Chapter 48 - Bab 48

Angin berhembus membuat helai rambutku terurai-urai terbang di sepanjang perjalanan. Kedua tanganku memeluk tubuh Tony, dan diriku bersandar di belakang tubuhnya. Mataku bisa melihat langit di sana yang sekarang berubah menjadi jingga bercampur dengan warna kuning cerah dari pancaran cahaya matahari. Badanku merasakan kehangatan yang nyata, dan Tony masih tetap mengendarai motornya dengan begitu pelan di jalanan yang begitu lengang ini.

"Jangan tidur lho Mel." Kata Tony.

"Bagaimana bisa? Ini terlalu nyaman bagiku untuk bisa tidur pulas di belakang tubuhmu." Jawabku sambil tersenyum. Lalu tangan kirinya menggenggam kedua tanganku yang masih merangkulnya, memastikan bahwa diriku tetap di sana dan tidak terlepas karena diriku yang ingin tidur di belakang pria itu.

"Baiklah, tidurlah kalau memang itu nyaman bagimu. Tapi harus pegangan yang erat ya?" Kata Tony dengan tangan yang masih menggenggam tepat pada kedua pergelanganku.

"Ton, entah kenapa aku jadi teringat sama Almarhum ayahku." Kataku saat hembus angin meniup-niup pony rambutku. "Dulu waktu beliau masih ada, dia kerap memboncengku seperti ini, dan diriku merangkul tubuhnya lalu tertidur dengan tangannya yang menggenggam kedua tanganku, hanya untuk menjagaku supaya diriku tidak terjatuh dalam tumpangannya." Imbuhku.

"Aku siap Mel untuk menjadi sosok pengganti ayahmu." Tanya Tony, dan diriku tersenyum mendengar ucapannya.

"Maksudmu kamu mau menikah dengan ibuku?" Gurau diriku yang mengendus di bahunya.

"HAHA, ya enggak lah, maksudku menjadi ayah dari anakmu kelak." Jawabnya.

"Ohh, aku pikir kamu mau nikahi ibuku supaya kamu jadi ayahku." Kataku, Tony kemudian menggelitiki pergelangan tanganku, dan itu sungguh lucu sekali.

"Ton, ngomong-ngomong kamu yakin? Berboncengan di tengah wabah korona masih tetap aman?" Tanyaku.

"Aman, kita kan sudah pakai masker, lagian kita cuma jalan sebentar kok." Jawabnya, lalu aku kembali menatap pemandangan kota di pagi hari ini. Kabut menyelimuti di setiap perjalanan, menghasilkan embun pada dedaunan yang rindang. Diriku menengok kanan dan kiri, sepi lengang tak ada siapapun kecuali kami berdua, dan aku mulai merasa bahwa diriku tidak ingin mengakhiri perjalanan ini.

Sesampai kami di taman tersebut, nuansa rindang dan asri menyelimuti di setiap langkahku. Bunyi burung-burung pipit senantiasa bersiul menyambut kedatangan kami. Aku bisa mencium bau tanah di setiap kami menyusuri jalanan setapak tepat dihadapan kami. Kulihat bunga kencana ungu sedang bermekaran di sepanjang tepinya. Helai tanganku menyentuh kerumunan bunga itu, dan kupetik satu diantara mereka. Hingga kami sampai pada ujung tepi danau buatan di sekitar area taman itu. Lalu kulepaskan helai bunga tersebut untuk jatuh dan mengambang di atas air danau.

Tony melepaskan genggaman tangannya dariku, dan dia mengajakku untuk duduk pada tepi danau sambil menatap sekerumun bunga teratai warna-warni yang mengambang di tengah-tengahnya. Rasanya begitu damai dan indah, seperti apa yang dia sarankan padaku, bahwa diriku akan dibuat nyaman olehnya.

Pancaran sinar matahari mulai menyinari dahiku, sejuk dan hangat, pagi yang tak pernah kudapatkan sepanjang hidupku dengan sosok pria yang kucintai. Kurasa dia memilih waktu dan moment yang tepat. Nyaris diriku tak melihat satu orang pun yang berada di tempat ini kecuali petugas kebersihan yang kulihat di depan halaman parkir tadi.

