Ibuku bercengkrama begitu akrab dengan Dio, hingga diriku bisa mendengar apa saja yang dikatakan oleh mereka berdua di dalam ruang tamu. Menginap di tempat ini pasti akan sering bertemu dengan pria itu, lantaran kami merupakan tetangga dekat, seperti Sandro yang rumahnya di samping rumah nenekku. Entah mengapa ibuku selalu bergantung pada jasa-jasa Dio, sungguh suatu hal yang membuatku sedikit kurang nyaman akan kehadirannya. Dan kini aku kebingungan untuk berbuat apa.
"Yahh, kapan hari ibu sempat pernah mengunjungi tempat itu dengan menggunakan sepeda, bersama pak Irwan." Kata ibuku yang membahas soal masa karantinanya selama ini.
"Itu dekat sekali dengan toko-ku, kenapa ibu tidak sekalian mampir saja?" Ujar Dio. Diriku sendiri terduduk di atas ranjang sambil memperhatikan keseriusan Jojo dalam mengikuti sekolah daring. Sepertinya diriku harus menghampiri mereka.
"Aku tidak tahu Dio, kalau saja ibu tahu pastinya ibu mampir. Jadi kemarin rantainya sempat putus, lalu kami berdua menuntunnya sampai ke rumah." Kata Ibu.
"Ohh kasihan sekali, mana bu? Biar saya benerin." Kata-nya.
"Barangnya ada di teras, dan ibu tidak tega melihat-nya karena menurut ibu itu sudah terlampau parah." Kemudian diriku mendengar suara langkah kaki menghampiri kamar ini, dan ibuku mengambilkan sebuah tool-set milik pak Irwan untuk diberikan pada Dio.
"Saya benerin di luar sini saja ya? Mumpung anginnya kenceng." Kata Dio.
"Ahh terserah kamu, ibu tinggal masak dulu gak pa pa ya Dio?" Tanya ibuku.
"Silahkan bu, gak masalah kok." Jawab pria itu, lalu suara langkah kaki ibuku beralih mendekati kamarku lagi, dan tiba-tiba saja diriku kaget saat mengetahui bahwa pintu kamar terbuka oleh ibuku.
"Mel." Panggilnya, "tolong buatin minuman lagi dong buat Dio, yang kamu buatin tadi sudah habis, dia kelihatannya kehausan." Kata ibuku, dan entah kenapa diriku seketika menelan ludah dengan begitu susah payah. Ekspresiku begitu canggung dan kikuk, serta jujur saja, bertemu dengan Dio membuatku ingin menghindar, namun aku tidak bisa melakukannya.
"I-iya bu." Kataku sambil turun dari ranjang.
"Sama temenin Dio juga dong Mel, masa iya dibiarin sendirian gitu di luar, gak enak kalau ibu tinggal masak begitu saja." Katanya, dan diriku mengernyit.
"Memangnya ibu mau masak apa lagi sih?" Tanyaku.
"Ibu mau bikin camilan lha, masa ada tamu yang mau bantu-bantu gak dikasih apa-apa, kamu ini gimana sih Mel?" Ules ibuku, dan akhirnya mau tidak mau diriku harus menuruti apa yang dia suruh.
"Buruan cepat bikinin es lagi, lalu temenin Dio di luar." Kata ibuku. Dengan lemas diriku berjalan menuju ke dapur, membuka baskom dan mengambil es batu beserta syrup. Mungkin untuk kali ini aku harus bersikap netral, dan tak harus mempunyai spekulasi dan prasangka buruk pada siapapun. Tapi entah kenapa itu sulit sekali, aku tidak menyangka bahwa akan sekikuk ini diriku saat bertemu dengan pria itu. Dimana biasanya kalau diriku grogi saat bertemu dengan seorang pria, itu tandanya diriku sedang jatuh cinta, persis saat diriku pertama kali bertemu dengan Tony. Entahlah, aku sangat membenci pikiranku.
"Dio," panggilku, saat diriku berada di teras rumah ibuku sambil membawa nampan dan cangkir teflon berisi es syrup.
