Perasaan sedih yang ada di dalam hatiku seakan tak bisa dibendung lagi. Aku terdiam dengan tatapan kosong mengarah kearah depan. Tony menggenggam tanganku dengan erat dan dia membalikkan tubuhku ke samping untuk menatapnya.
Kekhawatiran Tony terhadap diriku semakin nyata, mengingat bahwa aku akan pergi ke tempat yang sudah terpapar oleh virus tersebut. Bagaimana bisa dia segan untuk mesetujuiku pergi ke tempat itu di saat diriku yang baru sembuh atas penyakit anemia yang telah kuderita beberapa hari yang lalu.
"Jangan ke sana Mel." Katanya, dan kepalaku mendangak menatap mata sayunya itu.
"Tapi itu tugasku," kataku. "Aku harus ke sana." Imbuhku. Lalu Tony menggeleng dengan wajah nya yang sangat khawatir kepadaku, dan genggaman tangannya juga terasa semakin erat.
"Seharusnya kamu juga ikut rapid test, kamu harus sama seperti kita semua, aku tidak mau kamu ke sana pokoknya." Kata Tony seraya memohon kepadaku.
"Lagian Ton, apa-apa yang ada di saat ini itu selalu disangkut pautkan dengan korona." Tegasku, "kamu sadar kan? Kadang orang sakit dikit aja udah banyak yang curiga kalau itu korona, bahkan orang batuk dan pilek saja udah dianggap korona, aku udah muak Ton sama semua itu." Imbuhku yang membuat Tony seketika terdiam dan merunduk.
"Tapi aku cuma gak mau kamu kenapa-napa Mel." Ucapnya dengan nada kalem, dan itu spontan membuat hatiku terluka, sebab aku tidak ingin membuat Tony terlalu cemas, maka sebisaku aku harus mampu meyakinkannya.
"Ton! Jangan merunduk." Panggilku, "aku gak pa pa, dan aku bakal baik-baik saja kok, anggap saja ini semua tanggung jawabku, karena pekerjaanku memang seperti ini. Kamu tau sendiri kan kalau Amir sekarang dipecat? Dan otomatis aku yang harus menanggung kebersihan kantor itu sendirian." Kataku, dan dengan perlahan Tony menatapku, aku sangat tidak tega melihat wajahnya yang kusut dan memerah seperti itu.
Genggaman tangannya juga terasa semakin erat. Niatku yang ingin meyakinkannya malah berubah menjadi momen serius yang menurutku ini terlalu berlebihan.
"Enggak, aku tetap gak mengijinkanmu," katanya, "biarkan kantor itu terbengkalai, lagian kondisinya di sana sedang tidak steril." Imbuh Tony, lantas aku mengernyit.
"Kamu ini kenapa sih? Udah, gak usah mikir yang engak-enggak deh." Jawabku, "yaudah kalau kamu gak mau, aku berangkat sendiri saja pakai Grab." Imbuhku. Tangan Tony tetap menggenggam telapak tanganku begitu erat. Pria itu seperti tak ingin membuatku pergi, aku sampai tak punya cara lain lagi untuk bisa lepas darinya.
"Nurut sama aku deh Mel, kamu gak usah mikir perintah pak Hamid. Dia itu gak bener, seharusnya kamu itu sama-sama kayak kita mengikuti rapid test dan sama-sama menjalani masa lockdown, lagian kamu juga baru sembuh kan?" Kata Tony panjang lebar, aku berpikir sejenak dan tak berani menatap wajahnya yang nampak seserius itu.
"Ya Mel? Kamu jangan ke sana ya? Biar aku nanti yang ngomong ke pak Hamid." Katanya.
"Kok gitu sih? Kamu mau aku yang kena marah lagi?" Tanyaku sambil menatap matanya lekat-lekat. "Kamu dengar sendiri kan tadi kalau kondisi perusahaan sekarang itu tidak stabil, oleh arena itu mereka pecat Amir, coba kalau aku kebanyakan protes kayak kamu gini, bisa-bisa aku juga dipecat Ton." Kataku.
"Tapi di sana bahaya Mel." Ules Tony.
