Melihat wajah tony di malam ini membuatku merasa semakin nyaman. Itu seperti bekerja secara otomatis untuk meluluhkan hati dan perasaanku. Video call dengannya membuat wajahku tiada henti untuk tersenyum begitu lepas. Seakan tanpa penghalang dan masalah yang menerpa. Tiap kali aku terhanyut oleh segala macam rayuannya, yang bagiku itu terlalu manis untuk dituangkan di dalam hatiku.
"Aku senang dengarnya kalau kamu di rumah banyak melakukan istirahat." Kata Tony, "memang hal itu sangat baik buat kesembuhanmu Mel." Imbuhnya.
"Kalau kamu sendiri sekarang lagi ngapain?" Tanyaku.
"Sama kayak kamu, tiduran di kamar sambil video call'an denganmu. Gak ada kamu duniaku seakan berubah Mel gak kayak dulu lagi pas kita bersama," katanya. "Apa lagi pas aku hubungi kamu, terus kamu gak pernah angkat dan gak pernah balas, itu rasanya aku sudah bingung dan khawatir banget Mel, maaf ya." imbuh Tony.
"Kenapa harus minta maaf? Aku malah senang kalau kamu kebingungan di saat pesanmu gak aku balas, hehe." Kataku sambil tersenyum.
"Jahat kamu Mel." Endus Tony.
"Ton?" Panggilku, dan dia seketika mengangkat alisnya.
"Terus makanmu sendiri gimana? kan biasanya tiap hari aku yang masakin buat kamu." Kataku.
"Aku terpaksa beli Mel, pesan lewat gojek, tapi gak pa pa kok, asalkan kamu istirahat di rumah sampai sembuh aku udah seneng banget." Katanya.
"Aku janji kalau aku bakal sembuh kok Ton, kamu tenang aja yahh, kita pasti bakal bertemu lagi." Kataku yang berusaha untuk menghibur Tony.
"Amin, kamu bilang gitu aja aku udah langsung tenang, pingin banget aku nyium kamu Mel malam ini." Katanya, lantas aku tertawa sedang sambil mendekatkan layar ponsel ini tepat di wajahku.
"Hmm, cium saja lewat video ini, sama aja kan?" Kataku, lalu bibirnya seketika mencium layar ponselnya sendiri, sehingga itu membuatku tertawa bukan main.
"Hahaha, ada-ada aja kamu Ton, gimana rasanya? Lebih enak kan?" Kataku, dan Tony pun tersenyum.
"Lebih enak gimana? Tapi gak pa pa, liat kamu aja aku udah seneng Mel." Katanya, hatiku seketika terenyuh saat itu juga.
"Sama, aku juga senang lihat kamu malam ini, meskipun lewat video call saja." Balasku.
"Ngomong-ngomong kamu juga kangen sama aku gak? Masa-iya sih aku terus yang kangen sama kamu." Kata Tony dengan wajah mengernyit penasaran.
"Kangen lah, masa sama calon suami sendiri gak kangen sih." Jawabku, lalu reaksi Tony seketika tersenyum lebar.
"Habisnya lihat wajah kamu itu rasanya adem banget di hati." Imbuhku, dan entah kenapa aku justru merasa malu saat mengucapkan kata-kata itu.
"Yaudah, kalau gitu jangan bosen-bosen lihat aku ya?" Tanya Tony, dan aku menutup mulutku seraya menahan tawaku untuk menatap wajahnya yang imut itu.
"Lihat kamu itu gak ada bosennya tau." Kataku.
"Kok bisa gak bikin kamu bosen?" Tanya Tony, dan sejenak aku berpikir sambil menatap mata sayunya itu.
"Itu karena kamunya yang selalu perhatian, suka nyium-nyium, suka ngerayu-rayu, banyak dehh." Kataku, sampai Tony tiada hentinya tersenyum memandang layar handphone ini.
