingin mencari pertanyaan lain untuk sekedar berdiri lebih lama lagi di hadapannya.
"Tapi setidaknya aku tak seharusnya berkata seperti itu Dio." Ujarku. "Asal kamu tahu, aku tipikal orang yang tak suka sendirian." Imbuhku, dan kembali menatapnya.
"Aku takut bila sendiri di dalam rumah, lalu bertahan dalam kegelapan, menyaksikan tirai yang bergoyang-goyang diantara warna abu-abu pekat, membuat perasaanku tersiksa, itu terlalu menyakitkan dengan adanya kenyataan yang kuterima saat ini." Ungkapku, Dio berniat untuk menuruni motornya, hanya demi menenangkanku. Wanita jelek yang serba kebingungan, entah sampai kapan aku menerima respon belas kasih seperti ini? Pria itu nampak panik bukan main saat kuungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. Genggaman kedua tangannya mendarat pada kedua pundakku, dan dia menatapku lekat-lekat.
"Hey,___kamu tidak sendirian," Ulesnya dengan begitu kalem. "Ada aku di sini, jangan takut, hidupmu tak seburuk yang kamu pikirkan, semuanya akan baik-baik saja." Imbuh Dio, diriku tersenyum dengan amat terpaksa.
"Yahh, tapi kenyataannya tak seperti itu." Enyahku, Dio mengernyit. "Dunia begitu rumit bukan? Apakah kamu tak pernah merasakan apa yang aku rasakan?"
"Apa?____" Tanya Dio.
"Maksud-ku, tentang hubungan keluargamu, pertemananmu, atau bahkan asmaramu." Kataku, lalu Dio melepaskan kedua tangannya dari pundakku.
"Aku pernah mengalami kehilangan yang amat berat, seperti apa yang telah kuceritakan dulu padamu, mengenai Almarhum ibuku, bahkan terkadang itu sangat menyedihkan bila masih kuungkit-ungkit. Namun terlepas dari itu semua, aku menjadikan waktu keterpurukan itu sebagai sumber inspirasi, dengan begitu aku bisa menekuni apa yang selama ini ibu berikan padaku. Tanpanya, mungkin aku tak bisa membuka toko itu, atau bahkan berdiri pada titik sejauh ini. Tapi dengan melihat ibumu, beliau mampu mengingatkanku padanya, oleh karena itu aku begitu menyayangi-nya, bahkan ibumu sudah kuanggap seperti ibuku sendiri, dan kamu sebagai adikku yang seharusnya untuk kulindungi." Ujar Dio.
"Dengar Mel, jangan pernah menganggap bahwa kamu akan sendirian, panggil saja aku kalau kamu butuh teman, atau minta-lah apa saja yang sekiranya perlu untuk kubantu, mengenai pekerjaan, tak usah khawatir, anggap saja toko itu ialah toko-mu juga. Kita harus berjuang bersama-sama menjalani masa sulit ini." ungkapnya panjang lebar, diriku begitu terharu mendengar apa yang telah dia katakan. Hingga aku tak punya pilihan lain, tanpa ragu kupeluk tubuh pria itu. Sejujurnya sejak dulu aku benci menjadi anak pertama, anak dimana akan menanggung beban adik-adiknya kelak. Namun kini berada dalam pelukan pria itu, aku merasakan bentuk kehadiran seorang kakak yang mampu melindungiku, meskipun sebenarnya dia bukan siapa-siapa.
"Oke, semua kini terasa hangat." Kataku usai kami saling berpelukan. "Aku berharap kita bisa selalu seperti ini." imbuhku.
"Kita akan selalu seperti ini, lagi pula mana ada kakak yang ingin melihat adiknya sedih?" Ujarnya, lantas aku tertawa sedang. Benih-benih kepercayaanku mulai bangkit, melihat wajah kalem pria itu yang semakin lama semakin nampak begitu mempesona. Aku suka melihat senyum pria itu, dengan pony rambut menyamping dan ada sehelai rambutnya yang tunduk kebawah melintasi lekuk alis tebalnya.
Sesekali diriku memejamkan mata hanya sekedar untuk menangkis apa yang sebenarnya kupikirkan. Berharap supaya Dio tak lebih dari Tony. Menurutku untuk saat ini aku perlu untuk menenangkan diri lebih jauh, tak bergantung pada setiap wajah manis seorang pria. Bisa dikatakan akhir-akhir ini diriku begitu mudah untuk tergoda, namun selagi aku tetap mempunyai pikiran logis dan jernih, aku tak akan membiarkan diriku menjadi wanita murahan.
