Sabtu, 7 Maret 2020.
"Kak, di sini kok sinyalnya jelek banget sih?" kata Jojo saat dia bermain Hp di kursi sofa bersama Nino. Aku sebenarnya tidak suka melihat adikku bermain sama anak itu terlalu lama, apalagi yang kutahu Nino adalah anak yang sangat rewel, pemalas, dan juga maniak game. Dengan cepat kusahut handphone Jojo saat itu juga.
"Emang iya kok, sinyalnya di sini jelek banget," kataku saat merampas handphone-nya.
"Lho kak, kok diambil sih sini kembalikan." Teriaknya.
"Enggak, sarapan pagi dulu, masakannya udah matang, baru habis itu maen Hp lagi." Kataku sambil menuju ke dapur.
"Ganggu aja kak Amel ini." ules Jojo, dan Nino pun tertawa melihat tingkah lakuku.
"Mungkin kakakmu beli paketan internet yang murah kali, makanya lemot." Kata Nino. "Minta kakakmu kayak punyaku ini nih cepet pake wifi portable." Imbuhnya.
"Nino! kalau aku turuti apa katamu, bisa-bisa Jojo jadi kecanduan game kayak kamu." Jawabku, lalu Nino pun tersenyum masam.
"Ya Gak pa pa dong, sekarang kan jamannya maen game, temen-temenku aja juga begitu." Kata Nino, dan aku sejenak berpikir, seharusnya aku tak terlalu over bersikap terlalu tegas kepada Jojo, mungkin adikku itu juga perlu hiburan dan perlu untuk bisa setara seperti teman-temannya, dan saat itu juga kukasihkan Hp itu padanya.
"Yaudah nih, tapi kamu makan dulu ya Jo? udah kakak siapin tuh di meja makan." Kataku, dan diriku tak jadi menuju ke dapur. Sejenak diriku masuk ke dalam kamar tidurku untuk mengambil ponsel, dan sesampai di sana rupanya ponselku berdering.
Aku yakin banget kalau itu pasti telpon dari Tony. Saat aku mengambil ponsel itu di laci almari kamarku, rupanya dugaanku benar, Tony sedang menelponku.
"Iya beb?" tanyaku sambil berbaring sejenak di atas ranjang.
"Gimana sama Hp-nya kemaren?" Tanya Tony. "Jojo suka kan?" Imbuhnya.
"Dia suka kok, suka banget, tapi ya gitu dehh, sekarang mulai ikut-ikutan maen game bareng Nino." Kataku.
"Gak pa pa Mel biarin aja, aku jadi ikut senang kalau Jojo juga suka, Oh iya! pagi ini kamu lagi ngapain?" Tanya Tony.
"Abis masak tadi buat sarapan pagi." Kataku, "kalau kamu sendiri?" imbuhku.
"Abis bangun tidur, hehe." Jawab Tony, dan diriku spontan langsung melihat jam analog yang menempel di dinding kamarku.
"Astaga, udah jam sembilan pagi baru bangun tidur?" tanyaku, dan aku mendengar tawa Tony yang begitu menggelitik di telingaku.
"Iya nih, biasa kalo liburan suka bangun kesiangan." Katanya. "Oh-iya, ngomong-ngomong kemaren kamu sempat Tanya kan, kalo sabtu sama minggu kita kemana?" Tanya Tony, dan aku mengernyit penasaran.
"Emangnya kita mau kemana? Kamu punya rencana?" tanyaku.
"Iya sih, aku mau mengajakmu ke suatu tempat Mel, bukan di mall, bukan di tempat wisata, tapi___" kata Tony, dan akupun langsung penasaran banget dengan apa yang dia ucapkan itu.
"Halah, jangan setengah-setengah deh kalo ngomong, emang kamu mau ajak aku ke mana?" tanyaku, dan Tony pun seketika tertawa sedang, dan itu membuatku jengkel.
"Rahasia, entar habis ini kamu aku jemput yah! pokoknya kamu harus dandan yang cantik dan jangan lupa juga pakai masker Oke?" kata Tony, aku pun langsung mendesah.