"Iya, tapi kamu juga jangan egois gitu dong." Tepisku, dan kami terdiam saat percakapan kami terasa seperti mengarah ke perdebatan. Sebenarnya aku merasa bersalah karena telah berbicara dengan nada tegas seperti itu ke Tony, tapi mau bagaimana lagi? Aku merasa begitu pusing dan tak punya cara lain untuk menghadapi situasi ini.
"Maaf Ton kalau nada bicaraku tadi agak tegas ke kamu." Kataku pada akhirnya, lalu genggaman tangan Tony perlahan mulai melepasku.
Saat aku menatap wajahnya, dia tersenyum tipis, nampak senyum yang dipaksakan.
"Gak pa pa Mel, sebenarnya aku berat sekali melepasmu untuk pergi ke sana." Kata Tony.
"Sama, aku juga Ton, tapi mau gimana lagi?" enyahku.
"Yaudah, kamu jangan naik Grab, aku antar kamu ke sana saja." Katanya, dan aku bisa melihat kepasrahan Tony yang begitu berat. Aku meniatkan diri untuk menggenggam tangannya selagi kami berjalan ke parkiran mobil. Detak jantungku tiada henti untuk berdebar hingga sampai ke dalam mobilnya.
"Info semalam yang aku dapat dari teman-teman kantor, di sana itu ada lebih dari 5 orang yang sudah terpapar." Kata Tony saat hendak menyalakan mobil.
"Lebih baik kamu jangan infokan hal itu ke aku deh Ton, yang ada kamu itu malah nakut-nakuti aku tau gak?" jawabku, dan dia tertawa sedang.
"Tapi kenyataannya memang seperti itu Mel, makanya aku sangat cemas sekali kalau kamu ke sana." Katanya, dan aku sejenak menghirup nafas panjang.
"Kamu tau kan? Sebenarnya tugas seperti ini itu bukan passion-ku, aku juga tak ingin menjalani profesi seperti ini, tapi semua kulakuin aja demi supaya aku dapat penghasilan." Ungkapku. "Dari pada aku dipecat seperti Amir dan sulit cari uang, kamu pilih mana?" tanyaku pada Tony.
"Aku milih mending kamu gak usah kerja biar aku aja yang kerja dan cari uang buat kamu." Katanya, sungguh ucapan Tony itu membuatku tertunduk.
"Iya, kalau kita sudah suami istri." Gumamku.
"Makanya kamu aku ajak nikah kamu gak mau." Ucap Tony, dan aku hanya bisa terdiam sambil menatap kaca ventilasi mobil yang menunjukkan pemandangan kota. Jalanan yang begitu lengang tanpa adanya hambatan kemacetan.
Pemerintah saat ini sudah menerapkan pembatasan sosial berskala besar. Biasanya pasar-pasar dan toko-toko yang biasa ramai di jam-jam pagi seperti ini sekarang sudah tak menunjukkan eksistensinya. Yang kulihat sekarang justru banyak mobil ambulance yang lalu lalang melintas kesana kemari, menghasilkan bunyi shirine yang bagaikan panggilan maut bagi orang yang ditumpanginya.
Sesampai kami di kantor, aku melihat petugas yang memakai perlengkapan APD lengkap sedang stand by di depan sana. Mereka sedang bercengkrama dengan petugas security yang menjaga.
"Semua ruang dan benda-benda yang mudah terakses lainnya sudah kami semprot, dan saya ingin agar kantor ini tetap di tutup saja sampai kurun waktu 2 minggu." Kata petugas tersebut pada pihak security.
"Baik Pak, perusahaan kami sudah menerapkan peraturan lockdown, dan terima kasih atas bantuannya." Balas pihak security itu, lalu petugas dengan memakai perlengkapan APD lengkap tersebut mulai pergi meninggalkan kantor ini.
Pertugas security yang menjaga di kantorku saat ini ialah Pak Siswanto, kami sudah kenal cukup akrab dengan beliau selama aku bekerja di sini yang masih baru dapat 2 bulan. Saat itu pak Wanto melihatku yang sedang datang ke kantor ini. tatapanya tajam seolah kaget dengan kedatanganku.
