Mobil Tony mulai berjalan kembali, pelan dan menenangkan. Dalam benakku selalu berpikir tentang perjalananku kelak selama masa karantina ini dimulai.
Aku tak tau pasti bagaimana bentuk tugasku yang telah kuabaikan begitu saja hanya karena menuruti permintaan Tony. Semuanya telah kupasrahkan kepada pria itu. Aku percaya padanya bahwa segala sesuatu yang dia atasi untukku selalu berakhir dengan baik.
Kemudian saat sesampai di rumah nenek, mobil Tony berhenti tepat di depan halaman rumah. Aku seakan tak mau turun dari mobilnya, itu sungguh berat untuk kulakukan. Maka sejenak aku menatapnya, dan mata sayu itu menatapku dengan penuh kehangatan.
"Aku tak mengerti lagi bagaimana rasanya kita berpisah untuk yang kesekian kalinya. dua minggu lho! coba bayangkan." Kataku, Tony merunduk dengan wajah murung dan bingung.
"Aku mengerti, tapi aku tak-kan bisa membuatmu berada dalam zona yang berbahaya, lebih baik seperti ini, aku akan selalu menelponmu tiap hari, tenang saja." Katanya sambil tersenyum.
"Pokoknya tiap menit, tiap jam, tiap pagi, siang, malam, kamu harus ada buat aku, aku gak tau bakal seperti apa selama di rumah, pastinya aku bakal bosan sekali." Kataku, lalu senyum Tony terukir lebar atas buah ucapanku tersebut.
"Iya Amel sayang, seperti biasa kan aku selalu hubungi kamu. Kamu-nya aja yang gak pernah balas chat-ku." Katanya, dan dengan amat menyesal aku menyadari itu.
Sungguh itu adalah tindakan yang kejam dan tak sepatutnya kulakukan pada Tony. Untuk menghapus rasa bersalahku, aku menggenggam tangannya, dan aku berkata.
"Mulai sekarang tidak, aku akan selalu balas chat-mu dan selalu mengangkat telponmu atau video call-mu, pokoknya selama sinyal di rumahku bagus, semuanya tak perlu dikhawatirkan." Kataku, lalu helai telapak tangan sebelah kanan-nya menumpuk pada telapak tanganku.
"Terima kasih ya, aku mau kita tetap selalu terhubung." Ucap Tony, dan kedua mata sayunya itu memerah seakan tak kuasa melepas diriku.
Calon suami macam apa yang telah kumiliki ini? Betapa tulusnya dia kepadaku sampai diriku tiada henti dan bosan menatap mata sayu itu. Ingin sekali aku menanti akan kecupan dari bibirnya, yang selalu mendarat di saat-saat kami bertemu.
Kemudian saat itu juga hal yang kutunggu-tunggu itu kunantikan dengan mudahnya. Dia memelukku, pelukan yang terasa amat hangat dari tubuhnya dan juga hatinya, sampai aku ingat pada jaket denim berwana hijau yang dia kenakan itu. Lupa aku tidak membahas penampilannya pagi ini.
"Ngomong-ngomong aku suka kamu pakai jaket itu Ton," kataku seusai dia memelukku.
"Oh-ya? Ini kado ulang tahun dari mamaku." Katanya, dan aku mengangkat alis merasa bahwa hal itu sangat menakjubkan.
"Mamamu pinter banget kalau milih jaket buat kamu, jadi kangen aku sama mama Firly." Ulesku, wajah Tony nampak murung seketika.
"Kalau kamu kangen sama mama, gimana kalau aku ajak kamu ke sana saja?" Tanya Tony, dan aku mengernyit.
"Maksudmu ke rumahmu?" Tanyaku, dan Tony mengangguk, kemudian diriku menggeleng.
"Enggak ahh, kan ada korona, Entar aku debat lagi sama tante Anik." Kataku yang langsung ditanggapi serius oleh Tony.