"Aku buatin es lagi yahh? Kulihat yang pertama tadi sudah habis." Imbuhku, dan lelaki itu dengan mudahnya tersenyum melihatiku sambil tetap bekerja membongkar tiap-tiap komponen sepeda ibuku. Aku tetap berada di dekatnya, duduk berlesehan sambil mengamatinya.
"Terima kasih lho Mel, es buatanmu seger banget, manisnya juga pas." Katanya, kulihat dia nampak bahagia, ucapannya juga kalem seperti dulu saat kami pertama berbicara.
"Iya tadi aku ngasih gulanya dikit, takut kemanisan." Kataku, dan diriku melihat Dio yang rupanya sangat terampil dalam memperbaiki sepeda ibuku. Seperti apa yang ibu katakan, bahwa Dio sangat pintar dalam hal-hal teknis.
"Ngomong-ngomong hari ini kamu tidak bekerja?" Tanya Dio sambil mengotak-atik mur menggunakan tang.
"Tidak, kantorku ditutup sebab ada yang positif." Kataku.
"Saat ini memang rawan sekali dengan hal semacam itu, tak peduli kantor, sekolah, pabrik, bahkan perkampungan, kalau ada yang kena sedikit saja sudah ditutup dengan mudahnya." Kata Dio, dan diriku sejenak tersenyum.
"Iya kamu benar, tapi menurutku itu memang perlu untuk diterapkan, kita tidak akan pernah tahu siapa yang positif, dan bisa saja kita akan ikut tertular bila berada di tempat yang sudah terdampak. Namun sayangnya kebanyakan orang menilai bahwa lockdown ialah suatu hal yang berlebihan." Ujarku, dan Dio menatapku.
"Mereka menganggap itu berlebihan karena mereka tahu kalau hal itu akan sulit bagi mereka untuk mencari uang." Katanya, yang membuat diriku merunduk sejenak.
"Aku hanya nurut dengan bentuk peraturan yang ada." Balasku. Dio tidak mengerti bahwa saat ini aku sudah tidak memiliki pekerjaan lagi. Aku mengatakan hal yang sebenarnya tidak sesuai dengan kehidupanku, hanya untuk menganggap bahwa semua situasi ini masih baik-baik saja.
"Kamu ke sini sama siapa Mel? Sendirian atau sama adikmu?" Tanya Dio.
"Sama Jojo," kataku. "Dia di kamar sedang sekolah online." Imbuhku, kemudian Dio tersenyum kembali. Pada setiap bagian sepeda yang sedang diperbaiki olehnya. Aku melihat ada beberapa bagian yang keadaannya cukup parah. Mulai dari pedal-nya kendur, rem yang tidak berfungsi, serta rantai-nya yang putus. Kulihat Dio juga nampak kesusahan saat membuka mur pada sepeda tersebut.
"Maaf ya Dio kalau ibuku suka merepotkan-mu." Kataku pada akhirnya.
"Sama sekali tidak, aku sendiri malah senang membantu ibumu." Kata Dio sambil berusaha membuka mur.
"Lagi pula ibumu kerap tinggal seoarang diri di dalam rumah, tak ada siapa-siapa, menunggu sampai ayahmu pulang dari pekerjaannya terlalu lama untuk meng-handle masalah yang hanya bisa diselesaikan oleh seoarang laki-laki." Imbuhnya, dan ucapan itu membuatku terenyuh, bagaimana bisa sosok seperti Dio bisa menjadi pengganti tugas dari ayahku? Dimana selama ini seseorang yang kuanggap seperti itu hanyalah Tony. Pria yang selama ini tanpa ragu untuk kucintai. Mendengar ucapan itu membuat diriku menjadi salut pada bentuk perhatian Dio.
"Apa ada yang bisa kubantu?" Tanyaku saat melihat Dio nampak kesulitan membuka mur tersebut, dan entah kenapa perasaan grogi-ku seketika hilang sudah.
