Di depan mataku sudah terlihat sebuah toko kue bergaya eropa yang berukuran minimalis dan amat lucu. Di depan pagarnya terdapat papan banner bertuliskan Dio's bakery, hal itu membuatku tersenyum sambil menatap pria itu.
"Aku suka dengan nama tokonya." Kataku, kemudian Dio tersenyum balik menatapku. Pada pukul sembilan pagi disana sudah terdapat dua karyawan yang bertugas. Kedatangan kami berdua pun langsung disambut oleh mereka berdua.
"Hei Bagas, Keyra, perkenalkan, ini tetanggaku, namanya Amel." Ujar Dio saat memperkenalkan diriku pada dua karyawannya tersebut.
"Hei Mel, aku Keyra," sambut perempuan itu dengan senyum manisnya. Kulihat dia memiliki mata yang begitu indah serta pipi tirus yang mengingatkanku pada Andy.
"Aku Bagas, senang bisa bertemu denganmu Mel." Katanya, lalu Dio memegang pundakku sambil menatapku.
"Jadi mereka berdua ini ialah teman kampusku, kami bekerja sama untuk membangun usaha ini." Kata Dio, "Keyra disini sebagai kasir, sedangkan Bagas ialah ekspedisinya, seperti yang kukatakan tadi, kalau akhir-akhir ini banyak sekali pelanggan yang memesan kue via online." Imbuhnya. Entah kenapa saat diriku menatap Dio dalam jangka waktu yang lama, perasaanku menjadi kagum padanya. Di sini aku hanya bisa terdiam, sedikit malu dan grogi untuk bergabung pada mereka.
"Amel kuajak datang kemari untuk belajar membuat kue," kata Dio pada kedua temannya itu. "Karena aku tahu sendiri kalau perempuan satu ini sangat mempunyai bakat memasak yang bagus, oleh karena itu aku akan mengajarinya." Imbuh Dio. Kemudian Keyra langsung semringah.
"Wah kamu datang di waktu yang tepat, kebetulan sekali kalau hari ini kami menerima banyak pesanan." Katanya, dan diriku seketika mengankat alis.
"Oh ya? Tapi sebelumnya aku sama sekali belum pernah membuat kue." Tepisku dengan ekspresi yang getir.
"Tidak usah takut, kamu mau membuat kue apa hari ini? Mari kutunjukkan bahan-bahannya di pantry." Kata Dio sambil menggandengku untuk berjalan mengikutinya.
"Good luck Mel." Siul Bagas. Saat diriku berada di dalam ruang pantry itu, rupanya di dalam sana terdapat banyak sekali perabotan dan peralatan dapur yang begitu lengkap. Bau coklat, keju, dan caramel seketika memikat lubang hidungku. Dio langsung memebriku sebuah apron dan lembaran resep-resep kue miliknya. Kulihat lembaran resep-resep itu terjilid begitu rapi di sebuah order.
"Pasang apron mu dulu, mau buat kue apa pagi ini?" Tanya-nya dengan senyuman manis menatap wajahku, sungguh aku tak bisa menjawab pertanyaan itu, apa lagi ketika kubuka isi buku resepnya yang teramat banyak dan sulit kumengerti. Yang bisa kuingat hanyalah kue buatan Eny dulu. Saat aku menjenguknya dan dia memberikan kue Korean garlic buatannya padaku. Apabila Eny bisa membuat kue itu, berarti aku juga pasti bisa membuatnya, sebab setahuku Eny ialah perempuan yang tak begitu memiliki skill masak yang handal.
"Mungkin aku ingin coba membuat Korean garlic dulu dehh." Kataku dengan amat entengnya, lalu Dio mengangkat alis dan beralih mengambil bahan-bahan yang sudah tersedia di dalam lemari dapurnya. Kulihat dia mengambil tepung terigu, susu, telur, keju, dan bahan-bahan lainnya. Dia menyiapkan semua itu diatas meja tepat di hadapan kami.
