Chapter 31 - Bab 31

Sabtu, 21 Maret 2020.

Semalam Andy telah mengabariku perihal kondisi Eny yang sudah siuman. Sekarang dia sudah dibawa pulang ke rumahnya, dan rencanaku hari ini yaitu ingin menjenguknya. Aku tidak peduli meskipun di luar sana penuh dengan larangan untuk berpergian keluar rumah.

Akhir-akhir ini banyak media yang menyerukan gerakan stay at home, atau yang bisa diartikan sebagai gerakan dirumah aja, yang mana itu kita tidak diperbolehkan untuk keluar rumah tanpa alasan yang penting. Tapi bagiku alasan untuk menjenguk Eny merupakan alasan yang sangat penting.

Pagi ini aku sudah bersiap-siap untuk meninggalkan ruman nenek. Berpamitan dengannya mungkin akan ada sedikit gesekan dan perdebatan, apalagi kalau langkahku ini kepergok oleh tante Anik, aku yakin sekali pagi ini akan dihujani berbagai macam larangan mereka.

Saat aku menuju ke ruang tamu, rupaya disana ada paman Farid yang sedang duduk-duduk sambil baca Koran. Dia melihatku dan langsung menyapaku.

"Mau kemana Mel?" Tanya-nya.

Ya"Emm, keluar sebentar paman, jenguk temanku yang lagi sakit," Kataku. Sebenarnya aku tak perlu sejujur itu untuk berpamit kepada-nya. Setidaknya aku pakai alasan yang lain, tapi itu sudah terlanjur.

"Sakit apa temanmu?" Tanya paman Farid dengan wajah mengernyit.

"Dia habis kecelakaan, dan hari ini dia sudah siuman, makanya aku ingin menjenguk di rumahnya." Jawabku dengan perasaan yang cukup ragu.

"Emang rumahnya dimana?" Tanya pama Farid.

"Wiyung paman." Jawabku, lalu seketika itu tante Anik menghampiriku. Kulihat dia sedang memasak di dapur dan mengetahuiku yang sedang memasang jaket seperti hendak berpergian. Kehadirannya sungguh membuatku tak nyaman.

"Mau kemana kamu?" Tanya-nya dengan nada yang menohok, lantas aku merunduk dan merasa enggan bila mana akan berdebat dengannya.

"Biarin lah yank, dia mau jenguk tamannya yang sedang sakit." Ules paman Farid yang membuat kedua bola mata tante Anik melotot menatapku.

"Apa? Menjenguk orang sakit?" kejutnya. "Gak boleh," imbuhnya.

"Kamu gila ya? masih sakit-sakitan gitu pakek keluyuran jenguk orang sakit. Dengar ya Mel! kamu itu juga sakit, jadi gak usah aneh-aneh dulu deh." Bentaknya yang tak tau harus kujawab apa.

"Sekarang juga kamu lepas jaket dan sepatumu dan kembali lagi ke kamar, pokoknya selama korona ini gak usah pergi kemana-mana yang tujuannya gak jelas kayak gitu." Kata tante Anik, hingga membuat nenekku terdengar untuk ikut berada diantara kami.

"Tapi tante? Dia itu teman baikku, ya gak bisa gitu dong." Tepisku, dan tante Anik seketika langsung naik pitam.

"Kamu ini bandel banget ya Mel! sekarang itu musimnya penyakit, kamu mau jatuh sakit lagi dan nularin ke kita-kita?" Ucap tante Anik yang bernada tinggi. Paman Farid pun sampai menutup korannya dan hendak menenangkan tante Anik.

"Udah, pokoknya kamu balik ke kamar, lepas jaketmu, dan gak usah pergi kemana-mana." Tegasnya. Entah aku harus bagaimana dalam menghadapi situasi seperti ini, di lain sisi aku benar-benar ingin menjenguk Eny.

"Ini ada apa sih? Pagi-pagi udah rame banget." Kata Nenek yang baru saja datang di ruang tamu.

"Ini Nek! lihat Amel yang mau keluar di musim-musim pandemik kayak gini, yang katanya mau jenguk temannya yang sakit itu." Ucap tante Anik. "Gila kamu ya Mel!" imbuhnya.

