Chapter 23 - Bab 23

Permainan Voly antara Tony dan papanya itu telah usai. mama Merlyn langsung memberikan apresiasi tepuk tangan yang meriah di sampingku. Lalu kami berdua berdiri untuk menyemangati mereka sambil teriak.

"Ayo! lanjutkan terus, semangat Tony dan Papa." Kata mama Merlyn, dan aku melihat mereka berdua nampak terengah-engah kecapekan.

Permainan itu dimenangkan oleh Tony, dan aku tersenyum kearahnya selagi Tony saat itu menatapku dari kejauhan.

"Sudah selesai Ma, sampai sini saja." Teriak papa Anthony, dan kulihat di sana Tony nampak berjalan menuju ke diriku, dan aku pun berdiri di sini terdiam sambil menyorotinya yang mendekatiku.

Saat dia mulai mendekat, helai kedua tangannya mengalung di leherku, dan dia kecup bibirku di saat itu juga. Sungguh moment dadakan yang sangat memalukan apabila dilihat oleh mama Merlyn dan papa Anthony.

Kecupan Tony terasa sangat kencang di bibirku, hingga tak luput menuai respon dari mama Merlyn yang berada tepat di sampingku.

"Hmm, mulai deh mesrah-mesrahnya." Kata-nya disaat  kecupan itu usai, lantas aku seketika menepuk pundak Tony.

"Ton, bau keringat semua ahh." Ulesku, dan saat itu juga Tony mengelap keringat di wajah tersebut dengan bajunya, lalu dia malah berniat untuk mengecupku lagi.

"Udah Ton, apa-apaan sih." Kataku yang berusaha untuk menghindar. Reaksiku ini membuat mama Merlyn tertawa terbahak-bahak. Aku sampai tak kuasa menahan malu di samping beliau.

Jujur saja, aku merasa bahwa Tony akhir-akhir ini suka menciumku secara tiba-tiba, dan bagiku itu terlalu mainstream dan meresahkan.

"Udah, kalau kalian mau sayang-sayangan biar mama sama papa tinggal dulu aja yah?" kata mama Merlyn. Saat itu papa Anthony juga ada di sampingnya, matanya menatapku sambil tersenyum lebar.

"Itu sebabnya kamu hari ini tampil terlalu cantik Mel, gak heran deh kalau Tony seperti itu." Kata papa Anthony. Aku merunduk dan sesekali menatap wajah Tony, hingga aku mempunyai pendapat khusus kalau saat ini Tony sangat menjengkelkan.

"Mel, kamu tau enggak kalau di sana itu ada sungai-nya lho, dan sungainya itu jernih banget banyak ikannya." Kata Tony sambil menunjuk kearah seberang taman perkebunan.

"Di sana tempatnya cantik banget Mel, coba ke sana deh, kamu pasti suka." Kata mama Merlyn. Lantas aku mengernyit penasaran, dan helai tangan Tony menuntunku untuk berjalan menuju ke tempat yang dia maksud itu.

"Hati-hati ya Ton, dijaga Amel, jangan sampai kelewat batas." Teriak papa Athony, dan mama Merlyn tertawa sangking senangnya. Kurasa mereka bertiga juga sama-sama menjengkelkannya, tapi mau bagaimana lagi? Aku hanya bisa menuruti apa kata Tony di hari ini, sebab pada dasarnya aku juga segan untuk dimanja oleh pria itu.

Saat kami berjalan mendekat kearah kebun, aku mendengar suara gemericik aliran air yang disertai dengan bunyi siluet dari belalang. Bau tanah dan kayu bakar semakin semerbak di sini. Tapi entah kenapa meskipun siang begitu terik, tapi udaranya sama sekali tak terasa panas. Mungkin seperti ini suasana desa yang sesungguhnya. 

Dalam benakku membayangkan, apabila nanti aku dan Tony kelak tinggal di rumah seperti itu, dengan hamparan halaman rumput yang luas, dan disana hanya tinggal aku dan dia beserta anak-anakku kelak. Sungguh itu seperti surga bagiku.

