Pak Wanto mulai membantuku mengangkat semua kardus-kardus berisi APD tersebut untuk dibawa keluar dari kantor pak Hamid. Aku tak tahu harus melakukan cara apa lagi terhadap Amir yang kini masih berada di dalam sana. Diriku juga semakin pasrah dengan kondisi yang terjadi saat ini. Melihat pintu gerbang masuk ditutup dan dikunci rapat-rapat membuat pikiranku sudah tak kuat untuk mengingat tentangnya lagi.
Kuharap duplikat kunci itu bisa membantunya untuk lari dari sini dan bisa melanjutkan hidup dengan uang pemberianku itu. Aku yakin dia juga pasti lebih ahli dalam mengatasi situasi seperti ini, meskipun di tengah malam yang diselimuti oleh awan mendung yang menandakan hujan deras akan tiba. Bau tanah dan nyalahan petir membuatku yakin kalau perjalananku menuju ke rumah pak Hamid pasti penuh dengan tantangan.
"Kamu bawa jas hujan kan Mel?" Tanya pak Wanto saat hendak menali barang-barang tersebut di Shine.
"Bawa kok Pak." Balasku.
"Lebih baik kamu pakai sekarang saja Mel, nanti keburu hujan, jas hujannya ada di mana?" Tanya –nya. Lantas aku mulai sadar kalau jas hujan tersebut ada di dalam jok motor-ku. Sebelum dia menali barang tersebut, maka kuambil jas hujan tersebut terlebih dahulu. Sungguh ide dan pemikiran yang bagus. Beliau begitu khawatir dengan kondisiku yang akan membawa barang-barang tersebut hanya dengan menggunakan sepeda motor saja. Kulihat pak Wanto mulai menali barang-barang itu dengan begitu erat, dan itu pasti akan sulit bagiku untuk membukanya kalau tidak menggunakan gunting.
Saat seluruh tubuhku terselimuti oleh jas hujan, awan mulai meneteskan air gerimis kembali, ini sudah saatnya untuk menempuh waktu-waktu sulit. Pak Wanto dengan susah payah telah menali barang-barang tersebut seerat mungkin, dan aku percayakan semua itu hanya kepadanya. Asalkan Koneksi internet dalam ponselku tetap stabil, kupastikan perjalanan hingga menuju ke rumah beliau tidak akan tersesat.
Namun sialnya koneksi internet pada ponselku selalu mengalami ganggunan bila cuaca sedang mau hujan seperti ini. Aku menjadi sangat tidak yakin untuk bisa melakukannya, menunggu dan tetap berjalan pelan-pelan. Itu semua seakan tak ada cela bagiku untuk tetap fokus melihat layar petunjuk arah pada google map.
Air hujan juga sekaan menyerangku bertubi-tubi dengan jutaan tetesannya. Wajahku sampai sulit mendapatkan pandangan jalanan kota di malam ini. Lajuku berjalan pelan namun pasti, berusaha untuk jeli mendengar disetiap ucapan pada google map yang bergeming lewat headset yang kupasang.
Saat itu kuanggap situasi darurat terjadi ketika diriku berada pada jalur satu arah dimana itu banyak terdapat pengendara yang berjalan dengan laju yang amat cepat. Aku tak bisa berjalan dengan kecepatan yang sama seperti mereka, sebab jarak diriku untuk duduk pada sepeda motor ini amatlah sempit, itu semua karena barang-barang yang kubawa begitu banyak. Alhasil aku menyampingkan kendaraanku, berjalan sambil menikmati rintikan hujan dan nyalahan lampu penerangan jalan. Kuning keemasan, membuatku rindu dengan ranjang dan selimut, sebab ini ialah waktu dimana aku seharusnya tidur nyenyak di dalam kamar.
Aku membutuhkan waktu sekitar satu setengah jam untuk sampai di komplek perumahan kediaman pak Hamid. Di sana aku harus menemukan blok dan nomor alamat rumah, lalu sampailah sudah.