"Ha? Berdebat gimana maksudnya?" Tanya Tony, aku langsung diam dan sadar akan konflik tersebut yang masih belum kuceritakan padanya, dan mungkin itu takkan pernah kuceritakan. Aku membalasnya dengan senyum, menepis akan perkataan tersebut dengan konyolnya.
"Oh, tidak kok, maksudku takutnya nanti bakal kena marah sama mereka." Kataku, dan dia mengangguk seolah memahaminya.
"Iya, kamu benar Mel, maaf kalau tadi usulku agak ngawur, habisnya ini bakal sulit buat kita bisa bersama lagi." Katanya.
"Jangan ngomong gitu, gak ada yang sulit kok, semuanya masih baik-baik saja." Gumamku, kemudian Tony garuk-garuk kepala, seperti ada sesuatu yang dia omongkan dan dia pikirkan.
"Ada apa Ton?" Tanyaku, seperti selayaknya dirinya yang tau akan banyak hal tentang kondisiku hanya dengan melihat dari wajah saja. Semakin lama waktu ini bergulir bersamanya, aku semakin tau betul akan letak isi hati pria itu.
"Aku hanya terpikir saja soal mama yang bekerja sebagai tenaga medis." Ucap Tony sambil merunduk, spontan saja aku teringat kembali dan baru sadar kalau mama Firly bekerja di rumah sakit.
Beliau pasti mempunyai banyak resiko, bodohnya aku baru ingat soal itu. Aku mengernyit dan ikut cemas seperti apa yang Tony rasakan saat ini.
"Apakah semua itu akan berjalan baik-baik saja?" tanyaku pada Tony.
"Entah lah, aku selalu berdoa semoga mama-ku gak kenapa-napa." Ucapnya, lalu Tony sedikit mendekat kepadaku sambil bersandar pada kursi mobilnya menghadap ke samping.
"Aku sayang banget sama mamaku, aku ingin tinggal di rumahnya dan memilih untuk enggan bersama papaku, meskipun papaku yang selalu maksa aku terus untuk bisa diajak dia pulang ke Jogja." Katanya, dan lagi-lagi wajah Tony kembali murung.
"Terus? kalau kamu tinggal di Jogja ikut papamu, gimana dengan mama Firly? Dia pasti sendirian bukan?" Tanyaku.
"Makanya, aku gak mau Mel, apalagi ditambah dengan adanya dirimu. Masa iya sih aku rela ninggalin dua orang yang aku cintai begitu saja?" Katanya, dan diriku tersenyum atas ucapannya itu.
"Aku harap mamamu baik-baik saja Ton, dan korona ini juga cepat hilang ." Kataku.
"Amin," balasnya. "kamu kalau kuajak ke rumahku gak pa pa lah Mel, sekalian kamu nginap di sana tidur di kamarku." Imbuh Tony yang membuat sorot mataku menyeringai menatapnya.
"Mulai kan! Ngapain juga cobak tidur satu kamar? entar yang ada malah pulang-pulang aku udah hamil." Kataku, Tony langsung tertawa lepas saat itu juga, dan itu sangat menghiburku.
"Aku janji gak ngapa-ngapain kamu kok. Kalaupun itu beneran terjadi, aku juga bakal tanggung jawab lah Mel." Kata Tony yang sepintas saja membuatku mengkaji ulang atas kehendaknya.
Membayangkan tinggal di rumahnya yang besar itu, serta tidur satu kamar bersamanya, itu pasti akan menjadi moment yang tak terlupakan sepanjang hidupku.
"Lihat entar deh yah." Kataku, dan Tony menghembuskan nafas kesal.
"Yaelah Mel, yaudah deh gak pa pa," katanya, "Tapi kalau aku cium kamu sekarang?" Imbuhnya, dan tanpa membalas ucapannya aku kecup bibirnya langsung.
Kulepaskan keinginanku ini dengan begitu mudahnya. Hati yang selama ini terbendung oleh rasa rindu dan sepi seketika lenyap begitu saja.