"Huss. Udah gak usah ngomong gitu." Enyuh nenek pada tante Anik. "Amel! kamu harus nurut sama tante Anik," katanya.

"Di luar sana sangat gak bagus buat kesehatan, apalagi juga kamu masih sakit." Imbuh nenek, dan seperti apa yang kuduga sebelumnya bahwa aku pasti akan dihujani oleh banyak larangan. Apa yang mereka ucapkan itu memang ada benarnya, tapi entah kenapa aku begitu sulit menerima nasehat itu.

"Ayo! sekarang juga lepas jaketmu dan kembali ke kamar." Bentak tante Anik, dan aku merunduk tak mengerti harus melakukan apa.

Aku seakan tak punya pilihan untuk memilih akan ucapan mereka yang sama sekali tak mengerti tentang bentuk persahabatanku yang amat berarti. Meskipun aku membantah sekalipun, aku pastinya juga tetap salah. Mereka berbuat seperti ini juga karena ada alasannya, dimana itu membuatku tetap aman dan tak membuat orang sekitar resah. Aku terdiam saat itu juga, dan kepalaku merasa bingung.

"Amel! Cepat tunggu apa lagi? Ayo kembali masuk ke kamar." Kata tante Anik yang seketika itu membuat diriku menangis tak kuat menahan rasa bingung serta bersalah ini. Nenek dan paman Farid sampai terkejut melihat diriku menangis tersedu-sedu.

"Lho Mel! Kenapa nangis?" ujar paman Farid. Aku merunduk sambil menutup wajahku dengan begitu erat. Balutan rasa sedih dan sakit seketika bercampur jadi satu di dalam hatiku.

"Udah Mel, cup, gak usah nangis ahh," kata nenek yang seketika mendekatiku, merangkulku, lalu mengelus-elus rambutku sambil menenangkanku. Sebenarnya aku tak pernah menangis di hadapan mereka semua, ini termasuk sekaligus momen pertamaku yang sangat begitu rapuh atas semua kejadian ini. Hal itu membuat tante Anik terdiam dan mengernyit menatapku.

"Mel! Udah deh gak usah pake nangis segalak." Ulesnya, kemudian paman Farid ikut menenangkanku dengan mengelus-elus pundakku.

"Ini gara-gara kamu sih, ngomongnya terlalu keras sama Amel." Kata paman Farid.

"Lho, kok malah nyalahin aku sih? Amel itu kalau gak dikeras, dia itu makin bandel." Kata tante Anik yang saat itu juga membuatku sadar akan hal keegoisan serta bentuk sifat kekanak-kanakan yang masih melekat pada diriku, tapi semua itu terasa berbeda bila mana ini menyangkut tentang Eny dan Andy. Keluar dari rumah untuk menemuinya itu bukanlah keegoisan.

"Tapi tante, apakah aku salah untuk menjenguk teman baikku saja? Hanya untuk melihat keadaannya sekarang." Kataku dengan nada yang tersedu-sedu. Nenek dan paman Farid sampai merangkulku untuk membuat nafasku tenang.

"Emangnya kamu sendiri tau? Berapa jumlah orang yang sudah terpapar di luar sana? Kamu itu harus sadar Mel! Kamu tinggal di sini sama keluarga, kamu juga punya pekerjaan, dan kamu juga harus bisa mikir sampai sejauh itu." Terang tante Anik.

"Yank! udah lah, kamu ini bikin Amel tambah syok saja." Kata paman Farid, sungguh aku tak ingin berdebat terlalu banyak mengenai semua ini, yang jelas pada diriku sekarang sebenarnya penuh dengan rasa bersalah dan khawatir.

"Aku mikir kok tante, sampai aku sakit kayak gini juga karena sering mikir." Kataku yang seketika itu dicegah oleh nenek. "Aku juga sama sekali gak pernah menghindar dalam kenyataanku, meskipun itu berat tante, tapi aku punya teman yang selalu ada untukku, apakah aku salah bila menemui mereka di saat mereka perlu kedatanganku?" imbuhku, dan aku berusaha menarik nafas dalam-dalam supaya pernafasanku stabil.