Hujan masih tetap bergulir deras, dingin menusuk tulang rusukku. Pada penjuru komplek perumahan tersebut nampak gelap gulita dengan matinya lampu penerangan yang terpasang pada deretan jalanan tersebut. Namun kulihat hanya rumah pak Hamid yang nampak terang dengan lampu LED putih menyala di teras rumahnya. Di sana juga nampak petugas yang sedang berjaga di depan pagar. Jujur saja, rumah pak Hamid rupanya begitu besar, tak kalah besarnya dengan rumah milik Tony.
Aku turun dari Shine dan menuju pada petugas tersebut yang nampaknya sedang memandu mobil Alphard yang hendak keluar dari rumah tersebut. Aku tak peduli akan keberadaan pak Hamid yang sedang stay di dalam rumah atau tidak, yang terpenting barang-barang ini sudah sampai di rumahnya.
"Pak!" Panggilku pada petugas tersebut. Lalu pria itu menoleh dengan gusar-nya.
"Siapa kamu?" Tanya-nya.
"Saya Amel pak, karyawannya pak Hamid, mau ngirim barang yang habis disuruh sama beliau." Kataku dengan nada yang megap-megap karena kedinginan, Lalu seketika itu ekspresinya berubah menjadi lunak, dia nampak tersenyum tipis, senyum yang nampak dipaksakan, dan memberikanku izin untuk masuk ke dalam sana.
"Ohh, masuk saja, sama bawa motormu ke dalam." Katanya, dan diriku kembali menaiki Shine, meletakannya di halaman rumah pak Hamid yang amat luas tersebut.
Orang itu juga membantuku untuk melepaskan barang-barang yang kubawa sambil dibantu beberapa rekannya yang juga hadir dengan membawa payung. Diriku sendiri meneduh di luar teras rumah itu sambil melepas jas hujan milikku. Aku sangat membenci malam ini, baju dan celanaku nyaris basah kuyup. Seluruh tubuhku seketika gemetaran karena begitu dinginnya hujan di malam ini.
"Amel?" Tiba-tiba bunyi sapa seseorang yang kusinyalir itu pasti suara pak Hamid.
"Sudah datang kamu rupanya." Ucapnya, aku menoleh menatap orang itu yang sedang berdiri tepat pada ambang pintu masuk rumahnya. Dia tersenyum, senyum yang tak pernah terukir seperti itu pada sebelumnya.
"Ayo masuk Mel." Imbuhnya, dan aku membalas senyumannya sambil mengangguk menghampiri beliau.
"Sudah dari tadi atau barusan?" Tanya pak Hamid.
"Barusan kok pak." Balasku.
"Aduh Mel, maafkan bapak ya sudah nyuruh kamu malam-malam begini, sampai ikut kehujanan." Ulesnya, dan diriku hanya tersenyum, namun juga terkejut atas kemewahan interior rumah pak Hamid yang sedang kumasuki ini.
Aku berada di dalam ruang tamunya, berdiri di atas lantai marmer bening membentang di sepenjuru ruangan. Aku sampai terpikir oleh kondisiku yang selalu meneteskan air-air hujan pada setiap bajuku yang basah kuyup.
Di sana kulihat ada anak-anak yang sedang bermain sambil duduk di atas kursi sofa besar yang nampak empuk dan nyaman itu. Lalu beberapa orang yang mungkin keluarga beliau juga sedang asyik menonton televisi LED yang berukuran 42 inch lengkap dengan sound home theatre-nya di sana.
Melihat suasana itu diriku hanya bisa terbengong, merasakan bentuk kenyamanan mereka yang mungkin juga sulit untuk kudapatkan, lantas saat itu pak Hamid mengecohkan pengamatanku.
"Duduk saja Mel." Katanya, dan aku kembali sadar menatap wajah beliau.
"Duduk di kursi itu?" Tanyaku, dia pun mengangguk.
