Chapter 57 - Bab 57

Luna pergi meninggalkan Dio dengan raut wajah bahagia, dia telah memberikan kecupan istimewa yang membuatku berpikir panjang untuk melakukan hal semacam itu. Diriku tak mengerti apa yang akan Dio lakukan pada pacarnya. Bisa jadi dia akan mengajak Luna pergi berkencan, atau mungkin makan di restoran sambil memberikan hadiah yang diinginkan wanita itu. Namun entahlah, mengapa aku justru malah kepo dan tak bisa berhenti untuk menebak-nebak isi pikiran Dio?

Dalam hatinya mungkin saat ini merasa bimbang dan kebingungan, antara menuruti kemauan Luna atau malah diam tak mau tahu. Tapi aku mengerti sifat Dio seperti apa, yang jelas dia pasti segan menuruti kemauan Luna, apa lagi dengan moment dadakan kecupan panas nan menggoda itu.

Saat Dio berada di ruang pantry, aku langsung menertawainya. Dari awal aku sengaja membiarkan hal itu terjadi, sebab aku suka melihat ekspresi murung dari pria imut seperti Dio.

"Kenapa ketawa? Ada yang lucu?" Ujar Dio dengan nada jengkel.

"Ohh enggak, aku hanya takjub saja sih." Balasku yang membuat Dio seketika mengernyit menatapku.

"Takjub? Maksudnya?" Tanya Dio.

"Aku pikir selama ini kamu itu single, ehh tau-nya sudah ada yang punya." Jawabku dengan nada gurauan. "Maaf, cuma bercanda." Imbuhku. Kemudian Dio sejenak garuk-garuk kepala, merasa kebingungan dan salah tingkah, hingga tak ingat sampai mana dia tadi membuat kue. Diriku berniat untuk melanjutkan adonan itu yang nampak terbengkalai, dan Dio berjalan mendekatiku sambil membersihkan telapak tangannya dari tepung.

"Yah begitulah, aku dan Luna sudah setahun pacaran, gimana menurutmu? Apakah dia cantik?" Tanya Dio, aku mengangguk dan tersenyum lebar.

"Banget," Balasku meyakinkannya.

"Tapi akhir-akhir ini dia begitu merepotkan, selalu ada saja yang harus untuk kuturuti, semakin lama sifatnya semakin manja, kamu lihat sendiri kan tadi seperti apa?" Ujar Dio sambil geleng-geleng kepala.

"Sabar, seperti itulah sifat perempuan." Kataku. "Tapi kalau dilihat-lihat nih ya, wajahmu itu terlalu kalem untuk dibuat memikat hati perempuan seperti Luna." Imbuhku, yang entah kenapa pembicaraan kami terasa berbeda, terkesan lancang dan murahan, dan itu terucap begitu saja.

"Oh-ya? Aku justru merasa gagal untuk bisa membuatnya tertarik padaku, selama ini hanya diriku saja yang tergila-gila, meskipun tingkah lakunya seperti itu." Kata Dio, dan aku mengernyit heran.

"Mungkin dia perlu nasehat darimu, bukan berarti aku menyalahkan Luna, lagian mana ada perempuan jaman sekarang yang tak suka mengoleksi sepatu? Aku pun juga begitu." Kataku sambil tertawa sedang.

"Setiap diriku menerima gaji, tak jarang aku dan teman-teman-ku pergi ke mall untuk berbelanja, tak menutup kemungkinan juga membeli sepatu dan baju." Kataku, Dio menatapiku. "Dan kamu tahu? Konyolnya aku membeli barang-barang itu hanya untuk konten instagram, setelahnya, barang-barang itu mangkrak di lemari kamarku." Imbuhku, dan sorot mata Dio terpancar begitu lembut menatap gerak-gerikku.

"Berarti di rumahmu punya banyak koleksi sepatu dong?" Lalu aku mengangkat kedua pundakku.

"Entah, kalau dibilang banyak, sepertinya tidak, semua jenis sepatuku kuwalitasnya KW semua, sehingga kadang ada yang rusak bila terlalu sering kupakai." Balasku, dan pria itu tertawa sedang.

