Aku berjalan mendekati mereka berdua, tersenyum kearah mereka dengan menyembunyikan kesedihan ini ialah saat yang begitu sulit bagiku. Perlakuan Andy saat aku datang ke sini sangatlah menjengkelkan. Pada saat itu juga kutangkis kamera handphone-nya yang merekami wajahku.
"Stop deh An gak usah konyol." Kataku yang membuat Andy terhenti untuk ngevlog kedatanganku.
"Duh, gak seru kamu Mel." Singgungnya, Eny nampak mengernyit menatapku, seolah faham dengan kondisi yang kualami hanya dengan melihat gambaran wajahku saat ini. Di balik senyumku yang begitu rapuh dan merasa bersalah, Eny nampaknya tau betul akan hal itu.
"Kamu kenapa Mel?" Tiba-tiba Tanya Eny, aku sejenak melepaskan tas ransel gunungku dan kutaruh di atas kursi plastik yang berada tepat di teras rumahnya.
"Gak pa pa En, aku habis bentrok saja sama orang rumah." Kataku, dan sungguh aku seakan tak bisa menyembunyikan hal ini dari siapapun, sulit rasanya bila menahan semua itu. Setidaknya aku menceritakan apa yang aku alami dengan orang terdekat yang kumiliki, dan lagi pula aku juga tidak akan sanggup bila mana menutupinya.
"Bentrok apa lagi?" Ules Eny. "Sama tantemu itu?" Tanya-nya, dan dia juga bisa menebak rupanya. Aku mengangguk sambil melihat langkah Andy yang mulai mendekatiku serta mengelus-elus pudakku.
"Perkara apa sih Mel? Tunggu deh, itu kamu bawa tas sebesar itu buat apa?" Tanya Andy, dan pikirku mungkinkah aku berkata padanya bila mana aku diusir dari rumah hanya karena sebuah bentuk keegoisanku yang bandel disuruh untuk tidak keluyuran? Yang mana keluyuran tersebut ialah untuk menjenguknya.
"Udah gak usah dibahas, lagi pula aku udah bosen berdebat dengan mereka terus." Jawabku.
"Ngomong-ngomong kondisi kamu sekarang gimana En?" Tanyaku pada Eny dengan ekspresi sebahagia mungkin.
"Aku udah baikan kok, cuma leherku saja ini yang agak sakit, soalnya pas kecelakaan leherku kebentur spion motorku." Katanya sampai aku mengernyit merasa ngeri.
"Astaga, Itu kejadiannya gimana sih? Jujur aku sangat syok banget saat liat status Andy waktu itu." Kataku.
"Em, kejadiannya sangat mendadak banget Mel, dan tiba-tiba saja dari belakang kita berdua ditabrak sampai aku gak sadar," kata Eny. "dan sampai saat ini, aku gak mau mengingat kejadian itu lagi, sudah cukup itu yang terakhir." Imbuhnya, lalu aku menatap mata Eny yang saat itu nampak masih lebam.
"Kamu waktu itu gak mikir yang aneh-aneh kan En?" Tanyaku, lantas Eny sedikit cemberut.
"Mikir apa emangnya?" Tanya Eny yang seolah tak memahami maksudku.
"Mungkin soal Bastian atau apalah itu?" Kataku pada akhirnya, dan dia pun menepis pandangannya kearahku.
"Ohh, enggak kok, sama sekali enggak, itu hanya insiden tak terduga aja sih Mel." Kata Eny, "Soal pria itu, aku sudah mencoba untuk melupakannya, meskipun itu perlu proses dan waktu." Imbuh Eny, aku mengangguk sambil tersenyum, merasa senang akan jawaban tersebut.
"Ngomong-ngomong aku minta maaf ya? Kemaren aku gak bisa temenin kamu di royal." Kataku dengan memasang wajah murung di hadapannya.
"Aku bener-bener nyesel En gak bisa nemenin kamu di saat itu." Imbuhku. Eny pun tersenyum dan menyenggol pundakku.
"Halah, biasa aja kali Mel, lagi pula saat itu sudah ada Andy kok di sampingku, iya kan An?" Singgung Eny pada Andy, dan senyum Andy saat itu terukir manis kearah Eny.