"Ngomong-ngomong kamu juga kangen ciumanku enggak?" Tanya Tony, dan aku mendangak, menunggu akan apa yang aku jawab untuknya. Sungguh, ciuman darinya itu selalu mendarat pada setiap saat kami bertemu. Aku bisa merasakan bentuk kasih sayang dari pria itu yang mampu membuatku merasa nyaman.
"Iya." Kataku. "Aku kangen Ton," lalu saat itu juga Tony bernafas panjang. Menatapiku dengan senyumannya yang seakan tak bisa luntur.
"Oke, karena malam ini aku gak bisa cium kamu, sebagai gantinya kamu minta apa Mel?" Tanya Tony, lantas aku mengernyit.
"Ha? Maksudnya?" tanyaku.
"Ya-maksudku sebagai ganti kalau aku gak bisa nyium, barang kali kamu minta sesuatu yang lain yang bisa ku lakukan buat kamu?" Katanya, dan saat itu juga jantungku berdetak tak bisa menahan rasa grogi ini. Aku tak habis pikir apa yang bisa kupintakan padanya? Supaya aku terhibur atas kehadirannya, padahal melihat wajahnya saja itu sudah lebih dari segalanya.
"Mmm apa ya?" Kataku, "rayu aku aja dehh Ton, hiks." Imbuhku pada akhirnya dengan begitu gugup, sungguh aku amat malu sekali pada moment percakapan saat ini, padahal pada sebelum-sebelumnya semuanya berjalan biasa begitu saja.
"Oke," kata Tony, tatapannya begitu manis sekali, fokus dan hanya kepada diriku.
"Amel sayang," katanya. "Kamu itu cantik, aku melihatmu itu seakan tak ada perempuan lain di dunia ini yang secantik kamu." Kata Tony, bisa jadi tanpa kusadari mungkin saja pipiku sudah memerah saat ini.
"Kamu anak yang rajin, anak yang suka bingung dan mikir banyak hal, tapi aku suka hal itu Mel. Sebab bagiku di saat kamu bingung aku merasa ingin mencium-mu." Katanya, aku tersenyum tiada henti sambil menatap wajahnya.
"Aku semakin mencintaimu karena aku percaya kalau kamu juga mencintaiku apa adanya, iya kan?" Kata Tony, lantas aku mengangguk untuk menjawab perkataannya.
"Dan di setiap malam, aku merasa ingin sekali malam itu bergulir begitu cepat supaya aku bisa menjemputmu dan bertemu denganmu lagi." Kata Tony.
"Sama, aku jugaa Tony." Balasku dengan senyuman penuh.
"Bahkan, ketika matahari itu telah terbenam, dan malam mulai bergulir, diriku selalu membayangkanmu, dan berharap kamu ada di setiap mimpiku." Katanya, dan aku menjawab.
"Kalau semisal aku ada dalam mimpimu bagaimana?" tanyaku.
"Aku akan melakukan hal yang selama ini masih kamu larang, yaitu memilikimu seutuhnya, dan mencintaimu tanpa batas rasa puas, karena setahu itu hanya mimpi." Katanya, lalu selang beberapa saat saja air mataku seketika berlinang, dan Tony pun melihat itu. Aku sebenarnya ingin mengambil tisu, namun jarak tisu itu lumayan jauh dari letakku berada di atas ranjang ini.
"Kalau memang kamu itu ialah jodoku, mimpi itu akan terjadi kok." Balasku.
"Kita harus berjodoh Mel, karena aku hanya ingin kamu, makanya kamu harus cepet-cepet sembuh. Meskipun waktu yang menjawab takdir kita, aku akan selalu berusaha untuk menentukannya, demi kamu Mel." Kata Tony, dan secepat itu air mata ini seketika menetes membasahi pipiku. Lalu Tony nampak mengernyit menatapku.
"Kenapa Mel?" Tanya-nya, kemudian aku menggeleng.
"Gak pa pa kok, hehe." Kataku sambil mengusap air mataku. "Gak pa pa, cuman ngerasa baper ajah." Imbuhku sambil tersenyum.
