Apabila semua hal terburuk terjadi pada mama Firly, aku tidak akan tinggal diam untuk ikut membantunya. Seperti di saat diriku diberi kemudahan dalam akses membeli kebutuhan APD di kantor-ku. Kurasa itu ialah bentuk kebaikan dari mama Firly yang sampai kapanpun akan selalu kuingat.
Tony saat itu sedang menatapku dengan hidungnya yang masih memerah. Dia terlihat kesepian di dalam kamarnya, berbaring di atas ranjang dan menunjukkan raut wajah senyap seperti orang yang tak punya harapan, sungguh sesuram itukah hari-hari Tony?
"Aku ingin kamu ada di sini Mel." Katanya, yang sudah kutebak pada sebelumnya.
"Iya aku paham," kataku. "Kamu hanya berandai saja kan? Karena kamu di sana sendirian, tapi Itu mustahil bagi kita untuk bisa bertemu di saat ini, aku yakin itu akan menimbukan hal yang tidak-tidak, dan aku minta maaf soal ucapan keluargaku tadi, aku harap kamu tidak usah mendengarkannya. Aku bisa saja mengirimimu salad buah ke rumahmu supaya imun-mu kuat, dan aku berharap sekali hasil rapidmu negatif." Imbuhku, dan Tony mengernyit menatapku.
"Kamu ini bicara apa? Berandai katamu? Aku hanya ingin dirimu. Keluargamu tidak salah kok, paman Farid benar bila aku di rumahmu itu aman-aman saja, asalkan aku tidak mampir kemana-mana." Kata Tony.
"Lalu kamu mau ke sini? Di tengah hasil rapidmu yang masih belum keluar? Memangnya kamu lupa kalau perusahaan masih memintaimu untuk stay at home?" Ujarku, lantas dia merunduk sambil berpikir, kemudian tubuhnya menyamping dengan bantal di bawah kepalanya.
"Iya, mungkin aku akan ke rumahmu, tidak masalah-kan asalkan kita tetap berada di dalam sana dan tidak keluyuran?" Kata Tony, dan aku mendesah saat itu juga.
"Terserah deh, kamu anaknya bandel banget." Kataku.
"Hm, ya-sudah kalau tidak boleh, jangan cemberut gitu dong Mel." Kata Tony, lalu aku menatapnya kembali dan melihat uraian senyuman pria itu yang membuatku sadar bila sendiri di dalam sana pastinya sangat menyesakkan. Apalagi tanpa ibunya yang kini sedang berjuang mati-matian untuk menyembuhkan pasien di rumah sakit.
Tentu saja yang ada di dalam pikiran Tony saat ini pasti begitu tak karuhan, antara cemas, rindu, dan takut. Itu semua seperti larut dalam perasaanku juga, seperti halnya diriku saat mengetahui kabar kecelakaan dari Eny dan Andy, persis seperti itulah rasanya.
"Kamu kok gak senyum? Marah ya? Aku tidak jadi ke sana kok, yang tadi cuma bercanda saja, lagian aku juga khawatir kalau melanggar aturan karantina yang ada nanti bakal berdampak pada penularan. Pokoknya kamu baik-baik saja yah di sana?" Kata Tony, dan entah kenapa wajah pria itu masih saja tetap bisa tersenyum. Selalu seperti itu di setiap kami sedang berbicara, dan tak bisa dipungkiri untuk membuatku merasa nyaman melihatnya.
Lalu dengan penuh ketulusanku, aku mengikuti kemauannya untuk tidak cemberut. Sungguh aku ingin merasakan kecupan dari pria itu di malam ini, andai semua itu masih bisa.
"Siapa yang marah? Memangnya aku pernah marah sama kamu?" Tanyaku, dan dia sejenak mendangak seolah berpikir. "Pria sepertimu itu tidak layak untuk dimarahi Ton, mana tega diriku memarahi pria sebaik dirimu?" Imbuhku, dan hidung merahnya terlihat semakin merebak.
"Ah bisa saja kamu Mel," enyah-nya, dan diriku tertawa sedang.
"Ngomong-ngomong kamu sudah download software-nya belum? Yang buat absensi besok?" Tanya Tony, lantas diriku mengangkat alis.
