Chapter 41 - Bab 41

Bunyi langkah kaki itu semakin mendekat, dengan terkejutnya Amir beserta istrinya langsung berdiri bingung tak karuan. Aku membalikkan badanku berusaha untuk memantau kedatangan pak Wanto. Mondar-mandir Amir mencari sesuatu, dan saat itu juga aku langsung menegurnya.

"Apa yang kamu cari?" Bentakku. Kulihat istrinya sedang berhati-hati menenangkan bayinya supaya tidak menangis. Jantungku seakan tak kuasa menghadapi situasi yang penuh adrenalin ini. Membayangkan apabila Amir dan istrinya kepergok oleh petugas keamanan itu, pasti situasi ini semakin bertambah kacau.

"Aku lagi mencari tempat persembunyian." Balasnya, dan dia akhirnya menemukan sebuah tempat dimana itu ialah tempat penyimpanan alat-alat kebersihan kantor. Saat itu juga Amir mengeluarkan alat-alat tersebut, dengan pelan namun pasti. Dia meletakkan berbagai macam sapu, cikrak, dan tongkat pel ke arah samping bersandar pada rak ATK.

"Cepetan, kalian harus bersembunyi sebelum mereka datang ke sini." Ucapku dengan amat ketakutan.

"Ayo sayang, cepat kemari, pelan-pelan bawa bayinya." Kata Amir kepada istrinya, dan perempuan itu mengarah kepada Amir, meringkup pada kolong penyimpanan alat kersihan itu dengan penuh hati-hati dan tanpa suara yang dapat membuat bayinya bereaksi. Kulihat tempat itu begitu gelap, terletak di paling pojok dan tentunya yang paling jorok dan bau.

Setahuku di sanalah letak dimana sarang tikus serta kecoa-kecoa berasal. Perasaanku sampai teriris, aku tak pernah berada pada situasi segila ini. Pikiranku yang terfokus pada APD milik pak Hamid seketika terbebani oleh masalah baru, dimana bila hal ini sampai terbongkar, entah seperti apa urusannya nanti.

Pintu gudang seketika terbuka oleh seseorang, nyalahan senter dari pak Wanto langsung membuatku seakan berakting seolah-olah tak ada apa-apa. Dia datang dan melihat keadaan gudang yang nampak tak biasa, wajahnya mengernyit dengan sorot matanya yang menatap ke segala ruang. Hati ini sampai dibuat ketir-ketir tiada henti.

"Kok berantakan sekali? Ada apa memangnya?" Tanya pak Wanto. Sejenak diriku garuk-garuk kepala dan tersenyum.

"Oh, tadi aku habis nyenggol barang, sampai jatuh dari rak." Kataku, dan pak Wanto beralih mendekatiku.

"Sudah ketemu APD-nya?" Tanya beliau, aku menelan ludah dengan susah payah.

"Ehmm, sudah kok, tinggal aku ambil saja." Kataku.

"Dimana itu letaknya? Biar bapak bantu." Kata pak Wanto. Jujur saja, letak dari APD yang baru kubeli kemarin di apotik K24 sudah kupindah di rak paling belakang, hal itu kulakukan supaya tak ada karyawan lain yang mengetahuinya dan mengambil stok APD itu dengan seenaknya.

Pikiranku sudah kacau balau, mengingat lokasi itu berada di posisi yang paling belakang, berdekatan dengan ruang penyimpanan alat kebersihan yang kini sedang disinggah oleh Amir dan anak istrinya.

"Gak usah pak, biar aku ambil sendiri saja." Ucapku, dan diriku langsung beralih untuk mengambil APD itu, sendirian, dan harus sendiri tanpa bantuannya.

"Yasudah, kalau gitu bapak tunggu di sini Mel," katanya.

"Iya pak," balasku. Aku berjalan menuju ke rak tersebut, dan sungguh betapa gemetarannya diriku saat mendengar suara hembus nafas Amir beserta istrinya yang berusaha menenangkan bayi itu dengan susah payah.

