Chapter 43 - Bab 43

Pak Hamid mencoba untuk meyakinkan diriku dengan apa yang dia katakan. Tak seorang pun di dunia ini yang tidak memiliki sifat kejam, dan mungkin itu benar adanya. Namun jika beliau telah bermain api dengan melibatkanku ke dalam masalah yang akan merugikan banyak orang, itu sama saja dia telah menyeretku dalam pusaran kekejamannya. Aku bukanlah orang yang sepertinya, mungkin aku pernah bersekongkol dengan Amir perihal manipulasi nota-nota tagihan, tapi itu tak sebanding dengan arti kekejaman yang beliau lakukan.

"Ikuti saja apa yang saya katakan padamu, pasti kamu akan menemukan letak kemudahan yang sesungguhnya." Ujar pak Hamid.

"Lagi pula kamu berhak mendapatkan apa yang bapak berikan itu, tak usah diambil pusing, jaman sekarang mendapatkan uang segitu sangatlah sulit, iya kan?" Imbuhnya, sorot mataku menatap di setiap gerak gerik wajahnya, aku sangat takut apabila setelah menerima pemberian dari beliau diriku dapat terperangkap dalam jebakannya, hal yang tidak akan pernah kuketahui sebelumnya, bisa saja beliau akan terus mengincarku untuk menuruti apa saja yang dia inginkan, bagaikan tonggak senjatanya untuk melakukan hal terlarang itu.

Dengan alih-alih bisnis yang dia maksud, cukuplah sudah. Aku sama sekali tak pernah menerima pemberian uang dari orang asing sebanyak ini secara cuma-cuma, kalau tidak pada ujungnya nanti pasti akan ada maunya, dan aku tidak mau mengambil resiko tersebut.

"Kalau saya boleh tahu, apakah ini adalah yang pertama dan yang terakhir kalinya bapak menyuruh saya dalam hal ini? Coba apa saja yang bapak lakukan dengan APD sebanyak itu? Bolehkah saya mendapatkan alasannya?" Kataku.

"Husstt." Sahutnya sambil menutup bibir dengan jari telunjuknya, membungkam apa saja yang aku katakan padanya.

"Kamu tak perlu tahu, sudah diam lah saja, ingat apa yang saya reminder padamu kalau jangan sampai kamu bilang-bilang ke siapapun. Baik perihal karyawan yang sudah terinfeksi maupun soal APD itu, mengerti?" Kata beliau dengan wajah serius. "Apalagi terhadap Tony, saya sangat geram sekali sama anak itu. Berani-beraninya dia mengatur-ngatur saya, seakan-akan dia yang serba tahu banyak hal." Ucapnya, lalu pak Hamid berdiri dari kursinya, mengambil seputung rokok dari saku kemejanya, dan dia nyalakan korek untuk membakar ujung putung rokok tersebut, gumpalan asap tembakau seketika membumbung di-hadapanku.

"Memangnya apa saja yang Tony bicarakan pada bapak?" Tanyaku sambil mengernyit.

"Hmm, tentunya dia berbicara tentangmu, kamu pacar-nya kan?" Tanya beliau balik, dan itu membuatku tertunduk tak kuasa menjawab pertanyaan tersebut, entahlah.

"Kalau memang benar kamu pacarnya, kayaknya kamu harus lebih berhati-hati bila berhubungan dengan pria itu. Dia tipikal pria yang suka mengatur-ngatur, sok pintar, dan tak mau disalahkan. Hanya saja posisi pekerjaan dia di kantor saya tergolong cukup berpotensi, dia mampu membuat proposal-proposal perusahaan dengan sangat bagus dan kompeten, kalau saja hal itu tidak terjadi, mungkin pria-mu itu sudah senasib dengan Amir." Katanya panjang lebar.

"Suka mengatur? Sok pintar? Alasan apa yang membuat bapak menyuruhku untuk berhati-hati padanya? Selama ini Tony memang suka mengaturku, namun mengaturku untuk berada di jalan yang benar." Jawabku atas ucapannya tersebut, lantas pak Hamid tertawa sejenak, tawanya terdengar begitu meremehkan.