"Owh, maaf ya Mel! Aku habis bikin kamu nangis ya?" Tanya Tony yang wajahnya berubah jadi muram saat melihat hidung dan bibirku memerah.
"Habisnya kamu kalau ngerayu kelewat banget sih." Ulesku sambil tertawa. Lalu senyum Tony kembali terukir.
"Haha, sini sini aku peluk, duhh pingin peluk kamu kan jadinya." Kata Tony.
"Peluk guling saja sana, haha." Enyahku.
"Gak mau lah, ngapain peluk guling, kan aku punya kamu." Katanya, dan diriku tiada hentinya tertawa, tersenyum, serta terharu. Entah kenapa dia berhasil membuat malamku menjadi semakin berwarna.
"Aduh Ton, jadi baper dehh gara-gara kata-katamu." Ulesku sambil tetap meneteskan air mata.
"Tak ada salahnya kok jika kamu ingin menangis, gak usah di lap, asalkan itu bisa membuatmu lega dan terhibur. Namun kamu harus tau ya Mel, aku tidak akan pernah berhenti untuk selalu menutupi lukamu." Ujar Tony, dan saat itu juga hati ini menggebu, ingin rasanya dia berada di sini, sungguh, dan aku bisa merasakan bentuk rindu yang sesungguhnya, dan itu rasanya sungguh berat.
"Aku bakal cepet-cepet sembuh Ton, aku ingin kita bisa bersama seperti dulu lagi." Kataku.
"Makanya, makan jangan sampai telat ya Mel? Jangan suka mikir, dibuat happy aja, nanti kalau kamu sembuh, aku bisa menjemputmu tiap hari, menciumimu tiap hari, melihatmu tiap hari, aku itu cinta banget sama kamu Mel." Kata Tony.
"Entar kalau kita udah ketemu, aku ijinin kamu nyium aku sesuka hatimu Ton, sungguh." Kataku.
"Awas ya kalau bohong dan berubah pikiran." Katanya.
"Bener, aku gak akan berubah pikiran, jawabku sambil tersenyum.
"Tapi cuma cium aja ya? gak usah sampai yang aneh-aneh." Imbuhku.
"Emang aku pernah ngelakuin yang aneh-aneh ke kamu ya Mel?" Tanya Tony.
"Dulu! pas waktu di rumah dinas ayahmu, maksudku yang aneh-aneh itu ya yang kayak gitu." Kataku, dan Tony tertawa lepas saat mengingat hal itu.
"Astaga Mel, itu salah kamu sendiri, habisnya kamu kelewat cantik sih, makanya kalau jadi anak itu jangan cantik-cantik." Ungkapnya.
"Oh gitu? Dasar kamu ini ya! awas aja kalau udah ketemu, aku cubit pipimu." Kataku.
"Cubit Mel, cubit aja, aku mau kok kamu cubit-cubit." Katanya sambil tertawa, dan aku pun meresponnya serupa.
"Sampai kapan kamu bikin aku terus senyum mulu? Ngomong-ngomong senyumku ini awet lho Ton selama kita video call'an gini." Kataku.
"Ya bagus dong, aku malah seneng dengernya. Lagian aku tak akan membiarkanmu sedih Mel, apa lagi sampai tersakiti, kalaupun itu terjadi, mungkin itu bakal sulit bagiku untuk memaafkan diriku sendiri." Kata Tony, lantas aku mengernyit sembari meyakinkannya.
"Kalau kamu ingin membuatku terus bahagia, itu mudah kok, kamu cuma perlu ada di sampingku saja, karena hanya melihatmu aku udah bahagia banget." Kataku.
"Baiklah kalau begitu, aku akan selalu ada di sampingmu terus, dan aku harap kamu cepat sembuh Mel, kalau buah-buahan yang aku belikan kemaren kurang banyak, aku kirimi buah ke kamu lagi ya?" Kata Tony, dan sejenak aku sadar bahawa aku sekarang tinggal di rumah Ibuku.