"Mel, tolong ambilkan mangkuk, lalu taburi alas meja-nya dengan tepung terigu." Kata Dio, dan aku langsung menurutinya, saat mangkuk yang kuambilkan kutaruh diatas meja, Dio mulai mencampur susu, gula, dan ragi ke dalam mangkuk tersebut, sambil tersenyum menatapku.
"Diaduk Mel." Ujarnya, dengan pelan kuaduk adonan tesebut, hingga konsentrasiku seketika pecah saat wajah Dio mengamati di setiap aku mengaduk adonan ini.
"Kenapa?" Tanyaku saat memergokinya, lantas pria itu tersenyum.
"Gak pa pa." Katanya sambil menambahkan tepung, telur dan mentega ke dalam campuran bahan-bahan tersebut.
"Kalau capek bilang ya Mel, nanti biar gantian ngaduknya," Ucap Dio, "pokoknya sampai adonannya nampak ulen elastis yahh." Imbuhnya. Aku hanya mengangguk dan berusaha untuk tetap fokus terhadap apa yang sedang kukerjakan, sembari mengingat bahwa mungkin saja Eny dahulu membuat kue ini dengan amat susah payah.
"Berarti selama ini kamu yang mengerjakannya sendirian di toko ini ya Dio?" Tanyaku sambil mengaduk adonan tersebut, kulihat pria itu senantiasa masih tetap mengamatiku, dan ketika aku menatapnya, senyumannya sangat mudah sekali untuk terurai di wajahku.
"Yahh, siapa lagi kalau bukan aku?" Katanya yang membuatku mengernyit heran.
"Memangnya kamu gak kecapekkan? Mengerjakan pesanan sendirian?" Tanyaku, dan pria itu menggeleng.
"Tidak, memang saat pertama kali sesuatu yang kerap kali dirasakan ialah capek dan ragu, namun apabila dikerjakan secara rutin dan konsisten, itu semua akan menjadi ringan kok, sebab sudah terbiasa dan penuh dengan pengalaman." Katanya.
"Mungkin suatu saat aku akan merekrut beberapa karyawan lagi untuk mengatasi hal itu." Ujar Dio, dan aku mengangguk.
"Memang, itu perlu sekali, kalau kamu sendirian yang mengatasinya pasti tidak akan sanggup." Kataku, dan andaikan aku bisa jujur bahwa saat ini diriku sudah tidak mempunyai pekerjaan. Tapi entahlah, kurasa menutupi rahasia itu kepada Dio amatlah diperlukan, mengingat hubungannya dengan ibuku sangatlah erat. Lagi pula aku tak berani jamin kalau aku mengatakan hal serupa pada ibuku soal pekerjaanku dia tidak akan memarahiku, yang pasti dia akan panik bukan main, dan aku tahu sendiri sifat ibuku seperti apa.
"Sayangnya kamu sudah mempunyai pekerjaan yah Mel," kata Dio, "Tapi bagaimana kalau selama masa karantinamu di rumah ibumu kamu buat untuk membantuku bekerja di sini saja?" Tanya Dio pada akhirnya, seketika itu aku langsung tertawa menatapnya.
"Astaga Dio, aku akan membuat daganganmu terasa aneh, pasalnya aku sama sekali tak pernah membuat kue, dan baru memulai sekarang ini pun juga masih belum pasti." Ujarku.
"Ohh, itu bukanlah masalah, selama ada aku di sini yang mengajarimu pasti akan berhasil." Kata Dio, dan diriku berpikir ulang atas tawarannya tersebut. Apa bila aku mensetujuinya, itu berarti setiap hari aku akan bekerja membuat kue bersamanya, dimana saat-saat aku bersama pria itu, hati ini terasa penuh dengan gejolak, seakan tak bisa dibendung oleh apapun, terlebih saat melihat setiap helai senyumannya.
"Ngomong-ngomong kamu bisa pintar membuat kue awalnya dari mana sih Dio? Kukira kamu ialah anak yang hanya bisa mengerjalan hal-hal teknik saja." Kataku yang berniat untuk menepis tawarannya itu.