"Haha, terserah kamu Mel, saya cuma heran saja dengan dirimu yang mau banget jadi bucin-nya pria seperti itu."

"Pak, cukup." Tepisku. Dan kepala beliau menoleh menatapku.

"Apa katamu?" Ucap-nya, "kamu membelanya?" Aku terdiam dan tak berani melihat sorot mata pak Hamid yang begitu kuat melekat menusuk bola mataku.

"Silahkan saja, asalkan kamu tetap selalu ada di setiap tugas-tugas yang akan bapak berikan ke dirimu, tanpa atas sepengetahuan-nya." Imbuhnya, dan diriku benar-benar tak bisa tenang, entah kenapa semuanya menjadi seperti ini, seolah diriku dihadapkan pada keputusan-keputusan yang harus kupilih, dan semua itu seakan memiliki keterkaitan erat dengan orang-orang terdekat yang selalu ada denganku.

"Tugas apa itu memangnya pak?" Tanyaku, lantas beliau menepisku, bersandar pada pilar ruang tamu yang menyangga bangunan lantai atas bangunan ini.

"Pokoknya banyak lah, nanti kamu juga tahu sendiri." Kata beliau dengan mudahnya.

"Kalau mengenai hal semacam ini lagi, sepertinya saya kurang yakin pak, lagi pula perusahaan kita menjalani masa karantina, bahkan bapak dan karyawan lainnya juga sudah mengikuti rapid test dan hanya menunggu hasilnya seperti apa. Mungkin ada baiknya kita turuti protokol kesehatan yang ada saja pak." Kataku, berusaha untuk menggali informasi darinya.

"Ya itu kan saya dan karyawan lainnya, sedangkan kamu kan tidak ikut rapid test, kamu itu pengecualian dari kita semua Mel, jadi kamu harus nurut dengan apa yang saya perintahkan kepadamu." Jawab beliau, dan jujur saja, itu sangat menampar perasaanku. Aku tak habis pikir kalau sistem yang dia buat nampak di depan mataku kalau sama sekali tak berpihak kepadaku.

"Lagi pula posisimu saat ini ialah sebagai seorang pesuruh, yang sepatutnya menjalankan apa saja yang perusahaan mau. Tanpa harus saya beri kebijakan khusus, semua itu telah memenuhi protokol kesehatan lantaran saya juga membutuhkanmu di saat-saat tertentu saja. Jadi kamu tidak usah khawatir untuk tidak dapat jatah karantina, kamu bisa karantina sesuka hatimu kalau sudah menjalankan perintah dari saya." Kata pak Hamid yang membuat tenggorokanku tersekat.

"Bagi saya ini sama sekali bukan kepentingan perusahaan, justru malah lebih pada kepentingan pribadi bapak sendiri." Ucapku yang terlontar begitu saja. Beliau-pun tertawa sedang sambil menatapku dengan tatapan sinisnya.

"Kepentingan saya juga termasuk kepentingan perusahaan, lantas kamu pikir posisi bapak di sana itu sebagai apa?" Tanya beliau balik kepadaku.

"Bapak di sana seorang bos kok, sedangkan saya hanya seorang pesuruh, benar seperti apa yang bapak katakan." Ujarku, dan tatapan pak Hamid seketika mengernyit.

"Apakah dengan posisi seperti saya ini yang menyebabkan saya tidak diikut sertakan dalam rapid test?" Tanyaku, lalu pak Hamid terdiam menatapku.

"Yah." Jawabnya sambil mengangguk. "Kamu beda dari yang lain." Imbuhnya.

"Beda karena posisi saya yang jauh lebih rendah? Yang tidak memiliki potensi seperti yang bapak umpamakan tadi terhadap Tony?" Tanyaku kembali pada beliau, dan entah kenapa rasanya percakapan kali ini mengarah pada hal yang begitu intens dan amat serius.