Lalu saat kami sampai di sana, benar tadi apa yang mereka katakan, bahwa tempat ini begitu bagus dan indah.

Aku bisa melihat sungai di sana, yang di seberangnya adalah hamparan perkebunan. Sungai yang jernih dan mengalir sempurna, aku bisa mendengar bunyi pekukan burung di sana-sini, dan itu membuat hatiku begitu nyaman.

"Tempat yang sangat instagramable." Kataku, dan Tony melepaskan genggaman dari tanganku.

"Mel, di sini tempatnya sudah sepi, aku yakin pasti gak ada yang lihat lagi." Katanya sambil menengok kanan kiri, lantas aku mengernyit dan sedikit menjauh darinya.

"Emangnya kamu mau ngapain?" tanyaku.

"Aku mau nyium kamu lagi Mel," katanya, dan jantungku seketika berdegup tak karuan saat itu. Aku diam saja tak tau harus menjawab seperti apa. Lagian tempat ini begitu indah dan juga sepi. Kesunyian di sini hanya terisi oleh hembusan angin dan gemericik air, dan itu membuat perasaan cinta antara aku dan Tony semakin menggebu-gebu.

Tanpa menunggu jawaban dariku,  dia memegang leherku lagi, dan kecupan itu terulang untuk yang kesekian kalinya dengan amat lembut.

Aku tak bisa menghentikan momen ini, yang kulakukan justru mengalungkan kedua tanganku pada pundaknya, hingga ciuman kami semakin erat seakan tak bisa lepas.

Kami bisa saja melakukan banyak hal di tempat ini, selagi diriku memejamkan mata, pikiranku sudah merambah kemana-mana. Hal itu membuatku kehilangan keseimbangan sampai jatuh di atas rerumputan, dan Tony seketika berposisi tengkurap tepat di atasku.

Sinar matahari seketika sama sekali tak terlihat sebab tertutupi oleh tubuhnya. Aku melihat wajahnya, dan dia tak ada henti untuk tersenyum manis kearahku. Lalu kecupan itu terulang lagi sampai Tony melepas kemejanya, dan dia melepas cardigan-ku juga. Pikirku aku harus menghentikan ini, tapi Tony tak punya pemikiran sampai kearah situ.

"Ton, aku rasa udah cukup deh." Desahku, ketika bibirnya merabah sampai ke leherku, dan jemarinya berusaha melepas kemejaku.

"Ton Stop." Kataku, dan dia hanya bisa melepas kancing bagian atas saja, tak sampai turun hingga ke bawah.

"Hentikan sampai sini saja," kataku.

"Ingat apa kata papa Anthony tidak boleh sampai keblablasan kan?" bentakku. Tony pun perlahan meninggalkan area dadaku, hanya saja endusan bibirnya masih mengelilingi leher dan wajahku ini. Basah dan lengket, itu yang kurasakan dari kulitnya.

"Andai kita sudah menikah Mel," katanya, selagi dia berhenti dengan hembusan nafasnya yang terengah-engah.

"Ditahan dulu yahh." Kataku yang hendak menutup kancing kemejaku kembali, namun seketika itu ditahan oleh Tony.

"Kenapa lagi sih?" ulesku, kami berdua berbaring di sini saling bertatapan dengan jarak yang amat dekat.

"Entar dulu." Katanya yang hendak berdiri dan berbuat yang enggak-enggak.

"Oke deh, kamu Cuma boleh pegang doang ya, ingat, Cuma pegang saja, di situ aku yakin kamu dan aku bisa ngerasain itu." Kataku, yang entah kenapa terucap begitu saja di tengah moment seperti ini. Tony akhirnya berbaring kembali dengan tangan kirinya yang menyelinap masuk hingga merabah bagian dadaku.

Aku mendesah tapi tak kubiarkan itu terdengar, aku bersembunyi pada himpitan lengannya, sampai kami berdua benar-benar merasa puas.

Usai semua peristiwa tadi bergulir, aku seakan tak bisa berdiri untuk saat ini. Aku berbaring di rerumputan ini sambil menatap langit yang keadaannya sedang mendung.