"Hadeuuhh, yaudah dehh, tapi entar aku pamit ke nenek bilang gimana dong?" tanyaku.
"Cuma sebentar kok, bilang aja kamu aku ajak ke rumahku, gitu aja." Katanya.
Sebenarnya ada rasa bimbang yang timbul di hatiku, sebab entah kenapa semenjak wabah covid ini, alasan diriku untuk keluar rumah harus benar-benar jelas dan itu pun aku juga sudah diingatkan sama tante Anik kalau aku harus lebih hati-hati dalam menjaga diri selama wabah covid ini. Aku mengiyakan saja apa yang diucapkan Tony tersebut, yang pada dasarnya diriku juga ingin sekali berkencan dengannya, sungguh aku sangat bimbang akan hal itu.
"Yaudah deh." Balasku. Dan aku pun merasakan bentuk semangat dari ucapan Tony tersebut.
"Siip, sampai jumpa nanti ya sayang," katanya, aku tersenyum simpul mendengar ucapan sayang itu dari mulutnya. Lalu telepon kami berdua selesai sampai di sini.
Aku sejenak menghembuskan nafas panjang. Coba sekarang aku pikir dulu! Outfit apa yang bakal aku pake untuk berkencan dengannya hari ini? Aku langsung menggeledah isi lemariku saat itu juga, dan rasa bingung itu muncul di saat aku menyadari bahwa pakaianku banyak yang jelek. Selama ini aku tak pernah membeli outfit yang sekiranya benar-benar original, apa yang aku beli selalu yang berkwalitas imitasi dan murahan. Semua itu mencakup jenis pakaian, celana, dress, bahkan sepatu. Aku terkejut saat melihat sepatu sneakers-ku yang dulu kupakai buat ke taman mangrove belum kucuci sama sekali, dan di sana hanya tersisa heels yang biasa kupakai untuk pergi ke acara pesta atau kondangan. Dalam hatiku berkata
"Apes deh, masa iya aku pergi sama Tony pakai Heels!"
Jujur saja aku sama sekali tak menyukai heels, tapi sepatuku selain itu keadaannya banyak yang kotor dan belum sempat ku-cuci. Baiklah, aku akhirnya mengesampingkan itu.
Aku akhirnya memilih atasan busana kemeja biru dengan Cardigan panjang dan celana motif warna beige, setidaknya aku harus tertutup meskipun aku menggunakan heels.
Ketika satu jam telah berlalu, aku sudah siap dalam keadaan rapi dan harum. Kulihat jam analog di tembok kamarku itu menunjuk pukul 10 siang. Tiba-tiba saja saat itu ponselku berdering lagi, aku yakin banget kalu itu pasti Tony. Dengan semangat aku langsung mengambil ponselku, dan kulihat di layar tersebut, rupanya Eny sedang menelponku.
Tanpa pikir panjang aku langsung mengangkat telpon itu darinya, dan dia pasti juga ikut mangajakku pergi sabtu ini, seperti jadwal kami dulu waktu masih belum kenal cowok.
"Iya En ada apa?" tanyaku dengan semangat.
"Mel! Emm,_ kamu sekarang _sibuk _ga?" Tanya Eny dengan suara yang begitu kalem, seperti sedang merintih menahan sesuatu.
"Iya Ada apa En?" tanyaku yang saat itu juga lasung merasa penasaran dengan keadaan Eny.
"Kalau kamu gak sibuk hari ini, kamu bisa enggak ketemuan sama aku di Royal?" kata Eny, dan seketika itu aku bingung untuk menjawab pertanyaan Eny. Seperti tak ada alasan apapun untuk mengatakan sesuatu padanya. Sebab selama ini kita berteman tak pernah menolak ajakan ketemuan antara kami berdua. Pas kemaren saja waktu aku alasan capek kepada Eny, bagiku itu aku sudah merasa bersalah sekali padanya.
"Amel! gimana? kamu bisa kan?" Tanya Eny kalem. Dan aku masih tetap berpikir untuk menjawab pertanyaan itu, sebab aku bimbang atara memilih ikut dengan Eny apa dengan Tony.