"Seharusnya ibumu mempunyai tang kombinasi, tapi biarlah, biar aku saja, kamu pasti tidak kuat." Katanya, dan diriku mengambilkan segelas minuman buatanku ini, dan kuberikan padanya supaya dia bisa bernafas sejenak.
"Minum dulu Dio, nih kuambilin." Kataku, dan dia seketika menghentikan pekerjaan itu, dengan hembus nafas yang terengah-engah.
"Kamu pasti capek ya?" Tanyaku.
"Terima kasih Mel." Balas Dio, kemudian pria itu meneguk minuman buatanku, dan tetesan keringat dari leher dan dahinya membuat diriku untuk berniat mengambil sapu tangan, tapi rasanya itu terlalu berlebihan.
"Gimana? Seger kan?" Tanyaku, dan Dio tersenyum manis.
"Iya, boleh kamu ambilkan segelas lagi?" Katanya, dengan senang hati diriku mengambilkan satu gelas kembali untuknya.
Di dalam hatiku ada rasa kepuasan tersendiri ketika melihat lelaki itu meneguk sampai habis syrup buatanku. Aku menjadi teringat oleh Tony, dulu aku sering menyuguhinya berbagai macam jamuan, dan dia merasa puas akan hal itu. Niat untuk membandingkan mereka berdua kuanggap hal yang wajar, sebab aku bertemu dan menjalani peristiwa bersama kedua lelaki yang bisa dikatakan baik dalam hal sikap serta kepribadian. Dan semua itu terjadi dalam waktu yang sama, di saat diriku sudah memiliki Tony.
Aku masih tidak mengerti maksud dari semua ini, tapi aku akan selalu bersikap netral pada mereka, dan tak ingin menaruh curiga pada ibuku dan juga Dio. Kuanggap ini hanyalah moment yang kebetulan, sebab aku menyadari akan keinginanku yang ingin tinggal di kontrakan ibuku.
"Mau tambah lagi?" Tanyaku saat dia sedang terengah-engah. Kemudian Dio tersenyum sambil menggeleng.
"Cukup," tatapan Dio nampak lembut menyorot di setiap bentuk ekspresiku, yang mana membuat diriku sejenak salah tingkah dan grogi, nyaris diriku menumpahkan minuman yang telah kutuangkan pada secangkir gelas ini untuknya, namun aku sadar, dan kuminum sendiri minuman itu pada akhirnya.
"Jika kamu tidak di sini, biasanya ibumu yang membuatkan minumannya." Kata Dio, dia kembali melanjutkan pekerjaannya kembali.
"Apa sih yang membuat kamu selalu ingin menolong ibuku?" Tanyaku.
"Padahal ibuku itu ialah orang yang merepotkan." Imbuhku, dia tertawa, entah kenapa tawanya nyaris seperti Tony. Ohh Tuhan, berhenti untuk membandingkan mereka berdua, aku yakin mereka ialah orang baik.
"Memang, tapi aku suka itu," katanya yang membuatku mengernyitkan dahi. "Ibumu mengingatkanku pada ibuku dulu, yang selalu sering merepotkanku di saat aku masih kecil." Imbuh Dio, dan lelaki itu sejenak merenung, merasakan hembusan angin sepoi-sepoi yang meredakan keletihan-nya.
"Dia selalu membuatku serba kerepotan, menyuruhku apa saja yang ingin dia mau, dan bodohnya aku selalu menurut dengan apa saja yang dia perintahkan. Tapi setelah itu sebagai imbalan dari ibuku. Setiap hari diriku sering dibuatkan masakan yang enak-enak. Jajanan yang sering dia buat untukku dulu ialah kue pie, donat, dan aku masih ingat semua kenangan itu." Kata Dio dengan nada yang begitu kalem. Aku hanya bisa terdiam dan mendengarkan di setiap curahan hatinya.
"Bahkan ibuku selalu ada di setiap saat diriku di rumah maupun di luar rumah, menungguku untuk segera pulang dari sekolah, dan mengantarkanku di manapun diriku mau untuk pergi." Lalu aku bisa melihat pada kedua pipi Dio yang seketika memerah, lusuh terbasuh pada setiap tetesan keringatnya.
