Chapter 60 - Bab 60

Sabtu, 02 Mei 2020.

Aku duduk pada sebuah kursi di ruang tunggu pengunjung yang telah tersusun rapi di samping-ku. Tepat dihadapanku terdapat sebuah tenda besar tempat dimana pasien Covid 19 di rawat di rumah sakit. Hatiku tak bisa dibendung lagi saat melihat nenekku terbaring di sebuah ranjang dengan oksigen serta balutan selang infus yang terpasang pada tangan kanannya. Ini sungguh miris, air mataku tiada henti untuk menetes, tak tega melihat raut wajah di setiap pasien-pasien yang dirawat di dalam sana. Tiap kali Dio menenangkanku, seakan rela menghambiskan separuh waktunya untuk sudi menetap di sini.

Bisa dikatakan bahwa kami menjalani masa-masa di bulan puasa dengan penuh pertikaian. Rumah nenekku sekarang nyatanya sudah tidak nyaman. Tetangga-tetangga kami menjadi was-was dan takut terhadap bentuk penularan yang diawali dari kedua keluargaku. Seakan sudah tak saling percaya, membuat kegiatan ibadah kami menjadi terganggu, bahkan untuk keluar rumah saja sorot mata mereka bagaikan teror. Mentalku masih belum siap apabila hal-hal terburuk akan terjadi di kedepannya, yang bisa kulakukan hanya pasrah, memendam emosi dan amarah saat cela opini masyarakat bergeming bagaikan gemuru ombak. Diriku terbungkam tak bisa lepas, terdiam mematung di pojok permasalahan.

Semenjak nenekku dan tante Anik dijemput oleh pihak medis, rumah nenek sudah bagaikan penjara, tempat kediaman yang tak akan menerima sentuhan siapapun, terpandang sebagai lokasi yang berbahaya, tercoreng pada zona merah, sehingga membuat paman Farid merasa terancam, berdiam didalam rumah tanpa adanya bantuan apapun.

Setiap sore aku mengunjungi paman, memberanikan diri tanpa desakan dari orang lain. Kulakukan hanya untuk memberi mereka makanan. Aku ingat pada Nino serta paman Farid yang masih pengangguran. Di rumah ibuku setidaknya terdapat makanan yang lebih dari cukup, maka tidak mungkin aku membiarkan mereka mati kelaparan di dalam penjara itu.

Tiap kali saat aku menginjakkan kaki di sana, hatiku miris, aku hanya bisa meletakkan makanan itu diluar teras, kemudian kutelpon paman Farid agar keluar dan mengambilnya. Dari dulu keluarga Sandro sebenarnya sudah paham akan kondisiku, mereka ialah tetangga yang baik, tetangga yang bisa menutup-nutupi kecurangan yang kami lakukan. Bentuk kemanusiaan semestinya timbul apabila rela untuk masuk di zona merah hanya demi menyambung hidup seseorang.

"Bagaimana dengan Nino? Kita tidak bisa berlama-lama meninggalkannya di rumah sendirian." Kataku pada paman Farid. Beliau duduk di samping kiriku, dan Dio duduk di samping kananku.

"Tenang saja, biarkan dia di sana sendiri." Katanya, lemas tak bertenaga.

"Aku tidak bisa melihat tante Anik dari sini. Dimana dia?" Tanyaku, "Apakah kita boleh meminta pihak rumah sakit untuk menempatkannya di area luar seperti nenek?"

"Tidak bisa, peraturan tetap lah peraturan, pasrahkan saja pada pihak rumah sakit. Kita seharusnya bersyukur bisa melihat keadaan mereka diluar tenda, sedangkan banyak dari mereka dirawat di dalam rumah sakit tanpa adanya kunjungan dari keluarga." Ujar paman Farid, sebenarnya ketika awal nenek dan tante Anik terjaring rapid. Ada rentan waktu satu minggu mereka menerima panggilan untuk tes Swab. Paman Farid kebetulan mengantarkan mereka berdua untuk menjalani tes tersebut, tanpa sepengetahuan-ku atau bahkan pihak manapun.

