"Huft! Lelahnya.." gadis berperawakan kurus dan tinggi itu menghela nafas panjang, pasalnya restoran tempat Ia bekerja itu baru saja menerima pesanan makanan dengan jumlah banyak, sehingga mau tak mau gadis bernama Lengkap Roselle Coleman yang kerap di sapa Rose itu harus ikut menyiapkan bahan makanan karena hari ini salah satu temannya yang bekerja di bagian dapur sedang tidak masuk.
"Baru menyiapkan bahan-bahan saja sudah letih sekali tampaknya," goda si juru masak bernama Josh.
"Aku memegang dua bagian hari ini, menjadi pramusaji dan kembali ke dapur lagi untuk membantumu menyiapkan bahan makanan. Sedangkan gadis menyebalkan itu hanya duduk di meja kasir sambil memainkan ponselnya," gerutu Rose kesal.
"Dia berbeda Rose, Ivy adalah kesayangan Tuan Nelson, lagipula dia sudah lama bekerja disini, percuma saja iri padanya," ujar salah seorang temannya bernama Ed.
Rose memutar bola matanya, sungguh malas menanggapi ocehan dua pria di dekatnya ini, toh Rose tahu jika gadis di depan bernama Ivy itu memang suka menggoda pria dan mungkin kedua teman prianya ini sudah jatuh dalam godaan maut gadis itu.
"Masa bodoh dengan itu," Rose meletakkan pisaunya kasar kemudian pergi ke depan meninggalkan dapur.
Josh tahu Rose sedang kesal, Ia berjalan mengejar Rose berniat untuk menjahilinya dan menarik kecil hidung Rose.
"Aw! Josh!" pekiknya.
"Jangan marah begitu, nanti kau semakin cantik." celetuk Josh yang meninggalkan Rose dan berjalan melewatinya.
"Apa pentingnya? Cantik saja tetap membuatmu pergi dariku," jawabnya seraya menyeringai, meski Ia tahu Josh tak akan mendengar ucapannya tadi.
Sebelumnya Josh dan Rose terlibat cinta lokasi di tempat mereka bekerja, bahkan keduanya sempat bertunangan dan Josh sudah memutuskan untuk keluar dari tempat kerjanya dan berniat membuka restoran sendiri bersama Rose.
Namun sayang, karena campur tangan keluarga Josh, keduanya tidak jadi menentukan tanggal pernikahan. Entah apa alasannya, Rose hanya tahu jika keluarga Josh itu cukup membingungkan, hingga Josh meminta untuk berpisah darinya. Rose tidak pernah menyesali itu, meski masih mencintai Josh karena di putuskan sepihak, namun bagi Rose berpisah adalah keputusan terbaik. Seiring berjalannya waktu, nyatanya tidak semudah itu melupakan Rose, cinta Josh belum juga berubah untuknya, entah apa yang membuat Josh tak memiliki keberanian untuk mempertahankan dirinya
"Aku sudah selesai menghitung pendapatan hari ini, aku akan pulang lebih dulu," ujar Ivy hendak meraih tasnya.
"Ivy, kau belum membantuku membersihkan restoran, jangan pergi begitu saja!" Rose sedikit meninggikan suaranya.
"Hari ini tugasku sudah cukup banyak, tidakkah kau lihat kita kedatangan banyak pelanggan? Tugasku adalah menjaga kasir, jadi aku tak perlu membersihkan restoran sebelum aku pulang," elak Ivy.
"Baiklah-baiklah Nona 'selalu benar'!" kesal Rose.
Tingtong..!
Bunyi khas dari bel dari pintu yang terbuka, menandakkan jika seorang pelanggan datang. Dapat Rose dan Ivy lihat seorang pria berkemeja biru masuk dan mendekat ke arah keduanya.
"Lupa membalikkan papan 'buka'??" sindir Rose pada Ivy yang tersenyum kecut. Rose hanya menggeleng.
"Restoran masih buka?" tanya pria itu melihat restoran yang tampak sepi.
Tampaknya Ivy terpana dengan kedatangan pria itu hingga Ia tak menjawab pertanyaannya, membuat Rose harus menyentuh pinggangnya dan membuatnya tersadar.
"Eh, ya? Ada yang bisa ku bantu Tuan?"
"Apa aku masih bisa pesan sesuatu?"
"Tentu, apa yang ingin Anda pesan?" tanya Ivy dengan ramah.
Mata Rose membulat, bagaimana bisa Ivy menerima pesanan itu sedangkan restoran seharusnya sudah tutup dan para koki-pun sudah pulang lebih dulu.
"Aku ingin memesan sebuah pasta."
"Baiklah Tuan, tunggulah sementara kami membuatkan pesanan Anda." Ivy menarik Rose ke dapur, sementara pria itu menunggu.
"Kau bisa buatkan satu pasta untuknya bukan?"