Sesekali aku juga mendengar bunyi sambaran petir pada segerombol awan gelap tersebut.

"Kayaknya ini mau hujan deh." Kataku, kulihat Tony berbaring sambil tengkurap.

"Biarkan saja, aku tak bisa berdiri Mel." Katanya.

"Sama, aku juga." Balasku, bingung untuk harus berkata seperti apa pada saat ini. Terus terang saja, usai peristiwa tadi bayanganku sudah menjerumus kemana-mana. Tapi untungnya tadi tidak sampai larut begitu dalam. Kuingat kami hanya ciuman saja, hanya itu dan tak lebih dari itu.

"Kamu kenapa Mel?" Tanya Tony "Kok kelihatan gelisah gitu?" ucapnya.

"Gimana gak gelisah cobak! kamu udah kelewatan banget." Kataku, dan Tony tertawa sedang.

"Maaf Mel, aku udah gak bisa nahan lagi, abisnya aku itu sayang banget sama kamu." Katanya, dan aku terdiam sambil menarik nafas dalam-dalam.

"Gak usah dipikir, ciuman doang gak bakal bikin kamu hamil kok, lagian kalo itu terjadi aku siap dengan sepenuh hati untuk tanggung jawab Mel." Katanya, dan mendengar ucapannya itu sungguh jantungku berdebar kembali.

"Jangan gitu lah, masa iya cepet banget ngomongin nikah." Kataku.

"Entar ujungnya bakal mengarah ke situ juga kan? Lagian papa sama mama-ku pasti ikutan senang. Kita akan tinggal bersama dan bikin banyak anak." Katanya, dan diriku tertawa mendengarnya.

"Apaan sih Ton?" Kataku, dan dia juga tertawa.

"Kamu juga pingin kayak gitu kan Mel?" Tanya-nya.

"Hm iya sih, eh Ton, ngomong-ngomong kalau kita besok udah nikah, kita bakal tinggal di rumah gede kayak papamu itu gak yah?" tanyaku, yang sepintas terpikir soal rumah. Sungguh pertanyaan itu ingin sekali kukatakan pada Tony sejak dulu.

"Pastilah Mel, kamu gak usah mikir soal tempat tinggal, aku ingin kamu merasa nyaman denganku." Katanya, jantungku spontan bergemetar mendengar jawaban Tony tersebut. Seakan impianku bakal terwujud dalam waktu dekat.

Betapa senangnya hatiku kalau hal itu bakal terjadi, mungkin ini sudah rencana Tuhan lewat Tony agar diriku bisa memiliki rumah idaman.

"Oke deh aku percaya, Cuma itu aja sih yang ingin aku katakan dari dulu sama kamu." Kataku.

"Kalau besok kita punya anak, kamu ingin punya anak cowok apa cewek Mel?" Tanya Tony.

"Cowok dulu deh Ton kayaknya, soalnya anak pertama itu harus bisa jadi teladan buat adek-adeknya, dan yang cocok sih kayaknya anak laki-laki." Kataku, Tony seketika tersenyum lebar.

"Jadi kita nanti bakal bikin banyak nih?" Tanya-nya.

"Ya gak juga, dua atau tiga udah cukup sih menurutku." Kataku, lalu Tony menghirup nafas panjang sambil menatap langit.

"Gak kerasa udah sebulan kita pacaran, jujur hari ini itu aku benar-benar ingin memilikimu seutuhnya Mel." Katanya.

"Ndah tadi kamu ngajak aku kesini masih belum puas?" tanyaku. Lantas Tony terdiam sambil menggelengkan Kepala.

"Sabar, aku mau kamu nikahi aku dulu, biar kita bisa aman ngelakuin hal kayak apapun itu." Kataku, dan Tony tertawa lepas di saat itu. Kurasa tawanya cukup mirip seperti tawa papa-nya. Kalau semisal diriku bertanya pada Tony perihal papa Anthony yang alkoholik tersebut, akankah dia juga mengetahuinya?

