Chapter 37 - Bab 37

Senin, 23 Maret 2020.

Aku memberikan kabar kepada Tony bahwa tepat di pagi hari ini kondisiku sudah membaik. Estimasi waktu cuti selama dua hari tersebut pun juga sudah berakhir, dan pagi hari ini aku memulai aktivitasku seperti biasa yaitu menyiapkan sarapan kami berdua selagi menunggu kedatangan Tony untuk menjemputku berangkat bekerja.

"Kamu yakin Mel masuk hari ini?" Tanya Tony dalam telpon.

"Iya Ton, ini semua berkat support dan bantuan yang selama ini kamu berikan ke aku." Kataku sambil sibuk menyiapkan bekal sarapan. "Kamu hari ini jemput aku ya?" imbuhku.

"Yaudah kalau gitu, aku otw langsung ke rumahmu Mel." Jawab Tony, dan diriku tersenyum mendengarnya. Waktu yang biasa kupergunakan untuk beristirahat selama masa pemulihanku kini seakan sudah kulewatkan, dan sekarang aku menunggu saat-saat dia datang untuk memulai hari-hari bersamanya.

Menu sarapan pagi dan siang nanti ialah tumis kangkung, aku berusaha untuk membuat menu sayuran tiap hari mengingat di luar sana penuh dengan ancaman penularan virus. Sehingga setidaknya daya tahan tubuh kami harus kuat dengan menu-menu masakan yang telah kuatur.

Tony kerap kali mengingatkanku untuk menjaga pola makan secara rutin, dan itu sangat berguna sekali agar aku tetap waspada untuk tidak mengulangi kesalahanku yang dulu.

Beberapa peralatan pelindung seperti masker dan sarung tangan juga kupersiapkan untuk modal keselamatanku di tempat kerja nanti. Kali ini semuanya harus tertata lengkap dan tak ada satupun yang terlewat. Menggantungkan kebutuhan tersebut kepada perusahaan tidak akan menjamin semuanya, di sana stok mereka sangat terbatas, peraturan yang serba efisisensi membuatku enggan mengambil beberapa barang yang ada di sana untuk keperluanku sendiri.

Aku harus bisa mengatur keperluanku dan juga keselamatanku,  meskipun Tony selalu ada dan siap menolongku di saat diriku memerlukan bantuan. Tapi setidaknya aku tak selalu menggantungkannya, hanya saja entah kenapa diriku ingin cepat-cepat bertemu dengannya, cuma karena rindu.

Aku yakin sekali rumah ini akan terasa ramai meskipun kutinggal pergi, sebab paman Farid yang kini sudah tidak bekerja pasti meluangkan banyak waktunya untuk bermain dengan Nino. Mereka sangat aktif dan selalu membuat rumah ini penuh dengan teriak tawa canda mereka. Apalagi ditambah dengan adikku Jojo yang kini sedang libur sekolah, pastinya hari-hari mereka penuh dengan banyak agenda bermain di dalam rumah.

Saat semuanya sudah siap, aku menunggu kehadiran Tony tepat di depan teras rumah nenek-ku. Kulihat paman Farid dan Nino sedang bermain badminton di depan halaman rumah. Selain bermain game, Nino juga memiliki hoby bermain badminton, sama seperti adikku Jojo, namun Jojo anaknya sangat kompetitif, dia selalu ingin menjadi pemenang dalam semua jenis permainan, jika dia kalah, dia langsung ngambek.

"Nino! Kamu kalau nangkis yang cepet biar gak kebobolan." Kata Jojo saat melihat Nino bermain badminton.

"Iya Jo, aku tau, habis ini giliranmu ya?" Tanya Nino.

"Musuh paman?" Kata Jojo, lalu Nino mengangguk.

"Sama kamu aja No, kamu kan lebih jago." Imbuh Jojo, dan paman Farid pun tertawa sedang.

"Gak mau Jo, kamu kalau kalah selalu ngambek." Jawab Nino. Aku pun juga ikut tertawa saat itu juga, dan menyidir Jojo yang berada tepat di sampingku.