Mengutip dari keterangan yang ada pada saat itu, bahwa peraturan bagi warga asli penduduk kota ini akan menerima uji tes Swab geratis dengan estimasi rawat inap di dalam ruangan khusus yang tertutup tanpa adanya pengunjung dan keluarga yang ingin menjenguk. Namun hal itu tak berlaku apabila Swab dengan harga senilai dua juta rupiah terbayarkan, dan dapat menerima fasilitas rawat inap di dalam tenda yang kini telah diberikan khusus untuk pasien pengidap Covid. Oleh karenanya kami bisa melihat keadaan mereka dari kejauhan, memantau akan perkembangannya, serta senantiasa memberikan support secara utuh dan transparan.

"Sejak awal berada di sini, aku sebenarnya ingin menanyakan satu hal pada paman, terkait penyakit bawaan nenek, serta kemungkinan pada tante Anik, apakah mereka punya riwayat hal semacam itu?" Tanyaku dengan ekspresi getir di samping pamanku. Kemudian kedua tangannya membuka lipatan dari laporan tes darah yang mengungkap gejala penyerta yang dialami mereka berdua. Kulihat sudah lama laporan itu berada pada genggaman paman Farid

"Nenek-mu memiliki kesamaan riwayat penyakit seperti almarhum ayahmu, liver dan asam lambung." Ujar-nya, dan badanku seketika menggigil mendengar ucapan itu. Teringat bahwa diriku yang sering telat makan, dan tak konsisten dalam menjaga kesehatanku. Apakah aku juga akan rentan mendapatkan keadaan yang sama? Aku tak berani memikirkan hal itu, yang dapat membuka jalan masalah pada kesehatanku.

Ketika salah satu dokter keluar dari tenda pasien, kami melihat aktivitas di dalam sana yang nampak tenang dan damai. Dokter itu rupanya membawa tante Anik untuk ditempatkan di dekat ruangan nenekku. Sehingga kami bertiga dapat melihat mereka dari jarak kurang lebih lima belas meter. Seorang suster masuk ke dalam tenda untuk memberikan asupan makanan, aku berharap kalau nenek bisa melihat kehadiran kami. Ketika pamanku berdiri dari kursinya, tangan kanannya melambai-lambai kearah nenekku. sorot mata nenek langsung teralihkan, menatap kearah depan, tersenyum lebar, semringah dari balutan wajah kusut dan lusuhnya. Kami bertiga akhirnya bisa melihat senyum indah nenekku. Aku pun takjub sekaligus terharu, sungguh aku ingin memeluknya, tapi itu hal yang mustakhil. Setidaknya kami masih bisa besyukur untuk dapat menemani sampai makanan itu benar-benar habis di dalam perutnya, lalu kembali memastikan beliau beristirahat lagi.

Hari semakin siang, kami bertiga memilih untuk beranjak meninggalkan rumah sakit. Seorang dokter selaku petugas pemetaan untuk warga yang terjerat ODP seketika menghadang kami. Memintai keterangan beserta informasi lengkap tentang nenek dan tante Anik. Rapid test massal itu akan diadakan kembali minggu depan, dengan proses pendaftaran melalui puskesmas terdekat sesuai akta domisili kami. Mereka melakukannya untuk kebutuhan pemetaan wilayah serta penentuan zona berbahaya di seluruh kota ini.

Kami pun telah diberi label oleh mereka sebagai orang dalam pemantauan. Entah apa yang akan terjadi pada kami selanjutnya. Yang kupikirkan hanya pada kondisi nenekku, nyaris tak kupikirkan mengenai kondisiku. Apabila aku tetap berada di dalam rumah ibu, bisa jadi ibuku akan masuk dalam daftar ODP, sehingga membuat kami semua akan menjalani rapid test.

"Saran saya kalian diwajibkan untuk tinggal di dalam rumah sampai menunggu rapid test ini berjalan minggu depan. Sebab semua orang bisa saja masuk dalam OTG, dan khasusnya juga cukup banyak yang seperti itu." Ujar salah satu petugas gugus penanggunlangan virus covid di rumah sakit tersebut. Aku mengangguk sambil tersenyum.

