Terkadang di setiap ketakutanku terdapat cela untuk putus asa dimana diriku tak bisa menghindarinya. Bayang-bayang ingatanku berkata untuk memendam ketakutan itu, tak bisa lupa begitu saja. Saat aku kehilangan ayah kandungku, duduk di bangku SMP dan menerima kenyataan pahit itu. Setiap kali angin yang meniup dan menerjangku seolah mampu memecahkan setiap pembuluh darahku.
Hilang, berubah seketika menjadi ancaman, kini aku tak bisa berbuat apa-apa selain diam dan menerima kenyataan serupa. Aku benci saat-saat ketika kejutan itu datang untuk melukaiku. Dimana saat-saat itu aku tak bisa melaluinya sendiri, atau katakanlah menjalaninya dengan satu orang yang tak bisa berbuat apa-apa.
Dulu ibuku memelukku dengan begitu erat, tiap malam aku dinyanyikan lagu jawa yang selalu dia suarakan dengan lembut. Saat ayahku masih ada, nenekku lah yang mengajarkannya pada ibuku. Nenek dari almarhum ayahku yang kini memukul perasaanku, sebab aku tak ingin kehilangannya.
"Bagaimana itu bisa terjadi?" tanyaku pada paman Farid, syok, bahkan Dio sampai tak mau masuk ke dalam rumah, dia hanya berdiri diambang pintu seakan bersembunyi.
"Apa kamu lupa? Soal tante Anik yang tiap hari berpergian untuk menjual dagangannya?" Jawab paman Farid datar, nadanya seakan tak bisa dibendung lagi. Nafasku mulai terhembus megap-megap, stamina-ku seketika terkuras habis. Aku memegangi almari buffet untuk menahan kakiku yang gemetaran.
"Ohh, sulit dipercaya, tapi bagaimana bisa?" Udara senyap mengisi di setiap ruangan ini, memecahkan bongkahan warna dan kedamaian yang selama ini bertahan di dalamnya. Kulihat wajah paman Farih sungguh napak berat. Aku pun juga merasakannya serupa.
"Seminggu yang lalu tante-mu terkena razia test massal saat berjualan di pasar, paman juga baru mengetahui hal itu saat pihak medis menjemput tante-mu di sini." Aku geleng-geleng kepala seakan tak percaya.
"Lalu bagaimana dengan nenek?" Tanyaku, kemudian paman Farin berjalan, tak lagi bersandar pada cela jendela itu. Gerak-geriknya nampak linglung seperti orang yang sedang mabuk. Kursi pada meja makan itu dia tarik keluar, dan beliau duduk di atas kursi kayu itu. Tangannya menggenggam erat diatas meja makan, sambil meremas gulungan tisu.
"Entah lah, mungkin nenek-mu juga ikut terjaring razia tersebut." Dadaku mulai terasa sulit untuk bernafas, sungguh aku sudah tidak bisa lagi untuk berfikir, bahkan untuk berdiri saja aku sudah tidak sanggup. Mengingat nenek, dengan usia yang amat rentan sepertinya, aku tak bisa meyakinkan diriku sendiri kalau saat ini nenekku baik-baik saja.
Di dalam sana aku bisa mendengar suara Nino, anak itu terdengar merintih di dalam kamarnya. Aku yakin sekali kalau mereka semua syok dan panik, aku pun juga begitu. Semuanya terjadi dengan cepat, kalau saja aku tidak kemari untuk mengambil sepatuku, mungkin aku tidak akan tahu kabar mengenai nenek dan tante Anik.
"Kenapa paman tidak mengabariku?" Tanyaku.
"Mana paman sanggup Mel? Paman saja juga bingung, berkata pada-mu dan memikirkan kondisi kedepannya seperti apa, yang jelas semua itu percuma." Katanya, lalu air mata pamanku menetes.
"Sudahlah, tidak usah berdebat," tiba-tiba ujar Dio, perlahan pria itu mulai memberanikan diri untuk masuk ke rumah nenekku dan berdiri tepat di sampingku. "Meskipun sekarang banyak orang yang tertular, tapi percayalah, banyak juga orang yang sembuh dari virus ini." Imbuhnya.