"Entahlah, mungkin semua ini berawal dari diriku sendiri yang suka kue dan roti, seperti apa yang kukatakan dulu padamu tentang makanan yang sering dibuatkan oleh mendiang ibuku. Dialah inspirasiku dibalik semua ini, tapi tak menutup kemungkinan juga diriku tetap fokus pada kuliahku yang berada pada jurusan IT. Aku hanya berusaha membuat semuanya tetap seimbang." Ungkap Dio, dan bisa dikatakan bahwa saat ini aku begitu kagum padanya, sosok pria yang memiliki kepribadian serta pola pikir yang bagus, diriku tidak berani untuk terhanyut pada setiap kenyatannya.
"Kukira anak IT tidak suka memasak, ternyata anggapanku itu salah yahh." Ulesku sambil tersenyum.
"Kebanyakan memang begitu sihh, mungkin aku saja yang termasuk berbeda dari yang biasanya." Kata Dio, dan kedua matanya melirik adonan yang sedang kuaduk, kemudian pria itu berkata.
"Cukup Mel, adonannya sudah rata." Katanya yang beralih ke belakang tubuhku, dan aku langsung berhenti mengaduk dengan hati yang berdebar-debar. Mangkuk tersebut langsung dia tuangkan di atas alas kayu yang telah kutaburi oleh tepung terigu. Kemudian adonan tersebut dia remas-remas diantara taburan tepung-tepung itu, Dio melakukannya tepat di sampingku, hingga aku bisa melihat otot di setiap lengannya yang terbuka. Aneh sekali bila aku menepisnya, dimana diriku harus mengamati hal itu sebab aku dalam posisi belajar.
Pada setiap gerakan yang Dio terapkan begitu terlihat cepat dan lincah, sampai adonan tersebut benar-benar terlihat kenyal dan elastis. Mungkin dalam tahap ini aku tak akan bisa melakukannya sendirian, kalapun diriku yang melakukannya, hasilnya pasti tak sempurna seperti buatan Dio. Kurasa pria itu begitu semangat saat kutemani, tapi entahlah, mungkin diriku saja yang terlalu percaya diri. Sampai tak terkira kedua mataku kemasukan oleh tepung terigu.
"Aduh, mataku kelilipan." Rintihku dengan nasib yang amat sial di tengah situasi serius membuat kue. Sontak Dio langsung memberhentikan pekerjaannya dan menatap diriku.
"Hah?" Kenapa Mel?" Kejutnya, dan dalam hatiku berkata.
"Sial, sial, sial, kenapa ini bisa terjadi sihh."
"Ohh gak pa pa kok, Cuma kemasukan tepung saja." Kataku dengan nada yang kubuat sesantai mungkin pada Dio. Namun tetap saja mata ini masih tak bisa dibuka sebab terasa perih oleh tepung terigu sialan itu.
"Mel, tolong jangan dikucek ya, bentar aku ambilkan air dulu." Ujar Dio sambil berlari mengambil sapu tangan yang dia basahi dengan air hangat di dalam termos. Kemudian dengan perlahan-lahan Dio meredam mataku dengan sapu tangan miliknya. Aku sampai tak bisa membayangkan kalau betapa dekatnya jarak wajah kami berdua saat itu, dan yang kurasakan saat jemarinya mengoles dengan amat halus di tiap sudut mataku, bahwa itu sangat hangat dan membuat jantungku gemetaran. Apalagi mencium aroma parfum kemejanya yang seperti bau karamel, serta tiupan hembus nafasnya yang membantu mataku supaya tidak perih. Sungguh andaikan Tony yang berada di sini, mungkin setelah itu kami akan saling berciuman, tapi dia bukanlah Tony, melainkan Dio.
"Sudah, sekarang coba buka matamu perlahan-lahan yahh." Ujar pria itu.
"Sudah gak perih lagi kok Dio." Kataku, dan aku langsung membuka mataku perlahan, samar-samar wajah Dio terlihat tepat dihadapanku dengan begitu manisnya. Dari sini aku menyadari bahwa Dio amatlah tampan, sungguh lekuk wajah yang begitu sempurna, apalagi melihat sorot mata bulat tersebut, hingga aku bisa melihat jelas retina matanya yang berwana kecoklatan. Semua hal itu membuatku sadar, bahwa bagaimana mungkin ibuku tidak bisa tergila-gila dengan pria yang satu ini?