"Eh jangan Ton!" tepisku seketika.
"Lho kenapa?" Tanya Tony.
"Enggak, maksudku, gak usah, soalnya buah yang dari kamu itu masih banyak kok, jadi biar nunggu yang ini habis dulu aja yah?" Kataku, dan Tony pun mengangguk.
Rasanya tidak mungkin bila aku menceritakan permasalahanku yang berkonflik dengan tante Anik di rumah nenek. Bagiku itu ialah hal yang memalukan dan tak sebaiknya kubicarakan pada Tony. biarlah itu menjadi urusanku sendiri. Lagi pula niatku sekarang akan kembali di rumah itu sesaat aku sudah sembuh kelak, dan tak luput juga meminta maaf pada tante Anik dan juga nenek.
"Oke, baik lah kalau begitu." Kata Tony, "Tapi kalau udah habis bilang ya? Atau kalau kamu perlu apa-apa untuk aku beliin juga ngomong ya Mel?" Tanya Tony.
"Iya Ton," kataku. "Kayaknya kamu udah siap banget ya jadi suamiku? Kamu orangnya perhatian banget, apapun yang terjadi selalu memikirkanku." Imbuhku, dan dia tersenyum lebar.
"Ya iya lah Mel, kamu itu penting banget buat aku, aku orangnya kalau udah cinta sama seseorang gak bisa lepas Mel, gak tau kenapa." Katanya sambil merunduk.
"Yaudah, itu bagus, berarti kamu orang baik, aku sangat beruntung banget bisa memilikimu Ton." Balasku, dan aku melihat senyum dari wajahnya itu. Benar-benar senyum yang penuh denga ketulusan, senyum yang melihatkan masa depan, senyum yang akan selalu menemaniku di saat suka dan dukaku, dan senyum itu terukir pada wajah Tony.
"Aku harap kamu juga sama sepertiku ya Mel? Jangan pernah lari dariku, atau astaga, atau sampai menduakanku." Kata Tony dengan sorot mata yang serius. Lalu dengan cepat aku menggeleng menolak ucapan itu.
"Enggak, gak bakal, itu sulit banget, dan itu pun juga bukan tipe-ku seorang perempuan yang kayak gitu, aku cuma ingin kamu, hanya kamu saja." Kataku, dan entah kenapa nadaku agak terdengar merintih. Lalu mata Tony seketika memerah, sepertinya dia juga mau menangis terharu.
"Hayoo, kamu mau nangis juga kan?" Tanyaku yang memergokinya, lalu dia tersenyum menyadari itu sambil mengusap air matanya dengan kera kemeja yang dia pakai.
"Sialan, tau aja kamu Mel." Ulesnya.
"Ya tau lah, kelihatan jelas banget tuh." Kataku, dan dia tertawa.
"Kamu itu ya! kalau gak ada ngangenin, kalau ada bawaannya minta dicium mulu, udah deh Mel lebih baik aku lamar kamu besok ya? Terus minggu depan kita nikah, atau bulan depan deh ya?" Kata Tony yang tiba-tiba saja membuatku tertawa lepas.
"Aduhh malah menjerumus ke situ, stop, udah malam nih, kita bahas lain waktu saja oke?" Kataku, lalu Tony mengernyit.
"Lho kok selesai sih!" Rintihnya.
"Lha ini udah malam sayang." Terangku.
"Gak mau, aku mau tetep lihat kamu terus." Ulesnya.
"Tony! besok kan masih ada waktu, lagi pula besok kamu gak kerja? Entar bangunnya kesiangan lagi kalau tidur malam-malam." Kataku.
"Oke deh, kamu istirahat ya Mel? Cepat sembuh, kalau kamu bikin aku kangen terus dosa kamu." Katanya.
"Aku target besok, pokoknya aku punya misi kalau besok aku harus sembuh, dan lusanya kamu jemput aku." Kataku dengan nada semangat, dan senyum Tony terukir amat manis.
Bersambung..
Berlanjut ke Chapter 36..