"Tak masalah kalaupun itu KW, asalkan selalu dirawat dengan benar, aku yakin tak akan cepat rusak." Kata Dio.

"Ngomong-ngomong di rumahmu masih ada gak yah sepatunya?" Lantas aku menatapnya, dengan yakin diriku mengangguk.

"Tentu," jawabku datar, dan aku bisa merasakan tubuhnya yang beralih lebih dekat ke arahku, bila saja aku meremas adonan kue ini terlalu keras, bisa jadi tepung-tepung yang ada pada alas kayu itu mengenainya.

"Boleh kupinjam sebentar tidak?" Tanya Dio, dan kubalikkan tubuhku sejenak, menatap wajah pria itu yang sedang malu-malu. Satu hal yang tak bisa kutepis saat menatapnya ialah melihat mata bulat itu.

"Boleh," Kataku, "Sebenarnya aku tadi juga mau bilang seperti itu, tapi takut kalau kamu gak mau." Dan sontak Dio langsung menggenggam kedua tanganku, ekspresinya berubah sembilan puluh derajat menjadi antusias dan penuh permohonan.

"Aku mau Mel, tolong pinjami aku yah? Terserah kamu kasih sepatu yang seperti apa. Pokoknya yang masih bagus, Oke? Entar sepatu-mu itu akan kuganti dengan yang baru deh." Kata Dio, dan sekali lagi, aku benar-benar tidak tahan melihat wajah permohonannya, rasa jemari-jemariku ini ingin sekali untuk mencubit kedua pipi yang memerah itu.

"Astaga Dio, kayak aku ini apa saja? Ya boleh lah, entar aku cariin yang bagus, mau yang apa? Heels? Kets? Boots? Tapi jujur sih sepatuku yang masih bagus kebanyakan yang heels, soalnya aku gak suka pakai heels." Jawabku, kemudian pria itu semringah dengan amat senangnya.

"Emm, heels saja dehh, boleh kan Mel?" Tanya Dio, aku mengangguk dan tertawa. "Barangya memang ada di rumah Ibu-mu? Kalau Iya aku ambil saja yahh?" Imbuh Dio.

"Ohh tidak, barangnya ada di rumah nenekku." Kata-ku, lantas lelaki itu terdiam sambil cemberut.

"Kalau gitu aku anterin ke sana ya? Boleh kan?" Tanya Dio, dan jujur saja, saat mendengar tawaran itu, pikiranku langsung traveling kemana-mana. Mengingat jarak rumah ibuku sampai ke rumah neneku terbiang cukup jauh, dan selama ini aku tidak pernah dibonceng oleh pria selain Tony. Aku bingung untuk menjawab pertanyaan itu. Bila aku mengambilnya sedirian, mood-ku berkata tidak, aku sangat bosan dengan perjalanan jauh, dan aku benci berkendara dengan shine bolak balik pulang pergi ke rumah nenek, dimana rute itu nyaris membuatku gila.

"Terserah, mau berangkat kapan? Sekarang?" Tanyaku, Dio tersenyum.

"Selesai bikin ini kita berangkat, Oke?" Begitu antusiasnya hatiku untuk menanti moment tersebut. Entahlah, menjalani waktu-waktu bersama Dio begitu aneh. Terkadang diriku berpikir bahwa pria itu begitu tampan, hingga senyum ini seakan terurai dengan mudahnya. Aku bisa melihat wajah Dio dengan jarak yang dekat, melihat setiap lekuk kelopak matanya, dimana lekuk itu seperti punya Tony. namun satu hal yang penting yang patut untuk kugaris bawahi, bahwa Dio sudah punya pacar, dan kami hanya bertetangga, titik.

"Kamu suka main tinju tidak?" Tanya Dio

"Tidak, kenapa?" Tanyaku balik.