Kata mama Merlyn hanya dia dan aku saja yang tau soal hal itu. Lebih baik aku tak cerita soal ini, yang ada di benakku hanya memikirkan soal rumah idamanku kelak. Astaga, aku benci pikiranku.

"Kamu tau gak si Mel? sejak ketemu sama kamu pertama kali itu aku sangat malu banget, sebab keseringan ninggalin dompet dan kontak di toilet." Katanya yang sambil menatapku. "dan saat kita makan bareng di pantry itu, aku merasa kalau kamu itu cocok banget untuk jadi milikku." Imbuhnya, dan aku tersenyum.

"Hmm, kalau aku sih, sejak ketemu kamu pertama kali aja, Cuma ada waktu dua detik lho aku ngerasa jatuh cinta sama kamu." Ucapku, dan memang itu jujur dari lubuk hatiku sendiri. Ketika aku menemuinya untuk memberikan sarapan nasi pecel itu. Aku canggung dan grogi di hadapannya, itu sebenarnya awal mula hatiku memberikan ruang padanya, dan dia tersenyum lebar saat itu.

"Ohh Mel, secepat itu rupanya, beruntung kita akhirnya udah jadian ya?" Katanya, dan aku juga membalas senyum darinya.

Siang ini bila dibiarkan begitu larut, kurasa akan hendak turun hujan, awan diatas sana semakin lama semakin gelap. Pikirku kami harus pulang ke rumah sebelum kehujanan. Kemudian ketika aku mencoba untuk berdiri, reflek tubuhku tiba-tiba merasa kurang enak, aku mengalami sakit kepala yang membuat pandanganku nampak berkunang-kunang.

"Aduh Ton, kepalaku sakit banget kayaknya." Kataku sambil memegangi dahiku. Dia langsung terbangun.

"Sakit gimana Mel? Yaudah kita pulang aja yah?" katanya, dan aku mengangguk saat itu juga. Sungguh kalau dibuat berjalan mungkin aku agak kesulitan.

"Pelan-pelan aja Mel, kamu kuat kan? Kalo enggak aku gendong aja yah?" katanya, aku diam saja dan merasa bingung untuk menjawab ucapan Tony itu. Hingga pada akhirnya Tony menggendongku untuk diantar sampai ke rumah dinas ayahnya tersebut.

Disana aku diberi obat sakit kepala sama mama Merlyn. Kemudian saat jam sudah menunjuk pukul 2 siang, barulah kami berdua bergegas pulang ke Surabaya untuk menuju ke rumah Nenek.

Mungkin aku tidak akan berbicara banyak hal kepada orang rumah atas apa saja yang terjadi saat diriku berkunjung ke rumah orang tua Tony. Hampir dipastikan seharian ini kami bercinta dengan cara yang kelewat batas.

Waktu dirumah papa Anthony tadi, mama Merlyn memberikan baju ganti kepadaku. Setelan baju dress milik beliau ini terlihat sangat bagus, dan aku juga bakal bingung entar menjawab pertanyaan-pertanyaan dari orang rumah kelak.

Bungkusan kue pen cake buatan mama Merlyn pun juga kami bawa, beliau mengemasnya dengan amat rapi dan ditaruh di sebuah tepak rantang yang dibungkus tas goodybag cantik.

Di dalam mobil Tony sekarang rasanya nyaris berbeda saat kami hendak berangkat tadi, tiap kali kulihat dari sudut mataku kalau Tony bolak balik ngintip-ngintip wajahku. Pasti dia sangat khawatir soal kondisiku.

"Mel." Panggil Tony, "kenapa kok diam saja sih? Kamu udah gak sakit kepala lagi kan?" Tanya Tony, aku menatapnya dan tersenyum.

"Udah enggak kok, obat yang diberikan mama Merlyn tadi ampuh banget." Kataku, Tony pun akhirnya bernafas lega.

"Entar kalo udah sampe rumah langsung istirahat saja ya Mel?" Katanya.

"Iya sayang." Jawabku sambil tersenyum.

Bersambung...

Berlanjut ke Chapter 24..