Dengan begitu cepat aku langsung mengangkat telpon dari pria itu, hingga membuat keluargaku semua nampak terheran-heran saat mendapati diriku yang sedang tersenyum-senyum sendiri di meja makan ini.
"Hei, akhirnya kamu menelpon-ku juga, ada apa?" Tanyaku, yang seakan pura-pura bodoh kepadanya, padahal kehadirannya-lah yang paling kutunggu-tunggu.
"Gak ada apa-apa, cuma kepingin telpon kamu saja." Kata Tony, dan diriku tertawa mendengarnya, tawa yang begitu lega terpancar di setiap ekspresiku.
"Siapa Mel?" Endus tante Anik.
"Biasa-lah, siapa lagi kalau bukan pacarnya." Sahut nenek sambil mulai melanjutkan sarapannya.
"Ton? Gimana dengan hasil rapid test mu? Sudah keluar apa belum?" Tanyaku, topik itu seketika teringat dalam benakku. Apa yang menjadi bentuk kewajiban kami untuk tidak keluar rumah, membuat kami semakin penasaran dengah hasil tes tersebut.
"Belum Mel, kalau tidak salah hasilnya akan muncul minggu depan." Jawab Tony, dan aku melihat sorot mata tante Anik, nenek, serta paman Farid begitu lekat melihat ekspresiku.
"Lho! Memangnya kalian ikut rapid test?" Tanya paman Farid, dan aku hanya mengangguk saja.
"Mel?" Panggil Tony.
"Ngomong-ngomong kamu jualan apa di statusmu itu?" Imbuhnya, dan aku tersenyum mendengar bahwa dia melihat isi status whatsapp-ku, yang lama kutungu-tunggu akan respon-nya.
"Salad buah, masak iya kamu tidak tahu sih?" Singgungku.
"Maaf, aku kurang teliti saat melihat gambarnya tadi." Balas Tony dengan cukup antusias. "Aku jadi penasaran sama rasanya, pasti seger banget ya?" Lantas aku semringah.
"Iya dong, kami membuatnya berdua sama tante Anik juga, kalau kamu penasaran mau coba, datang ke sini saja Ton, aku kangen banget sama kamu." Kataku, lalu diriku mengangkat alis mencari jawaban pada nenek dan tante Anik.
"Boleh kan nek? Tante?" Bisikku, lalu tante Anik mengernyit sambil menggeleng, dan berpikir lagi, kemudian mengiyakannya, sungguh plin-plan sekali.
"Tidak usah mikir stay at home Ton, yang penting tujuan kamu hanya ke sini saja dan tidak mampir kemana-mana itu sudah aman kok." Singgung paman Farid, lalu Tony pun seketika tertawa mendengar usulan paman-ku tersebut.
"Lho, ada paman Farid juga rupanya? HAHA." Kata Tony.
"Iya nihh, aku sekarang lagi sarapan malam bareng keluargaku," Kataku sambil sejenak melihat jam analog yang menggantung tepat di dinding sampingku. Pukul setengah tujuh, dan pikirku itu masih aman. "Seperti apa yang kamu inginkan kalau aku tidak akan telat makan lagi." Imbuhku.
"Baiklah, untuk kali ini kamu aman dengan hukumanku, tapi untuk yang kemarin tidak." Katanya, dan salah satu hal yang kurindukan darinya tak lain yaitu ciuman dari pria itu. Betapa senangnya hatiku apabila bibir pria itu mendarat di wajahku. Sungguh demi apapun itu, tidak ada hal yang jauh lebih indah dari melihat kehadirannya serta merasakan bentuk kasih sayangnya. Tony bisa dikatakan obat kesedihanku, dan aku sadari itu sejak aku mengenalnya pertama kali.
"Tidak masalah jika aku menerima hukuman darimu, paling tidak hukumannya hanya ciuman saja kan?" Kataku yang dengan mudahnya terucap begitu saja tanpa melihat situasi, dan spontan saja hal itu membuat kedua mata keluargaku melotot kaget mendengarnya.