"Udah lah Mel, kamu diam aja, yang nurut." Ules nenek.

"Yaudah deh terserah, kalau kamu mau pergi ke sana, tante minta kamu gak usah balik lagi ke sini, biar kamu tinggal saja di rumah ibumu itu, dikasih tau bandel banget anak ini." katanya dengan nada menyindir, entah kenapa saat tante Anik berkata seperti itu spontan saja hatiku merasa panas dan penuh dengan amarah.

Setidaknya dia tak berhak berkata seperti itu terhadapku, dimana aku sebagai cucu dari nenekku yang berhak seutuhnya untuk tinggal di rumah ini. Bagiku sampai sini ucapannya sudah kelewatan. Saat itu juga aku langsung melepaskan rangkulan nenek dan paman Farid.

"Mel, kamu mau ngapain?" Tanya paman Farid, aku langsung berlari menuju ke kamar dan langsung mengambil tas ransel besarku yang biasa kubawa untuk liburan mendaki gunung. Di sana aku membereskan baju-bajuku, terutama seragam-seragam kerjaku.

"Amel, kamu ngapain Mel?" Teriak nenek, mereka berdua pun langsung menuju ke kamarku. Aku membuka lemari pakaianku dengan lebar, dan saat itu juga membuat nenekku terkejut bukan main.

"Astaga kamu ngapain?" Tanya nenek.

"Aku mau turuti apa kata tante Anik, biarin nek, jangan halangi aku." Kataku sambil memasukkan pakaian-pakaianku ke dalam tas. Aku bisa melihat ekspresi kebingungan dari nenekku.

"Jangan Mel, tante mu itu cuma menasehati kamu aja," kata nenek. "Kamu jangan pergi ya? Terus yang nemenin nenek di rumah siapa kalau bukan kamu Mel?" imbuhnya, dan sekali lagi, kata-kata itu seakan membuat perasaanku semakin hancur.

"Sudah lah nek, aku cuma ingin menjenguk temanku, dia lebih berarti dari apapun itu, aku gak minta yang lain kok." Kataku sambil nangis. Lalu aku bisa melihat dari sudut mataku bahwa paman Farid juga ikut masuk ke dalam kamarku.

"Mel, kamu ngapain sih dengerin omongan tante kamu?" Katanya. "Ini kamu beneran mau pergi Mel?" Tanya paman Farid.

"Aku udah cukup paman debat terus di rumah ini, aku juga udah capek dan gak tau lagi harus ngomong dan bersikap kayak ." Kataku.

"Udah sayang biarin aja, udah gede kok, pasti bisa mikir sendiri lah entar akibatnya gimana kalau suka keluyuran." Teriak tante Anik di ruang tamu. Lantas paman Farid langsung keluar dan menuju ke ruang tamu kembali.

"Kamu ini keterlaluan banget sama Amel, jangan gitu dong, bikin perasaan orang lain sakit aja," katanya. Aku tetap fokus kepada pendirian ku. Lagi pula tinggal di rumah kontrakan ibu sebenarnya jauh lebih menenangkan ketimbang tinggal di sini. Hanya saja dari dulu aku sangat memikirkan nenekku, yang di rumah sendirian tak ada teman selain diriku.

Kusadari sendiri bahwa nenekku sangat menyukaiku, dia menganggapku seperti anak perempuannya dulu yang sudah meninggal, yaitu tepat pada almarhum bu Deh yang sekaligus kakak dari almarhum ayahku serta kakak dari paman Farid itu sendiri.

Bu deh Yayuk, beliau sudah meninggal 5 tahun silam. Semenjak itu nenekku kutemani di setiap hari-harinya, terutama dalam mengajaknya mengobrol, memasak untuknya tiap hari, serta ditambah dengan kehadiran Jojo yang merupakan cucu kesayangan nenek.