"Aku bisa melihat ikan dari sini." Kataku sambil merunduk menatap ke bawah kakiku, sembari menatap bayanganku dari permukaan air ini. Kaki kami berdua menggantung, berayun-ayun menikmati kenyamanan.

"Bagaimana? kamu suka kan pagi-pagi melihat pemandangan seperti ini?" Tanya Tony.

"Suka, lagian aku sudah lama tidak pernah mengunjungi kebun bibit sejak diriku telah tamat sekolah dasar." Jawabku.

"Kamu kalau ada masalah apa-apa ngomong ya Mel? Coba kalau aku tadi tidak mengunjungimu, pasti aku tidak akan tahu kalau kamu sudah tidak bekerja lagi." Kata Tony. "Dan aku juga tidak akan bisa membantumu untuk mencukupi kebutuhanmu." Imbuhnya, lantas diriku sedikit meliriknya.

"Kalau kamu menganggap ini semua kewajibanmu, jujur aku tidak menuntut apapun mengenai hal itu. Karena aku tahu, cukup dengan kasih sayangmu saja aku sudah merasa terbantu sekali." Kataku, dan sinar matahari pagi nyaris menyinari seluruh tubuh kami. Hangat, namun masih tetap terasa sejuk. Bunyi siluet dari belalang dan burung pipit nyaris tanpa henti untuk berirama di telingaku. Hal itu mudah sekali untuk kudengar di pagi yang sepi dan sunyi ini.

"Tidak begitu juga Mel, kurasa memberimu sesuatu di kondisi seperti ini memang perlu kulakukan untukmu, aku tidak ingin kamu kesusahan." Kata Tony.

"Lalu kamu sendiri? Apakah kamu juga masih mempunyai pegangan? Selama ini mama-mu tidak ada di rumah, dan dirimu hidup di sana sendirian bersama bibimu." Tanyaku pada Tony.

"Terkadang memang itu sulit untuk menjalani kesendirian di dalam rumah, maka dari itu diriku selalu memberikan kabar dan sapa kepada mamaku. Selama masa pandemic ini, jujur saja diriku tidak mengalami masalah finansial Mel, asal kamu tahu, aku punya usaha lain yang dapat mencukupi kebutuhanku." Kata Tony, dan diriku sedikit mengangkat alis.

"Oh-ya? apa itu?" Tanyaku penasaran.

"Hanya sekedar jual beli peralatan sport, sudah berjalan sejak lima tahun lalu, dan syukurlah hasil semua itu lebih dari cukup untuk sekedar memenuhi kebutuhanku sendiri." Ungkap Tony, yang seketika membuatku merasa kagum padanya.

"Dan kabar baiknya permintaan peralatan olahraga saat ini cenderung meningkat di masa-masa covid, yah kamu bantu doa saja Mel, semoga usahaku tetap jalan terus, agar bisa kubuat untuk membahagiain kamu." Imbuhnya, dan mungkin bisa saja saat ini kedua pipiku memerah atas bentuk ucapannya itu.

"Pantesan kamu anaknya suka berolahraga, aku pikir itu hanya sekedar hobi, rupanya ada bisnis-nya juga ya?" Singgungku, dan Tony pun tersenyum.

"Kamu juga harus gemar berolah raga juga dong, biar gak gampang sakit." Katanya, dan diriku tersenyum.

"Iya deh, lagian bekerja menuruti semua kemauan pak Hamid itu juga seperti olahraga lho Ton." Jawabku, lalu Tony tertawa sedang.

"Aku senang kalau kamu sudah keluar dari sana, mana tega diriku melihatmu kesusahan bekerja nonstop sampai rela untuk telat makan." Kata Tony.