"Gini ya Mel, pekerjaan kamu itu sangat fleksibel, benar-benar sangat mudah dan bisa dilakukan oleh siapapun, bahkan tanpa perlu partner pun kamu seharusnya bisa meng-handle semua itu. Berbeda dengan yang lain yang memiliki tanggung jawab penuh terhadap perusahaan. Sedangkan kamu? Yang hanya berperan dibalik layar, seharusnya lebih berperan dimasa-masa seperti ini." Jawab pak Hamid dengan begitu meyakinkan. Beliau sejenak berjalan menuju ke arahku, putung rokok itu masih berada pada ujung jemari tangan kirinya. Melewati meja dan dia letakkan pada asbak rokok, lalu arahnya kembali mendekatiku.

"Lagi pula semua itu juga bakal ada imbalannya kok, ada tips buat kamu yang tidak akan pernah karyawan dapatkan selain dirimu, karena kamu berbeda dari mereka semua." Katanya yang berdiri tepat di hadapanku, hingga diriku duduk di kursi sofa ini sambil mendangak menatapnya.

"Berbeda dari mereka, sebab bapak anggap lebih fleksibel dan mudah, namun bila aku tumbang, bisa terganti begitu saja sebab semua orang bisa melakukan apa saja yang menjadi pekerjaanku, begitu kan pak?" Kataku dengan tegas menatap ke arah bola matanya. Beliau terdiam sambil mengernyit.

"Sama seperti yang bapak lakukan terhadap Amir, iya kan?" Imbuhku.

"Oke, ngomong-ngomong soal Amir, dia penipu." Katanya, dan jantungku seketika berdebar.

"Bagimana dia bisa penipu? Dia sudah sering memalsu banyak sekali nota-nota tagihan, dia kerap mengambil uang kembalian karyawan yang telah meminta tolong dibelikan sesuatu padanya, dan saya lihat dia juga kurang trampil dalam bekerja, berbeda dengan dirimu." Katanya dengan wajah yang seketika berubah menjadi baik. "Mungkin berat rasanya bagi saya untuk melepasmu Mel, sungguh." Imbuhnya, lalu beliau berbalik arah, mengambil putung rokoknya kembali, kemudian bersandar pada pilar tersebut.

"Sudah lah, kamu tidak usah khawatir, saya jadi gak enak habis ngomong seperti ini kepadamu." Ucap beliau. "dan kamu juga jangan takut atas kejadian di kantor tadi. Bapak akan ambil tindakan tegas perihal kedatangannya yang membawa anak istrinya sampai menyelundup masuk kedalam kantor. Bapak rasa dia memegang kunci cadangan kantor ya Mel?" Imbuh pak Hamid.

"Jangan pak, saya mohon." Balasku.

"Maksudmu?"

"Jangan apa-apakan dia, kasihan pak, dia tidak jadi mengambil apapun, sungguh, aku sudah memberinya uang hanya untuk kebutuhan hidup mereka." Rintihku.

"Astaga, saya tidak peduli itu." Kata pak Hamid. "Apa saja yang sudah melanggar keamanan perusahaan, sampai dengan cara membobol pintu belakang seperti itu, tetap akan bapak proses." Kata beliau.

"Pak Jangan, sungguh saya mohon, apa bapak tidak kasihan sama anak istrinya? Amir hanya butuh makan dan membelikan susu anaknya saja pak, itu pun juga tidak jadi mengambil barang-barang kantor. Saya memergokinya dan mencegahnya, lalu saya kasih dia dengan uang saya. Hanya itu saja." Kataku dengan amat memohon kepada pak Hamid. Wajah beliau berubah menjadi diam berpikir seolah tak mau tahu.

"Kamu lebih baik diam saja deh Mel, urusan kamu sekarang sudah selesai, sebaiknya kamu pulang saja." Ujar pak Hamid. Sungguh aku kebingungan dan seakan mau menangis di malam ini. Betapa kejamnya dia bila tetap memberi sanksi terhadap Amir. Apa yang selama ini dia lakukan masih belum cukup? Tindakan yang barusan kami lakukan, itupun apakah juga bukan termasuk larangan yang akan menuai sanksi? Setidaknya ada sedikit rasa kemanusiaan yang melekat di hatinya.