"Absen? Maksudnya?" Tanyaku.
"Lho kamu gak dikasih tahu sama pak Hamid?" Tanya Tony dengan nada serius, jantungku seketika berdebar.
"Hmm, gak tahu sih, aku belum baca pesan-pesan masuk di whatsapp selain pesan masuk darimu." Bujuk diriku yang tak tahu harus bicara apa lagi. Setidaknya diriku tidak membicarakan tentang bentuk pengunduran diriku padanya, sebab aku tak bisa menemukan alasan yang konkrit bila Tony menanyaiku banyak hal tentang pilihanku ini. Lagi pula aku juga tidak ingin membebani pikirannya.
"Yasudah, aku kasih tahu ke kamu yah, jadi mulai besok itu, kita diwajibkan absen melalui aplikasi yang telah dikirimkan oleh pak Hamid sebanyak tiga kali, yaitu saat pagi, siang, dan malam. Itu sebagai bentuk kepastian kalau kita memang betul-betul berada di rumah atau tidak. Serta pada absen itu juga harus ada bukti foto screen shoot wajah kita yang terdapat denah lokasi sesuai dengan keberadaan kita saat ini." Terang Tony, diriku hanya mengagguk saja berusaha untuk memahami informasinya.
"Kalau memang begitu, kenapa tadi kamu mau datang ke sini? Kan itu sama saja kalau kamu sedang keluyuran." Kataku.
"Iya sih, kamu benar," jawab Tony. "Tapi kalau dipikir-pikir sebenarnya tidak masalah sih Mel." Imuhnya, sejenak diriku merasa heran dengan ucapannya.
"Pertama-tama aku akan absen dulu di rumahku, setelah itu aku pergi ke rumahmu, seperti apa yang aku katakan tadi, asalkan kita tetap berada di dalam rumah dan kita akan tetap aman-aman saja kan?" Ujar Tony.
"Ada-ada saja ide-mu itu, jangan lah, entar kalau sampai ada yang tahu bisa-bisa kamu kena sanksi perusahaan baru tau rasa kamu." Ujarku.
"Iya deh, aku nurut kok, tenang saja." Ulesnya, lalu dia terdiam dengan mata sayunya yang sedikit terpejam. "Lagi pula mana tega diriku memandang sebelah mata tentang gerakan stay at home yang kini sedang digembor-gemborkan oleh pihak medis? Setahu diriku, aku selalu ingat bahwa mamaku berada dalam salah satu dari mereka. Aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri apabila ulahku dapat memperluas penyebaran virus itu, dimana dapat membuat mama-ku terancam." Terang Tony, hal itu memang wajar terdapat dalam pikirannya. Semua kejadian yang ada pada saat ini memang bukan main-main, walaupun aku tahu sendiri kalau di luar sana banyak sekali orang-orang yang seakan tak peduli dengan wabah tersebut, seolah tak menganggap semua bencana ini ialah hal yang nyata. Ditambah dengan adanya gurauan-gurauan yang terkesan begitu kelam membelenggu di setiap argumen mereka terhadap penularan virus ini.
Bagaikan musibah yang tak teranggap, bila kita semua tidak ingin bekerja sama untuk menanggulanginya, maka tidak akan dipungkiri akan berdampak lebih luas dan berkepanjangan. Dilihat dari kondisiku saat ini yang sudah kehilangan pekerjaanku, mungkin ini ialah setetes dampak dari jutaan orang di luar sana yang mengalami nasib serupa sepertiku. Lantas rencana apa yang harus ku-lakukan untuk menyambung hidupku? Tidak jelas dan tidak pasti. Entah kenapa dunia saat ini sedang diselimuti oleh ketidak pastian? Semuanya penuh dengan pemandangan yang senyap, sepi, dan lusuh. Seperti apa yang kulihat pada wajah Tony saat ini. Tiada henti mataku fokus untuk melihat hidungnya yang masih tetap memerah seperti sedang ada sesuatu yang buruk menimpanya.
"Kamu habis nangis ya Ton?" Tanyaku pada akhirnya, lalu dia tersenyum dan mengangguk.
