Chapter 54 - Bab 54

Aku terdiam kaku menatapnya, melihat sorot mata lelaki itu yang begitu menyita di tiap-tiap keping hatiku. Semuanya seperti terjadi begitu saja, bagaikan helai daun yang jatuh di atas air sungai, mengalir di bawah pohon-pohon yang rimbun, indah dan menenangkan. Sesekali kukedipkan mataku, berandai-andai bahwa situasi ini tidaklah nyata. Namun sorot mata bulat itu jauh lebih meyakinkanku bahwa masih ada yang lebih indah dari cahaya rembulan di sore hari.

Cukup sudah, kurasa sampai di sini diriku mengagumi seseorang hanya dari bentuk sorotan mata. Di waktu yang tak terduga ini, kulepaskan kedua tanganku yang merambah hingga ke lutut kakinya. Lumuran cairan oli itu menetes hingga ke lengan-lengan kemeja, sungguh aku merasa bersalah atas semua kejadian ini.

"Kamu tak pa pa kan Dio? Sorry banget yah sampai bikin kamu ketumpahan oli." Kataku, dan Dio tersenyum mengusap lengan kemejanya dengan tangannya sendiri, sedangkan diriku berusaha untuk tetap membantunya.

"Oh terima kasih, tidak pa pa kok, lagian aku sendiri yang kurang hati-hati." Katanya, kulihat lumuran oli tersebut sampai menetes di lantai-lantai teras rumah ibuku. Kami berdua memperbaikinya bersama. Dan aku merasa begitu sedih dengan kemeja yang Dio kenakan kini nampak lusuh penuh dengan noda.

"Malang sekali nasib kemejamu Dio, padahal aku suka dengan warnanya." Ulesku.

"Udah, santai saja, lagi pula aku punya banyak, apalagi yang model seperti ini." Katanya sambil tiada henti untuk tersenyum. Bila mana diriku diwajibkan untuk bertanggung jawab, mungkin diriku akan segan untuk mencucikan kemeja itu walaupun dengan noda oli yang cukup parah.

Di tengah keadaan yang rumit ini, Dio masih tetap melanjutkan tugasnya memperbaiki sepeda ibuku, hingga semuanya bisa dilihat bahwa kini keadaan sepeda itu sudah berubah menjadi lebih baik. Kejadian yang tak terduga saat kami saling bertatapan membuatku sadar kalau Dio rupanya memiliki mata bulat yang begitu indah, dan aku bisa memiliki kesimpulan bahwa dia begitu manis serta tak terkecuali juga baik hati.

"Akhirnya, sudah bagus seperti baru bukan? Gimana? Mau coba?" Tanya Dio saat memutar pedal sepeda itu.

"Biar ibuku saja yang mencobanya, lagian itu bukan punyaku." Jawabku, kemudian kami berdua mendengar suara langkah kaki yang hendak mendekati kami, dan rupanya saat itu ibuku keluar dari dalam rumah menuju ke teras sambil membawakan sepiring makanan martabak telor lengkap dengan acar dan juga sambal petis. Sungguh aroma martabak yang semerbak sampai membuat hidungku menghangat.

"Martabak spesial bikinan ibu sudah matang nih, silahkan ayo diambil mumpung masih hangat." Katanya dengan senyuman lebar, dan sorot mataku langsung tertuju pada Dio. Kulihat pria itu begitu gembira melihat ibuku datang sambil membawa makanan. Sebuah peristiwa yang mengingatkanku pada bentuk ucapannya, dimana Dio selalu sering dibuatkan makanan yang enak-enak oleh Almarhum sang ibu, dan kini aku bisa melihat keakraban mereka berdua yang begitu harmonis, seperti anggota keluarga sendiri.

"Baunya sedap sekali bu, kayaknya enak nihh." Kata Dio, lalu ibuku tersenyum menatap lelaki itu. Sampai tanpa kusadari bahwa pipiku memerah dibuat olehnya.

"Ayo diambil, ibu memang buatin untuk kamu, ini ada sambalnya juga lho." Kata ibu, lalu dengan perlahan Dio akhirnya meletakkan sepeda itu sejenak, dan merasa kebingungan untuk hendak mengambil martabak tersebut, lantaran kondisi tangannya yang begitu kotor penuh dengan oli.