"Tapi sekarang sudah tidak lagi, dia sudah meninggal di saat diriku menduduki bangku kelas satu SMP." Katanya, dan spontan saja hatiku seketika terhanyut lirih. "Makanya setiap aku melihat ibu-mu, aku tidak ingin menolak apa yang dia suruh padaku, lagi pula siapa lagi yang akan menolong ibumu di saat ayahmu tidak ada kalau bukan diriku." Imbuh Dio menatap wajahku.
"Yaampun, aku minta maaf, bukan maksudku untuk,___"
"Tak masalah," tepisnya. "Mungkin bagimu pasti merasa heran tentang diriku, tapi jujur Mel, aku sama sekali tidak merasa kerepotan tentang hal ini." Katanya, kurasa aku begitu keterlaluan telah bertanya seperti itu pada Dio. Namun sekarang aku mengerti, aku hanyalah wanita konyol yang tidak bisa peka terhadap bentuk emosi semacam ini.
"Aku berani bertaruh kalau kehilangan Ibu pastinya lebih menyakitkan dari pada kehilangan seorang ayah." Kataku.
"Memang, dan ayahku sekarang tinggal di Jakarta, sedangkan diriku kuliah di sini, dan bertemu dengan dirimu." Ucap Dio tersenyum, kubalas dia dengan hal serupa
"Oh-iya! Ngomong-ngomong aku dengar dari ibuku, kamu punya toko sendiri ya?" Kataku untuk mengalihkan topik.
"Hm iya, ibumu sudah cerita ke kamu ya?" Kata Dio, dan asal dia tahu saja, Ibuku selalu berkata banyak hal tentangnya, bahkan sampai menjodokannya padaku, sungguh aku tersenyum lebar saat menyadari itu.
"Yahh begitulah, dia sangat sayang sama kamu, karena kamu anaknya baik." Kataku, "tapi kalau aku boleh tahu, kamu buka toko apa?"
"Toko Roti, letaknya tidak jauh dari sini, dekat dengan Kaza City." Jawabnya, lalu aku sejenak mengangkat alis. Dio mulai mengotak-atik sepeda ibuku kembali, dan memasang baut-baut yang telah dia lepas tadi. Kemudian rantai sepeda yang telah putus itu berhasil dia sambungkan. Sungguh terampil sekali lelaki itu.
"Jadi penasaran, memangnya roti apa saja yang kamu jual? Pasti roti-roti yang pernah dibuat ibumu dulu yah?" Tanyaku, lalu Dio pun mengangguk.
"Ada beberapa yang seperti itu, namun sampai sejauh ini aku mengembangkan menu baru, seperti cloud bread, brownies, macaron, dan Korean garlic." Jawab Dio, dan seketika itu diriku teringat oleh kue buatan Eny dan Andy yang sempat mereka buat untukku ketika aku mampir ke rumahnya dulu.
"Korean garlic? Kue yang sempat viral itu?" Tanyaku, Dio mengangguk.
"Iya, kenapa Mel?" Tanya-nya.
"Cara buatnya bagaimana sih? Kamu berarti pintar bikin kue dong?" Singungguku pada pria itu, lantas dia tertawa sedang.
"Gampang kok, nanti aku ajarin kalau kamu mau." Katanya, dan diriku tersenyum lebar.
"Wahh, beneran nih?" Tanyaku, Dio tersenyum sambil mengangguk. Sungguh begitu bahagianya diriku saat dia akan mengajariku. Dio memang orang yang baik.
"Nanti kita bikin bareng di sana, kamu mau kan?"
"Mau banget lah." Jawabku, dan saat itu dia telah selesai memasang rantai sepeda ibuku. Dengan perlahan Dio mengoleskan oli di setiap sisi-sisi rantai pada sepeda itu, hingga tak di sangka botol oli yang dia pegang tertumpah dan mengenai kemejanya. Diriku terkejut dan panik, lalu ku-usap kemejanya dengan kain lap, hingga kami saling menatap satu sama lain.
Bersambung..
Berlanjut ke chapter 54..