"Iya, kok kamu tahu? Kelihatan dari wajahku ya?" Tanya Tony, dan aku tidak ingin meyeret topik itu ke-arah yang serius, aku yakin dia perlu sesuatu yang tenang di saat ini.
"Sudah gak usah nangis, masa iya cowok ganteng, tinggi dan maco suka nangis sih." Ulesku, Tony pun tertawa sedang.
"Cuma sebentar tadi waktu usai telponan sama mama-ku." Kata Tony. Sebenarnya aku penasaran dengan isi percakapan Tony dengan mama-nya. Namun kusampingkan hal itu sebab aku tidak ingin ikut campur tentang bentuk emosi mereka berdua.
"Semoga mama-mu baik-baik saja Ton, aku yakin semuanya akan kembali pulih seperti semula." Kataku yang berusaha untuk menghiburnya.
"Amin, aku juga berharap begitu, ngomong-ngomong kalau semisal aku butuh bicara sama kamu jangan kamu tolak ya Mel?" Tanya Tony, dan aku menggeleng serta meyakinkannya.
"Tidak, aku tidak akan menolak telponmu lagi, sungguh insiden kemarin malam jangan diungkit-ungkit ya? Aku minta maaf." Jawabku, dan Tony tersenyum kembali.
"Terima kasih Mel, jujur aku tidak tahu lagi bila usai berbicara dengan mamaku, dan aku tidak punya pilihan lain untuk berbicara dengan orang manapun, itu rasanya tidak enak sekali. Mamaku tiap kali mengingatkanku untuk selalu menjaga kesehatan, menanyaiku tentang keberadaanku serta kondisiku. Dia sangat khawatir tentang hal semacam flu atau bahkan sesak nafas. Maka dari itu aku selalu was-was bila mana diriku merasa sesak di dadaku, yang pada kenyataannya bila aku usai berbicara dengan mama, dan tidak berbicara dengan seseorang lain lagi, jujur itu terkadang dadaku terasa sesak Mel." Kata Tony, lantas diriku mengangkat alis, terbelalak dengan ucapan Tony.
"Astaga Ton, iya deh, kalau kamu mau ngomong sama aku, telpon saja yah? Aku tahu posisimu saat ini, jadi jangan pernah menganggap dirimu saat ini kesepian oke? Kamu punya aku, dan aku akan selalu menemanimu kapanpun kamu butuh." Balasku, dan dia menghirup nafas panjang sejenak, nampak bahagia atas ucapanku barusan.
"Senang sekali aku mendengar ucapanmu Mel, kamu memang wanita yang baik, tak rugi aku mengenalmu." Katanya dengan nada kalem, dan entah kenapa hatiku merasa terenyuh saat ini.
"Kamu juga pria yang baik, pria yang selalu ada di saat-saat aku membutuhkan pertolongan. Aku akan merasa rugi apabila membiarkan pria sepertimu hilang dan sia-sia begitu saja." Jawabku. Genangan air mata Tony seketika terlihat, dan andai saja diriku berada di sana, lalu tidur di sampingnya, sungguh dengan tulus diriku akan mengusap disetiap genangan air mata itu, kemudian kubalas dengan kecupan manis sebagai obatnya.
"Maka dari itu jangan buat aku menghilang, kalau aku menghilang, nanti tidak akan ada lagi yang bisa menghukum-mu, kamu kan anaknya bandel." Kata Tony, dan aku tertawa sedang.
"Bandel mana sama kamu? Kalau tidak aku cegah, pasti kamu bakalan ke sini kan?" Balasku.
"Kan tadi hanya bercanda, tapi kalau suatu saat aku beneran ke sana kamu juga mau kan?" Tanya Tony, aku terdiam, berpikir dan menatapnya.
"Tidak mungkin, kamu tega menepis saran mama-mu yang menyuruhmu untuk tetap dirumah?" Tanyaku balik, dan Tony menggelengkan kepala.
"Tapi mau bagaimana lagi kalau aku kangen dan ingin ketemu denganmu?" Ujar Tony.
"Tuh kan, bandelnya kelihatan." Ulesku.