"Eh, terus-terus, hubungan kamu sama Tony gimana Mel? Kok kamu ke sini gak ngajak Tony juga sih?" Imbuhnya, lantas pertanyaan itu membuatku tersenyum sambil merunduk.
"Gak pa pa, kita masih pacaran kok, Tony orangnya sweet banget, dan rencanaku emang diam-diam sih untuk datang ke sini," kataku sambil tersenyum. "Itu semua demi kamu En, demi kalian berdua, aku itu khawatir dan kepikiran banget tau gak si soal keadaan kalian." Imbuhku.
"Ohh Amel, aku gak pa pa kok, liat nihh, udah bisa senyum di hadapanmu kan?" kata Eny. "Aku jadi ikut seneng deh kalau kalian masih pacaran, kamu sama Tony itu bener-bener pasangan yang cocok banget, semoga langgeng sampe ke pernikahan yah?" kata Eny, dan saat itu juga disahut "Amin." Oleh Andy. Aku sendiri hanya terdiam.
"Hmm makasi ya? sebenarnya entah kenapa, dia itu keinginannya udah merambah kemana-mana gitu lho En, yang pingin cepet nikah lah, punya anak banyak lah, bisa mewujudkan mimpi-mimpiku lah, dia itu pokoknya ada aja yang direncanakan meskipun itu hanya sekedar halusinasi. Tapi aku bener-bener suka dengan apa yang dia omongin, hehe." Kataku. lantas Eny dan Andy pun tersenyum kearahku dengan penuh kebahagiaan.
"Hmm jadi kangen aku sama pacarmu itu Mel." Kata Andy, aku pun tertawa mendengar ucapannya.
"Hehe, iya deh entar aku ajak dia untuk ketemu sama kalian, lagi pula Tony juga udah aku kasih tau kalau kalian mengalami kecelakaan, dan dia juga sama-sama panik dan syok seperti aku. Jujur aku gak bisa tenang En kalau gak menjenguk kalian bedua, kalian tau sendiri kan kalau kalian itu sahabat aku satu-satunya di dunia ini yang kupunya." Kataku, dan Eny pun seketika terenyuh dan memelukku seakan mengapresiasi atas rasa cintaku ini pada mereka, dan pelukan Eny saat itu terasa begitu hangat dan mampu meluluhkan segala macam derita yang kualami saat ini.
"Jujur aku sangat senang banget kamu ada di sini Mel," kata Eny. "Ngomong-ngomong kita udah lama kan gak bertemu dan gak maen bareng semenjak korona beredar?" Imbuhnya.
"Tuh kan Mel, kamu dikangen-kangenin juga lho sama Eny." Kata Andy. "En, gimana kalau kita masuk ke dalam saja sambil makan roti bakarku?" Imbuhnya.
Mendengar perkataan Andy, aku menjadi antusias, sedangkan Eny sendiri setuju sambil mengangguk atas keinginan Andy tersebut. Kami bertiga pun akhirnya beranjak dan masuk ke dalam rumah Eny.
Di dalam sana rupanya ada ayah Eny lengkap beserta kedua adiknya Apan dan Nauval. Melihat Apan yang sedang asyik bermain kartu remi di ruang tamu ini membuatku teringat oleh Jojo, dia memang sepantaran, sedangkan Nauval sendiri aku tak sebegitu akrab dengannya sebab menurutku Nauval anaknya begitu cuek dan kalau ditanyai pertanyaan sangatlah sulit untuk menjawab.
Usianya juga masih kecil sekali, sekitar umur 4 tahun yang asyik dengan dunianya sendiri. Aku mendekati Apan saat itu juga.
"Udah gak sekolah nih-ya?" Tanyaku, dan Apan langsung menoleh kearahku.
"Wah, kak Amel, kapan kak Amel datang?" Tanya-nya dengan terkejut saat melihatku.
"Dari tadi lah!" Jawabku sambil menengok aktivitasnya. "kamu lagi ngapain?" imbuhku.
"Gak ngapa-ngapain," jawab Apan.