"Sebentar Dio, bukan begitu, dalam waktu yang dekat ini, bahkan aku belum sampai tiga hari menginap di rumah ibuku, mana mungkin tante dan nenekku terjangkit? Setahuku selama ini kami selalu memakai masker, selalu mencuci tangan, kalaupun kami berpergian itupun juga hanya berjualan di pasar, dan yang beli pun juga tak banyak." Ungkapku panjang lebar dengan kondisi pernafasan yang tak stabil. Dio sampai berkeinginan untuk menahanku, lalu aku beralih tertunduk dan bersandar pada dinding samping almari itu.
"Tapi syukurlah, nenek dan tantemu ditempatkan pada tenda yang bisa dikunjungi oleh pihak keluarga dari luar. Kita support saja mereka supaya senang dan bisa lekas sembuh." Kata paman Farid, aku pun mengernyit.
"Apakah paman sudah pernah mengunjungi mereka?"
"Kemarin, terpaksa sambil meninggalkan Nino di rumah sendirian." Jawabnya. "Satu hal yang perlu kamu lakukan, jangan pernah bawa Jojo kesini, biarkan anak itu menginap di rumah ibunya, begitu pula dengan-mu." Imbuh paman Farid, lalu aku mengangguk.
"Baiklah, aku kesini hanya mengambil sepatuku." Kataku, beralih berjalan menuju kamarku. Di setiap suara dalam rumah ini sangatlah pilu, baik tiupan angin yang menggoyah-goyakan ranting, bias cahaya yang membaur ke dalam rumah, hingga udara senyap yang membekukan seisi benda, seakan tak terjamah lagi oleh kehidupan yang damai. Hatiku begitu hancur saat memasuki ruang kamarku yang kini nampak kosong dan suram. Aku duduk diatas ranjang itu dan tanpa ragu untuk mengusap kain sprei yang ada di sana, lalu pandanganku teralihkan pada sejaring kertas menempel pada tembok usang samping lemari bajuku.
Itu tulisan resolusiku dulu yang kubuat di awal tahun, kini aku membenci resolusi itu, kini aku muak melihat dan berharap akan semua yang ada pada tulisan itu. Dengan cepat dan penuh keyakinan aku berdiri dari ranjang, melangkah dan melepas sejaring kertas itu dari tembok kamarku. Sungguh mudah sekali untuk melepasnya, bahkan juga merobeknya. Kini aku sudah tak kenal lagi dengan semua lelucon tentang impian itu. Sungguh begitu naif, dan bodohnya aku terlalu berharap.
Tony, seperti apakah lelaki itu? Apakah aku mengenalnya? Apakah aku masih jatuh cinta padanya hingga saat ini? Aku menggenggeam dan meremas-remas kertas itu lalu kubuang lewat jendela kamarku, lantas aku seketika menangis di sana. Menangis dengan lirih dan penuh luka, betapa beratnya diriku saat mengingat pria itu kembali, bertengger di luar jendela sana dan memberiku sebingkai bunga untukku, lalu mencium bibirku.
Aku bergegas berdiri dan mengusap air mata ini kembali, membuka isi lemari-ku untuk mengambil sepatu heels yang ada di sana. Sepatu itu masih dalam keadaan bagus, terakhir kali aku menggunakannya di saat diriku mengikuti acara perpisahan SMA bersama Eny di gedung Empire Place. Inilah saatnya untuk pergi menghampiri Dio, aku yakin sekali Luna pasti menyukainya.
"Paman," panggilku saat kembali berada di ruang tamu. "Kalau ada rencana menjenguk nenek, kabari aku yah? Aku juga mau ikut." Imbuhku. Kemudian paman Farid tersenyum tipis sambil mengangguk.
"Iya, tolong jaga dirimu baik-baik di sana, rawatlah Jojo supaya dia baik-baik saja, paman sarankan supaya berhenti untuk berjualan, diluar sangat berbahaya, carilah saja usaha sampingan yang lain." Ujar paman Farid, Dio seketika dibuat heran oleh ungkapan itu
"Benar Mel, jangan dulu seperti itu, bukannya saat ini kantormu masih dalam kondisi lockdown?" Tanya Dio.