"Jadi selama ini kamu seperti itu ya kalau main?" Tanyaku, dan dia cemberut sambil menatap kearah depan, lalu seketika dia berteriak.

"Lho! itu mobil kak Tony sudah datang." Katanya yang membuat kami semua menatap kearah depan sana. Lalu aku tersenyum lega saat menyadari bahwa pria itu telah datang menjemputku.

"Ehh Tony, mau jemput Amel ya?" Sambut paman Farid saat Tony telah turun dari mobilnya.

"Iya paman, ngomong-ngomong Amel sudah sembuh kan ya?" Tanya Tony.

"Ohh sudah Ton, Alhamdullilah Amel sekarang sudah sehat." Jawab paman Farid, lalu diriku muncul sambil membawa tas dan bekal kami berdua.

Melihat Tony di pagi hari ini terasa begitu menyejukkan hatiku, lantaran dia begitu terlihat tampan dengan setelan seragam kerjanya yang dibalut dengan jaket denim berwarna hijau yang nampak asing di mataku.

Dia tersenyum saat aku berjalan menghampirinya, dan pikirku hasratnya pasti ingin mengecup wajahku. Sialnya pagi ini rumah nenek begitu ramai oleh aktivitas keluargaku. Nenek dan tante Anik turut menyaksikan kedatangan Tony. Mereka semua tersenyum dan bahagia melihat kebersamaanku yang bersemi kembali bersama pria itu.

"Kamu cakep banget Ton pagi ini." Kata tante Anik yang duduk di kursi teras rumah bersama nenek.

"Masa sih tante?" Tanya Tony sambil tersenyum, dan tante Anik mengangguk

"Bener kok apa yang dikatakan tante Anik, kamu cakep pagi ini." ulesku pada Tony, lalu wajahnya nampak malu di hadapan keluargaku.

"Yaudah kalian hati-hati di jalan yahh?" Kata tante Anik sambil tersenyum lebar.

"Iya tante, saya pamit dulu ya?" ucap Tony. Kami berdua langsung menuju ke dalam mobil, duduk di kursi depan sambil merasakan kehangatan dan kenyamanan di sana.

Jujur saja, aku sangat merindukan setiap momen perjalanan yang selalu berada tepat di samping pria itu. Dan aku sangat bersyukur kalau momen itu masih terukir kembali di hari ini, dan berharap tak akan pernah berakhir.

Aku mengambil masker dalam tas-ku, lalu kupasangkan pada wajahku, kemudian kuambil satu masker lagi dan kupasangkan pada wajah Tony. Aku juga ingin mempunyai rasa perhatian padanya, sebab selama ini yang kurasakan hanya Tony-lah yang selalu perhatian kepadaku.

"Terima kasih ya." Katanya, dan aku membalasnya dengan senyuman. Tony mulai menyalakan mobil, dan perjalanan kami pun dimulai. Tiada henti diriku melirik menatapnya hanya untuk memastikan bahwa Tony juga menatapiku, dan benar rupanya, dia melakukan hal yang sama.

"Aku senang sudah melihatmu kembali Mel." Katanya.

"Aku juga Ton." Balasku.

"Tapi aku masih khawatir soal kondisimu sekarang kalau kamu buat kerja lagi." Ucap Tony.

"Tak perlu khawatir, aku udah sehat kok." Ulesku.

"Meskipun kamu sudah sembuh dan sehat, tapi tetap saja Mel aku masih mengkhawatirkanmu. Apalagi sekarang musim nya penyakit kayak gini." Katanya.

"Terus mau kamu kayak gimana? Kamu mau supaya aku tetap beristirahat di rumah aja? Bukannya kamu kangen sama aku dan minta aku temenin terus?" Kataku, lalu Tony nampak terdiam, seolah ada sesuatu yang ingin dia omongkan namun memilih untuk disembunyikan.

"Gak gitu Mel, aku masih tetap ingin bersamamu, tapi gak di lingkungan pekerjaan sana, bahaya Mel." Katanya, lantas aku mengernyit heran.

