Minggu, 22 Maret 2020.
Ibuku membuatkan teh hangat untukku. Aku bangun cukup siang setahu diriku bahwa ini ialah hari minggu. Biasanya saat aku di rumah nenek, aku tak pernah bangun hingga lewat pukul 7 pagi. Ini dikarenakan kondisiku semalam yang semakin buruk, dan sampai sekarang pun badanku masih terasa lemas. Ibuku masuk ke dalam kamarku dengan masih menggunakan alat pelindungnya yang serba lengkap itu.
"Taruh saja di meja." Kataku, dan ibuku menggeleng.
"Endak, pokonya ini langsung kamu minum sekarang, mumpung masih hangat." Katanya. "Ayo bangun, jangan tidur terus, udah pagi." Imbuhnya, meskipun aku sekarang ada dalam perawatan ibuku, entah kenapa semua ini masih terasa berat bagiku. Bahkan untuk berdiri saja aku tidak sanggup.
"Amel? Harus berapa kali sih ibu bilang kepadamu untuk bangun? Ini sudah pagi, waktunya untuk sarapan." Katanya, lalu aku perlahan mencoba untuk bangkit berdiri dan mengambil segelas teh hangat itu dari nampan yang dia bawa. Saat kuminum teh itu, perutku langsung menghangat dan sedikit demi sedikit badanku mulai terasa ringan.
"Harus dihabiskan," katanya.
"Tunggu di sini, ibu ambilkan sarapannya dulu, pagi ini menunya sayur bayam sama daging, pokoknya mulai sekarang kamu harus makan yang banyak." Imbuh ibu, lalu aku membalasnya dengan senyuman.
Setidaknya aku harus menuruti apa yang dia katakan, meskipun rasa bersalahku pada nenek dan tante Anik masih membekas di dalam lubuk hatiku ini.
Minggu yang cerah, dimana aku memulai hari ini tanpa jadwal-jadwal yang biasa kurencanakan untuk berpergian. Semua itu seakan berubah seiring apa yang terjadi pada akhir-akhir ini. Kulihat di ruang tamu nampak sepi, dan aku teringat kalau Pak Irwan pasti sudah pulang ke kota Gersik untuk menemui istri pertamanya itu. Aku terduduk di atas kursi sofa, sambil mendengar ibuku yang sibuk menyiapkan sarapanku.
"Memangnya kalau keluar masuk Surabaya apa gak kena pemeriksaan polisi ya bu?" Tanyaku padanya saat ibu datang sambil membawa sepiring makanan untukku.
"Halah biarin, itu sudah menjadi urusannya, sekarang kamu makan sampai habis dan setelah itu obatnya diminum." Kata ibu sambil menjaga jarak dariku. Kalaupun dia sewaspada itu perihal penularan virus korona, setidaknya ibuku merespon dengan tegas atas tindakan pak Irwan yang suka pulang pergi keluar kota.
Namun hal itu seolah bukan suatu masalah baginya, yang jadi permasalahannya sekarang justru dia begitu curiga bila berdekatan denganku. Aku menepisnya dan mulai memakan makanan itu.
Televisi yang tepat berada di hadapanku langsung kunyalakan, dan lagi-lagi berita korona memenuhi sederet chanel yang ada di sana.
Jumlah kasus positif korona di Indonesia terus bertambah hingga mencapai 514 kasus, dan menewaskan sebanyak 48 jiwa. Daerah Jakarta merupakan daerah yang begitu massif akan penularan virus tersebut. Dalam berita mengatakan bahwa setidaknya ada sebanyak 307 pasien yang tertular virus korona. Jumlah itu lebih dari setengah persen dari jumlah total keseluruhan kasus di Indonesia.
Beberapa kebijakan mulai diterapkan di kota itu seperti pembatasan sosial bersekal besar atau yang disingkat PSBB. Banyak masyarakat yang kurang setuju akan adanya kebijakan tersebut. Sebab aktivitas seperti perdagangan dan transportasi terhambat akan adanya hal itu.