"Dia sudah tidak bekerja lagi di tempat itu." Sahut paman Farid, kemudian aku terdiam, tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya merunduk menyadari betapa terpuruknya nasib kami saat ini.
"Oh-ya? Tunggu, katanya kamu sedang diliburkan? Bukannya begitu?" Tanya Dio dengan ekspresi terkejut, dan diriku dengan berat menatap wajah pria itu yang nampak muram melekat pada setiap sudut matanya.
"Maaf Dio, aku berbohong, nyaris 3 minggu ini aku sudah tidak bekerja, aku keluar dari tempat kerjaku." Kataku.
"Kenapa?" Tanya-nya, dan diriku menelan ludah dengan amat susah payah.
"Aku kena PHK." Lantas Dio menghembuskan nafas panjang sembari mendekatiku.
"Astaga Amel, kenapa kamu tidak bilang?" Ujarnya dengan lirih, hingga tanpa kusadari pria itu langsung memeluk diriku, pelukannya sangat erat sambil mengelus-elsus kepalaku, sampai benih air mataku menetes kembali, terbenam di dalam sana, dan teringat kehadiran Tony lagi. Ada apa dengan dia? dan kenapa pula aku selalu mengingatnya? Aku membalas pelukan itu serupa, seakan tak ingin terlepas dari Dio, namun pelukan itu hanya bergulir beberapa saat saja, memilih menyorot gambaran wajahku. Semuanya nampak semrawut, kedua pipiku penuh oleh lumuran air mata, hingga secara terpaksa aku menepisnya, dan langsung mengusapi setiap tetesan air mata yang mengering.
"Aku pulang dulu ya paman, jangan khawatirkan Jojo dan aku, kami berdua pasti akan baik-baik saja." Kataku yang ingin berpamit padanya. Setelah itu aku pergi meninggalkan rumah nenek. Masih sedikit tidak percaya dengan bentuk kenyataan ini, entah sampai kapan keadaan bisa kembali seperti semula?
Sepanjang perjalanan itu, aku terpaksa memeluk tubuh Dio dengan begitu erat. Kini laju kendaraannya tak begitu cepat seperti waktu kami berangkat. Moment santai di jalanan kini terulang kembali, untungnya langit diatas sana mulai redup. Cahaya sinar matahari mulai tertutup awan mendung. Angin yang meniup-niup helai rambutku seakan asyik menari-nari tak ingin berhenti. Aku harus melupakan pria itu, setidaknya untuk sementara saja, atau bagaimana bila aku yang akan menghubunginya malam ini? Setahuku Dio tidak akan bisa menemaniku lagi, dan yang jelas aku tak ingin menerima kenyataan ini sendirian. Lalu bagaimana dengan ibuku? Serta Jojo? Serta pak Irwan selaku ayah tiriku? Mereka semua juga pasti akan panik dan khawatir, sebab pikiran mereka akan mengarah pada ujung batas kehidupan, antara mati atau masih bisa terselamatkan.
Hari-hari pertamaku bersama Dio mulai berakhir, pria itu menurunkanku tepat pada depan gapura pemukiman kami berdua. Dia tidak melanjutkan tujuannya untuk pulang kerumah, entahlah, kurasa dia punya banyak pekerjaan setiap hari, tak terkecuali juga jadwal kencannya bersama Luna nanti malam. Entah akan pergi kemana Dio malam ini? Ditengah situasi yang masih mencekam, namun biarlah.
"Bagaimana hari-harimu dengan Dio? Menyenangkan bukan?" Tanya ibuku ketika aku telah sampai di rumah. Dengan cepat aku langsung menarik pergelangan tangannya untuk masuk ke dalam, tepat di belakang dapur. Ekspresinya langsung getir dan heran, wajahku berubah seketika menjadi serius.