"Ngomong-ngomong kardus sebanyak ini kok bisa morat-marit gini ya?" Kata pak Wanto di tengah diriku memanjat rak tersebut.

"Ohh iya pak, maaf, kemarin pas sewaktu sebelum lockdown belum sempat kubereskan." Balasku, dan beliau mengangguk percaya. Aku berusaha secepat mungkin untuk mengambil APD itu dari rak, namun dengan jumlah barang yang cukup lumayan banyak, sehingga seakan tak bisa dipungkiri, diriku akhirnya menjatuhkan beberapa kardus sarung tangan itu ke bawah, dan nafasku tiba-tiba terasa sesak saat barang itu jatuh menghasilkan suara yang cukup keras.

"Hati-hati Mel!" Ucap pak Wanto, aku turun ke bawah dan langsung mengambil kardus tersebut. Sontak saja bunyi ringik bayi terdengar di telingaku.

"Mati lah sudah." Ucapku dalam hati, dan endus suara istri Amir bergeming begitu saja, membuat dada ini terasa semakin sesak dan sulit untuk bernafas. Entah, aku benar-benar sudah pasrah.

"Sauara apa itu?" Tiba-tiba Tanya pak Wanto, dengan cepat aku langsung menghampirinya, pura-pura tidak tahu.

"Ini pak, barangnya sudah kuambil." Kataku, mengecohkan situasi yang ada.

"Oke, ada berapa? Masih banyak kan?" Tanya beliau.

"Masih banyak kok, hehe." Jawabku, dan wajahnya  berubah begitu saja, mengernyit menatap ke arah sekitarku. Sorotnya begitu tajam, menjelma di sepenjuru ruangan.

"Kamu dengar suara tadi tidak Mel?" Tanya beliau, aku terdiam, dan kaki ini seketika bergemetar begitu saja.

"Dengar apa pak?" Tanyaku dengan santai.

"Suara tadi!" Katanya. "Seperti ada suara bayi." Imbuhnya, dan saat itu juga aku harus memikirkan alasan, memikirkan sebanyak apapun alasan yang kubisa, meskipun diriku sangat bodoh untuk mencari alasan-alasan kebohongan.

"Tidak tuh pak," balasku, "saya gak dengar suara apa-apa." Imbuhku, dia menggeleng.

"Ahh masak sih?" Ulesnya, "yang tadi barusan, masa gak dengar sih? Seperti ada suara bayi tau gak." Imbunya, lalu langkah kaki pak Wanto seketika mengarah pada susunan rak. Aku tak tahu lagi harus bagaimana, kemudian senternya dia nyalakan tepat pada arah pojok sana, persis pada letak Amir bersembunyi.

"Pak?" panggilku seketika.

"Iya Mel?" Katanya yang seketika itu beralih menatapku. Nafasku terengah-engah namun kutahan dengan susah payah agar aku tetap rileks.

"Coba sini, lihat deh." Kataku, sambil berpikir lagi dan lagi.

"Ada apa?" Beliau menghampiriku.

"Ehmm ini." Gumamku. "Ini kok kardus sarung tangannya robek ya?" Imbuhku. Bodoh, kalimat apa yang barusan kuucapkan ini? Tapi biarlah.

"Ya kan sudah dibuka Mel, kalau gak dibuka ya gak bakalan Robek." Jawabnya, lalu aku tertawa saat itu juga, tawa yang kupaksakan namun terbawa begitu saja.

"Tapi dulu kardus ini masih belum kubuka lho." Kataku.

"Ahh kamu ini ada-ada saja, mungkin kamu lupa kali." Kata pak Wanto, dan aku mengangguk.

"Pak." Panggilku, dan beliau menatapku. "Tadi aku nemu APD di ruang pak Hamid kok banyak banget ya pak? Sampai ada dua kardus dan isinya penuh." Ucapku. Aku berharap topik ini dapat menggiring pak Wanto keluar dari gudang ini, dan beralih untuk mengurus APD yang terletak di kantor pak Hamid.

"Iya Mel, memang segitu adanya, kenapa?" Tanya beliau.