"Gimana? sudah gak perih kan?" Tanya-nya, aku menggeleng.
"Sudah agak mendingan." Kataku sambil memegangi kepala.
"Maaf ya Mel, gara-gara aku, kamu sampai kelilipan." Ucap Dio, lantas diriku menepis ucapannya.
"Tidak pa pa, kamu gak salah kok Dio." Ucapku, dan tak lama itu kemudian, kami berdua mendengar suara langkah kaki seseorang yang membuka pintu masuk toko. Seketika itu Keyra dan Bagas menyambut orang tersebut yang kulihat merupakan seorang perempuan cantik dengan postur tubuh tinggi, jenjang dan ramping, rambutnya pun amat eksentrik dengan mode bergelombang sepanjang pundak. Dan wanita itu datang langsung disapa oleh Keyra.
"Luna, ada yang bisa kubantu?" Tanya Keyra, kurasa dia mengenal perempuan itu, Dio yang berada di sampingku langsung beralih dan menuju pada perempuan tersebut.
"Biasa Key, mau bertemu sama pacar, dimana Dio?" Tanya perempuan tersebut yang ruanya bernama Luna, lantas seketika itu aku terkejut bukan main.
"Hei, tumben pagi-pagi sudah kesini? Ada apa sayang?" Sambut Dio pada Luna. Mereka berdua pun akhirnya berpelukan, dan tak luput juga saling berciuman. Kemudian memulai berbicara di kursi meja makan pelanggan.
"Ohh sayang, aku butuh bantuanmu nihh." Kata Luna dengan nada yang begitu manja.
"Apaah? Coba sini bilang." Ujar Dio dengan amat kalem.
"Hmm, Beliin sepatu dong yank." Ujar Luna. "Buat acara besok, dimana aku bakal ketemuan sama nasabah-ku." Imbuh Luna, Lalu Dio memegangi kepalanya sambil mengernyit
"Ohh astaga Luna, bukannya minggu kemarin aku sudah kasih hadiah kamu sepatu Givenchy keluaran terbaru? Sekarang kamu minta sepatu lagi? Ada apa dengan kamu ini sebenarnya?" Ungkap Dio dengan nada kesal.
"Yaampun sayang, kamu tahu sendiri kan kalau aku ini bekerja sebagai sales manager, dan besok kebetulan ada acara petemuan dengan nasabah yang mau ambil mobil mewah di tempatku, gak mungkin dong kalau aku pakai sepatu heels yang sama?" Jawab Luna yang membuat Dio mengangkat alis.
"Oke, untuk kali ini kamu pakai dulu sepatu itu lagi yah, tolong, aku sudah capek dengan permintaanmu yang selalu mengoleksi banyak barang-barang branded, semua barang-barang itu masih bagus Lun, apa kamu sudah gila?" Kata Dio, dan diriku pun sejenak mengernyit merasa miris dengan pembicaraan mereka.
"Well, sayang, dalam pekerjaan aku, penampilan itu ialah nomor satu, pelanggan tidak akan mau atau bahkan sampai membeli mobil di show room kalau penampilanku sendiri tidak bisa memikat mereka. Ayolah yank, pokoknya aku tunggu kamu nanti malam, kamu belikan aku sepatu apa saja terserah, yang penting bagus." Kata Luna panjang lebar, Dio pun sampai terdiam dan berpikir.
"Terserah kamu, capek rasanya kalau berebat denganmu terus." Jawab Dio, dan seketika itu Luna tersenyum lebar dengan kedua tangannya yang menggapai wajah Dio, kemudian perempuan itu memberikan kecupan bibir yang sungguh tajam menohok hingga membuat kedua mataku terbelalak. Aku benar-benar tak habis pikir kalau Dio sudah punya pacar, pikirku selama ini dia hanyalah lelaki tampan yang mencari pasangan. Ohh
Bersambung...
Berlanjut ke Chapter 57...