Chapter 25 - Bab 25

Diriku telah sampai di dalam apotik k24, rupanya alamat apotik ini cukup jauh jaraknya dari kantorku. Waktu masih menunjuk pukul 9 pagi, dan saat itu juga aku langsung mencari keberadaan bu Stefany.

Saat aku menunggu, tak butuh waktu lama rupanya beliau muncul dan menghampiriku sambil memberi salam kepadaku.

"Hai, ini Amel ya?" kata beliau, lantas aku berdiri dan menganggukan kepala.

"Iya bu." Jawabku, kemudian kami berdua duduk berjauhan dengan jarak satu meter sesuai penanda yang ada di kursi ini..

"Saya bu Stefany." Kata beliau sambil tertawa sedang. "Barusan tadi Tony telpon saya kalau kamu mau pesan masker dan sarung tangan lagi ya?" Kata bu Stefany.

"Iya bu, maaf banget ya, kemaren sempat dibantu lewat bu Firly, sekarang beli lagi." Kataku, lantas bu Stefany memberikan sebungkus barang yang telah dipesan Tony tersebut padaku.

"Ohh gak pa pa Mel, di sini udah biasa melayani pembelian masker dan sarung tangan kok, asalkan datanganya harus pagi-pagi, soalnya kalau siang dikit barangnya emang udah habis, makanya kalau bisa pesan terlebih dahulu supaya kami bisa siapkan yah!" Kata beliau, dan diriku mengangguk sambil bernafas lega akan hal itu.

Rupanya masih ada tempat yang mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan barang pelindung tersebut.

Ketika diriku menerima barangnya, dan kulihat nota harga di dalam sana, rupanya harganya tidak sama dengan nota yang telah kubuat dulu. Harga masker dan sarung tangan di tempat ini ternyata dijual dengan harga normal, satu kardus untuk masker dijual seharga 50rb, sedangkan untuk sarung tangan ukuran S dijual 65rb. Seketika itu aku menatap wajah bu Stefany dengan cepat.

"Bu ini bener harganya segini?" kataku, dan dia mengangguk. Aku bisa melihat senyum di wajahnya yang terbungkus oleh masker tersebut.

"Wahh, makasi ya bu, kalau gini sih bakal banyak yang beli di tempat ibu." Kataku.

"Hehe, Iya Mel, makanya ibu sarankan datang pagi-pagi ke sini, tadi aja sempet rame banyak yang cari, berhubung Tony udah pesan duluan, ya saya siapin untuk kamu." Katanya. "Ngomong-ngomong kalian pacaran udah dapat berapa lama sih? Bu Firly suka banget lho menceritakan kalian berdua saat kami bertemuan." Kata beliau, dan aku tersenyum sejenak.

"Ohh, baru sebulan kok bu." Jawabku.

"Hm, semoga tetap langgeng sampai ke jenjang pernikahan yah Mel! yang ibu tahu nih-yah, Tony itu anaknya baik, perhatian, ganteng lagi." kata beliau.

"Iya bu, hehe." Jawabku sambil tertawa sedang, kemudian setelah sampai beberapa menit, aku mulai berpamit untuk kembali ke kantor pada bu Stefany. Beliau rupanya orang yang baik dan kalem. Oleh karenanya aku tidak kebingungan lagi untuk mencari masker dan sarung tangan. Setidaknya ada titik terang dan tujuan yang pasti untuk mendapatkannya.

Sesampai diriku di kantor, aku menaruh kedua barang itu pada berangkas yang berbeda. Pokoknya mulai saat ini yang membagikan peralatan APD harus diriku, aku akan bersikap lebih tegas lagi kepada mereka. Dengan cepat aku membuka kardus barang itu, dan kuambil sehelai masker beserta sarung tangan untuk ku-berikan kepada Tony saat ini juga.

"Ton! ini ambil, cepat dipakai ya!" kataku saat mengintip di pintu tempat ruang kerjanya. Kulihat dia sangat sibuk sekali hari ini. Sambil berlari, Tony langsung menyahut barang itu dari tanganku, dan dia berbisik.

"Makasih ya sayang." Lalu dia cepat-cepat kembali lagi bekerja. Saat pada siang harinya aku mengecek ketersediaan tisu dan sabun pada setiap meja dan washtafel portable. Semua itu rupanya hampir habis, uang yang diberikan Pak Hamid kepadaku tentunya masih kembali banyak. Aku melihat lekat-lekat pada nota tesebut, sembari berfikir, dan secepat itu aku langsung berinisiatif untuk menemui Amir.