"Biarin, itu sudah kuanggap masa lalu." Ujarku, kemudian kami terdiam sejenak. Kesunyian ini membuat suara-suara burung semakin bersiul, mengundang kupu-kupu untuk menari di atas bunga pagoda. Lalu muncul semburat percikan air membasahi sepatuku, di kedalaman sana ikan-ikan bermunculan seakan menyapa kami berdua yang menatap mereka. Sungguh pemandangan pagi yang begitu indah, membuat diriku ingin bersandar pada bahu Tony, tanpa harus ragu dan berpikir apabila ada seseorang yang memantau keberadaan kami. Aku tahu ini hal yang dilarang, ditengah semua orang sedang merenung di dalam rumah, memikirkan tentang kondisi kesehatan mereka masing-masing, sedangkan kami dengan mudahnya acuh begitu saja dengan peratutan-peraturan yang ada.

Namun jujur saja, hal semacam ini mampu membuatku bahagia, dan dapat memulihkan segala bentuk luka yang kumiliki. Kupu-kupu bersayap kuning seketika melintasiku, sayapnya mengepak terbang mengitariku, kemudian hinggap pada kerumunan bunga sepatu warna-warni tepat di tepi danau. Aku tersenyum seakan membalas keindahannya, sembari menikmati kenyamanan bersandar pada bahu pria itu. 

"Kamu kalau karantina di rumah ngapain aja?" Tanyaku yang berniat untuk memecah keheningan.

"Tidak ngapa-ngapain, hanya berbicara dengan mamaku diwaktu-waktu senggang." Jawab Tony.

"Aku titip salam ya Ton ke mama Firly, bilang kalau diriku kangen banget sama beliau, ingin rasanya kita makan malam bareng seperti dulu." Ucapku.

"Iya, setiap kami berbicara selalu membahas tentang dirimu, mama juga kangen sama kamu." Kata Tony.

"Kuharap mama Firly tidak terlalu memikirkanku. Seorang tenaga medis yang berada di garda paling depan harus mendapatkan perhatian penuh dan support banyak orang." Kataku, lalu Tony terdiam sambil merunduk. Suasana hening itu menyelimuti kami berdua. Lalu tanganku menggenggam tangan Tony, kurasa tangan Tony begitu keras dan sedikit kasar.

"Lalu bagaimana dengan kabarnya papamu? Papa Anthony? Jujur aku juga kangen dengan beliau." Kataku, dan Tony tak menjawab, dia terdiam tanpa respon apapun, sehingga diriku menunggu jawabannya sambil menatap indahnya bunga teratai yang mengambang di atas permukaan danau buatan ini.

"Ton? Kok kamu diam saja?" Tanyaku pada akhirnya.

"Hmm, Iya Mel, papa baik-baik saja kok." Jawab Tony dengan singkat, seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan.

"Syukurlah, semoga keluargamu tetap sehat." Kataku, lalu genggaman tangan Tony semakin erat, sambil mengelus-elus jemariku.

"Amin, kapan-kapan kamu akan aku ajak ke sana lagi Mel, dan kita akan bermain di tepi sungai seperti dulu. Sebenarnya di seberang sungai itu terdapat perkebunan yang cukup indah, sayangnya kita belum mengeksplor lebih jauh kala itu." kata Tony, diriku pun tersenyum.

"Aku masih mengingat saat dirimu berniat untuk melampiaskan nafsumu." Kataku. "Tempat itu tidak cocok untuk dibuat hal semacam itu Ton." Imbuhku, dan dia tertawa.

"HAHA, maaf, itu semua gara-gara kamu yang cantiknya kelewat batas sih, makanya mencium dirimu saja itu masih kurang." Ungkapnya, lalu diriku menatap wajah Tony. Pancaran sinar matahari pagi mulai terasa hangat, bersinar menyinari seluruh taman. Kulihat Tony tersenyum manis kearahku dengan dahi yang berkeringat.

"Kurasa waktu kita sudah cukup sampai di sini saja, sebelum matahari menjadi semakin panas." Kataku.