"Semenjak ada korona sekolahku libur kak Mel sampe dua minggu. Jadi gak tau deh di rumah ngapain. Aku aja sampe bosen, pingin banget balik sekolah lagi." Katanya, dan sudah kuduga sejak dulu, bahwa Apan anaknya sangat rajin dan niat bersekolah, beda sekali dengan Jojo yang selalu ada maunya bila disuruh-suruh, dan sekarang dia telah memiliki handphone baru yang menambah daftar kemalasannya untuk belajar segala macam.
"Kamu bener Pan, enak sekolah bisa ketemu banyak temen, iya kan?" kataku, dan dia tersenyum. Ayah Eny datang sambil membawakan secangkir teh hangat untukku. Sudah lama aku tak bertemu dengannya, dan melihat beliau saat ini, entah kenapa aku seakan ingin tersenyum sendiri mengingat dulu Eny pernah berusul padaku bila dia ingin menjodohkan ayahnya dengan ibuku, sehingga kami bisa jauh lebih dekat dan tak hanya sekedar teman, tapi melainkan saudara.
Asal dia tahu saja, itu adalah usulan terbaik yang terpendam di dalam hatiku, namun hal itu rasanya tidak akan mungkin terjadi, itu sama saja aku egois terhadap ibuku yang kini telah memiliki suami. Lagi pula pak Irwan juga baik kepadaku dan juga kepada adikku, namun entah kenapa hal itu sulit untuk kuterima.
"Silahkan diminum teh nya," kata ayah Eny.
"Iya Pak." Jawabku sambil mengangguk, lalu tak lama itu Andy datang sambil membawa roti bakar sepiring penuh, baunya sampai semerbak ke seluruh ruangan.
"Kue apa itu En?" Tanyaku, Eny dan Andy lalu duduk di kursi sofa, dan Eny menyuguhkanku sepiring kue buatan Andy itu.
"Aku hari ini masak banyak Mel, ada roti bakar, sandwich, sama roti yang lagi viral itu loh, Korean garlic bread tau kan?" Kata Andy, dan dia pasti mengira bahwa aku mengetahuinya sebab diriku yang suka masak diantara mereka, namun aku menggeleng tak mengetahuinya.
Sebenarnya mengenai makanan yang kekinian, aku harus bisa up to date dan mengikuti tren. Apalagi diriku yang ingin punya rencana membuka usaha salad buah serta kuliner lainnya.
"Makanan ini itu banyak dibikin orang-orang selama masa karantina ini, coba deh kapan-kapan kamu buat," Kata Andy.
"Rupanya kamu pintar masak juga ya An? Jadi jangan keseringan memujiku ya! lagian masakanku juga belum tentu kerasa enak, cuma Tony aja yang suka bilang enak terus," Kataku, Eny pun tertawa sedang mendengar itu.
"Ahh kamu itu Mel, ayo coba rasain deh kuenya, enak apa enggak?" Kata Andy. "Aku bikinnya udah sama persis kayak di internet sih." Imbuhnya, lalu aku menggigit kue itu dan merasakan lelehan keju serta krem yang terasa lembut, gurih, manis, serta ada balutan rasa bawang di sana.
"Enak banget An, aku minta resepnya dong." Kataku, Eny pun langsung bertepuk tangan untuk mengapresiasi Andy.
"Makasih ya, entar aku kasih resepnya Mel." Jawab Andy.
"Beneran lho ya! entar kalau bikinnya gagal ajarin aku sampai bisa ya An? Kita masak di rumah ibuku aja." Kataku sambil tersenyum, lalu Eny seketika mengoreksi ucapanku itu.
"Maksudmu di rumah nenek-mu kan Mel?" Tanya-nya, lalu aku terdiam sambil mengangguk. Dan berpikir bahwa aku harus tidak mengasih tau kepada mereka perihal masalahku di pagi ini.
"Sambil makan, kita nonton film yuk? Aku punya film bagus nih yang kemaren sempat kubeli sama Andy di Royal." Katanya sambil mengambil kaset tersebut. Dengan antusias Andy menyalakan DVD beserta sound Home Theater yang terpasang di ruang tamu ini.
Film yang kami tonton saat ini ialah film korea berjudul train to busan. Aku sebenarnya tak terlalu suka dengan film action. Tapi menonton dengan mereka di sini rasanya aku begitu nyaman. Lalu saat Eny duduk di sampingku, pundaknya seketika terasa sakit, dia merintih kesakitan disampingku.