"Yah, ini hanya kali pertama kami mengunjungi nenek dan tante saya." Ujarku, dan paman Farid seketika melepaskan helai surat hasil tes darah nenekku dan menunjukkannya pada petugas itu.

"Apakah melakukan rapid test di saat kondisi ada yang tidak stabil, terlepas dari gejala-gejala umum penderita covid, bisa menerima hasil yang reaktif begitu saja? Ibu mertua saya mempunyai penyakit bawaan asam lambung, yang saat itu kondisinya sedang kambuh, dan hanya karena itu saja, apakah mertua saya bisa reaktif dengan begitu mudahnya? Dan sekonyol itukah hasilnya?" Ujar paman Farid dengan nada emosi.

"Tidak Pak, hasil tes tersebut sesuai dengan uji laboratorium yang telah ditetapkan oleh rumah sakit, bahkan hasil swab istri dan ibu mertua bapak menunjukkan hasil yang positif. Oleh sebab itu kami menyarankan kalian agar tetap berada di dalam rumah, sambil menunggu rapid test yang akan diselenggarakan minggu depan." Ujar pertugas tersebut. Kemudian diriku mencoba untuk menenangkan paman Farid, menjauhkannya dari kerumunan petugas tersebut.

"Haha, rencana kalian seperti sudah terorganisir, peraturan macam apa lagi nanti? Yang menetapkan pasien dari hasil swab geratis dan berbayar akan dibeda-bedakan. Asalkan tempatnya di tenda seperti itu secara geratis mungkin saya akan mau mengikuti rapid, tapi kalau sampai dua juta terbayar untuk yang kesekian kalinya saya tidak akan sudi." Ujar paman Farid. Aku sungguh tak punya cara lain lagi untuk menenangkan beliau. Sekujur tubuku bergemetar tak habis pikir akan berdebat dengan petugas medis.

"Sudah paman cukup, lebih baik kita pulang saja, masalah itu biar kita rundingkan dirumah, oke? Lagi pula mereka hanya menjalankan prosedur rumah sakit, kita sebagai pasien memangnya bisa apa?" Ulesku, lantas paman Farid membantahku.

"Tidak begitu Mel, memangnya kamu mau nasib kita sama seperti nenekmu? Kita tak akan pernah tahu hasil kita akan positif atau tidak, dan bakal dirawat di tenda atau di dalam. Memangnya kamu tahu bagaimana cara pihak rumah sakit menangani pasien covid di dalam sana? Buktinya sampai saat ini mereka banyak yang mati." Ujar paman Farid. Seorang petugas security langsung menghampiri kami, sampai diriku tak berani lagi untuk berbuat lebih.

"Permisi pak, bu, mohon untuk lebih tenang, di sini ialah wilayah steril, mohon jangan ribut." Ujar petugas itu, kami menjadi terdiam tak berani berkutik apapun, gertakan yang baru saja terucap membuatku menggiring paman Farid untuk keluar dari rumah sakit. Waktu kami sudah cukup lama menemani nenek, dan ini adalah waktu yang tepat bagi kami untuk pulang. Aku tak ingin membiarkan keluarga ku terlarut dalam emosi, lembaran hasil tes darah milik nenek seketika dirobek-robek oleh pamanku, tak terkecuali lembar pendaftaran rapid test yang baru saja kami peroleh dari petugas tadi. Aku tak ingin menatap kearah pengunjung yang datang melintas, nyaris tak ada satu pasang mata yang menepis kelakuan kami, seakan seperti pusat perhatian, dan aku benci hal itu.

Sesampai kami berada di lorong parkiran sepeda motor, aku seketika sadar bahwa Dio masih setia menggenggam tangaku begitu erat. Laju kami menuju perbatasan antara jalur keluar dan masuk akhirnya terhenti. Kulihat Dio nampak kecapekan sambil bernafas megap-megap

"Lebih baik kamu menginap di rumah ibu-mu saja, jangan pedulikan rapid test sampah itu." Ujar paman Farid

"Lalu, bagaimana dengan paman?" Tanyaku.