"Astaga!" Ucap tante Anik sambil geleng-geleng kepala.
"Upss," responku dengan amat kikuk."Hehe, maaf tante, tadi itu cuma bercanda doang kok." Imbuhku.
"HAHA, hayo ngomong apa tadi kamu?" Ledek Tony.
"Gara-gara kamu sih bahas hukuman segalak." Singgungku pada Tony, lalu paman Farid juga ikut tertawa sambil mengunyah makanannya.
"Memangnya hukuman yang selalu kamu berikan pada Amel apaan Ton?" Tanya paman Farid, sungguh gurauan yang begitu konyol sekali.
"Gak ada kok paman, untungnya Amel nurut terus selama ini, kalau tidak nurut, bisa-bisa aku suruh dia nyium saya." Kata Tony, dan aku tak kuat mengumpat tawaku di meja makan ini.
"Ehh, enak saja, bisa-bisanya ya kamu Ton." Ulesku, paman Farid pun tertawa dengan isi percakapanku dengan Tony.
"Ayo Ton, kapan kamu punya jadwal ke sini? Kamu gak penasaran sama salad buatan tante?" Tanya tante Anik, lalu Tony sejenak terdiam, seakan ada sesuatu yang dia pikirkan.
"Gimana ya tante? Masalahnya ini saya masih dalam posisi karantina, dan hasil rapid juga masih belum keluar, jadi saya gak berani tante." Jawab Tony, dan diriku mulai menghirup nafas panjang, berpikir dan sadar akan semua keadaan ini.
"Kalau tidak berani tidak usah ke sini gak pa pa kok Ton, kamu benar, lebih baik di rumah saja biar aman." Kataku dengan nada kalem.
"Tapi jujur Mel, sebenarnya aku juga ingin berkunjung ke sana, melihatmu, melihat keluargamu, dan Jojo, eh mana anaknya? Aku juga kangen dengan adikmu itu, sudah lama tidak mengantarkannya pergi ke sekolah." Kata Tony.
"Duhh Ton, kenapa tidak pakai video call saja sih?" Tanyaku.
"Iya Mel, maaf, bodoh sekali aku ini." Enyahnya, sambungan telepon itu seketika terputus, dan secepat itu dia menghubungiku kembali menggunakan mode video call.
"Cilukk Baaa." Ucap Jojo saat berada tepat pada layar ponselku. Seketika saja Tony tertawa begitu gembira.
"Astaga Anakku, lama gak ketemu makin imut saja kamu nak." Kata Tony dengan senangnya, nenekku sampai tertawa mendengar ucapan Tony dimana posisi duduk nenekku berada tepat bersampingan dengan Jojo.
"Hei kak Tony, kapan nih jalan-jalan lagi ke mall bareng kak Amel?" Tanya Jojo.
"Besok kalau wabah virusnya sudah selesai nak, akan ayah ajak kamu jalan-jalan kayak dulu lagi, memangnya kamu rajin bikin tik-tok ya Jo?" Tanya Tony.
"Dia memang benar-benar ngumpat pingin punya anak beneran ya Mel?" Singgung paman Farid, dan aku membalasnya dengan senyuman.
"Ohh banget, Jojo sama Nino, teman duet sejati seperti anggota grup boyband." Sahut nenek. Lantas diriku pun tertawa mendengar itu.
"Nenek tahu saja soal boyband, kekinian banget deh." Kejut tante Anik di samping Nino.
"Ayo Jojo, tunjukkan tarianmu ke Tony, dia pingin lihat gayamu tuh, kalau tidak mau, nanti tidak jadi diajak jalan-jalan lho." Kata nenek, lalu Jojo tersenyum malu sambil menggelengkan kepala.
"Memangnya jadi jalan-jalan ke mana sih?" Sahut Nino.
"Ke mall lah, kamu mau ikut juga?" Tanya Jojo pada Nino, dan dengan polosnya Nino mengangguk.