Topik mengenai korona kini memang kian hangat untuk diperbincangkan. Banyak orang mengira dan berspekulasi bahwa di hari kedepannya jumlah khasus positif korona di Indonesia akan semakin marak seiring tidak diberlakukannya kebijakan lockdown seperti yang telah diterapkan di Negara-neagara lain.
Di samping itu juga penanganan serta mitigasi akan hal penularan virus sangat minim dilakukan baik oleh badan pemerintahan maupun masyarakat sendiri. Pemenuhan akan kebutuhan serta pekerjaan menjadi faktor kendala akan diberlakukannya pembatasan sosial. Mereka tidak bisa serta merta berhenti untuk beroprasi begitu saja, mengingat sebagian besar masyarakat yang berpenghasilan rendah mendapatkan sumber pendapatan dengan cara keluar rumah. Sedangkan gerakan stay at home marak digencarkan dimana-mana. Hal tersebut menjadi terlihat amat kontras terhadap realita kehidupan yang ada.
Menyadari diriku sekarang yang masih sakit, tidak bekerja dan seperti tak dianggap. Entah ada berapa banyak orang di luar sana yang senasib denganku? dan apakah itu mereka akan mendapatkan penghasilan dengan cara stay at home yang mereka canangkan? Sedangkan masyarakat yang memiliki pendapatan tinggi akan selalu bisa melakukan hal apa saja meskipun mereka berada di dalam rumah sekalipun.
Pada kenyataannya saat ini kebutuhan pokok mulai terasa mahal, serta minat daya beli masyarakat pun mulai menurun seiring banyaknya korban pemutusan hubunga kerja dan hilangnya sumber mata pencaharian mereka. Bahkan paman Farid sendiri telah menjadi korban atas bentuk wabah pandemik ini, yang membuat perusahaan yang dia tempati mengalami kebangkrutan.
Semua itu terjadi seiring diberlakukannya banyak kebijakan-kebijakan yang menghambat dan memutus sumber panghasilan mereka, hanya demi keselamatan dan isu wabah penyakit ini, dan mengorbankan banyak hal tanpa adanya bantuan serta solusi yang pasti. Sehingga bagi sebagian banyak orang akan menganggap bahwa gerakan stay at home hanya dapat berlaku bagi orang yang mampu saja.
Itu sangat ironis, menjalani kehidupan di luar sana yang penuh dengan larangan, hanya demi mencari pendapatan untuk kehidupan sehari-hari, dan banyak sebagian orang masih menganggap bahwa hal itu berbahaya, hal itu akan dapat memperbanyak resiko penularan yang tak kunjung ada hentinya. Sudah cukup aku mendengar semua berita-berita itu, yang diperlukan saat ini hanya satu, yaitu Solusi.
Aku mematikan televisi di saat itu juga, dan entah kenapa tenggorokanku tiba-tiba terasa gatal hingga menyebabkan diriku batuk. Reaksi panik seketika timbul di dalam hatiku, aku berpikir dan mengira-ngira, kenapa aku bisa batuk? Kenapa tenggorokanku bisa terasa gatal? Padahal pada sebelumnya aku sama sekali tak mengalamai gejala tersebut.
Aku langsung berdiri dan berniat untuk mengambil air putih. Sesampai diriku di depan dispenser, ibuku rupanya ada di sana sedang ingin mengambil air minum juga, dan aku seketika batuk lagi.
"Astaga, ambil masker sana, ayo cepat, pakai maskermu." Teriak ibuku dengan nada panik. Ibuku tak jadi mengambil air minum di sana. Dia malah menjauhiku dan seakan berniat jaga jarak denganku.
"Ibu ini kenapa sih? Kenapa sebegitu curiga denganku?" Kataku, ibuku menatapku dengan sorot mata tajam.
"Bukan begitu Mel, alangkah lebih baiknya kalau kamu itu pakai masker, kamu bilang kalau kamu cuma anemia, kok ada batuknya juga?" Tanya ibuku sambil mengernyit.
"Ya mana kutau? tiba-tiba saja aku batuk begini karena minum teh buatan ibu tadi yang kemanisan." Balasku, dan aku langsung pergi untuk mengambil maskerku.