"Kamu gak pa pa kan En?" Kataku, dan film pun di jeda sejenak oleh nya.
"Gak pa pa kok," katanya sambil menahan sakit. "Cuma sedikit linu aja." Katanya, lalu aku sejenak berlari menuju ke tasku, dan aku mengambil salep anti pegal di sana.
"En sini, aku kasih salep, kebetulan aku bawa di tas." Kataku, lalu saat itu juga kuoles pundaknya dengan salep yang kupunya. Hingga ayah Eny melihat itu dan dia berkata.
"Kalau masih sakit gimana kalau ayah panggilkan tukang pijat saja nanti sore?" Tanya ayah Eny, dan Eny pun menggeleng.
"Gak usah yah, cukup salep Amel ini aja, entar juga sembuh sendiri kok." Kata Eny.
"Kayaknya gak pa pa deh En, jujur sih aku dulu itu sempat pernah jatoh dari tangga, dan ngerasa linu gitu seperti yang kamu alami ini, dan waktu itu dipijit sama ibuku, besoknya udah langsung sembuh." Kataku, lalu Eny menggeleng.
"Aku itu gak suka dipijit Mel, gak pa pa kok." Katanya, lalu film tersebut kembali diputar, dan kami pun menonton film itu hingga siang hari.
Saat bersama mereka, entah kenapa rasanya itu begitu nyaman, aku sampai tak memikirkan soal kondisiku yang sebenarnya dalam keadaan sakit. Sepanjang hari ini aku makan serta minum obat di rumah Eny. Entah kenapa berada di rumahnya seperti aku berada di rumahku sendiri, tak hanya itu, Andy saja sampai betah berhari-hari berada di rumah Eny. Rumah yang bersih dan sederhana, dimana di dalamnya hanya ada kedua adiknya serta ayahnya saja.
Ketika diriku di kamar Eny, disana aku melihat bingkai foto kami bertiga, aku ingat betul kalau foto itu terbidik menggunakan kamera cannon-ku yang kugadai tahun lalu. Saat kami ada di sana, Andy berkata padaku.
"Mel, kapan-kapan aku pinjam kameramu ya?" Tanya Andy.
"Gak An, kameranya udah nancap permanen di tripod, kamu kan tau kalau aku bikin konten youtube," kataku, padahal sebenarnya kamera itu sudah kugadai dan tak bisa kembali karena sudah terlelang sebab lewat jatuh tempo.
"Kok bisa gitu sih? Yaudah deh, kalau gitu kapan-kapan kita bikin video di rumah kamu aja ya Mel," katanya, dan aku mengangguk. Eny berada di atas ranjang, duduk sambil melihat hp, kulihat ekspresinya sangat murung.
"Kamu kenapa En?" Tanyaku, kulihat jemari tangannya nampak sibuk sekali memencet-mencet layar handphone.
"Aku sibuk menghapus masala lalu nih, apa lagi kalau bukan foto-fotoku sama Bastian." Katanya.
"En? sebenci itukah kamu sama dia?" kataku, "Maksudku, itu gak sepenuhnya salah dia juga sih, apalagi menyangkut orientasi seksualnya itu." Imbuhku.
"Siapa juga yang benci? kamu tau? Aku itu malah mencintainya, seperti halnya aku mencintaimu, sebenarnya itu sulit kubuang begitu saja, ya ibarat kayak kamu yang gak ada di sampingku." Kata Eny, lalu Andy sejenak mengintip layar ponsel Eny, dan dia mengangkat alisnya.
"Astaga! ngapain kamu rekam layar segalak sih En?" Tanya-nya, lalu Eny tersenyum menatap Andy.
"Aku buat konten di TikTok." Jawabnya.
"Ya gak sebegitunya juga dong En," ulesku, dan kami bertiga seketika mendengar suara ayah Eny yang berteriak.
"En? ini tas besar temen kamu jatoh, bajunya berserakan di lantai." Lalu aku sadar akan tas besar, baju-baju banyak, sejenak aku jantungan, sebab itu semua milikku.
Bersambung..
Berlanjut ke Chapter 33..