"Kamu kenapa ke sini Mel?" Tanya beliau. "Bukannya kamu ikut rapid test?" imbuhnya, aku menggeleng.
"Tidak Pak, aku disuruh pak Hamid buat stand by di sini untuk menjaga kebersihan kantor supaya tetap steril." Kataku.
"Tapi Mel, kantor ini sudah ditutup sampai 2 minggu, barusan saja ada petugas yang menyemprot disinfekstan di sini." Katanya, lalu seketika Tony menatapku.
"Tuh kan, kamu gak punya akses untuk masuk ke sana Mel, satu-satunya cara supaya kantor itu tetap steril ya dibiarkan saja sampai dua minggu ke depan, udah, biar aku saja nanti yang bilang ke pak Hamid ya?" Ucap Tony.
"Terus aku harus bagaimana dong?" tanyaku.
"Aku antar kamu pulang saja Mel," ucap Tony yang sejenak membuatku tidak yakin.
"Ya Mel? Aku antar kamu pulang ya? kamu gak usah mikir soal ini, aku saja nanti yang bicara ke pak Hamid." Kata Tony dengan nada yang begitu kalem. Kurasa ucapan Tony semua itu benar, setidaknya aku perlu menuruti saran darinya, serta percaya akan bentuk kepeduliannya terhadapku. Lagi pula pria itu tak ingin aku berada dalam mara bahaya, bentuk kebaikannya begitu nyata, dan tak sepatutnya kubuang dan kupandang sebelah mata.
"Iya Ton, gak pa pa." Kataku sambil mengangguk, lalu senyum lebarnya terukir begitu saja dengan amat manis. Sungguh betapa beruntungnya aku memiliki pria itu, pria yang memiliki mata sayu dan senyum indah yang tulus. Andaikan saja aku mau dinikahinya, aku pun juga pasti akan menanti kedatangannya di rumah dengan cemas selagi dia bekerja banting tulang di tengah wabah yang berbahaya ini.
Kami pun kembali menuju ke mobil, melanjutkan perjalanan ke rumah nenekku. Perasaanku kubuat setenang mungkin dan percaya kepada apa saja yang diusulkan oleh Tony. Dia tidak mungkin memperburuk keadaan, selama ini Tony lah yang membuat keadaan di kehidupanku jauh lebih mudah dan nyaman. Tony tidak ingin meletakkanku di zona bahaya, dia enggan menerimaku begitu saja untuk pasrah dan menuruti apa saja perintah pak Hamid. Diriku merasa seperti wanita prioritas di hatinya, yang tidak akan dia sakiti dan dia lukai.
Mataku terpejam meluapkan segala keresahan, laju perjalanan kami begitu singkat seiring sepinya lalu lintas di kota ini. Kami hanya butuh waktu lima belas menit saja untuk sampai di rumah nenek-ku. Saat itu mobil Tony menepi di sekitar hamparan tanah kosong searah jalur rumah nenekku yang berjarak sekitar 500 meter saja. Aku menatap pria itu, dan dia balik menatapku.
"Kenapa berhenti di sini?" Tanyaku, kemudian wajah Tony nampak gelisah.
"Kamu nanti bilang seperti apa ke keluargamu?" Tanya Tony, lalu aku berpikir untuk mencari alasan, tentang berita kantor kami yang telah terkena paparan virus. Bentuk kerahasiaan itu harus tetap terjaga agar tidak sampai ke telinga masyarakat yang selalu tersebar lewat mulut ke mulut. Aku tak bisa berpikir lagi, saat itu juga aku menggeleng.
"Kalau kamu bicara jujur ke keluargamu, gak pa pa Mel, asalkan mereka tidak membicarakannya ke orang lain." Kata Tony, "untuk jaga-jaga saja sih supaya gak kenapa-napa." Imbuhnya, lalu aku tersenyum tipis.