Ibuku nampak berpikir akan kondisiku saat ini. Bisa dikatakan bahwa ibuku memiliki sikap yang mungkin sama persis denganku, yaitu mudah memikirkan banyak hal. Apalagi kemarin malam saat mengetahui diriku sedang sakit, dia amat bingung bukan main.
"Yaudah Mel, kalau gitu lain kali ibu akan membuatkanmu air hangat saja ya? gak pake ibu tambahin gula, biar tenggorokanmu itu gak gatal lagi." Katanya, kemudian aku keluar dari kamar sambil memakai masker.
"Kurasa makananku sudah habis." Kataku, dan ibuku tersenyum kearahku.
"Bagus, tinggal diminum obatnya, lalu tidur istirahat." Katanya, dan diriku kembali lagi masuk ke dalam kamar.
Pada sore hari, yaaku terbangun dan mulai merasakan tubuhku yang sudah agak ringan, badanku sudah tak lemas lagi, namun entah kenapa tenggorokanku masih terasa gatal. Sore itu, aku mendengar suara percakapan ibuku dengan seseorang di luar sana.
Aku meniatkan diri untuk bangun dan melihat ibuku. Namun kudengar suara dari seseorang itu tidaklah asing di telingaku, dan saat aku berada tepat pada ambang pintu kamar ini, aku melihat di luar sana bahwa ibuku sedang mengobrol dengan Dio. Kulihat ibuku memakai pakaian yang begitu rapi seperti hendak berpergian.
"Terima kasih ya Dio sudah mengantarkan ibu ke sana, ini ibu kasih ongkos." Kata ibuku pada Dio.
"Ohh gak usah bu, ngapain diongkosin segalak si? Lagian saya seneng kalau nolongin ibu." Jawab Dio.
"Kok kamu gitu sih Dio? Ambil saja, ibu malah jadi gak enak karena keseringan minta tolong ke kamu." Kata ibuku, dan dengan terpaksa akhirnya Dio mengambil uang pemberian ibuku itu. Dio pun tersenyum dan merasa malu.
"Yaudah deh bu saya terima, ngomong-ngomong keadaan Amel sekarang gak pa pa kan?" Tanya-nya, yang seketika membuat hatiku berdetak.
"Ohh gak pa pa, dia sekarang lagi istirahat di kamar." Kata ibuku. "Oh iya Dio, kalau kamu mau menjenguk dia, jangan lupa pakai masker ya? soalnya Amel juga batuk." Imbuh ibuku, Dio pun mengangguk dan bersalaman pada ibuku, lalu pergi kembali masuk ke dalam rumahnya yang terletak tepat di depan persis kontrakan ibuku.
Saat itu juga ibuku masuk ke dalam rumah, dan aku langsung menghampirinya.
"Habis dari mana?" Tanyaku yang membuat ibuku terkaget saat melihatku berdiri tepat di ambang pintu kamar ini.
"Ohh, sudah bangun kamu rupanya?" Jawabnya, dan sorot mata ibuku seketika berubah menjadi masam. "Mel, kamu habis lari dari rumah nenek ya?" Tanya-nya, dan lantas aku terdiam menepis tatapannya.
"Kenapa sih Mel kamu itu pake lari dari rumah nenek-mu segalak? Kata orang rumah kamu itu suka keluyuran dan bandel kalau dikasih tau." Ucap ibuku. "Pokoknya ibu gak mau ya Mel kalau kamu itu sampai gak nurut sama orang rumah, kamu tau sendiri kan kalau di luar sana itu ada korona?" Imbuhnya.
"Ibu habis dari rumah nenek ya?" tanyaku.
"Iya, ibu khawatir dan kangen banget sama Jojo. dan kamu tadi juga di cariin sama nenek. Dia sangat kepikiran sama kamu Mel." Kata ibuku. Lalu aku sejenak merunduk dan mengakui kesalahanku.
"Oh-iya, lain kali kalau Tony ngajak kamu berpergian jangan mau ya? ibu gak mau kalau kamu sampai kenapa-napa." Katanya, mendengar kata Tony, aku seketika teringat oleh anak itu. Sudah lama akhir-akhir ini aku tidak mengecek ponselku. Semua ini karena keadaan yang begitu rumit.