"Ini Ton, coba lihat nenek-ku, barangkali kamu juga kangen sama nenek, ucap hai dong nek." Kataku sambil menunjukkan layar ponsel ini ke arah nenek. Lalu dengan gaya modelnya yang seakan masih di usia mudah, nenekku seketika bergaya dengan senyum manis sambil tangan kirinya melambai-lambai kearah ponselku, dan itu membuat diriku tersenyum tiada habisnya.
"Hallo nek, nenek sehat-sehat ya di sana?"
"Iya Ton, ngomong-ngomong terima kasih atas oleh-olehnya dulu dari orang tuamu, sungguh pencake-nya enak sekali sampai semuanya habis oleh nenek." Katanya.
"Bener tuh Ton, memangnya yang bikin siapa? Mama-mu?" Sahut tante Anik, dan layar ponselku langsung kutunjukkan pada tante Anik supaya Tony dapat melihat tanteku.
"Mm, iya Tante." Ucapnya, terdengar seperti tidak bersemangat. Entah kenapa tiba-tiba saja aku teringat pada mama Firly. Coba saja aku akan menanyakan hal itu saat kami berbicara kepada Tony secara personal, sebab bila dibicarakan hingga melibatkan banyak orang, diriku takut akan timbul gesekan diantara kami, mengingat mama Firly sendiri sebagai anggota medis, dimana kabar serta kondisinya selama ini selalu kupikirkan.
"Kalau tante dan nenek suka dengan pencakenya, nanti biar kubilangkan ke mamaku supaya dibikini lagi buat kalian, mamaku pasti sangat suka sekali kalau mengetahui nenek sama tante suka dengan pencake buatannya." Ucap Tony.
"Ohh, baik hati sekali keluargamu Ton, ehh ngomong-ngomong mana mama kamu? Apa kamu gak kepingin menunjukkannya ke kita-kita?" Tanya tante Anik, lantas Tony tertawa saat itu juga, tawa yang bagiku tak seperti biasanya.
"Mamaku sedang tidak dirumah tante, sedang di rumah dinas papa." Kata Tony.
"Oke deh, kita menjalani jadwal makan malam tanpa kamu kayaknya jadi kurang langkap nih." Kata tante Anik.
"Maaf tante, demi tante dan kalian semua, saya tidak mau terjadi hal yang tidak-tidak." Jawab Tony.
"Tuh, Mel dengerin, Tony aja nurut kalau disuruh karantina, kamu-nya sendiri jangan keluar rumah ya? Apalagi sampai menemui temanmu yang dulu itu." Kata tante Anik, dan diriku hanya mengangguk saja sambil diam supaya topik itu tak terbahas di malam ini.
"Yasudah dehh, aku mau ngobrol sama Tony di dalam dulu saja ya? Lagi pula makan malamku sudah habis kok." Kataku.
"Iya Mel," kata tante Anik.
"Tony, jangan sampai larut tengah malam ya cepika-cepikinya." Sahut nenek, kemudian Tony pun tertawa lepas.
"Siap nek." Sahut Tony, dan diriku menuju ke kamar tidur dengan penuh semangat untuk melanjutkan pembicaraan dengannya. Sesampai di sana aku langsung membaringkan tubuhku di atas ranjang, dan seketika itu merasakan bentuk kenyamanan yang sesungguhnya.
"Beri alasan kepadaku kenapa kamu tidak menelponku seharian ini? Maksudku kenapa kamu baru menelponku malam mini?" Tanyaku.
"Aku tidak punya alasan. Aku hanya takut mengganggu aktivitasmu saja, seperti kemarin malam saat kamu menolakku untuk video call denganku." Jawab Tony.
"Baiklah, tapi untuk saat ini, kalau kamu mau menghubungiku kapanpun yang kamu mau, aku tidak akan menolaknya. Untuk yang kemarin malam aku minta maaf ya?" Balasku, diriku sebenarnya ingin mengungkapkan perihal kondisi pekerjaan-ku kepada Tony. Kurasa dia juga berhak untuk tahu, namun jika kukatakan padanya, ada rasa khawatir bila dia menanyaiku banyak hal. Yaitu tentang alasanku serta apa yang membuatku untuk keluar dari sana. Dimana itu pasti akan bersangkutan pada pak Hamid.