"Sini Mel, biar aku kasih contoh, lagian kamu pasti capek." Kata Dio, sambil mengambil alih posisiku, dimana Dio lah yang mengerjakan adonan tersebut supaya teksturnya sesuai dengan yang dia mau. Kulihat disetiap gerakannya begitu cepat dan ahli, setelah adonan itu sudah nampak mengembang, kami membaginya menjadi delapan bagian, lalu kami bentuk bulat-bulat mengikuti arahan Dio.

"Sudah, tinggal kita panggang di oven." Ujarnya, menanti matangnya roti tersebut, kami gunakan selisih waktu itu untuk membuat saus rotinya. Dio menyuruhku untuk menyiapkan loyang, dan menaruh cream cheese serta gula ke dalam situ. Satu buah alat mixer yang nampak cukup berat Dio bawa kearahku, lalu kugunakan alat itu untuk mengaduknya. Menunggu hingga semua nampak tercampur, dan Dio tambahkan whipping cream beserta susu UHT yang dia tuang sedikit demi sedikit. Aroma harum dari bahan-bahan tersebut langsung menggoda lidahku.

"Mel, bisa kamu siapakan pen di kompor?" Tanya Dio, dan kusiapkan satu buah wajan dengan nyalahan api sedang. Lelehan mentega langsung lumer diatasnya, disertai dengan potongan bawang bombay dan telur, keduanya Dio aduk dengan rata menggunakan whisker. Setelah itu dia tambahkan parsley, thyme, basil, dan garam.

Dari sini aku menyadari bahwa membuat kue dan roti benar-benar memerlukan sebuah teknik, tak bisa begitu saja dibuat dengan asal-asalan seperti aku yang memasak masakan seperti penyetan, sayur sup, atau bahkan salad buah. Kurasa semua maknan itu pasti bisa dibuat oleh semua orang, tapi tidak untuk jenis makanan yang sedang Dio tekuni saat ini.

Pria itu bisa membuat apa saja, tak cukup hanya Korean garlic, aku juga penasaran bagaimana cara membuat macaroni, kue prancis yang sedang nge-hype tersebut. Entahlah, berada di sanding Dio lama kelamaan diriku menjadi kagum padanya.

Hingga tak terasa kami melewati waktu jam makan siang. Kue yang kami buat kini sudah dipacking rapi dan siap untuk dikirim oleh Bagas. Di atas piring yang Dio siapkan sudah tertata rapi Korean garlic sisa dari kami tadi membuat, dan kini saatnya kami berdua untuk mencicipinya.

"Gimana rasanya?" Tanya Dio sambil mengunyah.

"Enak," kataku, tak bisa berkata lebih, sebab kue tersebut memang enak. Aku tak bisa mendeskripsikannya secara detil, yang jelas kue itu enak, lembut dan saus krim-nya pecah dilidahku. Andaikan aku bisa membuat kue ini sejak dulu, pastinya Tony harus tahu rasanya, apalagi kalau aku sendiri yang membuatnya.

"Gimana menurutmu pada pembelajaran hari ini?" Katanya, dan aku tersenyum.

"Lihat nanti dehh, aku akan coba membuatnya sendiri di rumah ibuku." Kataku. "Perasaan aku hanya memakan dua keeping dari kue ini, dan sekarang perutku sudah kenyang." Imbuhku.

"Kue ini memang mengenyangkan." Katanya sambil tertawa. "Tapi bikin nagih kan?"

"Iya," balasku. Di sini bersamanya, menghabiskan waktu di toko kecil yang sederhana ini, aku sama sekali tak merasakan kejenuhan sedikitpun. Kurasa ornamen-ornamen yang terpajang di setiap sisi-sisi ruangan begitu nampak cerah dan berwarna. Andaikan aku mempunyai toko seperti ini, entah betapa bahagianya diriku.

"Habis ini kita ke rumah nenek-mu yah Mel? Gak pa pa kan?" Tiba-tiba Tanya Dio, memecah keheningan kami berdua yang sedang asyik makan kue tersebut.

"Apa gak sorean aja?" Tanyaku sambil mengernyit.