"Bentar Dio, biar aku saja yang ambilin buat kamu, tanganmu kotor kan?" Kataku, sambil menggunakan tisu yang telah kuambil di dalam ruang tamu, lalu kuberikan martabak itu padanya.

"Gigit saja, biar aku suapin." Kataku, kuanggap ini ialah hal yang wajar, sebab menyadari kondisi Dio yang sangat tidak memungkinkan untuk mengambil makanan dengan tangan kotor seperti itu. Akhirnya dia menggigit, merasakan makanan buatan ibuku yang dibuatkan khusus untuknya. Kulihat ekspresi pria itu begitu imut sekali, apalagi di saat martabak yang dia makan tersebut ternyata masih panas, bahkan mengeluarkan asap.

"Duh, duh, hossh, hoshh." Rintihnya sambil tetap mengunyah makanan itu.

"HAHA, pelan-pelan Dio." Kata ibuku sambil tertawa.

"Astaga, ini masih panas sekali bu." Katanya dengan mata menyipit menahan panas. "Bisa-bisa lidahku lecet habis makan ini." Imbuhnya, dan diriku ikut tertawa. Namun dengan cepat aku langsung dimarahi ibuku.

"Hm Amel, masa nyuapin Dio gak kamu tiup dulu martabaknya!" Katanya, "Lihat tuhh, Dio sampai kepanasan." Imbuhnya.

"Baiklah aku tiup-tiup dulu yah Dio?" Kataku sambil menahan tawa, dan kemudian pria itu melihatiku sambil tersenyum, mengamati di setiap tiup yang kuhembuskan, hingga diriku merasa grogi.

"Kalau enaknya seperti ini, mungkin aku akan menghabiskan semuanya, bagaimana menurut ibu?" Ujarnya, dan kulirik wajah lelaki itu, lalu kusuapkan pada Dio hingga dia benar-benar merasakan bentuk kenikmatan dari makanan ini. Dia begitu terlihat lucu, sungguh sangat berbeda dengan Tony, mereka berdua memiliki keunikan masing-masing, dimana kedua hal itu membuat diriku rindu pada lelakiku sendiri. Sedang apa dia sekarang? Apa yang membuat Tony sudah jarang menghubungiku? Bahkan akhir-akhir ini kami sama sekali tidak menjalin komunikasi apapun. Akan tetapi melihat wajah Dio seakan semua itu selalu termanipulasi, Dio seakan mampu membuat duniaku hanyut untuk fokus hanya kepadanya, dan entahlah mengapa perasaan ini seakan hendak akan berperang, antara hanyut pada kehidupannya atau tetap memikirkan Tony.

"Iya, ibu memang membuatkannya untuk kamu kok, biar sambil disuapin Amel saja yah? Kan kelihatan lebih romantis." Ucap ibuku yang sejenak membuat diriku spontan meliriknya.

"Tunggu sebentar dehh, kenapa bajumu sampai kena oli semua?" Ujar ibuku saat menyadari kondisi Dio.

"Tadi sempat ketumpahan, tapi tak masalah, ini hanya insiden kecil saja." Jawab Dio, dan senyumannya lagi-lagi membuatku ingin untuk tetap menatapnya.

"Biar nanti ibu cucikan saja yah?" Tanya ibuku, dan sungguh itu membuat dahiku mengernyit.

"Tak usah, biarkan saja saya yang tangani, ngomong-ngomong sepedanya sudah selesai nihh, ibu mau coba?" Kata Dio, dan ibuku sangat bahagia mendengar ucapan itu.

"Iya, nanti saja ibu coba, terima kasih lho Dio, kamu benar-benar bisa diandalkan sekali." Kata ibuku, sungguh aku sangat bosan mendengar ucapan seperti itu. Diriku justru kasihan kepada Dio yang selalu sering mendapatkan permintaan tolong dari ibuku. Coba saja kalau semua ini tidak terjadi, pasti Dio tidak akan terkena oli sampai separah itu. Akan tetapi saat ini dia makan begitu lahap, kurasa perutnya begitu lapar.