"Gimana Mir? Nota ini bisa dimanipulasi gak ya? Kamu bisa bikin kayak biasanya kan?" tanyaku, saat mengusulkan padanya tentang pembuatan nota baru.

"Bentar, tapi ini ada stempelnya Mel." Kata Amir saat mengamati di setiap lembar pada nota tersebut.

"Kalau gak pakai stempel emangnya Pak Hamid bakal nanyain?" Tanyaku.

"Gak tau juga sih, kenapa kamu tadi gak minta nota kosongan saja?" katanya, dan diriku tersenyum kesal.

"Sorry Mir, gak kepikiran sampai ke situ." Jawabku, lalu Amir membuatkanku nota salinan dengan nominal harga yang persis seperti dulu kubuat. Lumayan, semua kembalian itu bisa kami bagi berdua dengannya. Untung dari pekerjaan disini yaitu memanfaatkan momen situasi seperti ini untuk memanipulasi nota barang-barang yang dijual murah.

Aku sebenarnya bukan tipikal orang yang seperti Amir, namun kalau dibiarkan terlalu lama, tindakan Amir itu juga ada benarnya, bahwa perusahaan sekaya ini tak seharusnya untuk pelit dan efisiensi secara berlebihan.

Untuk menghilangkan jejak, kusobek nota asli tadi dari bu Stefany, kuanggap itu terlalu alim untuk diberikan pada Pak Hamid. Saat diriku hendak menuju ke kantor beliau. Seorang karyawan tiba-tiba masuk ke dalam gudang hingga mengagetka kami berdua.

"Disini ada yang namanya Amel?" kata seorang lelaki itu.

"Iya saya, ada apa yah?" jawabku sambil mengernyit.

"Dicari Pak Hamid, suruh di kantornya sekarang." Kata lelaki itu, dan seketika itu jantungku berdetak cukup cepat.

"Mas, lain kali kalau masuk ketuk pintu ya!" sahut Amir, dan lelaki itupun pergi.

"Yaudah aku kesana dulu yah." Kataku pada Amir. Hatiku sangat penasaran di setiap langkahku menuju ke kantor beliau. Kemudian saat sesampai di sana, pak Hamid nampak begitu repot dan kebingungan.

"Permisi Pak, ada yang bisa saya bantu?" tanyaku saat berada di ambang pintunya yang terbuka.

"Oh, masuk Mel." Katanya. "Jadi hari ini saya kamu kasih tugas. Kebetulan sekali nanti saya mau keluar, Cuma satu jam saja, dan saya akan kembali lagi ke sini sekitar pukul 12 siang, saya mau ambilkan pesanan parsel saya di Sidoarjo dekat juanda, saya akan kasih alamat lengkapnya ke Wa mu, pastikan kamu harus datang sebelum saya datang di kantor ini, paham ya?." Katanya dengan cukup cepat.

"Terus habis itu, tolong ambilkan hiasan dekorasi di PGS untuk persiapan hari raya nanti, alamatnya nanti juga akan saya berikan ke wa-mu," katanya, dan diriku mengangguk berusaha mengingat semua itu. PGS sendiri merupakan kepanjangan dari Pasar Grosir Surabaya, yang merupakan salah satu pasar grosir terbesar di kotaku.

"Terus habis itu tolong cucikan karpet mobil saya yah kalau saya sudah datang ke kantor! sama isi sabun dan tisu yang ada di washtafel ya Mel? ngomong-ngomong stok-nya masih ada kan ya?" Tanya beliau, sambil menyiapkan berkas-berkas.

"Ada kok Pak." Kataku.

"Oke sip bagus, dah itu aja, kamu langsung berangkat sekarang ke Sidorarjo ambil parsel-nya ya? alamatnya udah aku kirim ke wa mu." Katanya, dan aku mengangguk bergegas berangkat ke tempat tersebut.

Sepertinya hari ini akan menjadi hari yang sibuk untukku. Aku mengambil Shine saat itu juga, lalu aku berangkat tepat pada pukul 10 siang.