"Itu sih gampang, gak usah dipikir." Kataku, lalu Tony mengangguk percaya. Saat kami berada di dalam mobil ini, aku begitu ingin berada di dalam sini lebih lama dan tentunya bersama Tony. Dia kulihat sedang mengambil sesuatu di dalam saku belakang celananya, lalu dia mengeluarkan dompet.
"Ini Mel, ambil-lah." Katanya, yang saat itu juga aku terdiam seribu bahasa entah harus berkata apa dan meresponnya seperti apa. Seketika saja Tony menyodorkanku sejumlah uang, yang ingin dia berikan kepadaku. Kutatap mata Tony, senyum dan penuh ketulusan, seolah memaksaku untuk mengambil uang pemberian darinya.
"Untuk apa ini Ton?" Tanyaku.
"Ambil saja, buat kamu kok." Katanya, "selama ini aku gak pernah ngasih kamu apa-apa, sekedar ingin membantumu saja." Imbuhnya.
Jujur saja, hingga sejauh ini keadaan finansialku memang terbatas. Kebutuhan selama beberapa pekan kedepan juga telah kupasrahkan, tapi beruntungnya aku memiliki kartu kredit, sehingga aku dapat bergantung pada kartu itu.
Akan tetapi rasa untuk menerima pemberian uang darinya ini ialah hal pertama yang kualami selama aku pacaran dengan pria itu. Sungguh aku bingung antara menerimanya atau menolaknya, setidaknya itu aku tidak meminta, dia niat memberiku bantuan dengan tulus, dan kurasa itu aku harus menerimanya.
"Ton? Ini gak kebanyakan? Kamu ngasih aku 500 ribu lho." Kataku, dan dia tersenyum ke arahku. "Aku gak tau nanti cara ngelunasi-nya gimana."
"Hussssst." Enyuh Tony sambil telunjuknya membungkam bibirku.
"Buat kamu Mel, gak usah dikembalikan, aku hanya ingin ngasih kamu aja, diterima yah?" Balasnya dengan nada yang kalem dan menenangkan. Lantas aku mengangguk, terpikir soal kondisi keluargaku yang mungkin di matanya patut untuk menerima bantuan.
"Makasih ya Ton, aku jadi malu nih di hadapanmu." Kataku sambil merunduk.
"Malu gimana? jangan gitu ahh," ucap Tony.
"Ya aku merasa malu aja karena kamu udah sering bantu aku, ngasih aku apa aja, sekarang kamu malah ngasih aku uang." Kataku, dan helai tangan Tony menggenggam tanganku, erat sekali, dan itu mampu membuat jantungku berdebar-debar.
"Mel, dengarkan aku ya?" Ucapnya sambil menatapku lekat-lekat. "Kamu gak boleh ngomong kayak gitu ke aku, aku sudah menganggap kalau membantumu itu sudah jadi kewajibanku, terserah meskipun kita belum menikah, aku merasa wajib menolongmu Mel." Kata Tony, lantas saat itu bibirku memerah, tak kuat menahan haru akan ucapannya itu.
"Amel? Ingat ya apa kataku tadi?" Ucap Tony, lalu aku mengangguk. Ketika itu aku bisa melihat wajah gembiranya, kurasa beban-beban kecemasan yang sempat terpancar di wajahnya kini seakan telah sirnah.
Sungguh sebegitu bahagianya pria itu kalau telah menolongku dan memberiku sesuatu.
Jujur saja, kalau momen ini terjalin seperti hubungan sepasang suami istri. Diriku bukannya tidak mau menikah dengannya, sebab mengingat usiaku yang saat ini masih 19 tahun, itulah yang menjadi suatu kendala bentuk ketidak yakinanku akan kesiapanku menjadi seorang istri.
Aku saja hingga detik ini merasa bahwa aku bukanlah perempuan yang dewasa. Kurasa sifatku masih terlalu kekanak-kanakan, dan masih perlu pengalaman yang jauh lebih banyak tentang kehidupan ini. Ditambah lagi Tony ialah pacar pertamaku, dan kami juga masih baru dua bulan berpacaran, kurasa itu perlu waktu dan adaptasi sampai kami benar-banar siap.
Bersambung..
Berlanjut ke Chapter 39..