"Jadi, kapan dirimu punya waktu senggang untuk kuajari cara membuat Korean garlic? Tanya-nya, dan aku hanya bisa tersenyum, merasa bimbang untuk segan atau enggan diajak olehnya untuk membuat roti yang sedang viral itu. Pikiranku seolah dipenuhi oleh hal-hal konyol. Seperti takut bila diriku terlalu larut kepadanya, sebab setahu diriku sadar bahwa Dio ialah sosok pria yang lucu, aku menyukai wajah-wajah kalem sepertinya, sungguh konyol sekali.

"Kok diem aja?" Tanya dia balik. "Kupikir kamu antusias untuk belajar cara buatnya." Imbuh Dio.

"Emm lihat entar dehh." Balasku dengan nada datar, dan aku sangat membenci nada suaraku. Kemudian Dio hanya mengangguk, berusaha untuk menerima keputusanku.

"Oke deh," ucapnya sambil tersenyum menatapku. Sungguh aku begitu ingin mengusapi kedua pipinya yang kotor terebut. Andaikan dia milikku, aku akan melakukannya

"Habiskan Dio, nanti ibu buatin lagi buat kamu untuk camilan di rumah." Kata Ibuku, dan ekspresi anak itu sangat bahagia, senyumannya begitu membuatku betah untuk tetap berada di sampingnya. Hingga tak terasa martabak itu sudah habis dimakan oleh Dio, bahkan es syrup buatanku juga hanya tersisa sedikit.

"Sepertinya saya perlu mandi dan ganti baju dulu yah? Terima kasih atas jamuannya, saya jamin sepeda ibu sudah enak untuk dipakai, bila kalau ada yang kurang pas, kasih tahu aku saja." Kata Dio sambil beranjak berdiri.

"Oke siap, nanti ibu coba sore-sore waktu suami ibu sudah datang." Jawab ibuku dengan tawa sedang.

"Yasudah aku pamit pulang dulu yah?" Katanya, dan diriku mengangguk, kami berdua memandang kepergiannya yang hanya berjalan beberapa meter saja tepat di depan rumah kontrakan ibuku. Aku tak berani jamin mengenai perasaan Dio terhadapku yang kecewa sebab aku tak konsisten untuk tertarik belajar membuat kue viral itu. Jujur saja, sesungguhnya diriku sangat mau untuk melakukan hal itu bersamanya.

Sebab aku bisa menebak bahwa membuat kue bersama Dio pasti sangat mengasyikkan, dimana diriku akan mendapatkan pengalaman baru, dimana itu sangat berguna untuk diriku dalam mengembangkan usahaku. Selama ini ibuku masih belum tahu kalau aku sudah tidak bekerja lagi, kalau saja dia sudah tahu, maka aku berani jamin kalau ibuku akan mendesakku untuk mau membuat kue bersama Dio. Dimana itu merupakan suatu hal yang dapat membuat hidupku lebih mudah membuka pintu ke jalan perselingkuhan, entah ada apa dengan otakku ini? Melihat Dio seakan membuatku hanyut pada dunia lain, dunia yang penuh dengan angan-angan cinta.

Malam telah bergulir, aku sudah melihat aktivitas ibuku di sore hari saat mencoba sepedanya di halaman belakang rumah. Ayah tiriku berkata bahawa sepeda itu sudah enak dipakai, dan semua ini berkat Dio, lelaki imut itu.

Malam ini kami memasak sup ayam yang dicampur dengan macaroni. Makan di dalam rumah ibuku tak bisa membuat kami berkumpul, sebab ibuku sendiri tidak memiliki meja makan, sehingga kami makan berpencar sesuai keinginan kami masing-masing. Aku sekarang berada di ruang dapur, meracik makanan sendiri supaya tak terlalu banyak yang membuatku cepat gemuk. Di dalam rumah ibuku selalu terdapat aturan-aturan jam untuk beristirahat di kamar, dimana aturan itu selalu lebih awal dari pada diriku yang tinggal di rumah nenek.