Entah kenapa bagiku nenek justru lebih sayang kepada Jojo ketimbang kepada Nino. Itu pastinya ada faktor hubungannya terhadap tante Anik. Orang itu sikapnya sangat manipulatif, kadang baik dan juga kadang menjengkelkan. Aku sangat capek bila berhadapan dengan orang semacam itu.

"Amel, taruh lagi barang-barang mu itu, nenek sama sekali tidak mengizinkan kamu untuk pergi dari rumah ini." Ucap nenek, aku hampir selesai membereskan barang-barangku, dan bersiap untuk pergi dari rumah ini.

"Gak bisa nek, setidaknya aku perlu menjenguk temanku, itu saja." Kataku.

"Yaudah, jenguk saja temanmu, tapi kamu jangan tinggal di kontrakan ibumu ya? Nenek gak ada temennya Mel kalau bukan sama kamu." Katanya, dan seketika itu nenek-ku jadi ikut menangis melihatku yang sedang membawa tas hendak pergi dari rumah ini.

"Nenek dengar apa kata tante Anik tadi kan? Udah cukup nek, aku udah capek debat terus tiap hari tinggal di rumah ini, aku udah gak kuat lagi nek." Kataku, dan aku berjalan hingga menuju ke pintu masuk untuk keluar dari rumah ini.

"Benar-benar tega kamu Mel sama nenek." Katanya.

"Biar jojo saja yang tinggal di sini, lagi pula dia gak sekolah kan selama seminggu!" Terangku. Dan aku pergi saat itu juga sambil mengambil shine yang terparkir di gudang depan rumah.

Nenekku menatapku dari kejauhan dalam balutan kesedihan. Aku juga bisa melihat Jojo yang menengokku di atas balkon, kurasa dia juga mendengar perdebatanku di ruang tamu tadi. Sungguh aku tak menyangka bahwa pagi-pagi seperti ini keluargaku heboh hanya karena diriku yang ingin menjenguk temanku. Apa salahnya diriku? Sampai mereka sekejam itu seolah sama sekali tak mengerti akan perasaanku.

Sepanjang perjalananku mengendarai Shine, emosiku sangat tak terkontrol. Hatiku penuh dengan rasa bersalah, marah, dan juga bingung. Apakah tindakanku ini pantas kulakukan terhadap mereka? sejujurnya bila dipikir terlalu panjang, mereka hanya menasehatiku, membuatku seaman mungkin agar tetap berada di rumah dan gak pergi keluyuran kemana-mana.

Saat itu juga tangisku pecah kembali. Sepanjang perjalananku menuju ke rumah Eny, kulepaskan rasa sedih ini dengan menangis terseduh-seduh. Aku sampai lupa akan banyak hal, terutama tentang keselamatanku, serta saran dari Tony yang tak boleh mikir yang aneh-aneh.

Asal dia tahu saja bahwa itu semua kulanggar, dan lagi-lagi aku menyadari bahwa aku ialah perempuan yang tak baik, perempuan yang bandel dan susah diatur, meskipun semua itu tidak benar, hanya karena keadaan yang menuntutku untuk jadi seperti ini.

Rumah Eny nampak terbuka lebar saat aku telah sampai tepat di depan halaman rumahnya. Aku bisa melihatnya duduk di depan teras rumah bersama Andy di sampingnya. Sungguh betapa bahagianya mereka berdua melihatku yang sudah datang tepat di hadapan mereka berdua.

Eny tersenyum lebar sambil jingkrak-jingkrak begitu senang. Seperti biasa bahwa Andy bila kemana-mana selalu memakai Hp-nya untuk nge-vlog.

Dia seketika merekamku yang telah datang tepat di depan rumah ini. sambil teriak dia berkata.

"Ini dia yang ditunggu-tunggu telah datang," katanya. "Si Amel anak tercantik sekota Surabaya, calon istri lelaki tampan, tinggi, dan kaya raya, yuhuuu, perkenalkan ya guysss." Katanya sambil memegangi kamera handphonenya.

Dalam hatiku berkata, "Kamu gak tau apa yang aku alami demi bisa bertemu denganmu An." Sambil tersenyum alot.

Bersambung..

Berlanjut ke Chapter 32..