Perjalananku harus cepat, sebab aku yakin pak Hamid akan pulang ke kantor sambil membawa klient-nya tersebut, dimana parsel itu harus siap datang tepat waktu.

Untungnya Jalanan hari ini cukup lengang, aku menggunakan google map untuk menuju ke alamat tersebut. Siang yang panas dan penuh polusi, sebenarnya aku sangat benci mengendarai motor pada siang hari. Sesampai di sana kulihat pada jam di Hp-ku telah menunjuk pada pukul 11 siang, bebararti perjalanan ini memakan waktu satu jam. Diriku langsung masuk ke dalam toko kue, dan petugas toko di sana bertanya.

"Ada yang bisa kami bantu?" Tanya salah satu petugas.

"Saya mau ambil parsel, dari Pak Hamid." Kataku.

"Oh baik, tunggu sebentar yah." Kata petugas itu, dan tak lama itu sebuah parsel kue milik Pak Hamid itu datang. Ukurunnya cukup besar dan kelihatan susah untuk dibawa. Aku merasa cukup kebingungan saat membawa parsel itu ke motor ku. Lalu dengan cepat parsel itu kuambil, dan kubawa ke Shine.

Aku tak berani mengendari motorku dengan cepat, sebab aku takut kalau parsel ini rusak di jalan. Akhirnya diriku sampai pada pukul 11.40, dan aku berlari melihat pada ruang Pak Hamid yang ternyata terdapat beberapa pengunjung di sana. Pikirku aku pasti sudah terlambat, seketika itu aku langsung memasuki kantornya.

"Permisi Pak, ini parselnya sudah saya ambil." Kataku, lalu Pak Hamid tersenyum ke arahku, senyum yang nampak dipaksakan.

"Lah ini dia sudah datang, Pak, Bu, ini silahkan diterima parsel spesial pemberian dari saya." Katanya saat mengambil parsel itu dari tanganku, dan kedua pengunjung tersebut nampak bahagia sambil menerima bingkisan tersebut.

"Mel, tolong buatin teh, sama siapin jajanan kue, cari semua itu di pantry, cepat." Bisik Pak Hamid kepadaku, diriku langsung bergegas menuju ke pantry, membuat teh, menyiapkan piring yang diatasnya kuisi kue-kue pie. Aku datang ke kantornya untuk kesekian kalinya sambil membawakan sajian tersebut.

"Makasih ya Mel," kata Pak Hamid, dan dia seketika itu mencegat diriku yang hendak keluar.

"Mel, jangan lupa ambil hiasan dekorasi di PGS, sekarang." Katanya, aku mengangguk dan bergegas kembali mengendarai Shine.

Sebenarnya siang ini ialah jadwalku untuk sarapan, aku melewatkannya begitu saja demi menuruti perintah-perintah pak Hamid.

Sesampai diriku di PGS, kepalaku mulai terasa sedikit pening, dadaku juga terasa sesak hingga nafasku terengah-engah. Ini pasti efek diriku telat makan.

Sungguh hari yang merepotkan, barang dekorasi yang kuambil dari toko tersebut rupanya begitu banyak dan terbungkus oleh kardus yang ukurannya cukup besar. Aku tak bisa membawanya sendirian dengan Shine, tapi untungnya pekerja di toko tersebut memasangkan tali pada barang-barang itu untuk bisa terpasang kuat di Shine.

Lagi-lagi aku berkendara dengan laju yang pelan, takut kalau tali ini bakal lepas dan jatuh tercecer di jalan-jalan.

Sepanjang perjalanan itu penglihatanku mulai kabur, perutku terasa begitu penat dan sakit. Sesekali aku mengingat kata-kata Tony bahwa

"Jangan sampai kamu telat makan di tengan kondisi pandemik seperti ini."

Sial, aku seperti acuh terhadap nasehatnya, dan sekarang kurasakan sendiri, bahawa kepalaku terasa pusing dan rasanya aku mau pinsan.

"Astaga Amel." Kata Tony saat diriku datang ke kantor sambil membawakan barang-barang sekardus besar berisi dekorasi idul fitri tersebut. Dengan sergap Tony berlari dan langsung menolongku.

"Sini biar aku saja yang bawa." Katanya, dan badanku seketika tak bisa dibuat untuk berdiri, aku langsung bersandar pada dinding dalam ruang backoffice kantor ini.