"Anak-anak! Mainnya di dalam saja ya? Ini papa sedang kedatangan tamu penting, dan ini juga sudah malam, waktunya kalian semua tidur." Ucap pak Hamid kepada anak dan sanak saudaranya. Lalu mereka pun beralih bubar begitu saja dan masuk ke dalam sana. Sebelum diriku duduk di kursi sofa itu, pak Hamid menyuruhku untuk membuka kedua tanganku, dan dia menyemprotkan cairan handsinitizer di sana.
"Sebenarnya saya berat sekali untuk mengajakmu ke sini Mel, tapi berhubung atas jasamu itu, membuat saya mau untuk mengajakmu masuk ke dalam sini." Katanya.
"Oh Pak, kalaupun tidak sampai masuk ke dalam juga gak pa pa kok, saya hanya ingin mengantarkan bara-barang itu saja." Tepisku.
"Ehh jangan gitu dong Mel, mana mungkin saya bisa menolak atas bentuk jasamu ini." Katanya sambil tersenyum, kemudian atas rayuan itu lah yang membuatku perlahan segan untuk masuk ke dalam rumahnya, lalu duduk di atas kursi sofa itu, dan yang kurasakan ialah bentuk kenyamanan yang sesungguhnya. Balutan kain polyester yang teramat halus memanjakan kulit telapak tanganku.
"Kamu mau saya buatin minuman apa Mel?" Tanya pak Hamid.
"Gak usah pak, saya hanya perlu kain lap saja, ini baju saya lumayan basah soalnya." Kataku.
"Oh baiklah," jawab beliau. "Tapi kamu tetap akan saya buatin minuman Mel." Imbuhnya.
"Bibi? Tolong ambilkan kain sapu tangan sama buatin minuman teh hangat ya?" Kata pak Hamid yang tertuju pada pembantunya tersebut. Lalu tak lama kemudian ibu pembantu itu datang sambil memberikan kain sapu tangan padaku.
"Terima kasih ya." ucapku padanya.
"Wah Mel, sungguh kamu itu bisa diandalkan rupanya." Kata pak Hamid. "Kamu tadi bawanya gak keberatan kan?" Tanya beliau.
"Oh sama sekali tidak pak, tadi dibantu pak Wanto juga ternyata." Jawabku yang kubuat seringan mungkin.
"Baguslah," jawab pak Hamid. "Sampai sana tadi gak ada kendala apa-apa kan Mel?" Tanya pak Hamid.
"Tidak kok pak." Ucapku yang berusaha menyampingkan sebisa mungkin atas kejadian Amir. "Sama sekali tidak ada, hanya saja tadi hujannya deras sekali." Imbuhku.
"Iya, hujannya cukup deras memang malam ini." Katanya, kemudian pak Hamid sejenak mengambil dompetnya di saku celananya untuk mengambil beberapa uang, dan seketika saja dia memberikannya kepadaku.
"Ini Mel, ambil saja." Katanya, dan diriku terdiam tak mengerti harus bagaimana. "Ongkos kirim atas bantuan jasamu." Imbuhnya, dan diriku seketika bingung harus menerimanya atau tidak. Jujur saja, beliau tidak pernah memberiku insentif apapun kepadaku, meskipun beliau begitu sering menyuruhku dan merepotkanku. Inilah saat pertama kalinya yang sangat membuatku heran akan sikapnya.
"Ayo, ambil Mel," desaknya. "Gak usah malu-malu, ambil saja lah." Imbuhnya, dan diriku perlahan mengambil uang itu, dimana uang ratusan ribu yang cukup tebal, dan saat kuhitung jumlah uang itu rupanya beliau mengasihiku uang sebanyak satu juta rupiah.
"Pak! Serius uang sebanyak ini buat saya?" Tanyaku, dan dia pun mengangguk sambil tersenyum.
"Kok bisa sampai sejuta pak? Gimana ceritanya?" Tanyaku dengan begitu penasaran.