Hidupku yang terbengkalai oleh Tony sudah cukup menyayat harga diri dan perasaanku. Kali ini di rumah ibu, aku mengambil ponsel dan berani untuk menghapus nomor kontak pria itu. Kupejamkan mataku untuk melupakan segala ingatan terhadapnya. Menggantungkan impianku dalam permasalahan tiada akhir, kini aku lega dengan kesendirian, hening tanpa adanya provokasi. Aku terpejam dalam balutan selimut kusut, dengan pikiran kosong tanpa dambaan dan ingatan masa lalu. Namun ada satu hal yang selalu menghantui ingatanku, kenyataan yang tak seutuhnya dapat dibenarkan, bahwa saat ini aku bukanlah anak pertama.
Malam-malam sulit telah kulewatkan begitu saja, tak terkecuali dengan tirai pada dinding abu-abu pekat itu. Kurasa dia mengejekku, lalu aku mendekat padanya, persis berada di ruang tamu ibuku. Kedua tanganku membuka cela tipis pada tirai itu, dan munculah semburat cahaya matahari masuk menyinari seluruh ruangan rumah ibuku. Nampaknya di luar sana ada seorang tamu, berpakaian rapi seperti hendak pergi ke suatu tempat. Pria itu tak sengaja menatapku, tersenyum manis di luar sana.
"Mau berangkat ke toko?" Tanya Dio, diriku pun tersenyum.
"Sulit dipercaya, dio's bakery buka sepagi ini." Singgungku, mata Dio berkedip begitu menawan saat ingin mengajakku.
"Ayolah, pesanan pagi ini cukup banyak, seorang adik harus mau membantu kakaknya bukan?" Ujarnya.
"Ohh baiklah, tunggu dulu sebentar, aku siap-siap dulu." Ujarku sambil meninggalkan senyuman padanya.
"Baiklah nona cantik, kutunggu di luar sini, jangan lupa bawakan masker untukku juga, oke?" Katanya, lantas aku bergesas merapikan semuanya, nyaris tak pernah aku mendapati pagi yang penuh dengan semangat ini. Kulihat ibuku masih tertidur pulas bersama Jojo, kubiarkan mereka berdua tergeletak begitu saja. Tanpa sepengetahuan siapapun dapat membuatku jauh lebih percaya diri.
Ketika kami berada di toko roti itu, aku melihat daftar pesanan yang ditunjukkan Keyra padaku, tak ada yang bisa kuperbuat selain menunggu aba-aba dari Dio. Selama berada di sini aku tak pernah merasa akan selalu membuat pekerjaannya ringan. Lagi pula memasak sambil belajar menurutku akan memakan banyak waktu. Tapi nampaknya Dio sangat menyukai moment ini, hari-hari dimana kami menghabiskan waktu untuk mencetak kue-kue yang beraneka ragam. Dia begitu nyaman berada di sini, begitu pula denganku, hingga semuanya tak terasa melelahkan, dan waktu bergulir dengan begitu cepatnya.
"Bagas! Kamu antar sekarang juga, pesanannya sudah ready semua." Teriak Dio saat kami berdua selesai mengemas kue-kue itu dengan begitu cantik.
"Kerja bagus, kalian berdua nampak cocok sekali membuat kue bersama." Ucap Bagas, hingga kami saling menatap satu sama lain, dan Dio pun tertawa menyadari itu.
"Berhenti mengada-ngada, kita hanya satu tim." Kataku.
"Hmm, bagaimana rasanya tadi, kamu suka?" Tanya Dio, bersandar pada lemari es.
"Enak, aku suka dengan tekstur brownies-nya." Jawabku, kemudian Dio mendekatiku, sambil memberikan sehelai kain serbet padaku.
"Bersihkan dulu tanganmu." Katanya.
"Terima kasih." Balas-ku. Saat aku membersihkan kedua tanganku, aku tahu bahwa Dio masih tetap berada di sana, mengamatiku dengan sorotan mata bulatnya. Sungguh aku benci pikiranku.
"Apakah malam ini kamu tak ada kesibukan?" Tanya Dio, dan aku langsung menatapnya.
"Memangnya ada apa?" Tanyaku mengernyit.
"Emm, aku hanya ingin mengajakmu ke pasar malam, hanya untuk melunasi sepatu milikmu." Katanya, lantas aku berpikir dan tak bisa menjawab dengan mudah. Jujur itu sangat membingungkan dan membuatku canggung. Pasalnya aku tidak pernah berpergian dengan Dio di malam hari, apalagi dengan tujuan ke pasar. Untuk apa kami ke sana? Selain akan menambah daftar penularan covid yang kini selalu bertambah.
"Tidak, aku sangat phobia dengan tempat ramai untuk sementara waktu ini." Kataku, lalu Dio pun tertawa.
"Kata siapa? Sekarang sudah tidak ramai lagi." Singgungnya.
Bersambung...
Berlanjut ke Chapter 62...