"Dia juga tau kok, lagian ini semua itu salah-ku, bukan salah dia." Kataku.
"Ibu tidak menyalahkan Tony Mel, setidaknya untuk sementara waktu ini kamu jangan maen-maen keluar sama dia." Kata ibuku, dan aku mengangguk.
"Tadi ibu ke sana ketemu sama tante Anik juga kan?" Tanyaku, dan ibuku menatapku sambil meletakkan tas dan jaketnya di gantungan baju.
"Iya, tantemu bicara banyak hal soal kamu." Kata ibu.
"Apa saja yang sudah tante omongin ke ibu?" tanyaku.
"Ya seperti yang ibu katakan tadi, kalau kata tantemu itu kamu anaknya bandel, susah diatur, suka ngelawan kalau dikasih tau." Kata ibuku, lalu dia mendekatiku saat diriku nampak terdiam menyadari kesalahanku.
"Tapi tetap saja tante mu itu menginginkan kamu untuk balik ke sana lagi kalau kamu sudah sembuh, mereka semua sebenarnya sayang sama kamu Mel, jadi pesan ibu kamu jangan pernah ngelawan ya kalau dikasih nasehat, apa lagi sampai pergi dari rumah kayak gini." Terang ibuku.
Aku merundukkan kepala sambil mengangguk untuk merespon apa yang ibu katakan padaku. Kemudian dia beralih pergi meninggalkanku sambil berkata.
"Ibu siapkan makananmu ya Mel? Udah menjelang malam, kamu tidak boleh telat makan." Kata-nya, dan dalam hatiku berkata kalau saat ini aku sama sekali tidak lapar.
Saat aku telah selesai sarapan dan meminum obat-ku, aku masuk ke dalam kamar dan mengambil tas-ku.
Di sana rupanya masih banyak terdapat baju-baju yang telah kubawa dari rumah nenek dalam jumlah yang banyak. Aku membongkar semua itu untuk mencari ponselku. Sejenak aku berbaring sambil mengecek isi pesan whatsapp yang lama tidak aku lihat.
Sesuai degaanku, bahwa Tony pasti telah mengirimiku banyak pesan dan menelponku berulang-ulang kali. Aku tersenyum saat menyadari hal itu rupanya benar terjadi. Kulihat pesannya begitu amat manis sekali. Di sana tertulis.
"Selamat pagi Amel, kamu lagi ngapain?"
"Kok pesanku gak pernah kamu balas sih?"
"Mel, gimana keadaanmu? Aku kangen Mel sama kamu."
"Balas dong Mel? Kamu bikin aku kepikiran."
"Oh iya, buah yang aku kirim sudah kamu makan kan?" Dan saat aku melihat pesannya tentang buah, aku mulai teringat kalau dia hendak mengirimiku buah-buahan lagi.
Sialnya aku sekarang tidak di rumah nenek. Aku yakin buah-buahan itu pasti habis dimakan sama Jojo semua. Biarlah, aku kesampingkan hal itu dan aku kembali menggeser layar ponselku ke bawah.
Di sana masih banyak sekali pesan-pesan dari Tony dengan emotikon nangis, bagiku itu sangat lucu. Aku tersenyum dan merasa rindu padanya. Akankah aku telpon dia sekarang juga? Aku benar-benar ingin berbicara dengannya saat ini. Saat itu juga aku menghubunginya lewat video call, secepat itu dia langsung mengangkat video call-ku
"Alhamdullilah, kamu susah banget Mel dihubungi astaga." Katanya, dan itu sungguh membuatku tertawa.
"Haha Sorry Ton, aku lama gak ngecek Hp-ku, kamu tau sendiri kan kalau aku perlu istirahat total?" Kataku.
"Iya gak pa pa, maaf kalau pesan-pesanku mengganggu waktu istirahatmu." Katanya.
"Ngomong-ngomong sekarang kamu lagi ngapain? Duhh aku sampe kangen Mel." Katanya.
"Di kamar, tiduran, abis ini makan, terus minum obat, terus tidur lagi dehh." Jawabku sambil tersenyum.
Bersambung..
Berlanjut ke Chapter 35..