"Tidak Ivy, kau tahu jika seharusnya restoran sudah tutup, kenapa kau menerima pesanannya??" omel Rose.
"Tapi Rose, dia adalah pelanggan kita, bagaimana mungkin aku menolaknya, mau ku adukan hal ini pada Tuan Nelson?"
"Adukan saja! Lagipula ini sudah waktunya pulang." Rose seolah tak peduli dengan ancaman itu.
"Oke baiklah, maafkan aku telah membuatmu bekerja begitu keras hari ini, tapi tolong buatkan satu saja untuknya, setelah itu aku akan membantumu membersihkan restoran." Ivy mencoba bernegosiasi dengannya.
Rose menghela nafas, percuma saja menolak karena tak ada yang dapat Ia lakukan selain membuat pesanan pria itu.
"Baiklah," jawabnya tak bersemangat, setidaknya Ivy mau membantunya membersihkan restoran.
"Thank you Rose!" Ivy kembali ke depan dan duduk di meja kasir seraya memperhatikan pria yang saat ini tengah sibuk memainkan ponselnya.
Menurut Ivy, pria itu sangat tampan belum lagi parfum maskulinnya yang memenuhi ruangan. Ivy mencuri pandang pada bagian lengan pria itu, kemeja yang Ia singkap hingga sikunya memperlihatkan otot-otot keras di tangannya.
"Apakah restoran sebentar lagi tutup?" tanya pria itu tiba-tiba.
Ivy sedikit terkejut karena takut tertangkap basah tengah memperhatikannya.
"Ah, sebenarnya ya, tapi tidak masalah jika hanya membuatkan sebuah pasta," jawabnya merasa senang karena pria itu bertanya padanya.
"Maaf karena sudah mengganggu waktu kalian."
"Tidak Tuan, kami sungguh tidak keberatan."
Dinn! Dinn!
Suara klakson mobil yang cukup keras terdengar hingga ke dalam restoran.
"Ya ampun! Datang di saat yang tidak tepat," gerutu Ivy.
Ting!
Kali ini bel tanda pesanan sudah siap berbunyi.
Ivy melirik kearah Rose, Ia enggan mengambil pesanan itu, biarlah Rose yang mengantarnya ke sini, pikirnya. Tanpa memberi tahu Rose, Ivy pergi begitu saja meninggalkan pelanggannya dan Rose yang menunggunya di dapur.
Merasa Ivy yang tak kunjung datang meski sudah memencet bel siap berkali-kali, Rose menyadari jika ada sesuatu yang tidak beres dengan Ivy. Rose melepas celemeknya lalu mengantarkan pesanan pada pria yang saat ini tengah memperhatikan seisi restoran.
"Apakah Anda tahu kemana perginya temanku tadi?"
"Oh ya, dia baru saja pergi keluar setelah mendengar suara klakson mobil. Sepertinya seseorang menjemputnya tadi."
Rose menggelengkan kepalanya, lagi-lagi Ivy menipunya dengan mengatakan hendak membantunya membersihkan restoran.
"Pesanan Anda Tuan."
Pria itu bangkit untuk membayar pesanannya, namun sayang Ia membayar dengan uang yang cukup besar, dan tentu Ivy tak mungkin meninggalkan kunci kasir.
"Apakah Anda memiliki uang kecil?"
"Sepertinya tidak, bagaimana? Tidak ada uang kembalian?"
"Ya, temanku membawa kunci kasirnya dan aku tak memiliki cukup uang untuk kembalian, tapi mungkin aku bisa menukarkannya sebentar di toko-toko sebelah."
"Oh tidak perlu, simpan saja kembaliannya. Ku rasa semua toko dan restoran sudah tutup," tolaknya.
"Tapi Tuan, uang ini terlalu besar."
"Bagaimana jika aku meninggalkan tanda pengenal?" ujar si pria hendak mengambil dompet disakunya.
Rose semakin bingung, dia yang berhutang tapi pria itu malah berniat meninggalkan tanda pengenal.
"Tidak Tuan, tidak perlu melakukannya, sebaiknya kau bawa saja makanan ini untukmu, kau bisa membayarnya besok."
"Itu akan menyulitkanmu Nona, begini saja. Tak masalah jika aku meninggalkan uangku di sini, aku akan kembali besok."
"Tapi Tuan--" belum sempat Rose melanjutkan ucapannya, ponsel pria itu berdering.
Pria itu mengisyaratkan pada Rose seolah tidak masalah soal uangnya, dan dia membungkuk lalu keluar dari restoran begitu saja. Dapat Ia lihat mobil sport berwarna hitam yang pria itu kendarai berlalu meninggalkan restoran.
Baiklah jika begitu Ia akan menyimpan uang kembalian milik pria itu dan memberikannya besok saat pria itu datang lagi.
***