"Astaga Mel, lagian kamu bikin aku kangen terus sih." Katanya, dan kami berdua pun tertawa secara bersamaan.
"Sama Ton, aku juga, kalau kita beneran ketemu memangnya apa yang bakal kamu lakukan?" Tanyaku, Tony sedikit mengernyit, bola matanya beralih ke samping lalu kembali menatapku.
"Mencium-mu, memelukmu, aku rindu dengan hal itu." jawabnya, dan apa yang dia ucapkan seakan menggiringku pada masa lalu saat kita masih bersama, serta berduaan setiap hari. Menjalani moment yang tak pernah kudapatkan sebelumnya. Bila mana Tony masih mengingat itu, aku pasti jauh mengingat hal itu setiap saat, menggiring pada hal yang berbau kasih sayang dan kemesraan, padahal diriku baru mengenal pria itu selama dua bulan saja, namun itu rasanya kami sudah seperti pasangan suami istri yang sudah berkeluarga.
Entah begitu sialnya diriku mendapatkan orang yang begitu kucintai lebih dari apapun.
Pada kehadiran Tony, aku mulai bisa melihat mimpi-mimpiku, yang sebelumnya terasa bimbang dan tak pasti, hanya sebuah harapan serta bentuk pengumpamaan yang bergeming pada sebuah lembaran kertas, namun akan lusuh juga tertumpuk oleh debu yang tanpa harapan.
Dia sebagai cahayanya, sosok penerang di setiap langkahku, berbagai kutipan himbauan serta aturan yang begitu berarti dimana itu justru membuatku takut bila suatu saat hari nanti diriku tak akan mendapatkan hal yang sama sepeti yang telah diberikan Tony padaku.
Kami akhirnya melewati masa karantina berhari-hari dengan saling terhubung. Mencurahkan segala macam kondisi dan keadaan kita masing-masing. Selama masa karantina di rumah nenek, aku juga kerap menghubungi ibuku. Konon katanya di perkampungan ibuku terdapat lebih dari lima penduduk yang sudah dijemput oleh pihak rumah sakit untuk di karantina. Isu itu beredar dari mulut ke mulut warga kalau mereka telah terjangkit virus covid-19. Alhasil pemukiman di tempat ibuku diisolasi dan tak bisa dimasuki oleh tamu atau penduduk yang tidak memiliki tempat tinggal di dalam sana.
Akses untuk masuk ke dalam pemukiman itu pun juga harus mendapatkan izin dari pihak terkait, serta pemberlakuan jam buka dan tutup suatu wilayah, dan itu sudah tertera di depan pagar setiap gapura. Diriku sudah tidak bisa lagi bermain di sana, hingga jangka waktu yang tak bisa ditentukan.
Ibuku selalu bertanya banyak hal tentang kondisi Jojo, mengenai makanannya, sekolahnya, sampai kesehatannya, ibuku rutin menanyakan semua hal itu. Serta tak luput pula mengenai bentuk bantuanku yang tiap bulannya kuberikan pada ibuku. Semua itu meliputi ongkos biaya uang kontrakannya, serta biaya kebutuhan pokok seperti beras, gula, dan minyak. Hampir sepenuhnya uang tabunganku habis kutransfer ke rekening pak Irwan.
Saat pada suatu hari, tepat di pagi yang sejuk dan dingin, dimana karantina kami sudah memasuki hari keempat. Aku sudah tidak punya uang lagi untuk kubuat makan di hari ini. Stok makananku hanya sebatas bumbu-bumbu dapur saja, serta hasil penjualan salad buah sama sekali tak memungkinkan untuk kupakai, sebab semua hasil penjualan perlu diputar untuk membeli bahan-bahan agar usaha itu tetap jalan.
Aku hanya bisa terdiam, berpikir sejuta kali untuk melakukan hal apa yang sekiranya dapat kubuat untuk makan di hari ini? Lalu tanpa kusadari, diriku dikagetkan oleh suara jendela kamarku yang bergetar-getar, mengundang hasrat ini untuk membukanya, lantas aku terkejut dan bahagia bukan main, lantaran kedua mataku melihat Tony yang rupanya berada di luar sana.
Bersambung...
Berlanjut ke Chapter 47...