"Sudah lah Mel, seperti yang bapak katakan, jangan kamu kasih tahu sama siapa-pun, kalau ini itu dari bisnis, kamu pasti tahu lah." Katanya, dan pikiranku langsung merambah pada barang-barang yang telah kuambil dari kantornya tersebut. Bahwa perlengakapan APD sebanyak itu, lantas apa yang akan dia lakuakan dengan barang-barang medis sebanyak itu? Kalau tak lain menjualnya dengan harga selangit.
"Pak." Panggilu, "Apa ini gak bahaya?" Tanyaku, beliau pun tertawa mendengar pertanyaanku.
"Kamu cemas ya Mel?" Tanya-nya, "tidak usah cemas, ini semua tidak menyalahi aturan kok, memang dari pusat stok yang begituan sudah langkah." Imbuh pak Hamid, dan diriku merunduk tidak habis pikir atas semua hal ini, yang jelas apa yang kurasakan saat ini begitu campur aduk, diriku sampai kebingungan atas apa saja yang kualami malam ini.
"Lagi pula kamu pasti membutuhkannya kan Mel?" Tanya pak Hamid. "Terima saja, anggap lah itu timbal balik atas bentuk tolong menolongmu terhadap temanmu itu." Imbuhnya yang sontak membuatku menatap wajahnya lekat-lekat.
"Maksud bapak?" Tanyaku.
"Maksud saya, coba siapa yang berani datang malam-malam tanpa seizin saya di tengah situasi kantor yang sedang lockdown?" Katanya, dan jantungku spontan langsung gemetaran saat mengetahui kenyataan tersebut.
"Lagi pula saya tetap mengapresiasimu kok Mel, kamu masih tetap menjadi yang bapak inginkan." Imbuhnya.
"Maaf pak, saya_"
"Usshh, tak usah minta maaf, kamu gak salah apa-apa Mel." Tepisnya.
"Meskipun kamu sangat pandai menyembunyikannya sekalipun." Imbuh Pak Hamid.
"Tapi pak! Bagaimana pak Hamid bisa tahu?" Tanyaku, dan entah kenapa beliau seketika tertawa terbahak saat itu juga, kecemasanku kambuh begitu saja, dan itu sungguh semakin mengerikan.
"Mana mungkin coba saya lepas kendali begitu saja di tengah kantor saya yang sedang lockdown? Tentu lah saya tahu semua dengan apa saja yang ada di sana." Terangnya. "Jadi jangan macam-macam lah pokonya sama saya." Imbuh pak Hamid, dan tatapan beliau seketika mengarah padaku dengan sorot mata yang begitu tajam, menggiringku untuk masuk ke dalam jurang jebakannya yang seakan nyata tepat di hadapanku.
"Coba ceritakan apa saja yang sudah dia bicarakan kepadamu?" Tanya beliau dengan nada yang begitu serius, dan diriku tergagap begitu saja, seolah diriku sudah tak bisa berbohong lagi untuk menutup-nutupi kejadian itu.
"Katakan saja Mel gak pa pa." Desaknya, dan diriku tidak berani menatap wajah beliau, aku memilih untuk merunduk dan berkata yang sejujurnya.
"Mereka datang ke kantor untuk mengambil barang-barang bekas supaya bisa mereka jual Pak." Kataku.
"Mereka melakukan itu karena untuk membeli susu anaknya, dan mereka juga tidak makan selama dua hari pak." Imbuhku.
"Dan kamu percaya?" Gertak beliau hingga diriku merunduk tak berani menjawab perkataannya.
"Jangan percaya dengan ucapan seperti itu Mel." Tukasnya. "Jadi orang itu jangan mudah memberi rasa iba kepada orang lain, meskipun itu terhadap teman dekat sekalipun." Imbuhnya.
"Jadikan 2020 ini itu ialah tahun yang tanpa ampun, karena kamu tak akan pernah tahu bahwa setiap orang itu memiliki sifat kejamnya masing-masing, begitu pula dengan dirimu." Ucap pak Hamid, yang membuat diriku berani menatap matanya.
Bersambung...
Berlanjut ke Chapter 43...