"Ada berita buruk," kataku sambil berbisik pada telinganya. "Nenek dan tante Anik positif covid." Imbuhku. Langsung mata ibuku melotot, mulutnya terbuka lebar, menghirup nafas panjang dan seketika kubungkam semua luapan kepanikan itu.
"Tenang, gak usah syok, keadaan nenek dan tante Anik sekarang baik-baik saja di rumah sakit, mereka menjalani perawatan intensif di sana, doakan saja semoga mereka bisa cepat sembuh." Ungkapku, dan bungkaman tanganku mulai kulepas dari wajahnya.
"Bagaimana itu bisa terjadi?" Tanya ibu.
"Aku juga bingung dan kaget, tapi kata paman Farid mereka berdua mengikuti rapid test saat mengunjungi pasar, dan ternyata hasilnya positif." Jawab diriku, kedua tangan ibuku mulai memegangi kepalanya, seakan tak percaya dan tak yakin.
"Yaampun, masa sihh?" ulesnya.
"Sudah tenanglah, memang seperti itulah kenyataannya." Kataku, ibuku sudah tak punya kata-kata lagi, dia hanya bisa pasrah seperti diriku. Mengingat usia nenek, itulah yang menjadi permasalahannya, sebab pada berita-berita yang sudah beredar, kebanyakan virus tersebut memakan orang yang sudah lanjut usia. Seperti sudah tak punya harapan lagi, ibuku merunduk pilu diatas kursi, memegangi kepalanya untuk berpikir keras akan semua masalah ini. Lalu aku mendekatinya dan berniat untuk mengelus-elus pundak ibuku. Rupanya dia menangis lirih di sana, bergelumuran air mata membuatku tak bisa bertahan lama untuk menemaninya. Hingga malam tiba, aku terpaku memandang langit-langit kamar ibuku. Jojo berada di sampingku sambil sibuk memainkan ponselnya.
Setiap menit aku berada di sini, ingatanku selalu terbayang oleh sosok Tony. Kurasa aku tak bisa membenci pria itu, apalagi sampai melupakannya. Hembus nafasku berderu-deru gemetaran, bimbang untuk ingin menghubunginya atau tidak. Ponsel sudah ada tepat pada genggamanku. Hanya ingin berbicara dan menanyakan soal kabarnya. Apakah aku salah? Apakah pria itu sudah membenciku? Jika itu iya, memangnya apa salahku? Berbagai macam pemikiran negatif itu seketika kusingkirkan. Aku percaya bahwa Tony tidak seperti itu, dia juga pasti ingin berbicara denganku, maka dengan cepat aku langsung menghubungi Tony. Jantungku berdebar-debar untuk menunggu respon pria itu, namun tak lama, hanya beberapa detik saja, sambungan seketika terputus, "Nomor yang anda hubungi tidak aktif."
Apa-apaan ini? Diriku mencoba menghunginya lagi untuk yang kedua kalinya, menunggu dengan getir, namun tetap saja tidak bisa. Sungguh aneh dan tidak bisa dipercaya. Aku mulai muak dan tak punya niatan lagi untuk melakukan hal serupa. Dia pasti sudah membenciku, mungkin akulah letak diberbagai macam kesalahan dalam semua permasalahan ini. Bentuk kesendirianku bisa saja dimulai dari sini, sendu, sepi, dan merana. Dari luar aku bisa mendengar suara ibuku berbicara dengan seseorang, seperti sedang membicaranku. Pada balik pintu itu tiba-tiba terbuka, dan ibuku seketika muncul ditengah air mataku yang telah menetes memikirkan Tony.
"Amel sayang, kamu dicari sama Dio diluar." Katanya, lalu aku beranjak menemui lelaki itu di teras rumah.
"Bukannya kamu punya jadwal sama Luna?" tanyaku.
"Aku menundanya." Jawab Dio kalem.
"Menunda? Kenapa?" Tanyaku.
"Aku kepikiran tentang keadaanmu, setidaknya berada disini untuk memastikan kamu masih bisa tersenyum lagi." Ujarnya, dan aku tak habis pikir bahwa Dio berkata seperti itu.
Bersambung...
Berlanjut ke Chapter 59...