"Aku gak tau pak cara bawanya gimana, bapak bisa bantu aku kan?" Tanyaku, lalu aku bisa melihat senyum dari pak Wanto terukir begitu saja meskipun beliau menggunakan masker.

"Bisa lah Mel." Jawabnya, "yuk, sini bapak bantu." Katanya, dan hasratku ingin mengajak beliau pergi ke ruang kantor pak Hamid, namun saat itu juga bunyi ponselku seketika berdering dengan begitu kencangnya.

"Sial, sial, sial," ucapku dalam hati. Kuambil ponsel itu dengan cepat, dan kulihat bahwa panggilan telepon tersebut rupanya dari Tony.

"Sialan kamu Ton." Gumamku, pria itu sedang menelponku dengan video call, mustakhil aku mengangkatnya. Kalau dia sampai tahu aku sekarang berada di kantor, aku yakin sekali dia pasti akan mengadu pada pak Hamid, dan pikiranku sudah bisa menebak, semua amarah pak Hamid pasti akan ditujukan pada diriku. Sungguh malam yang rumit, malam yang sama sekali tak ingin kujalani. Secepat itu aku memutus video call dari Tony dengan amat terpaksa.

"Lho kok ditutup?" Kata pak Wanto, lalu aku tersenyum.

"Biasa, telpon dari pacar yang minta ditemenin." Jawabku,

"Ohh, kamu sudah punya pacar rupanya?" Tanya beliau.

"Sudah dong." Balasku sambil kami beralih meninggalkan gudang, dan sesaat kami berada di ambang pintu, pak Wanto berhenti, tepat tak jauh dari ruang gudang, melihat ke arah samping yang memperlihatkan pintu keluar terbuka lebar.

"Lho? Siapa yang membuka pintu itu?" Tanya beliau, dan langkah kakinya langsung mengarah pada pintu itu. Aku garuk-garuk kepala tak mengerti harus mencari alasan apa lagi.

"Seharus-nya pintu ini sudah kututup." Gumamnya, dan beliau menutup pintu itu, lalu menguncinya kembali.

"Mungkin bapak lupa kali." Ulesku.

"Iya mungkin," jawabnya. Maklum lha Mel, bapak sudah tua," imbuhnya, perasaan lega sejenak membanjiriku. Aku berusaha untuk tenang dan menjaga gerak-gerikku, sebab Amir telah menduplikat kunci pintu tersebut, dan jika pintu itu terkunci, kurasa itu bukanlah masalah.

"Ayo pak, bantu aku bawa barang APD-nya ke ruang pak Hamid." Kataku, beliau menghampiriku sambil mengangguk, kami masih belum mulai melangkah dan seketika suara keras terdengar kembali di dalam gudang.

"BRAKK."

Bunyinya spontan mengagetkan kami berdua, pak Wanto merespon hal tersebut dengan sergap dan mengecek ke dalam gudang untuk yang kesekian kalinya. Tiba-tiba saja kepalaku berputar-putar merasakan pusing yang amat luar biasa. Senternya menyala pada setiap jalur yang terpasang pada rak di samping kanan kirinya.

"Sudah lah pak, mungkin itu suara tikus." Kataku.

"Bentar Mel, coba bapak cek ke sana dulu." Katanya, dan diriku tak ingin diam begitu saja. Aku berusaha berada tepat di belakang beliau, memantau gerak-geriknya. Jika dia mengarah pada pojok tempat Amir bersembunyi, aku akan siap mengecohkannya dengan cara apapun. Diriku tak ingin pasrah begitu saja, dalam situasi seperti ini aku harus siap menerima resiko yang ada, meskipun itu yang terburuk sekalipun.

"Kamu benar Mel, gak ada apa-apa kok, mungkin tadi suara dari tikus." Katanya. "Besok kalau sudah masuk lagi, tolong tempat ini kamu rapikan ya?" Imbuh pak Wanto. Aku diam saja sambil mengangguk.

"Yuk bapak bantu kamu bawa APD ke rungan pak Hamid." Katanya sambil berjalan menuju ke pintu keluar gudang. Aku langsung menutup pintu gudang itu, dan tidak berharap akan kembali ke tempat sialan tersebut.