Selama dalam masa karantina disana, aku bisa tidur pada jam berapapun yang kumau. Akan tetapi bila di rumah ibuku, kami harus tidur jauh lebih awal, sekitar pukul delapan malam, sebab pekerjaan pak Irwan yang kerap masuk terlalu pagi membuat ibuku tak ingin bangun kesiangan.

Saat itu aku berada di ruang dapur bersama ibuku, memakan semangkuk sup ayam dalam porsi sedikit. Kulihat ibu sedang membuat segelas susu panas di sampingku, dan kami berada dalam cahaya yang redup, sebab pukul delapan malam baginya sudah begitu larut, dan aku sangat membenci hal itu.

"Bagaimana pendapatmu tentang Dio?" Tanya ibuku.

"Baik, dia pria yang baik, memangnya kenapa?" Kataku, dan ibuku seketika mendekatiku.

"Apakah kamu tidak mempunyai perasaan sedikitpun padanya?" Ucapnya, dan aku langsung menyindir ibuku.

"Astaga ibu, aku sudah punya Tony, plis dehh jangan memprovokasi diriku ditengah-tengan situasi seperti ini." balasku yang membuat Ibuku tertawa sedang.

"HAHA, maaf, bukannya ibu memprovokasi mu, ibu hanya ingin tahu pendapatmu saja." Kata ibu, "kalau ibu sendiri sih tertarik sama dia." Imbuh ibuku, sambil menyeruput susu panas miliknya.

"Tenang saja, Dio mencintai ibu kok." Kataku yang membuat ibuku mengangkat kedua alisnya.

"Apa?"

"Iya, dia sendiri yang bilang seperti itu," kataku. "Sebab ibu mengingatkannya pada sosok Almarhum ibu kandungnya yang telah meninggal saat dia duduk di bangku SMP." Imbuhku, dan wajah ibuku langsung berangsur-angsur sedih.

"Ohh, malang sekali anak itu, tak salah bila ibu menganggapnya seperti anak ibu sendiri." Katanya dengan wajah merenung menatap ke arah depan.

"Aku sangat senang bila ibu melakukan hal semacam itu pada Dio, dia memang perlu kasih sayang dari seoarang ibu, dan yang membuat aku kagum padanya, dia pintar membuat beragam kue." Kataku sambil menatap ibuku. "Berarti dia pintar masak juga dong?" Tanya-ku, lalu ibuku mengangguk.

"Yahh begitulah, selama ini kamu kan tidak pandai membuat kue, kenapa kamu tidak minta ajarin Dio saja?" Tanya ibuku, lalu aku terdiam sejenak.

"Sebenarnya aku ingin sekali, tapi___" Kataku dengan bimbang.

"Tapi apa?" Tanya ibuku. "Grogi sama Dio? Aduhh Amel sayang, Dio itu anaknya humble kok, ibu yakin sekali kalau kamu mau, Dio pasti seneng banget." Imbuh ibuku, dan diriku hanya diam saja sambil berpikir.

"Udah lah, angap saja dia teman-mu," kata ibu, lalu menyenggol pundakku. "Atau jangan-jangan kamu suka ya sama dia?" Imbuhnya, dan seketika itu aku langsung menatapnya.

"Apaan sih? Ibu pliss." Ulesku.

"Tapi dari tadi kamu kok senyum-senyum mulu?" Tanya ibu, lalu diriku menghembuskan napas panjang.

"Gak tahu, aku cuman ragu aja bu." Kataku.

"Aduh pake ragu segalak, seperti memendam suatu perasaan sama Dio aja dehh." Ucap ibuku, dan aku yakin sekali ibuku pasti mempunyai niat untuk menggodaiku.

"Apa ibu bantu ngomong aja yahh nanti sama Dio?" kata Ibuku. Dan seketika itu ibuku berteriak.

"DIO, AMEL MENCINTAIMU." Sontak aku langsung jantungan, bagaimana bisa ibuku mempunya niatan segila itu? Dia berteriak dengan suara yang begitu kencang, kemudian tertawa terbahak-bahak merasa puas telah membuatku panik setengah mati.

"Ibu, stop jangan gila, kalau dia dengar gimana?" Ucapku.

Bersambung...

Berlanjut ke Chapter 55...