"Kamu gak pa pa kan Mel?" Tanya Tony saat diriku memegangi kepalaku.

"Kepalaku pusing banget Ton." Kataku.

"Bentar, aku ambilkan minum dulu, kamu duduk saja Mel." Katanya, dan dia berlari ke pantry, lalu datang sambil membawa segelas air putih.

"Diminum dulu Mel." Katanya, lalu kuminum air itu.

"Kamu pasti belum makan ya?" Tanya Tony, dan diriku diam saja.

"Mel! kan udah kubilangin kalau jangan sampai kamu itu telat makan. Kamu habis dari mana saja tadi siang? Aku cariin kamu kemana-mana gak ada." Katanya dengan nada kesal.

"Aku abis dari PGS ambil ini." kataku, lalu Tony mengernyit.

"Emang siapa yang nyuruh kamu ambil semua ini?" Tanya Tony, lantas aku tertawa sedang.

"Ya siapa lagi kalau bukan pak Hamid? udah deh Ton, aku mau ke pantry dulu yah, itu kardusnya tolong bawain ke gudang aja." Kataku sambil berdiri dan menuju ke Pantry.

"Mel!" Tiba-tiba panggil Tony, lalu diriku menoleh menatapnya.

"Kalau kamu disuruh yang berat-berat, kamu langsung bilang ke aku aja yah?" kata Tony.

"Ngapain Ton? Ini kan udah jadi tugas aku, udah deh gak usah dipikirkan terlalu berlebih, aku baik-baik saja kok." Kataku.

"Tapi aku gak bisa Mel lihat kamu kerja terus-terusan sampai gak sempat makan kayak gini." Katanya, dan seketika itu aku menatap matanya, aku bisa melihat niat tulus dari mata sayunya itu.

Tony yang baik dan Tony yang selalu bertanya pada kondisiku, lantas aku menggeleng saat itu juga.

"Gak perlu Ton, gak usah terlalu khawatir, ini juga aku mau makan kok, udah tenang aja." Ulesku, dan diriku tersenyum ke arahnya, lalu aku bergegas kembali menuju ke pantry.

Sesampai di sana, aku membuka tepak makanku, dan diriku mulai makan tepat pada pukul 2 siang. Lalu Tony tiba-tiba masuk ke dalam pantry, dan dia mengambil secangkir gelas, kotak teh, dan botol gula, sejenak aku langsung meliriknya.

"Mau bikin apa?" tanyaku.

"Mau bikinin kamu teh hangat." Katanya sambil tersenyum ke arahku. Sungguh, sebegitu baiknya dia kepadaku? Entahlah, aku tak bisa berkata apa-apa kepadanya.

"Ini teh-nya, enak diminum anget-anget gini." Katanya.

"Makasi ya Ton," kataku.

"Ngomong-ngomong kamu gak balik kerja di tempatmu? Bukannya waktu istirahatmu sudah selesai?" tanyaku.

"Nanti saja, lagian pekerjaanku sudah beres semua kok." Katanya, dan dia mulai duduk di sampingku.

"Tadi bu Stefany bilang ke aku, kalau mama kamu itu sering cerita ke beliau soal kita beruda." Kataku sambil tersenyum.

"Mereka banyak yang senang kan? Aku harap kita berdua akan selalu tetap mencintai sampai besok kita nikah." Katanya, dan seketika itu aku terdiam, entah mendengar kata nikah, aku merasa ada sedikit hal yang mengganjal di hatiku.

"Emangnya kapan kamu bakal nikahin aku Ton?" tanyaku pada akhirnya.

"Secepatnya, sampai kamu mau, ngomong-ngomong kamu sudah siap kan? gak usah pake tunangan, kita langsung nikah aja, kamu mencintaiku kan Mel?" tanyanya sambil tersenyum.

"Oh Tony, secepat itu kah?" Jawabku. "Bukannya kita baru kenal dan pacaran selama sebulan? Menurutku kita jalani dulu aja deh ya?" Imbuhku, lalu Tony sejenak menghirup nafas panjang sambil menatap ku.

"Oke deh, yang penting kita akan selalu tetap mencintai kan? Katanya, dan melihat senyumnya itu, entah kenapa hati ini selalu bergemetar. Kurasa senyum itu akan selalu membekas sampai kapanpun di otakku.

Bersambung..

Berlanjut ke Chapter 26..