"Sebelumnya kamu gak pernah seperti ini Ton, kamu selalu ada buatku di setiap saat. Mulai pagi sampai malam kehadiranmu sangat aku tunggu-tunggu, jujur saja itu membuatku cemas banget." Ujarku, lalu senyum Tony seketika pudar, seakan merasa bersalah kepadaku.
"Yaampun Mel, aku minta maaf ya? Tidak usah cemas begitu, aku baik-baik saja kok, aku hanya merasa bersalah saja apabila aku menelponmu terus dan mengganggu aktivitasmu, itu saja sayang." Kata Tony dengan nada yang begitu kalem, dan saat diriku melihat senyumannya, entah kenapa seperti ada sesuatu yang ditutup-tutupi, dan aku begitu mengetahui hal-hal semacam itu.
Kami pun terdiam sejenak, saling menatap wajah satu sama lain, dan pada kedua mata Tony seketika memerah, matanya berlinang disertai nafasnya yang sedikit terseduh-seduh.
"Kamu kenapa Ton?" Tanyaku, lalu dia tersenyum kembali, tangan kirinya membenarkan poni rambutnya menyamping, seolah menutupi ekspresinya.
"Tidak pa pa." Ucapnya dengan nada yang berat, seperti ada beban yang dia tanggung.
"Cerita dong kalau ada masalah." Kataku, dan entah kenapa di malam ini diriku begitu penasaran sekali dengan kondisinya, padahal di waktu sebelumnya Tony-lah yang selalu cemas terhadap kondisiku.
"Aku hanya mikir mamaku saja kok Mel," katanya, lalu hidung Tony seketika memerah. Diriku mengangkat alis dan mulai teringat kembali akan hal itu.
"Oh-iya aku sampai lupa, bagaimana kondisi mama-mu Ton?" Tanyaku dengan nada serius.
"Mamaku sekarang tidak ada di rumah Mel, pihak rumah sakit melarang mama-ku untuk pulang, sekarang mama sedang berada di penginapan yang sudah difasilitasi oleh pihak rumah sakit." Kata Tony, dan hatiku seketika terkejut.
"Yaampun kasihan sekali, terus kamu sekarang ada di rumah sendirian?" Tanyaku, dan pria itu mengangguk.
"Iya, sebenarnya sama bi Kulsum." Jawabnya.
"Tapi kondisi mama-mu sehat kan Ton? Aku jadi khawatir banget, sudah lama aku ingin menanyakan hal ini padamu, tapi entah kenapa selalu lupa." Ucapku.
"Tak usah cemas Mel, biar aku saja yang menangani hal ini, aku selalu memantau dan selalu memberi semangat pada mamaku, makanya aku minta maaf ya kalau seharian tadi aku tidak menelponmu." Kata Tony, dan sungguh kejamnya diriku tidak mempunyai pemikiran sampai sejauh itu. Aku memang orang yang egois, menganggap Tony tidak bersamaku hanya sehari saja membuat pikiranku sudah merambah kemana-mana. Dan yang seharusnya meminta maaf ialah diriku.
"Ton, aku jadi merasa bersalah nih, karena sudah mikir yang aneh-aneh ke kamu." Kataku.
"Maksudnya? Mikir aneh bagaimana?" Tanya Tony.
"Enggak deh gak usah di bahas, yang jelas aku sangat kasihan sekali sama kamu dan mama-mu Ton, sekiranya apa yang perlu aku buat untuk kamu? Untuk sarapan kamu sendiri bagaimana? Yang masakin siapa kalau gak ada mamamu?" Tanyaku pada Tony.
"Kan ada bi Kulsum, kamu bantu doa saja ya Mel?" Jawab Tony, dan diriku merunduk sejenak, memikirkan tentang kondisi mama Firly yang begitu mengkhawatirkan. Setahuku penularan virus korona semakin hari kian semakin masif. Aku tak habis pikir apabila sesuatu yang buruk terjadi pada orang tua Tony.
Bersambung...
Berlanjut ke Chapter 46...