"Bahaya gimana?" Tanyaku, lalu Tony sejenak menghembuskan nafas panjang dan menatapku.

"Aku punya informasi yang perlu aku omongin ke kamu, tapi kamu jangan bilang ke siapa-siapa ya?" Kata Tony, aku mengangguk dengan penuh rasa penasaran.

"Jadi di kantor kita itu rupanya ada yang sudah terinfeksi Mel, dan juga sudah terbukti positif dari hasil tas swab-nya." Kata Tony, aku mengangkat alisku saat itu juga. "dan kantor tempat kita bekerja mulai hari ini sudah ditutup, dan kita diperbantukan untuk bekerja di kantor cabang lain." Imbuh Tony.

"Terus kita sekarang gimana Ton?" Tanyaku.

"Entah Mel, nanti kita lihat saja, ini aku mau ngajak kamu ke kantor yang kini dijadikan tempat aktivitas pengganti itu." Katanya yang sejenak membuatku terkejut.

"Serius? Kok aku tidak dapat kabar seperti itu?" Kataku.

"Iya Mel, ini kejadiannya baru semalam, pak Hamid tak mau membicarakannya ke banyak orang karena perihal privasi perusahaan yang enggan mengakui bahwa salah satu dari kami ada yang terinfeksi." ungkap Tony. "Maka dari itu kamu jangan sampai bilang ke siapa-siapa yah?" Imbuhnya, lalu aku hanya bisa menatap ke depan sambil terdiam, kalau semua kejadian itu terdengar begitu mendadak dan diluar dugaanku.

Sesampai kami di tempat yang dimaksud oleh Tony, aku tak habis pikir bahwa di sana sudah terkumpul beberapa dari kami yang sama-sama bekerja satu kantor sedang berdiri mengantri seakan hendak menunggu sesuatu. Kami berdua mulai turun dari mobil tepat di halaman parkir depan kantor tersebut.

Di mataku kantor itu sangat asing, seperti bukan selayaknya sebuah kantor, namun seperti sebuah tempat pemeriksaan kecil layaknya puskesmas. Di sana juga terdapat beberapa mobil ambulace yang terparkir di depan bangunan tersebut. Mataku tiap kali memantau akan keberadaan Amir, barang kali dia ada di salah satu dari mereka yang sedang mengantri tersebut, namun aku sama sekali tak menemukannya.

"Mel, kamu tunggu sini dulu ya? aku mau bertanya dulu sebentar di sana." Kata Tony, lantas aku menggeleng.

"Tidak Ton. Aku juga ikut." Ulesku, dan saat itu aku melihat sosok pak Hamid yang muncul dari balik papan pengumuman yang jaraknya kurang lebih lima meter dari kami berdiri. Beliau melihatku, dan seketika itu lambaian tangannya mengayun seakan mengajakku dan Tony untuk menghampirinya.

"Amel, Tony, maaf banget ya kalau kalian saya suruh ke sini." Kata Pak Hamid.

"Ini sebenarnya ada apa ya Pak?" tanyaku, dan seketika itu pak Hamid mengernyit menatapku.

"Lho, kamu sudah sembuh ya Mel? Bukannya kamu lagi sakit?" Tanya beliau yang seketika teringat perihal kondisiku.

"Syukur saya sudah sembuh pak, maka dari itu saya memutuskan untuk masuk kerja." Kataku.

"Gini ya! jadi saya anggap kalian sudah tau mengenai informasi terbaru perihal kantor kita, dan sekarang kondisi kantor kita sedang menjalani proses penyemprotan disinfektan, dan tentunya akan di lockdown hingga beberapa minggu ke depan." Ucap Pak Hamid.

"Lalu kita ditempatkan dimana Pak?" Tanya Tony, pak Hamid menatap kami berdua dengan tatapan yang penuh beban.