Aku bingung dan tak tahu harus melakukan cara apa lagi, bahkan menjawab semua bentuk keputusan atas pekerjaan ini. Aku sama sekali tak punya pilihan lain. Yang kini sudah jelas di depan mataku, bahwa apa saja bentuk pekerjaan yang aku lakukan sekarang ialah hal yang tidak benar, hal yang cenderung mengarah pada proses hukum, hal yang rentan bagiku untuk menuai kecaman dari banyak pihak, Dimana itu semua telah kusadari dan bisa kulihat di depan mataku sendiri.

"Saya gak mau pulang sebelum saya mejawab keputusan bapak terhadap diri saya." Kataku, suasana hening seketika menyertai kami berdua. Kemudian aku mengambil kembali uang satu juta rupiah pemberiannya tersebut dari kantong celanaku, dan kuletakkan uang tersebut di atas meja tamu-nya.

"Saya kembalikan uanganya." Kataku. "Saya tidak akan pernah mau menerima pemberian apapun dari hal yang gak benar." Imbuhku, dan pak Hamid tersenyum. Senyum sebagai bentuk kekesalannya terhadap diriku.

"Dasar pengecut." Lontarnya kepadaku.

"Dasar tidak tahu diuntung, terserah kalau kamu tidak mau, berarti kamu tidak niat menjalani tugasmu." Bentaknya dengan nada yang penuh amarah.

"Terserah bapak ngomong seperti apa, yang jelas saya tidak mau menjalankan perintah semacam ini lagi, sudah cukup sampai sini saja pak." Kataku sambil memberanikan diri menatap wajahnya, dan beliau mengangguk seolah mensetujui keputusanku.

"Oke, gak masalah," katanya, dan beliau mendekatiku tepat berada di depanku. "Asalkan kamu tetap menjaga mulutmu atas bentuk semua ini, dan kalau sampai kamu sesumbar, kamu akan tahu sendiri akibatnya." Imbuh pak Hamid. Aku mengangguk dan tak berani menatap wajahnya lagi.

"Sudah pulanglah sana, lagi pula banyak orang lain diluar sana yang lebih membutuhkan posisimu." Ucapnya, dan dengan amat berat diriku berdiri dari kursi sofa itu, sambil mengingat Amir, aku harus membuat keputusan malam ini.

"Baik, saya tidak akan bilang ke siapa-siapa asalkan bapak tidak macam-macam dengan Amir." Kataku yang kupaksakan untuk berani melawannya. Lalu diriku pergi begitu saja meninggalkan ruangan itu. Berjalan menuju ke pintu keluar dan memasang jas hujanku kembali.

Hujan deras masih melanda kota ini, aku berharap diriku tidak menggigil kedinginan sampai di jalan nanti. Aku sampai tak habis pikir kalau malam ini ialah malam dimana diriku merasakan kehilangan pekerjaanku. Itu ialah keputusan yang sungguh diluar dugaan, namun terucap begitu saja di dalam mulutku, yang pada ujungnya membuat perasaanku begitu lega, serta hatiku merasa tenang sebab tak terikat kembali oleh instansi perusahaan tersebut.

Menerapkan dan menuruti perintah beliau sangatlah berbahaya dan tidak manusiawi. Tony pastinya akan marah besar apabila diriku melakukan semua hal itu. Bukan hal yang mustakhil lagi bagiku di saat ini untuk menolak perintah seorang pimpinan, meskipun di luar sepengetahuan Tony, aku yakin sekali kalau pria itu sangat kooperatif, dan sangat mengerti tentang apa saja yang ada pada diriku.

Mungkin aku akan mencari alasan lain kepada mereka, terutama kepada keluargaku. Terlepas akan bentuk kekecewaan mereka, aku sama sekali tidak peduli. Aku lebih baik mengecewakan mereka demi kebaikan dari pada menuruti perintah tersebut untuk merugikan banyak orang.

Bersambung...

Berlanjut ke Chapter 44...