"Oke, tak masalah." Balas Tony sambil beranjak berdiri, melantunkan tangan kanannya untuk siap membantuku berdiri. Kulihat beberapa orang mulai berdatangan untuk berkunjung ke taman ini, hanya sekedar ingin berolah raga. Rasanya tidak mungkin bila kami berdua melarutkan waktu begitu lama untuk bermesrahan di tempat umum.

"Aku antar kamu pulang sekarang ya?" Tanya Tony, dan aku mengangguk sambil tersenyum. Kemudian kami berjalan kembali menyusuri jalanan setapak yang kini udaranya sudah menghangat.

"Jaga dirimu baik-baik ya Ton?" Kataku. "Aku yakin sekali kalau sampai mama-mu tahu soal keberadaanmu sekarang, beliau pasti akan marah besar." Imbuhku yang membuat Tony mengernyit sambil menggeleng.

"Kata siapa?" Tanya-nya, "Justru mamaku-lah yang mengizinkanku untuk keluar rumah hanya untuk menemuimu. Asalkan kita tidak keluyuran di tempat-tempat ramai, mamaku tidak akan marah." Imbuh Tony.

"Sungguh? Mama Firly berkata kalau kamu boleh keluar hanya untuk menemuiku?" Tanyaku seraya masih tidak percaya.

"Iya Mel," Jawab Tony, "Mamaku itu sangat tahu betul di saat-saat aku butuh seseorang, dan merenungkan soal hal itu, sendirian tiap saat, mama-ku sangat peduli terhadap kita berdua." Kata Tony, dan ucapan itu membuat diriku merenung merasakan betapa berartinya diriku dimata mama Firly.

"Aku jadi ingin ngobrol dengan mama-mu Ton, boleh ya?" Tanyaku.

"Sepertinya itu masih terlalu sulit, maksudku, di saat seperti ini mamaku pasti tidak punya banyak waktu untuk berbicara pada banyak orang. Aku hanya takut itu akan membuat mamaku semakin kepikiran, jujur saja sih Mel, mama memang sangat merindukanmu." Ujar Tony, dan diriku terdiam. Andaikan aku berbicara dengan mama Firly di saat-saat seperti ini, pasti hal itu dapat mengecohkan pikirannya.

Setidaknya diriku tidak mengganggu tugas beliau. Itu memang terasa sulit apabila membagi waktu di situasi genting untuk berkomunikasi dengan banyak orang. Apa lagi Tony yang saat ini sedang berada sendirian di dalam rumah, pasti seluruh pikiran yang dimiliki mama Firly hanya tertuju pada buah hatinya. Kalau saja waktu kami berdua masih berjalan lama, aku sangat ingin bertanya tentang ayah Tony. Diriku sangat yakin bahwa papa Anthony pasti tidak akan diam saja membiarkan putra satu-satunya berada dalam kondisi seperti ini. Yang kutakuti ialah, ada sebuah gesekan diatara mereka, entah apapun itu, diriku justru mempunyai pemikiran yang mengarah pada hal-hal buruk.

Semua yang ada pada kehidupan Tony seakan tak semuanya beres. Di setiap senyum Tony, serta di sepanjang percakapan kami terucap, aku merasa kalau Tony seperti mempunyai sesuatu yang enggan untuk dia ceritakan. Mungkin lain waktu akan kubahas hal itu. Sebab aku tak ingin  membiarkan pria seperti Tony merasa gelisah. Paling tidak dia mau untuk bercerita, segala hal tentang keluh kesahnya, sebab dia perlu tahu kalau dia punya aku, dimana aku yang akan selalu mendengar di setiap ceritanya.

Saat perjalanan kami menyusuri taman telah berakhir, waktu yang begitu singkat itu membuat kami berdua terdiam sesaat. Berdiri di sekeliling bunga-bunga pagoda yang bermekaran. Lalu Tony mendekatiku, matanya terpejam, dan pria itu seketika mengecup bibirku, lembut sekali seperti suasana pagi ini yang begitu tenang. Aku berharap tak ada satu orang pun yang melihat kami, kecuali seekor kupu-kupu.

Bersambung...

Berlanjut ke Chapter 49...