"Kamu punya masalah ya En?" tanyaku pada akhirnya, jujur saja aku juga amat penasaran dengan kondisinya, sebab jarang sekali Eny ngomong dengan suara pelan dan merintih seperti ini denganku. Eny ialah tipikal anak yang ceria serta humoris diantara kami.
"Iya Mel," katanya."tapi aku mau bicara sama kamu secara face to face ajah yah? pliss!" Katanya, aku bingung dan super khawatir bukan main soal keadaan Eny.
"En, kamu sedang sakit kah? Kan kamu tau sendiri kalo sekarang ada wabah korona!" singgungku sambil mencoba mengalihkan kehendak Eny.
"Iya sihh Mel, abis mau gimana lagi? Aku itu ingin ketemuan sama kamu!" Kata Eny.
"Sekarang kamu jawab aku En, di sini dengan jujur, ada apa? Kamu sakit?" tanyaku, dan saat itu juga aku mulai mendengar suara rintih tangisan Eny, dan suara rintihan itu seketika memudar, sungguh aku benar-benar penasaran dengan kondisi Eny saat ini.
"Aku sehat kok Mel, tenang ajah." Katanya.
"Iya terus ada apa En? Jangan buat aku tambah mikir dong, jarang lho kamu kayak gini, biasanya ceria dan cengengesan." Kataku.
"Aku punya masalah sama Bastian Mel." Katanya yang pada akhirnya membuatku teringat kembali. Yahh! saat di mall kemaren ketika seusai kami belanja di hypermart.
"Emanya Bastian kenapa En?" tanyaku, dan jantungku berdebar saat itu juga.
"Ahh, kamu pasti bisa nebak sendiri lah." Katanya. aku menghembuskan nafas panjang, dan sebenarnya juga sedikit syok, atas apa yang aku lihat kemaren itu.
Saat Bastian mengunjungi Royal berbarengan dengan seorang cowok misterius, dan mereka berdua saling bergandengan dan berangkulan.
"Kamu yang sabar ya En, aku tau kok maksudmu, dan aku juga tau perasaanmu, tapi kalau aku boleh usul nih ya, mending kamu move-on aja En dari Bastian tanpa harus saling menyalahkan. Cukup bilang aja kalau aku udah tau yang sebenarnya tentang kamu, dah gitu aja." Kataku, dan entah kenapa di saat itu juga seketika air mataku belinang dan hendak menetes di pipiku.
"Iya Mel, barusan aku juga udah putus kok dengan dia, jujur saja Mel, saat itu aku benar-benar syok dan gak bisa berkata apa-apa, Bastian pun juga udah ngomong ke aku jujur soal orientasinya, dan hatiku benar-benar hancur Mel, dan ditambah lagi kalau aku itu satu kantor sama dia, dan tiap hari kalau kita kerja selalu ketemuan sebab kita itu satu tim marketingan bareng. Kamu bisa bayangin kan Mel gimana cara move-on nya dan cara menghindari-nya?" Kata Eny, dan dia pun menangis terseduh-seduh saat itu.
"Hmm___ iya En aku tau, kamu yang sabar yah, habis mau gimana lagi? Kenyataan-nya emang seperti itu, jadi mau gak mau kamu harus menerimanya En. Aku support kamu En, yang sabar ya sayangku." Kataku. Suara tangis Eny masih terdengar di telingaku.
"Udah dong sayang, jangan nangis, aku jadi ikut sedih nihh." Kataku.
"Jadi gimana Mel? Aku bener-bener butuh kamu nih sekarang, kamu mau ya ketemuan?" Tanya Eny, dan bahasan itu terulang lagi. Aku benar-benar bingung untuk memilih.
"Duhh En, gimana ya? Emm, aku tuh takut tau gak si ke Royal, kamu tau sendiri kan kalu sekarang mall-mall itu pada dibatesin semua?" Kataku, dan sebenarnya aku benar-benar gak tega sama Eny telah berbicara seperti ini. Andaikan saja aku tak punya jadwal sama Tony, tanpa pikir panjang aku pasti akan menemuinya, sungguh.