"Kita semua akan di rapid test hari ini juga, jadi sementara kita tidak kerja dulu hingga menunggu hasilnya seperti apa." Kata Pak Hamid, lalu aku dan Tony pun mulai terdiam, kami saling menatap satu sama lain dengan penuh kekosongan yang tak tahu harus berbuat apa.

"Tapi saya ingatkan satu hal, tentang kabar mengenai kantor kita, bahwa itu jangan sampai ada satu orang pun di luar sana yang tau ya? Jangan ada yang membocorkannya, kalian cukup diam saja." Ungkap pak Hamid dengan nada yang serius.

"Baik pak," jawabku sambil mengangguk.

"Mungkin saya perlu bantuanmu Mel," kata Pak Hamid, dan aku menatap mata beliau yang menyoroti wajahku begitu tajam.

"Bapak perlu kamu supaya tetap stand by di kantor saja sekarang, pantau semua keadaan di sana yang ada, dan pastikan semuanya tetap steril sampai hasil rapid test kami semua keluar." Kata pak Hamid, lantas aku hanya bisa terdiam sambil mengangguk, tak tau harus berkata apa atas perintah itu.

"Di sana juga ada pengawasan dari security, namun saya masih perlu satu orang lagi untuk tetap selalu mengontrol kebersihan kantor selama masa lockdown." Katanya, dan Tony pun saat itu angkat bicara.

"Tapi Pak, bukannya itu malah bahaya kalau tempat yang sudah terpapar virus dimasuki oleh seseorang?" Ucap Tony.

"Tony! kan sudah disemprot disinfektan! Jadi anggap saja tempat itu sudah clear lah, tinggal tugas Amel saja di sana yang tetap menjaga kondisi kantor agar tetap steril." Ungkap pak Hamid.

"Jadi gini Mel, kamu gak usah ikut rapid test, sekarang juga kamu balik ke kantor, pastikan semuanya kamu bersihkan tiap hari, mulai dari ngepel, dan mengelap seluruh meja-meja dan kursi-kursi, setelah itu kamu foto hasil kinerjamu setiap pagi, siang, dan sore ke whatsapp bapak, mengerti ya Mel?" kata beliau, dan hal itu membuat Tony angkat bicara kembali.

"Tapi pak, apa tidak sebaiknya Amel juga ikut rapid test juga? Dan ikut menjalani masa lockdown seperti halnya karyawan semuanya?" Kata Tony, saa itu juga aku menggenggam tangan pria itu supaya berhenti menepis segala maca perintah pak Hamid.

"Tidak Ton. Khusus untuk Amel tidak, jadi tugas Amel menjaga kebersihan kantor, dan selalu memantau setiap hari kondisi yang ada di sana, supaya kantor kita tetap bersih dan bisa kita gunakan lagi." Kata pak Hamid dengan nada yang cukup tegas.

"Udah Ton, gak pa pa," bisikku padanya.

"Tapi di sana saya juga ditemani oleh Amir juga kan Pak?" Tanyaku pada pak Hamid, lantas beliau terdiam, lalu menatapku.

"Tidak," jawabnya. "Amir sudah saya pecat." Tukasnya, yang sontak membuatku syok bukan main, sungguh berita yang diluar dugaanku, Amir yang selama ini menjadi partner kerja terbaikku rupanya sudah tidak bekerja lagi bersamaku. Sungguh saat ini aku begitu emosional dan ikut terpukul.

"Pak, Kok bisa dipecat? Memangnya ada apa Pak?" kataku.

"Kamu itu gak usah kebanyakan nanyak deh Mel." Tepis beliau dengan nada yang cukup kasar. "Kamu gak tau kondisi kantor kita itu sedang tidak stabil? Saya rasa kamu itu lebih mampu lah ketimbang dia, jadi saya pikir petugas kebersihan cuma satu saja sudah cukup." Tutup-nya, lalu seketika itu juga beliau pergi meninggalkan kami beruda.

"Cepat sana kamu balik ke kantor! Bersihkan semua yang ada di sana." Katanya, dan saat itu juga air mataku menetes.

Bersambung..

Berlanjut ke Chapter 38..