Mengecup bibir Tony rasanya begitu manis, seperti ada atmosfer yang menekan keinginan itu secara terus menerus. Helai tangannya langsung membelai leherku, dan kecupan darinya terulang kembali seperti melampiaskan kepuasan cinta diatara kami.
Bias cahaya matahari menambah kehangatan di setiap sisa-sisa kemesraan itu. Sungguh aku ingin berada di sampingnya terus, yang tak kenal oleh waktu dan batasan jarak.
"Kayaknya aku mau kok Ton untuk nginap di rumahmu." Kataku dengan mata terpejam, dahi kami berdua saling bersandaran, hingga aku bisa merasakan hirup nafasnya yang menggelitik hatiku.
"Yah, aku suka dengernya," katanya dengan lembut. "Dan jangan takut hamil, kalaupun itu terjadi, aku juga pasti langsung nikahin kamu." Imbuhnya, aku tersenyum dan menjawab.
"Oke ayah." Balasku, lalu dia tersenyum dan menciumku kembali.
Aku menyadari banyak hal tentang indahnya jatuh cinta bersama seseorang, dan pengalaman itu tak pernah kudapatkan seumur hidupku sebelum aku bercinta dengan Tony.
Dia selalu mengingatkanku supaya kita tetap terhubung. Apapun itu kondisinya, jika dia mengabariku sesuatu, maka aku harus menjawabnya. Setidaknya itu yang kuingat dari pesannya.
Aku kembali ke rumah nenek, sendiri terdiam di dalam kamarku. Mereka menanyakanku banyak hal tentang kepulanganku yang terasa begitu mendadak. Tante Anik mengira kalau aku masih sakit, dan hal itu salah besar
"Kami dipulangkan karena kantorku dalam masa karantina." Kataku jujur pada mereka. Aku tidak tau lagi untuk mencari alasan apa yang terbaik perihal pekerjaanku. Tony berkata bahwa jika aku jujur, itu bukanlah masalah, asalkan mereka tidak membicarakannya kepada orang lain.
"Aku mohon kalian jangan bilang ke siapa-siapa ya?" Imbuhku pada tante Anik, nenek, dan paman Farid.
"Iya Mel, kamu tenang saja," kata paman Farid.
"Di kantormu memangnya ada yang kena ya Mel?" Tanya tante Anik, lalu paman Farid langsung menyinggung pertanyaan tante Anik.
"Udah lah yank, yang namanya dikarantina itu pasti udah ada yang kena." Ungkap paman Farid.
"Iya tante, aku mohon jangan ngomong ke siapa-siapa ya? Soalnya ini pesan dari pimpinanku demi menjaga nama baik perusahaan." Kataku, lalu tante Anik tersenyum dan mengangguk.
Semoga saja mereka dapat diandalkan dalam hal ini, meskipun keyakinanku tak seberapa kepada mereka sebab aku menyadari bahwa tante Anik ialah tipikal orang yang suka mengumbar-umbar informasi.
Namun mau bagaimana lagi? kantor itu ditutup selama dua minggu sehingga alasan apa yang tepat untuk ku-ucapkan pada mereka?
Saat aku kembali ke kamar, aku merogoh saku dalam jaketku, dan mengambil uang pemberian dari Tony tadi, itu sangat berharga sekali bagiku untuk bertahan hidup sampai dua minggu ke depan.
Coba kupikirkan soal niatku yang ingin membuka usaha salad buah, modal segini mungkin cukup untuk membeli bahan-bahannya, namun aku harus mengorbankan stok persediaan makananku selama dua minggu kelak, itu pasti lebih menyakitkan lagi.
Saat siang hari, Tony menghubungiku untuk sekedar mengingatkanku apakah aku sudah makan atau belum. Dia bagaikan robot pemantau kehidupanku, tapi aku suka itu. Apalagi saat melihatnya kebingungan demi memikirkanku, itu sungguh menarik dan tak ingin kutepis begitu saja, yang kulakukan hanya satu, yaitu menunggu saat-saat dimanja oleh pria itu.