"Yaudah dehh kalo gitu, Emm, gimana kalau kita ketemuannya di tempat lain ajah? selain di Royal, di taman keputih mungkin?" Tanya Eny, dan aku kembali bingung untuk menjawabnya.
"Gimana ya En? Kalau hari ini kayaknya aku gak bisa deh." Kataku, lalu Eny pun mendesah.
"Emm yaudah deh Mel, kamu pasti ada jadwal sama Tony kan?" katanya, dan dugaannya itu tepat sekali. Sungguh saat ini aku begitu merasa kejam, aku seperti contoh teman yang tak layak untuk ditiru, sampai teman aku sendiri sedang membutuhkanku, aku seakan berusaha untuk menghindarinya. Tapi aku teringat oleh Tony, dia yang ingin mengajakku hari ini, dimana aku juga ingin menemuinya, dan aku juga mencintainya.
"Iya sih En, abis ini aku keluar sama Tony." kataku, dengan amat terpaksa.
"Oke lah, aku maaf banget lho Mel udah ganggu kamu, selama ini aku pasti sering ganggu rencanamu sama Tony yah?" Kata Eny dengan suara tangisnya yang masih sedikit terdengar.
"Endak kok En, kamu ini ngomong apa sih? Kamu itu gak pernah ganggu aku sama sekali, justru kamu itu sangat berarti dan sangat berharga banget bagiku En, cuman aku bingung aja antara sama kamu apa sama Tony di hari ini." kataku, dan sungguh bodohnya diriku membandingkan mereka berdua di saat ini. Apa yang barusan aku katakan? Astaga, aku sangat merasa bersalah dan bodoh.
"Mending kamu ikutin Tony aja Mel, gak pa pa, biar aku disini ajah, aku bener-bener seneng kalo hugungan kamu sama Tony tetap terus berjalan, Tony itu anaknya baik dan sempurna Mel, aku benar-benar bangga sama kalian berdua." Katanya, aku langsung meneteskan air mata di saat itu juga. Dalam hatiku berkata.
"Andaikan kamu ada di sini En, aku langsung memelukmu dengan erat, dan membuatmu merasa tenang kembali."
"Tapi kamu gak pa pa kan En?" tanyaku.
"Iya aku gak pa pa kok, santai aja, aku cuman terbawa syok aja sampai saat ini," katanya.
"Enggak, kamu jawab jujur sama aku, kamu sekarang gak pa pa kan En." Tanyaku lagi.
"Iya Amel sayang, aku gak pa pa kok, dah aku mau aktivitas lagi, kamu ndang siap-siap gih kalo mau ketemuan sama Tony, jangan lupa kirim salamku yah ke Tony." katanya. lalu diriku sejenak mengusap air mata ini di pipiku.
"Iya En, makasih banget, lain waktu aku bakan temui kamu En, kamu yang sabar yah, dan jangan nangis lagi." Kataku.
"Iya Mel,." Lalu sambungan telepon kami selesai, dan seketika itu juga aku dikagetkan oleh bunyi klakson mobil yang berdering diluar sana.
"Tin, Tin." Dan aku langsung mengambil tisu untuk mengelap seluruh air mata ini yang masih menempel di wajahku. Memastikan bahwa kesedihan ini tak akan terlihat oleh Tony.
Sebenarnya pada kejadian itu, saat di mall dulu, Tony ikut berbelanja dengan teman-temanku. Tak mungkin aku ceritakan hal semacam ini kepadanya.
Biarkan masalah itu hanya untuk aku dan Eny saja yang tau. Jujur saat ini aku merasa senang dan juga bersalah, entah apakah aku menemui Tony saat ini dalam balutan kebahagiaan yang pura-pura atau tidak? Kalau memang benar, seharusnya aku bisa tersenyum lebar saat aku menemui Tony, tapi aku tak bisa.
Bersambung...
Berlanjut ke Chapter 22..