Sesampai kami di ruangan pak Hamid, telpon dari Tony menyala kembali, saat ini dia benar-benar menelponku, tidak menggunakan video call. Dan saat itu juga aku berani untuk mengangkat telpon darinya.

"Ada apa Ton?" Tanyaku.

"Kok Video call-ku gak kamu angkat Mel?" Tanya-nya, dan lagi-lagi aku harus memikirkan alasan.

"Ehmm, iya maaf." Kataku, "maaf tadi soalnya aku keburu ke toilet sebentar." Imbuhku.

"Oke deh, aku video call kamu lagi ya? Kangen kamu soalnya." Katanya.

"Ehh jangan," balasku begitu saja.

"Lho kenapa Mel?" Tanya Tony, sungguh entah kenapa ini begitu rumit bagiku. Rasanya aku ingin cepat-cepat menyelesaikan tugas ini, sehingga aku bisa kembali ke rumah, dan berpura-pura kalau semua ini baik-baik saja.

"Aku lagi masak nih soalnya, gak bisa ditinggal, kalau di tinggal bisa-bisa masakanku gosong." kataku.

"Apa? Malam-malam gini masak? Emang kamu belum makan?" Tanya Tony, aku terdiam dan berpikir.

"Hmm iya nih." Jawabku, sungguh aku merasa berdosa pada pria itu. Aku tak punya pilihan lain selain berbohong, semua ini hanya demi tugas dan perintah dari pak Hamid.

"Yaudah, makan dulu yah, kamu baru makan jam segini itu udah telat lho Mel! Sekarang sudah pukul 10 malam, dan kamu baru makan?" Katanya.

"Maaf Ton," ulesku yang tak tahu lagi harus berkata apa.

"Awas ya Mel kalau kamu sampai sakit lagi!" Ucap Tony. "Bisa-bisa kamu akan aku suruh nginap di rumahku biar aku rawat kamu sampai bener-bener sembuh, abisnya aku geram banget kalau lihat kamu bandel dan gak nurut sama aku." Katanya, dan air mataku seketika berlinang begitu saja. Aku sadar bahwa masih ada orang yang menyayangiku apa adanya, berani untuk memikirkan kondisiku ditengah situasi sesulit apapun, dan orang itu ialah Tony. Jujur saja kalau aku juga ingin menerima video call darinya, serta melihat senyumannya, dan mendengarkan celotehan rayuannya. Tapi untuk kali ini, aku tidak bisa melakukan itu.

Melihat sekelilingku ialah zona lockdown yang bisa dikatakan masih berbahaya untuk dimasuki, aku tak habis pikir bila Tony melihat posisiku, melihat sekelilingku, dan kujawab jujur apa saja yang telah kualami saat ini. Aku tak mau dia marah dan cemas. Aku hanya ingin menuruti keawajibanku terhadap pekerjaan ini. Selagi diriku masih sanggup, maka akan aku lakukan sebisaku. Sampai menunggu diriku siap untuk menikah dengan pria itu.

"Ngomong-ngomong kamu masak apa malam ini?" Tanya Tony, dan aku tersenyum.

"Masak penyetan kesukaanmu." Kataku, dan aku bisa merasakan senyumnya yang terurai manis di wajahnya. "dan tentunya pakai uang yang telah kamu berikan ke aku." Imbuhku.

"Hmm pasti enak tuh." Katanya. "Syukurlah, aku senang dengarnya," imbuh Tony.

"Makasih ya Ton atas bantuanmu." Kataku.

"Iya sama-sama, aku senang kalau bisa bantu kamu Mel." Balas Tony. Air mataku menetes tak kuat menahan apa yang telah terjadi saat ini, yang bisa kulakukan hanya berpura-pura meskipun kebahagiaan itu nampak hanya setetes saja akan kehadirannya. Andai kamu tahu posisiku saat ini Ton, kamu pasti panik dan marah bukan main.

Bersambung…

Berlanjut ke Chapter 42...