Ketika malam mulai bergulir, kami sekeluarga makan bersama di meja makan ruang dapur. Kali ini aku memasakkan masakan untuk mereka memakai uang pemberian dari Tony.
Kulihat mereka begitu lahap makan masakan penyetan ikan buatanku, namun itu seketika terganggu oleh bunyi telpon dari ponselku yang berdering. Itu pasti Tony, namun saat kulihat rupanya bukan, yang menelponku rupanya pak Hamid.
Respon jantungku seketika berdetak cukup kencang, aku beralih dari meja makan menuju ke dalam kamarku. Dalam hatiku berkata kalau aku pasti akan digiring pada situasi genting.
"Hallo, Amel?" ucap pak Hamid.
"Iya pak? Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku.
"Ehmm, Mel." Katanya, "bapak minta maaf ya soal tadi pagi saat menyuruhmu untuk stand by di kantor." Imbuhnya.
"Iya pak, gak pa pa." Jawabku, nadanya terdengar kalem sekali, namun aku tetap merasa dek-dek'an.
"Seharusnya saya tidak menyuruhmu ke kantor tadi pagi, benar apa katamu kalau di sana masih belum steril." Kata pak Hamid, dalam benakku mungkin Tony telah mengatakan sesuatu pada beliau, tapi biarlah.
"Tapi Mel, saya boleh minta tolong ke kamu?" Tanya-nya.
"Minta Tolong apa Pak?" tanyaku balik, lalu beliau terdiam sejenak, berpikir akan perintahnya yang di benakku pasti mengarah ke hal-hal yang rumit. Setahu diriku ini sudah malam, memangnya apa yang akan kuperbuat untuknya malam-malam begini?
"Ehmm, tolong ya Mel ambilkan semua perlengkapan APD yang ada di kantor malam ini." Katanya, "sama APD yang bapak simpan di dalam ruang kantor bapak, lalu setelah kamu ambil, kamu bawa ke alamat rumah bapak yang akan bapak kirim lewat whatsapp mu." Imbuhnya, aku terdiam seakan sulit sekali untuk menjawab perintah itu.
"Bisa kan Mel? Ini penting banget soalnya, dan saya tidak tau lagi harus minta tolong kepada siapa." Kata beliau dengan nada memohon yang bagiku itu seakan tak bisa ditolak.
"Iya Pak, saya akan ambilkan." Kataku yang terucap begitu saja dalam mulutku.
"Sip, bagus," katanya, "Jadi saat kamu sudah sampai kantor nanti, kamu langsung lewat pintu depan saja ya Mel, karena pintu depan dijaga oleh security. Kamu jangan khawatir untuk akses masuk di dalam sana karena pihak securitynya sudah saya kasih tau. Kamu tinggal masuk saja sama ambil semua peralatan APD yang ada di gudang dan yang ada di dalam kantor bapak yah Mel?" Ungkap beliau panjang lebar, entah mengapa percakapan beliau selalu mengarah ke hal yang serius, seakan diriku harus fokus dan paham akan apa yang dia perintahkan.
"Untuk kunci ruang kantor saya, ada di dalam loker meja samping dispenser. Kamu buka saja di loker yang paling atas, di-sana pasti ada kunci dengan gantungan doraemon. Kamu bisa masuk ke ruang bapak dengan menggunakan kunci itu. Lalu saat semua itu selesai, kamu kirim barangnya ke rumah saya. Letaknya dekat kok dari kantor, kamu gak usah khawatir." Kata beliau, aku hanya bisa mengangguk, berusaha merekam apa saja yang dia bicarakan.
"Sama satu hal lagi ya Mel." Imbuhnya.
"Apa itu Pak?" kataku dengan nada gugup.
"Jangan bilang ke siapa-siapa tentang perintah bapak ini, untuk yang ini saja jangan sampai kamu bicarakan ke siapa-siapa, terlebih kepada Tony." ucapnya dengan amat serius.
Bersambung..
Berlanjut ke Chapter 40..