"Sudahlah, tak usah khawatir, paman bisa hidup sendiri walau tanpa dirimu yang selalu datang di pagi atau sore hari." Jawabnya, nada suara pamanku masih terdengar emosional. Aku masih tidak percaya kalau dia bisa hidup sendiri di rumah nenek.

"Bagaimana dengan Nino? Apakah paman bisa merawatnya sendirian? Di saat tante Anik yang tidak ada di rumah, dan paman yang masih pengangguran." Kataku.

"Paman akan sanggup, kamu bisa lihat sendiri? Apakah pamanmu ini dalam keadaan sakit-sakitan? Paman masih sehat, dan masih bisa bekerja di luar sana, tak perlu kamu memikirkan apa yang dikatakan oleh mereka." Kemudian setelah itu paman Farid memutuskan untuk pergi meninggalkanku, mengendari motornya menuju ke rumah nenek. Pada setiap gestur gerak-geriknya menunjukkan bahwa dia masih marah.

Perasaanku begitu sedih dengan kenyataan ini, berdiri pilu di dalam lorong parkiran dengan seorang pria yang nampak kebingungan, entah apa yang akan Dio perbuat kedepannya. Aku menatap kearah pria itu, dia mengernyit seperti orang yang tak tahu apa-apa.

"Maafkan aku." Kataku, sambil mengusap air mata yang telah membasahi pipiku. "Aku telah membawamu ke zona yang berbahaya ini." Lalu dia tersenyum tipis.

"Aku tidak peduli, semua sudah terjadi, maka mau tidak-mau dijalani saja." Ujarnya.

"Tapi sebelumnya kamu masih bisa aman apabila tak sudi berada di setiap perjalananku. Akibatnya, kamu juga terindikasi sebagai ODP." Kataku.

"Bodoh amat, aku setuju dengan pendapat pamanmu, dan kurasa pamanmu sangat tegas, tak usah dipikirkan, biarkan mereka menganggap seperti apapun itu, anggap saja bahwa semua ini tak terjadi apa-apa." Ungkap Dio. Aku terdiam sambil merunduk, lalu kedua tanganku dilepaskan olehnya.

"Ayo kuantar kamu pulang ke rumah ibumu, sesampai disana langsung istirahat saja, tak usah memikirkan peristiwa tadi, aku harap nenek dan tantemu akan segera sembuh." Katanya, kami berdua berjalan, menyisiri tepi lorong parkiran yang panjang, mencari kendaraan Dio yang terparkir cukup jauh.

"Sebenarnya aku sudah pesimis terhadap kondisi nenek dan tanteku." Kataku. "Apa kamu masih menganggap hasil tes darah itu sepele? Asam lambung nenekku kambuh, dan itu akan sulit baginya untuk bisa sembuh." Lalu Dio menghela nafas panjang.

"Kamu bicara apa sih Mel? Masih belum cukup dengan ucapan bentakan dari paman-mu tadi? Kamu jangan seutuhnya percaya dengan hasil tes tersebut, selama ini pamanmu yakin bahwa nenek dan tante-mu itu sebenarnya masih sehat, mereka juga pasti akan sembuh." Ujar Dio.

"Jadi kamu menganggap bahwa semua ini hanya permainan mereka?" Tanyaku dengan gusar, Dio pun terdiam.

"Entah lah, tapi kalau kamu terus menerus memikirkannya, yang ada nanti kamu makin stress, itu juga dapat membuatmu sakit." Katanya.

"Dio." Panggilku ragu, pria itu pun langsung berhenti.

"Ada apa?" Tanya-nya, mengernyit dan penasaran.

"Apa alasanmu yang membuat dirimu selalu ada di sampingku? Padahal kamu sudah punya Luna." Kataku yang tiba-tiba terucap begitu saja. Nafas Dio mulai tak stabil, hingga aku bisa melihat kucuran keringat di dahinya.

Bersambung...

Berlanjut ke Chapter 61...