"Entar keburu telat, acaranya kan malem." Ules Dio, dan lagi-lagi aku terdiam dan menyadari, apabila kalau ditelisik lebih dalam, sebenarnya perasaanku agak sedikit berat dengan kenyataan ini. Entah sekonyol itukah diriku? Yang seakan tak bisa menerima kenyataan bahwa malam ini pria yang kukagumi akan berkencan dengan seoarang wanita lain.

Rasanya aku ingin menampar diriku sendiri, sampai kapan aku tetap bersikukuh pada perasaanku bahwa saat ini aku mempunyai Tony, pria yang selama ini dengan tulus mencintaiku serta menolongku disaat diriku dalam keadaan terpuruk, bahkan memiliki niat untuk menikahiku. Sekejam itulah aku mempunyai perasaan seperti ini? Dan Dio sekarang sudah punya pacar, itu berarti ini semua fix bahwa kita hanya bertetangga. Lupakan saja ucapan ibu, lupakan semua bentuk propagandanya yang konyol itu.

"Iya Dio," balasku.

Siang itu, langit begitu terik dan menyengat, kulihat Dio nampak bekeringat hebat saat mengeluarkan sepeda motornya dari gudang toko untuk bersiap pergi ke rumah nenekku. Itu ialah sepeda motor Kawasaki yang dia gunakan dulu saat mengantar Jojo. Aku tak bisa membayangkan bila aku naik sepeda motor besar itu berboncengan dengannya. Entah ini akan menjadi pengalaman yang luar biasa atau hanya justru sebuah gejolak, yang pasti saat aku menaiki motor dengannya, aku tidak bisa untuk tidak berpegangan. Masalahnya posisi jok yang kududuki tertamat condong kebawah sehingga membuat badanku benar-benar menempel pada punggung pria itu, sungguh sial sekali. Dan pada saat laju motornya cukup kencang, aku benar-benar dibuat ketakutan bukan main.

"Mel, pegangan, nanti jatuh." Katanya ditengah-tengah terpahan tiupan angin. Akhirnya mau tak mau aku berpegangan pada tubuhnya, merangkul erat seperti halnya diriku saat dibonceng oleh Tony. Namun yang kutahu, Tony selalu memberikan kenyamanan. Bukan diriku membedakan mereka berdua, hanya saja disetiap detik diriku menjalani hari-hari dengan Dio, aku selalu merindukan keberadaan Tony, yang selama ini telah jarang menghubungiku dan tak seperti dulu lagi.

Perjalanan kami hingga sampai ke rumah nenek memakan waktu kurang lebih satu jam, jalanan cukup lengang dan tanpa hambatan sama sekali. Oleh karena itu pada setiap cela yang longgar membuat Dio menaikkan kecepatannya sampai diriku tak berani melepaskan cengkramanku. Apakah dia juga melakukan hal serupa pada Luna? Entalah, mungkin karena motor sport ini yang seakan mewajibkannya untuk melaju kencang, atau mungkin Luna suka dengan hal begituan.

"Kamu mau masuk atau menunggu di sini saja?" Tanyaku pada Dio saat kami sudah sampai tepat didepan ruman nenek.

"Masuk, entar aku dikira tidak sopan sama keluargamu cuma hanya menunggu di depan saja." Kata Dio, dan aku hanya mengangkat alis sebelah kiriku.

"Oke, ayo." Kataku, lalu kami berdua pun langsung memasuki rumah nenek, dan di dalam sana terdapat paman Farid bertengger di samping jendela menghadap kearah belakang. Aku heran dan mengernyitkan dahi seketika.

"Selamat siang paman, dimana tante Anik dan nenek?" tanyaku, yang membuat paman Farid seketika menoleh dan berbalik arah, menatap sendu dengan sudut-sudut wajah yang lusuh. Kulihat tirai jendela itu terbuka, terkibas-kibas oleh angin dan tak dirapikan pada tali pengaitnya. Ada apa dengannya?

"Akhirnya kamu datang juga, sebenarnya tak usah kemari, Nenek dan tante-mu tidak ada dirumah, mereka di rumah sakit dijemput oleh pihak medis.... Dan mereka positif covid."

Bersambung...

Berlanjut ke Chapter 58...